4 : Memburu
'Jika kalian menemukan jurnal ini, sesuatu yang buruk telah terjadi. Kalian memiliki pilihan untuk memilih jalan hidup kalian sendiri. Menjadi manusia normal, atau membantu Ayah kalian untuk memburu.'
Al dan En saling beradu tatap. "Memburu? Ayah seorang pemburu?" tanya Al.
En hanya mengangkat bahu. Sama seperti Alan, ia pun tak tahu-menahu.
'Arif Herlambang bukanlah ayah kandung kalian. Dan nama belakang kalian yang kalian ketahui adalah palsu.'
"Hah?" Lagi-lagi mereka saling bertatapan. "Ayah tiri? Nama palsu?" tanya Alan lagi. En tak berkomentar, ia kembali membaca.
'Alan Sagara dan Enriko Sagara, itulah nama kalian. Putra dari Rudi Sagara dan Mira Sagara. Kalian adalah keturunan murni keluarga Sagara. Jika kalian ingin hidup dengan normal, maka kunci kembali buku ini di dalam brangkas yang kalian berhasil buka, tetapi jika kalian ingin mengetahuinya, kalian tak akan pernah bisa untuk hidup seperti orang normal lagi, tak ada jalan kembali.'
"Mengetahui apa?!" Alan tampak kesal dengan semua teka-teki ini. Ia merebut jurnal itu dan meletakkannya kembali ke dalam brangkas.
"Alan!" Enriko mengambil kembali buku itu. Sementara Alan menatap En dengan wajah bingung.
"Alan? Kamu enggak manggil aku tanpa embel-embel 'kakak'? Apa buku itu membuatmu kehilangan sopan santunmu, En?"
"Kalo kamu mau hidup normal, maka jalan kita berbeda. Aku akan mencari tahu kebenaran di balik kematian ibu," tegas Enriko.
Al menarik kerah baju En dan membanting adiknya ke dinding. "Kamu gila, En?! Apa kamu tahu ini di mana? Aku bangun tidur dan melihat sosok gadis yang berwajah pucat. Setelah itu aku enggak ingat apa-apa, dan berakhir di tempat ini! Ini semua gila! Apa pun yang tertulis di buku itu, ini terlalu berbahaya, Enriko!"
"Malam itu, aku ngeliat manusia berkepala kambing! Kamu itu beruntung, karena enggak bisa ngeliat mereka dan enggak pernah takut akan kehadiran mereka. Makanya kamu bisa tertidur nyenyak setiap malam, tapi aku enggak! Aku enggak pernah bisa tidur nyenyak dengan semua yang ngikutin aku, Alan!"
Alan melepaskan cengkeramannya dari kerah baju En. Ia baru saja mengalami hal gila selama beberapa hari, dan itu yang Enriko alami semenjak ia lahir. Di satu sisi Alan merasakan keresahan Enriko.
"Kamu percaya kalo orang tua kita mati karena serangan hewan buas? Bahkan kita enggak pernah melihat jasad Ibu, Al! Cuma jasad Ayah yang berhasil diidentifikasi," lanjut Enriko. "Kamu mau hidup normal dan seolah enggak mau tahu kebenaran yang terjadi, hah? Aku malu hidup kayak itu. Silakan jadi diri kamu sendiri, dan biarkan aku jadi diri aku sendiri."
Tiba-tiba saja Al menutup mulut En. En memberontak, tetapi Alan menempelkan jari telunjuknya di bibir. "Diam, ada seseorang di sini selain kita ...," bisiknya pada En. Enriko mengangguk sambil mematikan cahaya senternya. Perlahan Alan melepaskan tangannya dari mulut En, mereka mencari tempat yang dapat dijadikan tempat sembunyi.
Pemilik suara langkah kaki itu masuk ke dalam ruangan tempat Al dan En berada, ia menatap brangkas yang terbuka, lalu menyeringai. "Aku tahu kalian di sini."
'Nenek?' batin Al mendengar suara itu. Ya, suara itu adalah suara dari nenek mereka. 'Apa yang dilakukan nenek di sini? Malam-malam begini?'
Dari tempatnya bersembunyi, En menatap Al sambil menggeleng, seolah berkata 'itu bukan nenek'.
Al beranjak keluar dari tempatnya bersembunyi, hal ini membuat En menggaruk kepala sambil menggigit bibir atas. "Alan ...."
"Di mana jurnal itu, Alan?" tanya nenek.
Nenek tampak aneh. Matanya berwarna hitam pekat. Menyadari itu, Alan berbohong. "En pergi membawanya. Katanya dia mau nemuin kebenaran tentang kematian Ibu. Aku mau hidup normal, jadi aku enggak mau ikut-ikutan."
"Lantas." Nenek berjalan ke arah Alan. "Kenapa kau bersembunyi?"
"Lari, Al!" En keluar dari tempat persembunyiannya dan berlari menabrak nenek hingga terjatuh. "Lari! Dia bukan nenek!"
Alan berlari mengejar Enriko yang sudah terlebih dahulu kabur sehabis menabrak sosok neneknya. En terus berlari membawa jurnal di tangan kirinya dan senter di tangan kanannya. Sebuah pintu terlihat diujung jalan, En mendobrak pintu itu bersamaan dengan Al sehingga membuat pintu itu hancur, mereka terjatuh bersama.
Sebuah tangga terpampang di hadapan mereka, En mengantongi senter dan menyelipkan jurnal di sela-sela celananya, sehingga membuat perutnya tampak menggembung. Tanpa basa-basi mereka bangkit dan memanjat tangga itu dengan cepat.
Mereka berada di sisi yang berbeda dengan jalur masuk mereka. Kini Al dan En berada di sumur yang berada di belakang rumah mereka dahulu. Baru saja ingin beristirahat sejenak, tetapi mereka dikejutkan dengan sosok nenek yang tiba-tiba terpental keluar dari dalam sumur dan kini berdiri tak jauh di depan mereka.
"Lari, En!" Al dan En berusaha mencari jalan raya, berharap menemukan kendaraan yang mau mengangkut mereka. Namun, sosok itu mengejar dengan kecepatan yang lebih cepat.
En tersandung akar sehingga membuatnya terjatuh. "En!" Al yang berada di depan kembali untuk menolong En. Jurnal milik Mira terpental dan terbuka, memperlihatkan sebuah halaman dengan gambar yang di print dari internet beserta penjelasannya yang sebagian ditulis dengan tulisan tangan.
Takau.
Itulah isi kertas yang terpampang di jurnal tersebut. Ketika sosok nenek hampir sampai, tiba-tiba sosok gadis berwajah pucat muncul di depan En dan menerjang nenek.
"Gadis itu, kan?" Al ingat betul, gadis itu adalah yang ia lihat sebelumnya. Gadis yang membawa raganya ke tempat itu untuk mengambil jurnal Sagara. "Ini kesempatan, En!" Al hendak berlari, tetapi ia menatap En yang sedang sibuk membaca. "En! Ayo!"
"Takau. Hantu yang biasa ditemui di hutan Kalimantan Selatan. Ia bisa berubah-ubah bentuk. Yang paling sering ia gunakan adalah sosok kucing hitam, karena mudah untuk menyusup ke area perkampungan manusia. Takau juga bisa berubah menjadi wujud manusia," tutur Enriko. "Karena memiliki wujud fisik, Takau dapat dibunuh dengan senjata manusia. Caranya adalah menghancurkan jantungnya." En kemudian menatap Al.
"Kau ingin membunuh makhluk itu?" tanya Al yang hampir kehabisan akal sehatnya. Dibalas anggukan kepala oleh En.
"Aku adalah pemburu mulai saat ini, dan aku mulai paham apa yang aku buru," jawab En sambil berdiri dan menatap sosok Takau yang menyerupai nenek mereka. Hantu jahat itu sedang bertarung dengan sosok hantu gadis berwajah pucat, sepertinya gadis itu melindungi Al dan En.
En mencari-cari sesuatu yang bisa ia gunakan untuk mengalahkan Takau. Ia menemukan sebuah ranting pohon yang cukup tebal. En mematahkan ujungnya dengan agak menyerong, sehingga kini ranting itu memiliki ujung lancip.
"Pergilah, Al. Aku akan mengurus ini dan mencari tahu kebenaran tentang kematian Ibu. Hiduplah dengan normal, semoga bahagia." Enriko berlari ke arah Takau yang sedang disibukkan oleh hantu gadis yang mengarahkan Alan untuk menjemput jurnal milik Mira.
Menyadari En yang berlari ke arahnya sambil membawa kayu runcing, Takau menatapnya dan mengabaikan hantu gadis berwajah pucat. "Apa kau tega, membunuh nenekmu sendiri?" ucapnya dengan nada memelas, seolah-olah itu adalah ucapan yang tulus.
Sesaat En ragu dan memperlambat kecepatannya, tetapi ia menepis pikiran-pikiran itu, lalu berlari kembali dengan sekuat tenaga. "Nenekku tidak bisa melompat keluar dari dasar sumur ke permukaan." En menusuk dada kiri sosok berbentuk neneknya tanpa ragu. "Terimalah kematianmu, iblis jahanam!"
Setelah menusuk makhluk itu, Enriko mulai merasa lemas. Ia menghela napas sambil berlutut di tanah, kakinya gemetar. Ia menarik napas melalui hidung, dan membuangnya dari mulut. Setidaknya ia merasa lega setelah menusuk dada kiri makhluk tersebut. "Semua sudah berakhir malam ini," ucap Enriko mengatur napas.
"Enriko!"
Teriakan Alan membuat Enriko tersadar dari lamunannya. Darah berceceran di tanah. Tubuh En terlempar tak terlalu jauh dari posisinya. Sementara Al memegangi lengan kirinya yang berdarah karena tertusuk kayu runcing.
"Kau pikir jantungku ada di mana, manusia?" Takau berjalan dan mengganti sosoknya dengan sosok pria dewasa. "Jangan samakan aku dengan kalian, manusia rendah." Luka di dada Takau menghilang, kulitnya beregenerasi dan kembali seperti semula.
"Alan!" teriak Enriko ketika menatap Alan. Kakaknya itu baru saja menyelamatkan hidupnya.
"Aku tidak akan pergi ke mana-mana tanpamu, Brader." Alan tersenyum menatap Enriko.
Takau kembali melesat untuk menyerang Alan. Enriko tak memiliki waktu untuk menyelamatkan Alan dari terkaman Takau. Ia hanya mampu melihat semuanya dalam tayangan lambat.
"Tidak ... jangan Alan ...," lirihnya. "JANGAN AMBIL ALAN!"
Suara tembakan dan bau mesiu menghiasi hutan tempat mereka berpijak. Sopir taxi yang mengantar En datang membawa pistol dan menembak Takau. Takau memang belum mati akibat tembakan itu, tetapi ia merasa sakit.
"Ya ampun, dua kali aku menyelamatkan kalian. Apa itu belum cukup?" tuturnya santai dengan rokok yang menempel di mulut. "Lari ke mobil sebelum Anak Sima datang. Bunyikan klakson tiga kali, jika kalian sudah masuk ke dalam mobil."
"Anak Sima?" Enriko memicingkan matanya. Ia menatap halaman sebelah dari cacatan Takau. Matanya terbelalak mendapati ucapan sopir taxi itu berada di halaman jurnal milik Mira. Anak Sima, merupakan anak asuhan Hantu Takau.
Asal-usul dari Anak Sima berawal sejak ratusan tahun yang lalu, ketika seorang perempuan membuang anaknya ke dalam hutan. Perempuan itu membuang anaknya karena ia malu dengan anaknya yang merupakan hasil dari hubungan gelap. Ditinggal di hutan, si bayi tidak meninggal. Ia ternyata dipelihara oleh Hantu Takau, sosok astral yang terkuat di tanah Banjar. Sosok itu begitu menyayangi Anak Sima, ia rela melakukan apa saja untuk melindungi Anak Sima. Takau akan menuruti semua keinginan Anak Sima hingga ia mewariskan sebagian kekuatannya pada Anak Sima.
Dalam asuhan Hantu Takau, Anak Sima diberi makan jantung manusia hingga ia selalu menginginkan jantung manusia yang masih hidup. Sejak saat itulah, legenda hantu Anak Sima yang mengerikan dimulai. Anak Sima akan menjerat korbannya dengan menangis sebelum akhirnya memakan jantung korbannya dari punggung.
"Lari!" teriak sopir taxi itu. Sontak membuat Al dan En berlari menuju mobil taxi yang terparkir di pinggir jalan. Sementara pak sopir menahan Takau.
Ketika hampir sampai di mobil, mereka mendengar suara tangis anak bayi. "En, kau dengar suara anak bayi menangis?" Al menghentikan langkahnya.
"Jangan terkecoh, Kak! Itu adalah Anak Sima!" teriak Enriko yang berada di depan.
"Sial!" Alan merinding mendengar itu dan kembali berlari. Ketika mereka tiba di mobil, En segera masuk dan membunyikan klakson sebanyak tiga kali, sementara Al masuk melalu pintu belakang. 'Aman' Begitu pikirnya sambil bernapas lega ketika duduk di dalam mobil.
"Huaaaaaa."
En menoleh ke kursi belakang. Begitu juga Al, ia menoleh ke kursi sebelahnya. Mereka berdua menatap sosok anak bayi yang duduk di samping Alan.
"WAAAA BANGSAT! KAGET! TOLONG!" Alan mulai berteriak histeris.
Alan yang tampak seperti cacing kepanasan menemukan garam di sela-sela pintu mobil. Ia merauk garam itu dan melemparnya ke Anak Sima. Samar-samar ia mengingat bahwa dulu, Mira sering menabur garam untuk menangkal makhluk halus.
"BANGSAT, PERGI LU! GUA LEMPAR-LEMPAR GAREM NIH! ASIN-ASIN LU, BAYI ASIN!" Alan terus melempari Anak Sima dengan garam, hingga membuat bayi kecil itu menangis dengan wajah marah. Gigi taringnya sangat menyeramkan. Makhluk itu hendak menerkam Alan, tetapi kaca jendela mobil tiba-tiba pecah dan sebuah peluru bersarang di kursi mobil. Takau menarik Anak Sima dari tembakan si sopir barusan.
"Mobil ini penuh dengan senjata, loh." Sopir taxi itu menyeringai menatap Takau dan Anak Sima. Ia mengambil sebuah shotgun di bawah kursi mobil. "Yang ini menggunakan peluru perak. Matilah!" Ia menembak Takau hingga terpental keluar mobil melalui kaca bagasi yang pecah akibat daya hancur shotgunnya. Setelah itu, ia lekas masuk ke dalam mobil dan pergi dari tempat itu.
Al dan En menatap sopir itu, tetapi tak berani membuka pembicaraan. "Waktu kalian kecil, ayah kalian menitipkan kalian padaku untuk dibawa ke sebuah alamat. Sekarang, kalian berulah kembali dan merepotkanku untuk yang kedua kalinya." Ia menghisap rokok dan membuang asapnya keluar mobil.
Mobil terus melaju ke rumah nenek Al dan En, tetapi sopir itu tak berhenti di sana. Rumah nenek dipenuhi banyak orang. Ada garis polisi yang melintang di area tempat tinggal mereka.
"Nenek!" Al berusaha keluar, tetapi sopir taxi itu tak membiarkannya, dan mengunci pintu lewat tombol depan. Alan mengucurkan air matanya sambil terus menatap ke arah sana, ia melihat jenazah yang tergeletak ditutupi kain berwarna putih. Jenazah itu mengenakan sebuah cincin yang sangat Al kenal. "En, itu nenek, En! Berhenti, woy!"
Alan menatap Enriko yang tak kalah deras mengucur air matanya. Adiknya itu menutup matanya sambil menahan isak. Ketika mereka berdua pergi, sesuatu pasti terjadi di rumah nenek.
"Maaf ...." Hanya itu yang terlontar dari mulut si sopir. "Roni. Kalian bisa panggil aku Roni." Sambil memperkenalkan dirinya, Roni membuang putung rokoknya keluar dan melanjutkan perjalanan, membawa Al dan En menuju kelam yang lebih pekat dari hitam.
Sejuta tanda tanya terlintas di benak Alan, tetapi ketimbang mengisi lapar akan rasa penasarannya, ia lebih memilih untuk diam dan berduka malam ini.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top