7 : Aku Menemukan Kalian
Seminggu telah berlalu semenjak kejadian terakhir. Selama tujuh hari ini tak ada hal aneh dan tak ada perburuan. Roni hanya pergi bekerja sebagai sopir taxi, sementara Al dan En sibuk mengurus rumah dan melakukan beberapa aktivitas lain.
Alan lebih sering melatih kemampuan fisik akibat dua kali record yang kurang bagus ketika berhadapan dengan 'mereka' yang berusaha melukai dan merebut jurnal keluarganya. Ia terus melatih akurasi bidikan dan juga mempertajam seni bela dirinya yang sempat ia dapatkan dari ekskul sekolah dulu.
Sementara itu Enriko lebih sering menjelajah internet untuk mencari informasi-informasi tentang kejadian-kejadian aneh yang terjadi belakangan ini. Ia juga mempelajari beberapa bahasa guna memperdalam pelafalan mantra.
Menurut jurnal Rudi, makhluk ghaib terbagi menjadi tiga. Yang pertama adalah roh. Roh adalah makhluk tak kasat mata yang berwajah menyeramkan. Mereka tak bisa asal di sentuh karena tak memiliki wujud fisik. Biasanya roh merupakan sisa dari orang yang sudah meninggal dan bergentayangan. Jenis ini biasanya tak bisa menyakiti manusia secara fisik, tetapi mereka dapat menyakiti manusia secara mental dan psikis.
Jenis yang kedua adalah jin, atau sering juga dikenal sebagai siluman. Mungkin Takau dan Anak Sima masuk ke dalam kategori ini. Yang mana, mereka merupakan makhluk sakti yang dapat menyakiti manusia karena memiliki wujud fisik. Tentunya hal sebaliknya berlaku juga pada mereka. Siluman memiliki beberapa wujud seperti binatang buas, atau makhluk kriptid lainnya. Dan—ada juga beberapa kasus di mana manusia pengguna ilmu hitam yang menjalin kontrak dengan iblis termakan oleh kesaktian mereka sendiri, lalu merubah wujud mereka menjadi sosok siluman mengerikan.
Dan yang terakhir adalah pemuncak rantai makanan di alam mereka, yaitu iblis. Iblis merupakan makhluk kuno yang sudah hidup berjuta-juta tahun. Konon mereka sangat jahat dan memiliki keabadian. Iblis merupakan penghuni neraka, beberapa dari mereka turun ke bumi dan membuat kerusakan. Iblis merupakan makhluk yang datang membawa petaka dan marabahaya, mereka adalah simbol bencana.
"Al!" En berjalan agak cepat menghampiri Alan yang sedang berlatih di halaman belakang.
Dilihatnya kakaknya yang sedang berbaring di lantai karena letih. Alan menatap En yang sepertinya menemukan sesuatu. "Lihat ini." En menunjukkan apa yang baru saja ia baca, terutama di bagian akhir.
"Apa?" Tak seperti Enriko yang memiliki pengetahuan luas, Alan lebih menggunakan otot ketimbang otaknya. Sekarang saja, ia sedang memicingkan mata menatap jurnal yang disodorkan adiknya. Berusaha mencari apa yang dimaksud dari kalimat yang sedang ia baca saat ini.
"Iblis mengacu pada petaka dan marabahaya, mereka adalah bencana," jelas Enriko.
"Terus?"
En menggaruk kepalanya, tetapi masih dengan wajah yang serius. "Paman Roni bilang, kalo makhluk-makhluk yang seharusnya menjaga teritori mereka malah muncul di tempat lain, itu merupakan aktivitas ghaib yang enggak wajar. Seharusnya, mereka mendiami suatu wilayah yang menurut mereka adalah rumah atau kerajaan mereka. Menurutmu, kenapa Takau, Anak Sima, Leak, dan entah apa selanjutnya—muncul di sini? Bukannya itu terlalu aneh? Mengingat saat ini mereka jauh dari tanah asal legendanya?"
"Roni bilang bahwa mungkin alam sedang mengisyaratkan suatu pertanda—bencana ...," ucap Alan lirih sambil sesekali menggunakan otaknya. Ia menatap En dengan raut wajah yang berubah, matanya terbelalak seolah menemukan petunjuk. "Bencana?" Al mengulang kembali kata-katanya.
"Di sini tertulis jika iblis merupakan simbol bencana. Apa menurut, kakak...." En mengentikan ucapannya sejenak. "Ini ada kaitannya dengan sesuatu yang ayah buru?"
"Rudi?" Alan mengerutkan dahinya. "Orang itu asing ... bahkan tanpa jurnal yang kamu pegang itu, kita enggak akan tahu kebenarannya. Kita enggak tahu siapa pria itu, En. Jangan memanggilnya ayah ... sebab yang namanya ayah adalah pria yang melindungi keluarganya, bukan malah pergi." Kini mereka berdua bertatapan tanpa kata yang terucap. Hingga sebuah kaleng minuman yang masih berisi terjatuh mengenai kepala Alan. "Aduh!"
"Minum itu, lalu hadapi aku." Roni yang baru saja pulang langsung membuka seragam birunya dan mengambil tongkat kayu di pinggir halaman. "Dalam seminggu ini, apa yang telah kau dapatkan, bocah lemah?"
Alan beranjak dan mengambil tongkat kayu miliknya. "Melempar kepalaku hingga benjol, hah?! Sudah waktunya melampaui paman ini ternyata." Ia berjalan ke arah Roni yang sedang menyalakan rokoknya.
'Cih! Bisa-bisanya orang itu malah menyalakan rokok.'
Alan berlari dengan niat mengalahkan Roni. Memang, selama seminggu ini Alan dan Roni sering beradu argumen dan tak jarang mereka sedikit bermain-main. Kadang menggunakan tangan kosong, dan terkadang menggunakan tongkat kayu.
Roni sudah masuk ke dalam jarak serang Alan. Kini pemuda itu hendak memukul kepala Roni, tetapi om-om itu memutar tubuhnya sambil menendang tangan Alan hingga tongkatnya terlempar. "Jika aku adalah Takau yang menyamar menjadi diriku, sudah pasti kau akan langsung mati!" Ujung tongkat Roni berhenti tepat di depan wajah Alan. "Banyak makhluk yang dapat berubah menjadi manusia, tetapi hanya beberapa yang dapat meniru bentuk fisik manusia lain. Jika kalian menemukan jenis ini, kalian bisa saja terbunuh karena mereka memiliki wujud fisik." Roni kini berjongkok di depan Alan yang berbaring di tanah. "Mereka itu pintar. Menggunakan wujud manusia dan memainkan rasa perikemanusiaan kita. Mereka akan memohon ketika mereka kalah dan hendak dibunuh. Ketika kalian lengah, itulah akhir kalian. Ya, mereka yang akan membunuh kalian." Roni beranjak dan pergi masuk ke dalam rumah.
***
Roni yang baru saja selesai dengan mandi sorenya langsung mengenakan pakaian casual bernuansa biru gelap. Ia mengambil jaket dan juga sebuah tas di punggungnya. Dari dalam tas, terlihat satu benda panjang yang terbungkus kain berwarna putih. Benda itu terlalu panjang, sehingga Roni tak dapat menutup tasnya dengan sempurna akibat terhalang oleh benda itu.
"Mau ke mana?" tanya Alan menatap Roni yang sedang mengambil kunci mobilnya.
"Bekerja," jawab Roni singkat dengan rokok di mulutnya yang belum dinyalakan.
"Kenapa seragamnya enggak dipake?" tanya Al lagi.
Kini Roni menoleh ke arah Alan. "Pekerjaan lain," jawab Roni.
"Mau ke mana kau?" tanya Roni balik ketika melihat Alan beranjak dari duduknya.
"Berburu, kan?" Alan hendak berjalan keluar, tetapi Roni menghadangnya.
"Ya, aku adalah seorang pemburu, tetapi kalian belum siap. Jadi diam di sini dan jangan ke mana-mana sampai aku kembali."
Alan hendak memberontak, tetapi Enriko menahannya. "Untuk saat ini, kita cuma beban kalo ikut dalam perburuan. Paman Roni selalu menolong kita, kan? Dia enggak fokus dalam urusannya kalo harus memburu sambil melindungi dalam waktu bersamaan," tutur En.
Setelah Enriko berhasil meredam emosi Alan, Roni berjalan keluar dan masuk ke dalam mobilnya.
Setelah menceramahi Alan, Enriko berjalan menabur garam di pinggiran dinding dalam rumah. Memang, Roni berpesan pada Enriko, untuk menabur garam sebagai pelindung ketika Roni sedang keluar rumah di malam hari.
"Seharusnya kita ikut, kan?!" ucap Al yang baru saja duduk di sofa. Ia tampaknya belum benar-benar meredam emosinya.
En yang baru selesai dengan urusannya berjalan ke arah Al sambil tersenyum. "Kakak kan penakut sama hal-hal ghaib. Waktu kakak pertama kali bisa ngelihat mereka ekspresi kakak itu lucu. Dan lagi—sejak beberapa kejadian kemarin, kakak selalu berteriak ketika melihat mereka. Kakak bukan tipikal orang yang mau repot-repot sama hal yang kakak kurang minatin, kan?"
Al tak berkomentar, ia hanya memandang wajah En yang tampak sedang meledeknya.
"Kenapa sekarang malah mau ikut paman Roni? Kakak khawatir sama paman Roni, kan?"
"Cih! Khawatir? Mending jilatin garem hitam di pinggiran tembok!" Alan menunjuk garam di pintu yang berwarna hitam.
"Ga-garam hitam?" En menoleh ke arah pintu, ia menatap garam-garam berwarna putih yang mendadak berwarna hitam semua hingga merembet hampir ke seluruh sisi yang ia lalui belum lama ini.
Melihat ekspresi Enriko, Alan menjadi panik. "En ... apa yang terjadi?" Pria itu mulai berkeringat.
Lampu tiba-tiba saja berkedip, membuat dua bersaudara itu saling bertatapan. Belum sempat berkomentar, mereka dikejutkan dengan ketukan pintu yang cukup keras. "Alan! Enriko! Buka pintunya! Cepat!"
Itu adalah suara Roni, ia seakan meminta pertolongan. Ada sesuatu yang membuatnya tak bisa masuk ke dalam rumah. "Hey! Kalian baik-baik saja, kan?! Jawab aku!"
"En, itu Roni. Tampaknya kali ini dia berada dalam masalah ...." Alan berucap dengan berbisik. Al hendak berjalan untuk membuka pintu, tetapi En menarik tangannya.
"Percayalah, apa pun yang berada di balik pintu ... itu bukan Roni."
"Kenapa kamu berpikir begitu?"
"Karena belakangan ini, Roni enggak pernah memanggil kakak 'Alan'. Dia selalu memanggil kakak dengan sebutan—bocah lemah ...," balas Enriko lirih. "Dan, dia enggak pernah pulang disambut dengan garam yang menghitam ...."
"Alan! Enriko! Buka pintu! Aku bisa mati, mereka ada di sini, cepat!" Suara itu semakin keras diiringi dengan gebrakan pintu yang semakin beringas. "Alan! Enriko!"
Tiba-tiba suara itu hilang bersamaan dengan bola lampu yang pecah sehingga membuat seisi rumah menjadi gelap.
"En ... percayalah. Kenapa aku ingin ikut dengan Roni adalah karena aku merasa aman. Dan sekarang orang itu pergi entah ke mana. Jauh dari Roni bikin aku ngerasa enggak nyaman dengan semua keganjilan ini ...," lirih Al.
"Tenang, kalo kita sama-sama, enggak ada hal buruk yang akan terjadi, Kak." Enriko berkata seperti seorang pemberani, tetapi nyatanya ia sedang gemetar. En mengambil jurnal merah milik keluarganya dan mulai mencari-cari halaman diterangi cahaya ponsel. Ketika ia sampai pada satu halaman, En mulai bergumam sesuatu, sepertinya ia sedang membaca sebuah mantra, atau apa pun itu.
Melihat En yang sedang berusaha, Al tak mau kalah. Ia berjalan dan mengambil sebuah pisau di meja makan yang tak jauh darinya, lalu menatap sekelilingnya dengan waspada. Setidaknya, jika itu sejenis jin siluman, Alan bisa menikamnya. Ia berjalan mundur hingga menyentuh punggung En. "Kita saling jaga punggung, En."
"Oke." En menjawab ucapan Al, tetapi posisinya bukan dari belakang, melainkan dari arah sampingnya. Mungkin karena gelap, Al tak bisa fokus melihat, ia hanya berjalan ke arah siluet Enriko dan menghadap belakang untuk menjaga punggugnya dengan sebilah pisau.
"Al! Jangan mengganggu, aku sedang membaca mantra untuk mengusir mereka."
"Mengganggu apa?"
Kini mereka berdua menyadari. Bahwa bukan Enriko yang berada di belakang Alan, dan Alan sedang tak berada terlalu dekat dengan Enriko sehingga ia tak mampu menarik jurnal yang sedang dibaca oleh En.
En refleks merogoh kantong celananya, mengambil sebuah botol yang memiliki lubang di tutup botolnya. Ia menyiram sesuatu yang menarik jurnalnya dengan air itu. Sontak membuat tarikan di jurnalnya menghilang. Air itu berisi air garam.
Sedangkan Alan, memutar tubuhnya dan memukul sesuatu yang berada di belakangnya, tetapi sebelum menyadari itu, sesuatu yang berada di belakang Alan sudah tak berada di sana, membuat pukulannya meleset.
"Huaaaaaa ...." Suara tangisan anak bayi mulai terdengar.
"Anak Sima!" pekik Alan.
"Enriko! Nyalakan ponselmu, aku ingin tahu posisimu!" teriak Alan.
"Ponselku tiba-tiba mati waktu kamu jalan ke meja makan tadi!" balas En.
'Dalam posisi ini, Takau sangat diuntungkan. Dia bisa berubah dan menipu salah satu di antara kita. Dan, jika ia tak berubah, mungkin kita akan saling menyerang karena rasa curiga. Benar kata paman Roni, makhluk-makhluk ini sangat pintar.' Batin En.
"Lari ke halaman! seenggaknya di sana ada penerangan dari cahaya bulan!" teriak Al. Sontak membuat En berlari ke arah halaman.
"En, jangan! Itu bukan aku!" teriak Alan lagi.
En yang sudah berada di luar pintu halaman akhirnya menoleh kembali ke dalam. Pintu tiba-tiba saja tertutup.
"Enriko!" teriak Al dari dalam.
"Menipu manusia itu sangat mudah, ya?" Roni sedang duduk di kursi halaman dengan wajah setengah hancur. "Kau tahu, aku baru saja membunuh pria ini sebelum menemukan tempat persembunyian kalian." Takau yang menjelma menjadi Roni mulai menyeringai.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top