EVENT SUMMER AND WINTER

LAST WINTER

I always hate winter

I always do

Aku menutup telingaku rapat-rapat, berusaha meredam suara tawa sebuah keluarga yang tak terbendung meski mereka berlindung di balik tumpukan batu yang tebal. Seorang anak perempuan dengan dengan baju sederhana warna biru, tertawa sambil bertepuk tangan. Di sisi kiri dan kanannya ada orang dewasa, sudah pasti ayah dan ibunya. 

Sungguh enak sekali dirinya, mendapat kebahagiaan dan kehangatan. Oh tentu tidak, aku tidak iri dengan itu semua. Sebenarnya aku tidak berharap lebih, yang kuinginkan hanya satu hal, yakni apa yang tersedia di atas meja. 

Mungkin, bila aku mendekat … aku akan mendapatkannya dari mereka. 

Dengan berat hati, kuangkat tubuhku dari tanah. Rasanya dingin saat kakiku menapak lantai yang sudah tertutupi oleh butiran putih menyakitkan. Sayangnya, kulitku tidak begitu bisa menghangatkan tubuhku yang hampir membeku. Yah … padahal mereka bilang punyaku tebal. 

Aku mendekat, menempelkan wajahku pada jendela kaca dan menekannya kuat-kuat hingga rasanya menyakitkan. Dengan susah payah, kedua tanganku menggapai jendela hingga menghasilkan bunyi ketukan-ketukan yang tidak beraturan.

Mereka tidak akan mendengarnya. Oh, mereka mendengarnya! Tatapan mata mereka kini beralih padaku yang sebisa mungkin memasang wajah penuh harap. Laki-laki tambun berkacamata itu mengerutkan keningnya tidak suka, perempuan bertubuh tinggi semampai menatapku seakan aku adalah gumpalan kotoran yang menjijikkan. Namun, anak perempuan itu … dia menatapku iba. Kurasa usahaku ini berhasil menarik perhatiannya! 

Aku masih mengetukkan kedua tanganku ke jendela kaca yang tertutup selagi anak perempuan itu bergantian memandang wajah ayah dan ibunya. Bibirnya bergerak, suaranya tidak terdengar hingga ke tempat di mana kakiku berpijak. Mungkin sangat lirih, padahal tadi aku bisa mendengar jelas suara mereka bernyanyi.

Anak perempuan itu menunjuk sesuatu di atas meja. Namun, perempuan bertubuh tinggi itu berkacak pinggang dan menggeleng. Bibirnya bergerak cepat, sesekali telunjuknya mengarah padaku yang mulai kehilangan asa. Dengan isyarat mata dan gerakan kepala, perempuan itu berkomunikasi dengan laki-laki tambun. 

Aku tahu apa maksud dari gelagatnya, karena setelah itu sang ayah berjalan ke arah jendela kaca, setelah itu aku tidak bisa lagi melihat mereka. Jendela kaca itu kini ditutupi oleh kain tebal. 

Jelas sudah ini waktuku menyerah. Aku menurunkan kedua tanganku dan kembali menapak pada tanah. Berdiri dengan kedua kaki dalam waktu yang lama membuat tubuhku pegal. Tidak ada yang bisa kulakukan, selain duduk, sedikit melakukan pergerakan wajar dan menjilat bibirku dengan kepala menghadap langit luas.

Langit yang gelap, kali ini tidak ada titik-titik berkilau di atas sana. Seakan tak memberiku rasa iba, butiran putih kembali jatuh dari atas.

Sekujur tubuhku gemetar, membuatku harus meregangkannya sesaat kemudian berjalan kembali ke persembunyian. Kulakukan apa yang tadinya kulakukan, tidur dengan menumpukan kepala ke kedua tangan. Berusaha sekuat tenaga memejamkan mata meski rasanya perut bergemuruh menyakitkan.

Apa tidak ada seorang pun yang iba terhadapku? Aku tahu, aku bukan siapa-siapa, mereka selalu memandang sebelah mata padaku yang menghuni sebuah sela di samping sungai bawah jembatan.

Kalau tahu begini jadinya, seharusnya tadi aku tidak mencoba peruntunganku ke sana. Kalau saja tadi kakiku menolak otak kecilku untuk bergerak, pasti aku sudah tertidur lelap sambil bermimpi di lautan penuh ikan. 

Oh, ya … itu mimpi buruk, bukan mimpi indah. Aku tidak pernah menyukai air. 

"Di situ kau rupanya."

Seakan mendapat sinyal yang sangat kuat, kedua telingaku terangkat. Sayangnya, mata dan kepalaku tidak berkompromi. Bisa jadi itu hanya suara khayalan, bukan?

Tunggu, kali ini hidungku bergerak sendiri. Saat itulah aku membuka mata dengan cepat dan mengangkat kepalaku demi melihat ke satu arah.

Makanan!

"Kuharap kau menyukainya, aku mengambilnya secara diam diam."

Perutku semakin bergemuruh, membuatku bergerak tanpa rasa malu menuju arah sosok baik hati tersebut dan menerima pemberiannya. Sesuatu yang tadi berada di meja makannya kini tepat di hadapanku!

Setelah memastikan bahwa apa yang kualami ini bukan mimpi dan apa yang dia bawa bukan imitasi, aku memakannya. Sangat lahap seakan-akan tak ada lagi hari esok!

Lalu, aku mendengar suara tawa kecil. Oh, aku hampir lupa bahwa dia masih ada di sini.

"Kau pasti lapar sekali ya?"

Seharusnya tidak perlu ditanya, bukan? Sudah terlihat dari caraku menyantap apa yang kau bawa. Kemudian, aku merasakan belaian tangannya yang lembut di kepalaku. Hangat … kontras dengan apa yang kurasakan beberapa saat lalu.

"Apa kau selalu ada di sini?"

Aku meliriknya. Oh, dia si anak perempuan yang ada di balik tumpukan beton itu. Dia bercangkung di hadapanku, tersenyum. Sekejap saja aku merasa nyaman dengan sentuhannya, dan kuarahkan kepalaku pada telapak tangannya.

"Apa kau kedinginan? Tunggu sebentar ya … aku akan kembali lagi."

Anak perempuan itu bangkit dan berlari menjauhiku. Aku tidak tahu apa yang akan dia lakukan dan aku … tidak peduli. Aku kembali melanjutkan menyantap makananku yang sempat tertunda.

Saat makananku hanya tersisa tulang, aku kembali ke tempatku berada, memasang posisi yang sama seperti yang tadi kulakukan. Perut kenyang, hati senang, tidur tenang. Bukankah begitu?

"Di mana kau?"

Suara itu lagi. Dia kembali, melihat ke sekeliling dengan raut wajah cemas. Di kedua tangannya terdapat kain yang sepertinya cukup tebal.

"Hefin?"

Hefin? Siapa Hefin?

Tak lama kemudian ia membungkuk dan matanya menatap lurus padaku. Ia tersenyum lebar dengan mata berbinar cerah.

"Di situ kau rupanya!"

Hefin? Dia memanggilku?

Di tengah kebingungan dan kemalasanku, dia datang dan meletakkan kain hangat itu di atas tubuhku. Sekali lagi ia mengusap kepalaku dengan lembut.

"Semoga ini cukup menghangatkanmu. Aku tidak tahu siapa namamu, jadi kau kuberi nama Hefin. Itu cocok sekali denganmu! Kau terlihat seperti musim panas, apalagi kalau kau dibersihkan!"

Baiklah, aku suka Hefin, tapi aku tidak suka mandi.

"Namaku Bella. Mulai sekarang kita bersahabat, ya?"

Aku tidak tahu apa itu sahabat, tapi terdengar menyenangkan. Apa itu bisa dimakan? 

"Bella! Kau di mana? Bella!"

"Oh, ibu sedang mencariku. Kita bertemu lagi besok ya?"

Anak perempuan itu berlari menuju perempuan bertubuh tinggi yang ada di depan pintu. Ia menunduk lantaran perempuan itu lagi-lagi mengarahkan jari telunjuk padanya. Oh, tunggu! Sesaat Bella melirik ke arahku sembari tersenyum, kemudian mengekor di belakang sang ibu. 

Saat Bella tidak terlihat lagi, butiran putih yang turun dari langit semakin banyak. Untung saja kain tebal ini sedikit menghalangi dingin yang menusuk.

Musim dingin, kapan kau berakhir?

Aku memejamkan mata sembari mencoba mengingat-ingat. Namaku adalah Hefin, Bella yang memberiku sebuah nama. Dari sekian lama aku hidup, baru kali ini aku memilikinya. Dia berkata bahwa aku seperti musim panas. Sudah pasti karena bulu tebal yang menutupi tubuhku, terlebih ia berkata sesuatu tentang mandi. Yuck!

Bella. Aku akan selalu mengingatnya, segala kebaikan yang dilakukannya padaku. Tuhan tidak tidur, dia akan mendapatkan balasan kebaikan yang jauh lebih besar dari Tuhan.

Malam itu seakan musim panas menyelimutiku. Rasanya hangat dan menyenangkan. Bayangan Bella yang tersenyum padaku membuat hatiku tentram.

Sayangnya, setelah itu aku tidak bisa bertemu dengannya atau mengetuk jendela kacanya untuk mengucapkan terima kasih. 

Aku hanya bisa melihat onggokan tubuh dengan bulu oranye terang menyembul dari balik kain tebal merah jambu. Tampak tenang dan damai dengan mata terpejam, tak bergerak lagi.

"Hei, apa kau masih ingin di sini?"

Aku menoleh pada sosok hitam yang melayang di sampingku. Aku menggeleng.

"Apa kau menyesal?"

Aku menggeleng lagi, tapi aku menuju ke satu arah di mana Bella berada.

"Apa ada yang ingin kau lakukan?"

Aku menggeleng. Ini lebih baik, bukan? Aku tidak akan membuat Bella dimarahi oleh ibunya lagi. Mungkin suatu saat, ya … suatu saat nanti dia akan menemaniku bermain di halaman langit.


---------------------------------------------

Absurd?
Ya ... memang absurd. Ide cerita yang muncul mendadak seperti tahu bulat. Ditulis dari jam setengah 8 malam. Latihan otak, hehehe

Ada yang bisa menebak dari awal? Kalau iya, Anda memang juara!

Disclaimer gambar : redbubble.com designed by thecatcouch

Terima kasih wga_academy buat event-nya, meski gak wajib tapi lumayan nih buat latian.

See you next event ;)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top