5 : Keluarga Sagara

Matahari hampir keluar dari tempat persembunyiannya. Tepat lima belas menit yang lalu mereka semua tiba di sebuah rumah modern berlantai dua. Kini Alan duduk sambil meringis, sementara Roni membalut lengan Alan yang tertusuk kayu runcing beberapa jam lalu.

Rokok itu masih saja menempel di mulutnya, sepertinya Roni adalah seorang perokok berat. "Udah, selesai." Pria paruh baya itu menepuk lengan Alan yang kini terbalut perban hingga membuat pemuda itu berteriak kesakitan sambil memegangi lengan kirinya. Roni menaruh rokoknya di asbak, lalu membaringkan tubuh di sofa. "Istirahat sana, kalian semaleman bergadang."

Sebenarnya banyak yang ingin ditanyakan oleh Alan, tetapi melihat Roni yang kini merebahkan dirinya sambil menutup mata, Alan mengurungkan niatnya karena tak ingin memngganggu pria itu ketika ia sedang beristirahat.

Di sisi lain, Enriko yang berada di dalam sebuah kamar sedang duduk di kursi belajar. Ia sedang membaca jurnal peninggalan ibunya di atas meja yang sangat berantakan. En bertanya-tanya, kenapa Mira memalsukan namanya dan Alan? Lantas ... apa itu Sagara? Marga? Dan lagi, Rudi ... ke mana pria itu pergi? Kenapa ia dan Mira berpisah? Tak ada jawaban di jurnal itu. Jurnal itu kebanyakan berisi tentang informasi makhluk-makhluk halus. En berpikir, apa pria bernama Rudi Sagara itu menghabiskan waktunya untuk berburu iblis?

"En." Enriko menoleh ketika Alan memanggilnya dari balik pintu kamar. Ia menatap lengan Alan yang terluka akibat menyelamatkannya. Jika saja tak ada Alan, entah ia masih hidup atau tidak.

"Ah, ini." Alan menangkap arah mata Enriko yang sedang menatap lengannya dengan raut wajah bersalah. "Enggak seberapa kok." Ia berjalan masuk ke dalam kamar dan duduk di sebuah tempat tidur.

"Kak." Kali ini En yang memanggil Alan dengan wajah getirnya. "Kalo kakak mau hidup dengan normal, kakak enggak harus ngikutin aku sepanjang waktu kok. Kakak lihat sendiri kan dengan mata dan kepala, kakak? Bahkan luka itu ... itu bukan halusinasi. Kakak pasti paham itu. Ini adalah sesuatu yang berbahaya, kak."

"Nah, maka dari itu." Alan membalas ucapan Enriko. "Seorang kakak enggak akan pernah ninggalin adiknya dalam keadaan berbahaya sendirian."

"Aku udah dewasa, kak. Bisa jaga diri," timpal En.

"Kalo harus milih antara kehilangan kehidupan yang damai dan tentram, atau melepaskan satu-satunya keluarga yang aku punya, jawabannya udah pasti, kan? Aku bakal milih keluargaku," balas Al sambil tersenyum. "Kita akan cari ayah kandung kita, dan mencari kebenaran tentang ibu."

"Kita pecahkan misteri ini bersama," balas En sambil tersenyum.

"Hoi ...." Roni yang berdiri di pintu dengan kantung mata hitamnya tampak terganggu dengan pembicaraan mereka. "Kalo kalian punya banyak waktu dan enggak merasa capek, sini ikut."

Roni berjalan ke halaman belakang, sementara Al dan En mengikutinya. Di sana Roni membuka sebuah box dan mengambil dua pistol. Roni juga berjalan meletakkan dua botol air mineral berisi di atas panggangan barbeku. "Ini pistol peluru angin. Aku mengisinya dengan tiga butir peluru. Kalian punya tiga kesempatan untuk melubangi botol yang berada di sana." Roni menunjuk dua botol yang ia letakkan di ujung halaman. Memang, halamannya tertutup oleh tembok marmer, sehingga tak ada yang dapat melihat kegiatan mereka. "Siapa pun yang gagal, harus memberisihkan rumah. Jika kalian berdua gagal, kalian berdua harus membersihkan rumah."

"Gimana kalo kami berdua berhasil?" tanya Alan.

"Aku yang membereskan rumah."

"Ini kan memang rumahmu, Tuan," timpal Al.

"Ya, dan kalian sedang berada di dalam rumahku." Roni membalik tubuhnya dan berjalan masuk kembali ke rumah. "Aku ingin istirahat sebentar. Setelah aku bangun aku akan memeriksa pekerjaan kalian."

"Cih." Alan berdecak kesal. "Paman itu berucap seolah-olah dia udah menang dari kita, En."

En sudah membidik botol itu dengan kedua tangannya. "Biar pun begitu, orang itu udah nyelamatin kita, Kak. Dan kayaknya dia tahu sesuatu tentang ayah dan ibu. Ayo kita lubangi botol itu dengan peluru bodoh ini."

***

Kini waktu sudah memasuki tengah hari. Roni yang terbangun masih melihat rumahnya berantakan. Ia berjalan ke halaman dan mendapati dua botol yang berlubang.

"Bagaimana?" ucap Alan penuh kesombongan.

"Kenapa rumahnya belum rapi?" tanya Roni balik.

"Paman tidak lihat lubang di botol itu? Kami berhasil."

Memang dua botol itu berlubang, yang artinya En dan Al berhasil. "Kalian pikir aku bodoh?" Roni mengambil dua botol itu dan berjalan menghampiri Al dan En. "Jadi, kalian lubangi ini dengan apa?"

Al tampak berkeringat. "Tentu saja dengan peluru dari pistol yang paman berikan!"

"Ya, benar, tapi aku menyuruh kalian melubanginya bukan dengan cara seperti ini." Roni menghela napas. Ia berjalan ke tengah halaman mengambil satu peluru yang tergeletak di rumput. Kini ia masukan peluru itu ke dalam botol dengan cara menekannya. "Gagal dan melubangi botol dengan entah apa pun itu, kemudian menyumpal lubang di botol dengan peluru agar ukuran lubangnya sama dengan ukuran peluru. Murahan."

"Paman tidak percaya dengan kemampuan kami?" tanya Alan.

Roni tak menjawab. Ia malah berjalan masuk ke dalam rumah. Hal itu memancing rasa penasaran Alan dan Enriko. Paman itu kembali membawa satu botol air mineral, kemudian ia mengisi satu pistol senapan angin itu dengan tiga butir peluru. "Aku mengisinya dengan tiga peluru lagi. Masing-masing kita akan menembak botol itu secara bergantian." Ia memberikan pistol itu pada Alan. "Di mulai dari kau." Roni duduk dan mengeluarkan rokok dari bungkusnya. Ia membakar ujung rokok, lalu menatap Alan yang masih berusaha membidik botol itu dengan satu tangan. Tembakannya meleset.

Berikutnya adalah Enriko. En membidik menggunakan dua tangannya, tetapi seperti Alan, ia juga gagal. Roni menghela napas sambil berjalan ke arah En dan mengambil pistol itu dari tangan Enriko. Pria itu langsung menembak tanpa membidik, masih dengan satu tangan yang memegang rokok.

Botol itu terpental, Roni tepat sasaran. "Hoi, yang paling dongo." Ia menatap ke arah Alan. "Ambil botol itu dan bawa ke sini."

Alan sebenarnya ingin menolak, tetapi karena ia sadar akan posisinya, pada akhirnya Al menuruti perintah Roni.

"Sini, lihat." Roni menunjukkan botol itu pada En dan Al. "Dari jarak segini, peluru beginian enggak akan bisa melubangi botol ini. Paling-paling cuma benyek dikit." Tanpa diperintah, Al dan En masuk ke dalam rumah dan membersihkan rumah Roni.

Roni sadar bahwa mustahil bisa melubangi botol itu dengan peluru karet. Ia hanya menguji kejujuran Alan dan Enriko.

"Yang pertama harus diberesin itu adalah attitude kalian," ucapnya sambil membuang asap rokok.

***

Butuh sekitar satu jam penuh untuk membersihkan rumah yang kotor ini. Kini Alan dan Enriko berdiri di hadapan Roni yang sedang membaca koran. Al berdehem, tetapi Roni tak bergerak dan terlihat masih asik dengan kertas koran yang ia baca.

"Permisi, paman," tutur En sopan.

"Jangan ajak aku bicara saat aku sedang sibuk," ucap Roni.

'Sibuk? Sibuk apa? Dia kan hanya membaca koran?' Pikir Al.

Roni mengeluarkan dompet dan mengeluarkan sejumlah uang, ia memberikannya pada En. "Beli baju dulu sana, habis itu mandi. Kalian terlalu bau."

"Kami tidak punya banyak waktu untuk ini!" bentak Alan yang kehabisan stok kesabarannya.

Roni menutup koran yang ia baca. "Kalian ingin tahu, kan? Tentang keluarga Sagara? Kalo emang iya, jangan membantah."

En menepuk pundak Al sambil menggeleng, seolah menyuruhnya untuk sabar. Pada akhirnya, mereka berdua keluar untuk membeli beberapa pakaian.

Hingga beberapa jam berlalu, Al dan En kembali ke rumah Roni. Setelah itu mereka mandi dan kembali menghadap. Roni menatap En yang tampak lebih segar dengan kaos hitam turtle neck lengan panjang, kini pemuda itu tampak elegan dan terkesan misterius. Sementara Al, ia mengenakan kaos hitam yang tertutup oleh jaket merah, seolah menandakan bahwa ia sedang marah dan terkesan berani.

Roni beranjak dari duduknya dan mengambil kunci mobil. "Oke, kalian lulus." Roni menatap langit yang mulai bertransisi dari terang menjadi gelap. "Sekarang ayo ikut aku."

Al hendak mengoceh, tetapi En menahannya. "Kak ...." Alan menghela napas sambil mengusap dada. Enriko memberikan koran yang dibaca oleh Roni.

Isi koran itu adalah berita simpang siur tentang menghilangnya bayi-bayi di desa yang tak jauh dari lokasi mereka. Rumornya wanita yang hamil di sana akan selalu keguguran jika berada di desa itu terlalu lama. "Menurutmu, apa artinya ini?" tanya En.

"Ayo, kalian membuang waktu ku, berengsek," ucap Roni menggerutu. Tanpa kata, Al dan En berjalan agak cepat mengikuti Roni masuk ke dalam mobil.

"Mau ke mana?" tanya Alan.

"Kerja," jawab Roni.

"Enggak ada tempat buat penumpang." Alan menatap Roni dengan heran.

"Apa kau pikir aku akan menarik taxi dengan kondisi mobil seperti ini?" Memang, kondisi mobil setelah kejadian semalam cukup parah. Kaca samping hancur, begitu juga dengan kaca bagasi, dan lagi--garam bertaburan di mana-mana.

"Orang gila mana yang melempari Anak Sima dengan garam saat makhluk itu hendak membunuhnya," ucap Roni menyindir Alan. "Asal kau tahu saja, garam hanya menangkal dan memperlambat. Tidak bisa membunuh mereka."

"Paman, apa pekerjaanmu adalah seorang pemburu?" tanya En. "Dan, tentang perjalanan kita, apa itu berkaitan dengan desa yang kerap kehilangan bayi mereka?"

Roni tersenyum. "Kau memang pintar, tak seperti yang satunya." Mendengar itu, Alan memasang wajah kesal.

"Sagara ...."

Singkat, tetapi ucapan Roni mampu membuat Al dan En merubah raut wajahnya. "Orang-orang dari keluarga Sagara dikatakan erat hubungannya dengan arwah dan Alam Ghoib."

Alan dan Enriko saling berpandangan. Terbesit sedikit spekulasi tentang kemampuan mereka yang mampu melihat makhluk tak kasat mata.

"Banyak rumor mengatakan bahwa anak-anak Sagara sudah pasti memiliki kepekaan terhadap mereka yang tak terlihat. Hanya menunggu waktu kapan mata itu akan terbuka."

Al dan En diam. Mereka hanya fokus mendengarkan ucapan yang keluar dari mulut Roni. "Mira Sagara merupakan seorang indigo. Enriko Sagara juga begitu, dan lagi--Alan Sagara membuka mata batinnya di usia tujuh belas. Menurut kalian, apakah Rudi juga seperti itu?"

"Tunggu, kenapa, Paman ...."

"Ya," jawab En memotong ucapan Al yang belum usai.

"Tepat. Rudi juga seperti itu, kalian spesial. Tidak seperti aku yang menjadi satu di antara jutaan manusia yang tak sengaja memiliki kemampuan seperti kalian. Ada rumor yang mengatakan, bahwa keluarga Sagara mampu mengendalikan arwah karena dianggap sebagai penghubung dua dunia."

"Paman kenal ayah kami?" tanya En.

"Jika maksudmu Rudi, ya, aku mengenalnya."

"Di mana dia?" tanya Alan.

"Entah, dia sedang memburu sesuatu yang berbahaya."

"Apa itu?" tanya En.

Roni hanya menggeleng. "Apa pun itu, Rudi selalu menanggung semuanya sendiri. Dia orang yang seperti itu." Roni membuka jendela mobil dan mulai merokok. "Satu malam, ia menelponku. Katanya 'tolong bawa kedua putraku ke rumah mertuaku'."

"Dan itu, ketika keluarga kami diserang?" tanya En.

"Ya. Aku tak tahu apa yang terjadi. Yang aku tahu hanya--ketika dia menelponku, sesuatu pasti terjadi. Langkah terbaik ku saat itu adalah mengikuti instruksinya," jawab Roni. "Malam itu ayah tiri kalian membawa kalian padaku yang tepat waktu datang ke sana. Dengan secepat yang aku bisa aku membawa kalian dan kembali ke rumah Mira setelahnya."

"Apa yang terjadi?" Alan tampak sangat antusias dengan cerita yang satu ini. "Hewan buas? Atau ...."

Roni menggeleng. Ia menghisap rokoknya, lalu membuang asapnya keluar mobil. "Yang jelas, itu perbuatan iblis. Ada gambar pentagram yang terpampang di dinding."

"Simbol iblis?" En memasang wajah serius.

"Sebaliknya. Pentagram awalnya merupakan simbol untuk melawan iblis, tetapi para satanis merubah pola pikir itu dan menggunakan pentagram sebagai simbol mereka," jawab Roni.

"Dan alhasil, kini pentagram dianggap sebagai simbol satanis?" tanya Alan.

"Rupanya otakmu masih berfungsi," tutur Roni meledek Alan. "Apa pun yang Mira hadapi, itu adalah sesuatu yang jahat dan sangat kuat."

Roni menghentikan mobilnya ketika memasuki sebuah pedesaan. Untuk waktu yang tak jauh dari maghrib, desa ini terlalu sepi dan terlihat tidak normal.

"Bayi menghilang dan kebanyakan korban merupakan ibu hamil?" tanya En. "Kuyang?"

"Kuyang tak pernah bisa, lupakan dirinya, yang kini hadir di antara kita ...." Al menghentikan guyonannya ketika Roni dan En menatapnya dengan sorot mata yang tajam.

"Ya, itu hanya dugaan awal. Kita enggak akan pernah tahu apa yang akan kita hadapi. Bisa saja itu bukan makhluk halus." Roni berjalan untuk memeriksa area sekitar. "Kalian boleh berpencar, jika menemukan ayam berjengger putih, beritahu aku. Jika bertemu orang mencurigakan, beritahu aku juga."

"Ya, aku menumkannya, tepat di depanku," ucap Alan menatap Roni.

"Ya ... terimakasih sudah memberi tahu." Roni berjalan meninggalkan mereka. Sementara En dan Al berpencar.

.

.

.

TBC


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top