6 : Pertanda
Roni mendatangi rumah kepala desa dengan informasi yang ia dapatkan. Pria itu bertanya tentang rumor yang sedang terjadi di desa tersebut.
"Apa ada seseorang yang sering menyentuh perut ibu hamil? Entah hanya untuk menyapa, atau ingin merasakan hawa kehidupan di dalam perut?" tanya Roni pada kepala desa. Pak kepala desa menggelengkan kepala.
Kepala desa menjelaskan, awal mula terjadinya kasus seperti ini adalah ketika seorang pendatang baru pindah ke desa ini. Roni bertanya tentang orang itu pada kepala desa dan mendapatkan sejumlah informasi.
Sementara En sedang berkeliling desa dan mencari ayam berjengger putih seperti yang dikatakan Roni, tetapi tak ada hewan sejenis itu di sini. Yang ada hanyalah ayam biasa yang terlihat normal.
"Hey, ketemu?" tanya Alan yang datang setengah berlari ke arah En. Enriko hanya menggeleng.
"Sebenarnya untuk apa kita melakukan ini semua?" tanya Alan sambil berjalan di samping En.
"Ikuti saja perintahnya. Dan lagi ... kakak sudah mencari ke seluruh seluk-beluk desa?" tanya En yang mengingat sifat Alan.
"Hehehe." Alan menggaruk kepalanya sambil terkekeh.
Tiba-tiba saja En menendang Alan, sontak membuat Alan menangkis kaki Enriko dengan tangan kirinya. "Kamu gila, Enriko?!"
"Aku sudah tumbuh dewasa, apa tendanganku terasa sakit?" tanya En.
"Ya, lumayan, tapi masih belum cukup kuat."
"Walau pun belum cukup kuat, tetapi harusnya sudah cukup untuk membuat Alan meringis kesakitan." Ia menatap mata Alan. "Karena tangan kirinya sedang terluka."
"Harusnya aku bunuh dulu yang satunya." Alan yang berada di hadapan Enriko menyeringai. "Jadi di mana jurnal itu?"
'Takau?'
Hantu Takau mengejar mereka hingga ke desa ini. Sepertinya makhluk itu mengincar jurnal milik Mira.
***
Sementara itu Alan berjalan dengan perasaan was-was. Perasaannya sungguh tak enak pada kesempatan kali ini. Namun, langkahnya terhenti ketika mendapati ayam berjengger putih.
"Holy shit!" gumamnya. "Terus gimana cara manggil si Roni?! Nanti ayamnya keburu kabur. Nah, masalahnya kalo ditangkep ... ini ayam jadi-jadian." Alan dilema. Ia memang mampu memukuli belasan orang sendirian, tetapi nyalinya ciut terhadap hal-hal berbau mistis.
"PAMAN, ADA AYAM BERJENGGER PUTIH!" teriak Alan hingga terdengar ke seluruh penjuru desa.
Al dan ayam itu bertatapan. Namun, tiba-tiba ayam itu berlari kabur. Alan mengejar ayam itu, hingga ke area perkebunan. Ia masuk ke dalam kebun dan kehilangan jejak ayam tersebut. Alan baru menyadari, bahwa ia berada di tengah kebun dan jauh dari orang-orang. "Yah, elah ... males nih begini," gerutunya.
Alan memutar tubuhnya dengan niat pergi meninggalkan tanggung jawabnya. Ia berjalan agak cepat untuk keluar dari kebun.
"MANTRA APA ENTAH YANG ISTIMEWA, KU PERCAYA SELALU ADA SESUATU DI JOGJA." Mungkin untuk mengusir rasa takutnya, ia malah bernyanyi lagu milik Adhitia Sofyan yang berjudul Sesuatu di Jogja.
Namun, nyanyiannya berhenti ketika menyadari ada sesuatu yang mengikutinya. Suara cakar yang bergesekan dengan pepohonan menambah kengerian hingga membuat Alan meneguk ludah. Ia menoleh ke belakang dan memperhatikan sekitarnya, berharap menemukan musang atau hewan apa pun itu yang menjadi sumber suara tersebut. Hewan, ya begitulah pikirnya.
Sialnya, ketika menoleh kembali. Wajah merah dengan taring-taring yang terlihat buas terpampang di depan wajah Alan. Matanya melotot di tambah dengan rambut panjangnya yang berwarna kekungingan.
"AYAM-AYAM!" teriaknya ketika melihat sosok itu. Alan terjatuh, kakinya gemetar.
Makhluk itu memiliki kuku-kuku yang panjang dan tajam. Ia hendak menyerang Alan, sebelum dari belakang sebuah keris menancap di dadanya. Roni datang diikuti aroma tembakau. Ia mengoyak-ngoyak leher makhluk itu sebelum merobeknya secara vertikal ke atas hingga kepalanya terputus.
"Oke, waktunya pulang." Roni menginjak kepala makhluk itu sambil menikmati hisapan terakhir rokoknya.
"Ma-makhluk apa itu?" tanya Alan.
"Leak," tutur Roni sambil membantu Alan untuk bangun. "Ada seorang pendatang, dia berasal dari Bali. Kalo enggak berselang lama setelah kedatangannya terjadi hal-hal begini, biasanya itu adalah pengguna ilmu hitam, Leak." Roni mengambil beberapa pisau dari kantong celananya. Sebenarnya Alan heran melihat Roni, orang itu seperti senjata berjalan. Ada saja yang ia sembunyikan di balik pakaiannya.
"Buat apa pisau?" tanya Alan ketika melihat Roni sedang menusuk dan memasang benda-benda tajam di leher Leak tersebut.
"Gunanya agar kepalanya enggak bisa balik lagi ke tubuh. Nanti juga dia mati sendiri. Jika kau bertemu makhluk seperti ini lagi, lakukan hal yang sama. Belah kepalanya secara vertikal dari bawah ke atas, Leak akan mati beberapa saat sebelum ia hidup kembali. Jika kau asal potong, itu hanya akan memutuskan kepalanya saja, tetapi masih membuatnya leluasa menyerang." Roni beranjak dari posisinya. "Ayo kembali."
Namun, langkahnya dan juga Alan terhenti sejenak ketika mendengar suara bayi menangis. "Anak Sima?" tanya Alan merinding.
Roni terbelalak, ia segera berlari menuju desa diikuti oleh Alan yang berlari sangat cepat karena adrenalinnya terpacu. "Kau takut dengan Anak Sima, paman?"
"Bukan itu. Sekarang Enriko dalam bahaya! Jurnalnya! Takau mengincar jurnal Mira. Entah apa yang akan dia lakukan. Selama ini makhluk halus tak dapat menyentuh brangkas milik Mira karena telah dimantrai. Tentu saja, ketika jurnal itu keluar mereka akan mengejar pemegang jurnal! Jika suara bayi tadi benar Anak Sima, berarti Takau berhasil mengejar kita!"
Tak ada waktu takut untuk Alan, kini adiknya berada dalam bahaya. Ia merebut keris milik Roni dan berlari meninginggalkan Roni.
'Pantas saja dikejar dengan mobil orang itu tak terkejar, dia orang gila!' Batin Roni yang sudah kehabisan napas.
***
Di sisi lain, Enriko sibuk berlari. Ia mulai berpikir, di mana jantung makhluk terkuat di tanah Banjar itu. Ia berpikir, jika menjadi Takau, akan ia letakkan di mana jantungnya. Ada dua kemungkinan, antara berada di bagian tubuhnya, atau meninggalkannya di suatu tempat.
'Di mana?' Pikirnya berusaha menebak tempat yang diduga merupakan persembunyian jantung Takau.
Seekor kucing hitam berdiri seperti manusia tak jauh di depan Enriko, pemuda itu menghentikan langkahnya. Perlahan sosok kucing itu berubah wujud menjadi Mira. "Enriko, berikan buku milik ibu." Takau berubah wujud menjadi sosok yang sangat dirindukan oleh En. Takau, makhluk itu gemar mempermainkan perasaan manusia.
"JANGAN PERNAH—SEKALI PUN—BERUBAH DALAM BENTUK ITU, BERENGSEK!" Alan tiba-tiba datang dan menikam Takau dari belakang. Ia menusuk setiap bagian tubuh makhluk yang menyerupai sosok ibunya dan berharap menembus jantungnya.
"Alan, Enriko, Minggir!" Suara Roni sudah terngiang-ngiang di telinga mereka berdua. Kini En dan Al patuh dan menyingkir dari Takau yang berusaha meregenerasi tubuhnya.
Roni melempar bola air ke tubuh Takau. Ketika mengenai tubuh Takau, bola itu pecah dan membasahi tubuhnya. Roni kini menyalakan pemantik dan melempar benda tersebut ke arah Takau. "Matilah, bedebah!" Seketika, Takau terbakar hingga menjadi abu.
"Apa dia sudah mati?" tanya Alan.
"Entah." Roni berjalan ke mobil, diikuti oleh kedua anak buahnya.
***
Dalam perjalanan pulang. Alan meminjam jurnal Sagara dan mencari sesuatu. Pemuda itu menemukan apa yang ia cari. Yaitu Leak. Benar saja, semua yang diucapkan oleh Roni persis dengan apa yang tertulis di jurnal itu.
"Kenapa mereka mengincar jurnal ini?" tanya Alan dengan wajah serius.
"Karena di sana tertulis bagaimana cara memusnahkan masing-masing dari mereka. Jurnal itu adalah sebuah tutorial membantai iblis."
"Ibu yang menulis ini semua?" tanya En.
"Bukan, jurnal itu milik Rudi." Roni kembali menunjukan kebiasaannya, yaitu merokok di dalam mobil. "Rudi menyadari sesuatu dan mulai menulis semua ensiklopedia tentang asal-usul dan cara mengalahkan iblis-iblis ini."
"Apa yang ayah sadari?" tanya Alan.
"Entah, aku hanya menerka-nerka," jawab Roni. "Hantu Takau, Anak Sima, Leak ... Normalnya, setiap daerah memiliki legendanya masing-masing di tanah mereka dan itu bukanlah sesuatu yang bisa ditemukan di tempat lain. Namun, munculnya makhluk-makhluk ini di tempat yang tak seharusnya, menimbulkan tanda tanya besar. Seolah alam mengisyaratkan bahwa bencana besar akan segera terjadi, dan Rudi menyadari itu. Jelas ini ada kaitannya dengan keluarga Sagara. Pria itu seperti menghilang dengan memikul beban yang berat."
Alan dan Enriko tak berkomentar mendengar itu.
"Tidak ada jalan untuk kembali. Kalian telah memilih jalan ini. Selamat datang Sagara bersaudara. Alan dan Enriko."
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top