Dari Dosa, Aku Temukan Cahaya
Dari Dosa, Aku Temukan Cahaya
Penulis: SanggiRedemaP
Hidup di tengah kota metropolitan memaksamu untuk terjebak dalam arus pergaulan bebas. Ditambah sosokmu berasal dari keluarga yang dikategorikan berlebih. Kamu adalah anak dari seorang pimpinan perusahaan J&L di Kota Batam. Sebab hal ini pula membuatmu pongah dan lupa diri.
Malam itu, kamu habiskan dengan berpesta ria di Bilangan Jodoh. Di sebuah klub malam ternama yang tidak sembarangan orang dapat masuk kecuali mereka yang mampu membayar lebih. Bersama orang yang kamu sebut teman, menghabiskan malam dengan musik serta bergelas-gelas minuman memabukkan.
Kamu tiba di rumah dini hari dan diantar oleh seorang lelaki. Saat hendak keluar dari mobil lelaki itu, kamu terhuyung. Tidak tega melihat kondisimu, ia segera membopongmu tanpa izin.
"Astagfirullah, Je!" seru seorang perempuan akhir dua puluhan dari balik pintu.
"Dimana kamar Jelita?"
Perempuan yang sudah tidak kuasa melihat tingkahmu itu lantas menunjukkan letak kamar. Kemudian, menginterogasi lelaki yang terlihat sebaya denganmu. "Kamu ya yang setiap malam mengajaknya clubbing?"
"Bukan urusan lo! Minggir!"
Begitulah transformasi pergaulan yang mengikis sopan santun. Kamu terjerumus dalam pertemanan tidak sehat, dan perempuan yang mengkhawatirkanmu menggigit bibir lebih dalam.
***
"Dimana semua orang?" tanyamu pada perempuan berkerudung dongker yang tengah menyiapkan sarapan.
"Apa hangover-mu sudah reda, Jelita?"
Kamu mengabaikan pertanyaan yang dilempar padamu lantas mengambil posisi berseberangan dengannya. Tanpa suara kamu melahap sarapan pagimu hingga tandas. Tidak mengindahkan kehadiran perempuan si pembuat sarapan. Ketika hendak bergegas meninggalkan meja makan, perempuan itu mencegatmu dengan pertanyaan.
"Siapa lelaki yang mengantarkanmu semalam?"
Kamu melenggang, mengabaikannya.
***
"Gimana semalam, Je?" Nuella langsung bertanya setiba di kelas pertama perkuliahan.
"Memangnya ada apa?" tanyamu yang tidak mengingat jelas kejadian semalam.
"Semalam Roy yang antar kamu pulang. Ah, aku lupa. Kamu 'kan mabuk,"
Mendengar pernyataan dari gadis blonde itu membuatmu terkesiap. "Kamu menyuruhnya untuk mengantarku pulang?"
"Sorry, Dear. Aku terpaksa sebab Daddy menyuruhku pulang lebih awal," jelas gadis itu.
Kamu anggap dia temanmu, dan tidak sepatutnya kamu marah dengan hal itu. Meski kesal, kamu memahami dan memaafkannya.
Sesuai rutinitasmu yang tidak pernah absen kamu lakukan. Kamu dan Nuella berkeliling pusat perbelanjaan di Bilangan Nagoya. Membeli beberapa pakaian sesuai tema setiap malamnya, meski kamu sejujusrnya telah memiliki banyak di rumah.
Dan seperti malam-malam lainnya, kamu menghabiskan waktu malam-mu di klub. Bersenang-senang selama kamu masih bisa menikmatinya. Melupakan kenyataan hidupmu yang kosong. Mereka yang memandangmu sebagai orang yang paling beruntung memiliki segalanya bahkan mengabaikan fakta bahwa anak konglomerat pun merasa kesepian.
Berbaur dengan dunia malam caramu melampiaskan. Meletakkan dunia dalam kepala. Harta pada genggaman. Dunia fana adalah surga bagimu hingga melalaikan tugasmu terhadap Tuhan.
"Sstt..., Roy datang, Je," ujar Nuella mengode arah datangnya lelaki yang kemarin malam mengantarmu.
Kamu tersenyum singkat menanggapi kehadiran lelaki itu. "Terima kasih untuk yang kemarin."
Pria itu mengerling, memberimu umpan yang langsung kau sambut senang. Semenjak itu, terjalin hubungan percintaan di antara kalian berdua.
***
"Lagi-lagi kamu pulang larut." Suara perempuan yang tak pernah jemu menegurmu.
Tidak kamu indahkan komentar perempuan itu. Mengabaikannya adalah caramu menghindarI perdebatan.
"Siapa lelaki yang mengantarkanmu tadi?"
Kakimu terus berjalan menaiki tangga menuju kamarmu, berpura-pura tidak mendengarnya.
"Bening Jelita!"
Kamu berbalik, ketika tahu perempuan itu sudah naik pitam. "Lelaki itu pacarku," jawabmu ketus sambil bersedekap menantang.
"Apa pantas kencan kalian hingga larut begini?"
"Kamu perempuan kolot dengan jilbab besar itu tidak akan tahu apa-apa. Berhentilah mengurusi hidupku!"
Lantas kamu melanjutkan langkah meninggalkan kakakmu yang semakin nelangsa.
***
"Aira, bagaimana Ayah mengatakan semuanya pada Jelita?"
Tak sengaja, kamu mendengar suara berat ayahmu yang tampak getir, langkah kakimu membawa lebih dekat pada sumbernya. Netramu melihat perlengkapan rumah sudah tidak ada. Keningmu mengerut pada koper yang sudah tersusun rapi.
"Ada apa ini?" tanyamu, sangsi.
"Je, kita akan pindah. Rumah ini bukan milik kita lagi," sesal Ayah, terlihat sedih.
Pandanganmu jatuh pada perempuan di sebelah Ayah. "Katakan ada apa ini, Aira?"
"Rumah ini sudah bukan milik Ayah, Je. Usaha Ayah bangkrut."
Kamu seperti tersambar petir ketika mendengar penuturan perempuan berkerudung panjang itu. Pikirmu sudah membayang di depan mata bahwa kamu sulit menerima kabar usaha Ayah yang gulung tikar.
"Jangan khawatir, Je. Harta bisa dicari, yang penting kita selalu bersama." Kamu menepisnya tidak terima.
Segera kamu hubungi Nuella, sahabatmu yang selalu ada. Namun, berita begitu cepat menyebar. Saat suaramu memanggil namanya dengan lantang, gadis blonde itu menatap rendah ke arahmu.
"Orang miskin tidak bisa berteman denganku," cibir Nuella.
"Begini caramu berteman, Nuel?"
"Ya. Kamu pikir saat miskin pun aku mau berteman denganmu? Membayar uang kuliah pun kamu pasti sudah tidak bisa. Bermimpilah bahwa aku akan membantumu, Je."
Gadis berdarah campuran itu lantas meninggalkanmu bersama penghinaan.
Harapan terakhirmu adalah Roy. Walau kisah asmara kalian masih seumur jagung. Harapan besar kamu titipkan pada lelaki itu. Sekiranya masih mau menerimamu yang tidak memiliki apapun lagi.
Nekad kamu pergi ke klub malam menunggu kedatangannya. Meski jengah, kamu berusaha menahannya. Sekarang berbalik, cemoohan kamu terima dari pengunjung klub yang mengenalmu.
"Si miskin berharap masuk surga? Mimpi!" kelakar orang-orang itu padamu.
Tatapanmu pada mereka hanya sekilas lalu. Membalas penuturan sekumpulan betina itu pun bagimu tidak ada gunanya. Hanya membuang waktu saja.
Tidak lama berselang, Roy datang bersama Nuella. Pengkhianatan macam apa lagi yang kamu terima? Netra kalian saling mengunci. Melempar setiap pesan yang tidak dapat disampaikan oleh perkataan.
Nuella menatapmu sengit. Sedangkan Roy bungkam.
"Apa kamu juga akan meninggalkanku?" tanyamu pada Roy dengan mata yang berkaca-kaca. "Baik. Diammu aku anggap iya. Terima kasih!"
Tergesa kamu angkat kaki dari sana. Tak kuat membendung air mata yang akan tumpah. Walau kamu sudah tidak memiliki harta, harga diri tetap menjadi tonggak utama. Kamu tidak ingin terlihat lemah dihadapan kedua orang yang awalnya penting bagimu, sebelum mereka menusukmu dengan sebuah pengkhianatan.
***
Langkah kakimu gontai menuju rumah reot yang tiang penyangganya saja tidak kokoh. Mengetuk pintu tiga kali indikasi bahwa kamu sudah pulang.
Ayah melihatmu dengan tatapannya yang sendu. Lelaki senja itu terlihat lelah. Kamu masuk ke dalam tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Kamu sebenarnya masih shock dengan kehidupanmu saat ini.
Bagaimana tidak? Kebiasaanmu clubbing tidak dapat lagi kamu lakukan. Sebab Ayah tertipu oleh partner bisnisnya yang membawa semua modal serta uang gaji karyawan. Hal itu yang membuat sumber uangmu kandas. Rumah, mobil, dan segalanya terpaksa dijual. Menyisakan baju dan rumah reot ini saja.
"Biasakan ucapkan salam, Je," tegur Aira.
"Assalamualaikum."
"Wa'alaikummussalam."
Diam-diam perempuan itu tersenyum simpul.
Di pembaringan kamu uring-uringan. Ingin kuliah tetapi merasa malu menghadapi realita. Hendak keluar sebentar mencari makanan, uangmu sudah tidak ada. Kamu mulai lelah dan merasa frustrasi menghadapi kenyataan ini. Menyebabkanmu malas beraktivitas apapun.
"Je, kamu mau ikut pengajian?" tanya Aira.
Kamu tidak langsung meresponsnya. Butuh waktu untuj menelaah setiap kejadian yang menimpamu baru-baru ini. Masalah yang kamu hadapi kini pasti memiliki jalan keluar dan kamu pun miliki keyakinan optimis akan hal itu.
"Allah berfirman, Je." Aira berujar yang langsung mendapat perhatianmu. "Dijadikan indah pada pandangan manusia, kecintaan kepada apa-apa yang diingini. Yaitu, wanita, anak-anak, harta yang banyak. Itulah kesenangan hidup di dunia. Dan tahukah kamu apa yang lebih baik dari semua itu?" Kakakmu menjeda dan kamu tidak dapat menjawabnya. Pikirmu, mungkin juga ini adalah jawaban atas pertanyaan di benakmu.
"Yaitu syurga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, bidadari yang disucikan untuk orang-orang yang bertakwa kepada Allah. Mereka kekal di dalamnya. Dan hanya di sisi Allah-lah tempat kita kembali." (*)
Kamu memandang kakak kandungmu tak berkedip. Seolah mendapatkan sesuatu untuk direnungkan. Selepas makan malam, kamu secara pribadi menemui Aira. Matamu dalam mengungkapkan keinginan. Namun, tidak tersampaikan oleh lidah. Kakakmu paham. Untuk itu, Aira membimbingmu menyucikan diri dengan wudhu. Bertahap perempuan itu mengajarkanmu.
"Banyak kejadian yang sebenarnya dapat dipetik dari kisah ini, Je," tutur Aira sambil memberikan mukena padamu. "Salatlah, bicara dengan Tuhanmu yang telah memberimu kesempatan bertaubat."
Setelah belasan tahun, ini pertama kalinya kamu kembali mendirikan salat. Menumpahkan segala keluh kesah, dan mengangkat segala keresahan yang selama ini bercokol di dalam hati. Sang Pencipta memberimu kesempatan mencecap manisnya ketenangan hati dan iman.
***
"Mama pernah berpesan padaku untuk membimbingmu," ujar Aira selepas kamu mengerjakan salat. "Namun, aku justru lalai akan tugas itu."
Kamu menatap Kakakmu dengan prihatin. Bukan sepenuhnya salah Aira, sebab kamu pun bebal dan kurang memfilter pergaulan. Kamu justru melampiaskan rasa kesepianmu dengan hura-hura. Budaya yang bukan dianut oleh nusantara juga agama.
Bibirmu menciumi kedua telapak tangan kakakmu. Meminta permohonan maaf atas segala sikap yang pernah kamu lakukan. Padahal, selama ditinggal mama selamanya, juga ayah sementara, Aira yang mengurusmu tanpa lelah.
"Kamu sudah mulai berubah saja sudah membuatku sangat senang, Je."
Hingga hijrahmu terus ditemani oleh Aira, Kakakmu. Perubahanmu yang demikian pula membawa dampak baik dalam kehidupan. Ayahmu pun turut senang melihat kalian akur.
Perlahan energi positif melingkupimu. Kepercayaan dirimu yang sempat mengudara pun kembali tertata. Meski kamu sempat menjadi bahan omongan seantero kampus. Namun, tidak menyurutkan semangatmu untuk berada di jalan Allah.
Mungkin benar yang dikatakan Aira. Tidak akan mungkin kamu menjadi pribadi lebih baik tanpa musibah yang menghampiri. Dengan pelajaran itu, kamu mampu memberi batasan pada diri sendiri. Kamu juga sudah memaafkan perbuatan Nuella. Berkomitmen pada diri sendiri untuk tidak menyimpan dendam pada siapa pun.
Pikiranmu terbuka luas menghadapi gejolak dunia yang dinamis. Kehidupan di kota metropolitan memang cukup radikal. Namun, bukan berarti kamu menjadi pemilih. Kamu tetap berteman dengan siapa saja. Bersahabat dengan sifat berbeda manusia. Hijrahmu mengajarkan untuk terus menyebarkan kebaikan di manapun kamu berpijak.
Berkumpul dengan teman sehijrahmu demi memperkokoh niat. Sudah cukup dengan sisa hidupmu yang melalaikan perintah Tuhan. Menjadi pribadi buruk cukup sekali seumur hidup. Tidak ada lagi kamu dengan semua media yang melalaikanmu.
"Je, sudah masuk waktu Ashar. Ingat salat merupakan tiang Agama. Barang siapa yang mendirikan salat berati ia mendirikan agama. Barang siapa yang meninggalkan salat berarti ia meruntuhkan agama,"(**) Aira mengingatkanmu.
Kamu sempat tertawa kecil, menggenggam tangannya. Kamu berujar, "Terima kasih telah menjadi teman terbaikku, membimbingku untuk kembali ke jalan yang Allah ridhoi."
Aira memberimu senyum paling menawan. "Kakak tidak ingin kamu tertinggal di belakang. Je, ayo kita masuk surga bersama-sama."
Kamu mengangguk sambil menyungging senyum tulus, lantas segera mengambil wudhu, tidak lagi membuat Tuhanmu menunggumu memenuhi panggilan-Nya.
[Tamat]
Nb: (*) QS: Ali 'Imran ayat 14-15
(**) Hadist Riwayat Bukhari dan Muslim
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top