Bukan Ayat-Ayat Cinta
Bukan Ayat-Ayat Cinta
Penulis: Penabilaa
Mecca Nur Jannah, gadis berusia 21 tahun yang bertekad untuk selalu mengganggu dan mendekati lelaki idamannya. Lelaki itu adalah Reynaldo Malik Ibram, biasa dipanggil 'Aldo' oleh keluarga dan temannya, sedangkan dipanggil 'Bram' oleh satu-satunya wanita yang selalu mengusiknya. Ya, siapa lagi kalau bukan Mecca alias Eca yang tak pernah membiarkan hidup Bram tenang walau hanya satu hari. Apalagi, jarak rumah mereka yang berdekatan membuat Mecca selalu mempunyai peluang untuk menghantui kehidupan Bram.
"Mas Bram, sebentar lagi Eca mau sidang. Mas gak mau datang terus bawain Eca balon, atau bunga, atau coklat gitu?" tanya Mecca pada Bram yang sedang menggunting rumput taman rumahnya.
"Astaghfirullah, Eca! Kalau datang tuh salam dulu atau setidaknya nunjukin tanda-tanda kehadiranmu, dong! Jangan tiba-tiba ada di belakang dan ngajak ngomong." Bram menghela napas, bisa-bisa ia mempunyai penyakit jantungan kalau Mecca selalu hadir seenak jidat.
Mecca terbahak-bahak, kemudian ikut berjongkok di sebelah Bram yang kembali menggunting rumput. "Iya-iya maaf, Mas. Tapi, Mas suka kan kalau aku sering main ke sini?"
Bram tidak menanggapi sama sekali, bisa dibilang ia jengah juga penat karena harus selalu berhadapan dengan wanita menjengkelkan namun sekaligus menggemaskan karena tingkahnya yang terkadang di luar nalar.
"Mas Bram! Kok malah diem, sih? Itu pertanyaan aku dua-duanya dianggurin aja? Pantesan banyak pengangguran di luar sana." Mecca bertanya sembari mengambil gunting rumput yang sedang digenggam Bram, berusaha untuk merebut perhatiannya.
Bram mendecak, "Ca! Jangan main-main, itu tajam!"
Senyum Mecca mengembang, pipinya juga memerah padam. Dengan bahagianya ia melemparkan gunting rumput itu ke sembarang arah dan langsung menangkup kedua pipi Bram. "Mas Bram khawatir? Takut aku terluka, ya? Aku jadi malu."
Bram mematung sejenak, kemudian langsung menepis kedua tangan Mecca secara kasar. "Sudah berapa kali aku bilang, gak ada yang namanya kontak fisik, Ca! Gak papa kalau kamu mau terus-menerus datang ke rumah orang tuaku, mengagetkanku, atau apapun itu asal jangan pakai sentuh-sentuh."
Mecca mengendurkan wajahnya, senyum ceria yang tadinya tercetak sangat jelas kian menghilang secara perlahan. Kepalanya ikut menunduk seraya meneteskan air mata, ia menangis. Mecca baru tahu bahwa Bram bisa berubah menjadi seseram itu.
"Maaf, Mas," ucapnya lirih.
Lagi-lagi Bram menghela napasnya, ia juga merasa bersalah karena sudah terlalu keras pada wanita yang sebenarnya sudah dewasa namun kelakuannya masih seperti anak kecil itu.
"Kamu harus belajar sabar, Ca. In Syaa Allah semuanya akan sesuai dengan apa yang kamu harapkan."
"Iya, aku selalu sabar kok nungguin Mas Bram," jawab Mecca enteng.
Bram terdiam, raut wajahnya terlihat datar dan dingin, membuat Mecca segera meralat ucapannya, "Maaf, maaf. Eca gak bermaksud."
"Memang itu yang aku maksud," jawab Bram kemudian langsung berdiri dan berjalan ke dalam rumahnya, meninggalkan Mecca yang masih mematung sebelum ambyar di tempat.
"Ya Allah, maksudnya itu apa?" Mecca tersenyum bahagia, hatinya serasa lapang, jantungnya berdetak kencang seakan ikut merayakan bahagianya. Ia keluar dari rumahnya Bram, kemudian kembali ke rumahnya sendiri. Mecca tak sabar ingin mengirimi pesan singkat pada Bram.
"Eca akan selalu nungguin Mas Bram. Tapi, jangan lama-lama, takut Eca keburu diambil orang. Di luaran sana sudah banyak yang ngantri soalnya!"
Mecca berani bersumpah, ia benar-benar tak bisa menghapuskan senyum di bibirnya. Napasnya saja sudah tak karuan karena jantungnya itu terus berdebar.
"Maksud aku, tunggu aku datang di wisudamu, jangan mikir yang ketinggian!"
Balasan pria itu membuat Mecca geleng kepala, tak habis pikir. Mecca yakin, Bramnya itu juga menyukai dirinya, dan Mecca yakin, Bram akan menikahinya nanti.
Siang itu Mecca sama sekali tak bisa tidur. Biasanya, ia akan tidur panjang saat Minggu siang, tapi karena perasaan yang lumayan mengganggu itu membuat Mecca bahkan tak bisa memejamkan matanya.
"Mas Bram, kamu harus tanggung jawab pokoknya!" teriak Mecca sebelum ia membanting dirinya ke atas kasur.
***
"Kamu percaya pada jodoh, Fahri? Aku rasa ... Aku rasa ... Argh! Aku rasa apa, sih?" Mecca menggerutu, ia merutuki dirinya sendiri yang bahkan tak bisa menghapal potongan dialog romantis dari novel yang digemari Bram.
Padahal, Mecca sudah berniat untuk unjuk diri saat malam nanti. Ia akan datang ke rumah Bram yang tepat berada di sebelah rumahnya, kemudian mengucapkan kalimat romantis itu agar Bram-nya tersentuh dan semakin jatuh cinta padanya.
"Aku rasa kita berjodoh, Mas Bram, eh! Bukan gitu dialognya, Eca!!!" Mecca gemas sendiri, biasanya ia akan dengan sangat mudah menghapal rumus-rumus matematika karena ia mengambil jurusan pendidikan matematika. Apa memang benar kalau cinta itu lebih rumit dibanding menyelesaikan soal matematika dari dosen?
Mecca bertekad untuk menghapal satu dialog utuh dan membuat Bram terpana. Tak lupa ia juga menyiapkan pakaian yang indah untuk Bram. Rok panjang bermotif bunga-bunga, baju panjang berwarna merah muda, serta pasmina dengan warna yang senada. Jangan berekspektasi bahwa Mecca menggunakan pakaian yang syar'i, karena ia masih jauh di bawah itu. Kadang, Mecca masih senang menggunakan boxer saat membeli sayur abang-abang lewat.
Namun, untuk bertemu dengan Bram, ia akan memantaskan diri. Bram tipikal lelaki salih yang tak suka ketika melihat Mecca mempertontonkan auratnya. Dan itu adalah salah satu hal yang membuat Mecca semakin yakin kalau Bram cocok untuk menjadi suaminya.
"Ma, Pa, aku berangkat dulu. Doain aku, ya!" ucap Mecca semangat setelah makan bersama dengan keluarganya.
Mamanya menggelengkan kepala, "Ke rumah Bram lagi? Mama kasian sama Bram, takut sawan dihantui kamu terus."
"Nggak, Ma. Dia malah suka," ucap Mecca sembari cengengesan.
Ia keluar dari rumahnya setelah mengucap salam, kemudian berjalan dengan anggun sampai tiba di rumah pujaan hatinya. "Jangan gugup, inget, ini bukan yang pertama kalinya," ucapnya bermonolog.
"Kenapa harus gugup?"
"Astaghfirullah!"
Mecca mengelus dada, baru kali ini ia benar-benar terkejut dengan kehadiran Bram yang tiba-tiba. Ia baru mengerti mengapa Bram sering mengomelinya saat ia tiba-tiba datang tanpa bilang-bilang.
"Kita ke rumahmu saja," ucap Bram tanpa basa-basi. Ia langsung berjalan meninggalkan Mecca yang masih menetralkan rasa gugupnya.
"Bukain pintunya, Ca. Kita ngobrol di teras rumahmu," titah Bram.
Mecca menurut, ia berjalan ke depan rumahnya dan membuka pintu pagar.
"Kamu tahu, Ca? Ada dua hal yang membuat aku kagum sama Mesir, yaitu Al-Azhar dan sungai Nil," ujar Bram tenang.
"Uhuk uhuk uhuk." Mecca tersedak teh yang baru saja ia minum. Bagaimana mungkin itu semua terjadi?
Mecca paham betul, Mecca tahu betul kalimat apa lagi yang akan Bram ucapkan.
Sebab, kalimat itu adalah sambungan dari kalimat yang dari tadi ia hapalkan, kalimat itu adalah penggalan dari dialog novel Ayat-Ayat Cinta.
"Pelan-pelan, Ca, minumnya." Bram memperingati. Kemudian ia ikut menyesap teh hangat manis buatan Mecca dan menatap lurus ke depan.
"Aku juga suka sungai Nil. Kalau tidak ada sungai itu, pasti tidak ada Mesir, tidak ada peradaban, yang ada hanya gurun pasir," ucap Mecca tenang. Ia juga tak habis pikir mengapa ia jadi begitu hapal dan fasih mengucapkannya? Tanpa terbata-bata sama sekali.
Kali ini Bram yang dibuat takjub, ia menengok ke arah Mecca yang duduk di sampingnya, menatapnya sebentar, kemudian kembali menatap ke arah pohon jambu di depannya.
"Kamu tahu dialog itu? Kok aneh ya kalau dengarnya dari kamu? Ternyata kamu juga bisa dewasa," Bram terkekeh.
"Kamu percaya pada jodoh, Mas? Aku rasa sungai Nil dan Mesir itu jodoh, senang ya kalau kita bisa ketemu dengan jodoh yang diberikan Tuhan dari langit." Mecca melanjutkan dialog yang diucapkan oleh Maria pada Fahri di cerita tersebut.
Bram menarik napasnya, mencoba ikut terlarut dalam cerita yang ia sangat sukai. "Bukan dari langit, Eca, tapi dari hati, dekat sekali."
Mecca tersenyum hangat, kali ini ia tak ingin jingkrak-jingkrak seperti biasanya. Hatinya ikut menghangat. Entah mengapa ia senang mendengar suara lembut Bram.
"Dialognya romantis, Eca suka banget."
Setelah Mecca berkata seperti itu, hening menyapa mereka berdua, Bram juga sibuk meminum teh hangat buatan Mecca. Seperti ada sesuatu yang sedang diusahakan untuk diungkap.
"Eca, aku juga suka dengan cerita itu. Tapi, aku ingin cerita kita berbeda. Ini bukan ayat-ayat cinta, aku gak mau menduakanmu seperti Fahri pada Aisha."
Bram menarik napasnya, "Setelah kamu wisuda, aku akan menikahimu." Bram menjeda, membiarkan Mecce mencerna. Kedua netra Mecca membola. "Jangan kejar-kejar aku lagi, Ca. Kita sudah berdiri di tempat yang segaris, dalam satu linear kalau kata matematika. Biar kali ini aku yang mengusahakan untuk mengikis jarak itu. Aku menghormatimu, maka aku akan melakukannya dengan cara yang terhormat pula." Speechless. Eca sama sekali tak bisa membalas ucapan Bram. Mecca si gadis cerewet berubah menjadi anak manis yang berusaha menutupi kegugupannya. Sedangkan Bram terlihat lebih tenang dibanding sebelumnya. "Kamu tahu? Selama ini aku selalu marah kalau kamu spontan menyentuh atau memeluk aku? Itu aku lakukan demi kebaikan kita, Ca. Aku juga berusaha untuk menjaga harga dirimu sebagai perempuan. Satu lagi, demi kebaikan jantungku."
Mecca tertegun kemudian tertawa pelan, ia benar-benar tak menyangka tentang semua yang ia dengar di malam itu. Mecca bersyukur dalam hati, tentang ia yang jatuh pada hati yang tepat. Tentang ia yang cinta pada seseorang yang tepat.
"Terima kasih sudah menyabari atas semua kelakuanku yang kekanak-kanakan. Tolong bimbing aku, Mas."
Bram menoleh pada Mecca yang serius menatapnya, tiga detik kemudian ia tertawa terbahak-bahak. "Kok malah ketawa sih, Mas?!" Mecca memajukan bibirnya.
Bram berusaha menahan tawanya, "Merinding aku denger kalimat kayak gitu dari kamu, Ca, sumpah!"
"Udahlah, Mas, gak usah nunggu aku wisuda. Besok aja kita langsung nikah."
Dan saat Bram menyetujui, Mecca malah pingsan di tempat.
***
Author Note:
Cinta itu memang fitrah, dan tentunya terasa indah saat kita menjatuhkannya pada orang yang tepat, juga di waktu yang tepat. Banyak yang bilang, jatuh cinta itu sakit, coba lihat, apa kita menggunakannya dengan cara yang benar?
Saat kita mengekspresikan cinta dengan cara yang salah seperti halnya pacaran, bukankah sudah pasti bahwa itu akan berujung pada kesia-siaan belaka?
Cinta itu suci, maka gunakanlah dengan cara yang baik, yang diajarkan oleh agama.
Aku pacarannya sehat kok, suka ngingetin shalat malam, puasa Senin-Kamis, gak pegang-pegangan juga.
Bagaimana tanggapan kalian dengan alasan yang seperti itu? Yang pasti, jawaban kita tetap berpacu pada pedoman kita, Al-Qur'an dan hadist. Banyak sekali ayat-ayat, serta hadist yang mengangkat larangan berzina, mudah-mudahan kita semua dapat terhindar dari perbuatan yang buruk lagi sia-sia. Aamiin.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top