3 : Catatan Mira
Semenjak ulang tahunnya yang ketujuh belas, Alan sering mendengar bisikan-bisikan dan juga tak jarang melihat penampakan. Ia mulai bertanya-tanya, apakah ini yang selalu dilihat oleh Enriko? Atau murni hanya sebatas halusinasinya saja.
Rasanya Al ingin bertanya, tetapi ia enggan untuk menyinggung hal tersebut. Semenjak itu pula, Alan jarang berkumpul dengan teman-temannya, terutama di malam hari. Banyak hal yang berubah dari sikapnya.
Tentu saja, Enriko menyadari perubahan kakaknya, tetapi ia juga tak ingin menyinggung masalah apa yang sedang dialami oleh Alan. Enriko hanya menunggu waktu yang tepat, saat Alan sudah siap untuk bercerita perihal masalahnya.
"En."
Enriko yang sedang asik bermain game, menoleh ke arah Alan.
"Apa selama ini, yang kamu lihat itu menyeramkan?" tanya Alan.
Enriko paham, ke mana arah pembicaraan ini. Ia juga bukan anak yang bodoh, jika Al bertanya tentang hal yang tak pernah ia tanyakan, berarti ada suatu hal yang mengganggunya, dan itu pasti berkaitan dengan apa yang ia tanyakan.
"Enggak melulu." Ia mematikan permainannya dan duduk bersender pada dinding kamar. "Mereka ada yang serem, ada juga yang biasa aja, bahkan ada juga yang baik. Sama seperti manusia, mereka beragam."
"Dulu waktu kecil kamu selalu takut, tapi sekarang kamu udah enggak pernah keliatan begitu." ucap Al. "Kamu udah gede ternyata."
"Bisa karena terbiasa. Bukannya udah enggak takut, tapi yang aku pelajari adalah--mereka memakan rasa takut manusia dan menjadikan itu sebagai kekuatan. Makanya, aku bersikap biasa aja, meskipun terkadang aku takut." En mulai menatap tajam ke arah bola mata Al. "Tumben ngomongin beginian. Kenapa, kak?"
"Enggak apa-apa, cuma penasaran." Al menarik selimut dan merebahkan dirinya di kasur. "Tolong matiin lampu, En."
***
Beberapa jam berlalu setelah Alan memejamkan mata. Kini waktu hampir berada di titik yang paling kelam, yaitu tengah malam. Tiba-tiba ia terbangun dari tidurnya karena mendengar bisikan-bisikan yang sangat mengganggu. Alan terduduk dan melihat siluet seorang gadis di depan jendela kamar. Gadis itu tampak sedang memperhatikan Enriko yang terlihat seperti memberontak.
"En!" Alan berlari menyalakan lampu. Ia menatap En yang tampaknya sedang bermimpi buruk. Sosok siluet gadis itu menghilang bertepatan ketika cahaya menerangi kamar. Al berusaha mencari, tetapi sosok itu benar-benar menghilang. Ia kembali fokus untuk membangunkan adiknya.
"Enriko! Bangun, Enriko!"
En terbangun dengan napas terengah-engah, Al keluar untuk mengambilkannya segelas air. "Minum dulu nih," ucapnya ketika kembali ke dalam kamar. En mengambil gelas itu dan meminumnya.
"Kamu mimpi apa, En?" Ini pertama kalinya Alan bertanya perihal mimpi adiknya. Biasanya pria itu hanya sekadar bertanya 'Mimpi buruk?'
"Mimpiin ibu," jawab En. "Entah, aku merasa kayaknya ibu berusaha buat ngasih suatu pesan, tapi enggak jelas."
Al memicingkan mata. "Pesan?"
Wajahnya terlihat getir. Sejenak Alan menghela napas, kemudian ditatapnya Enriko dalam-dalam. "Kamu pasti mikir aku ini gila. Sehabis sakit waktu itu, aku sering ngelihat penampakan. Entah itu halusinasi, atau memang itu mereka yang biasa kamu lihat. Dan barusan, aku lihat siluet cewek lagi berdiri di deket kamu, persis di samping jendela."
"Silut cewek?" Kini giliran En yang memicing.
"Enggak tahu, yang jelas ketika dia ngeliatin kamu. Kamu keliatan lagi ngalamin mimpi buruk."
"Kayak apa sosoknya?!" tanya En. "Ibu?!"
Al menatapnya heran. "Kamu percaya sama apa yang aku bilang?"
"Ya! Aku percaya, kak," jawab En. "Aku percaya!"
Al hanya diam menatap netra adiknya. Beberapa saat tak ada kata di antara mereka, hingga Al memulai kembali percakapan. "Terlalu gelap. Aku enggak bisa mastiin."
En menghela napas sambil membanting tubuhnya ke kasur. "Apa yang kakak lihat itu nyata. Banyak kejadian di mana seseorang menjadi indigo karena suatu insiden, salah satunya karena pernah dirasuki."
"Serius?!"
En hanya mengangguk merespon pertanyaan Al. "Tapi aku punya firasat, ada sesuatu di balik ini semua. Tentang mimpi buruk yang menghantui aku selama bertahun-tahun, dan tentang pengelihatan kakak yang enggak sengaja aktif di usia yang baru aja matang. Dan lagi, aku juga berpikir bahwa ini adalah skenario. Ya, ada sebuah skenario yang membuat kakak pada akhirnya jadi kayak aku."
"Skenario?" Al melipat kedua tangan dan meletakkan di depan perutnya yang datar.
"Sesuatu yang membuat kakak bisa melihat dia. Ya, dia yang selalu membawa pesan kelabu lewat mimpi-mimpiku," jawab En. "Aku merasa bahwa ini semua saling terhubung, seakan alam mengisyaratkan bahwa kita harus memecahkan pesan itu."
"Entahlah, mungkin aku masih sakit. Nanti kalau udah sembuh juga enggak akan ngelihat yang beginian lagi." Al merebahkan dirinya, ia menarik selimut dan memutar tubuhnya membelakangi En.
Enriko hanya mampu melihat punggung kakaknya yang sedang berusaha untuk tertidur, lalu mengikuti jejak Al untuk kembali ke alam mimpi.
***
Memang, bulan-bulan ini sudah memasuki musim pancaroba, di mana cuaca hari-hari belakangan sangatlah ekstrim. Sudah beberapa hari ini hujan terus mengguyur Bumi. Tak jarang angin dan petir meluluhlantakkan beberapa pepohonan di kota.
Gelagar petir membangunkan Alan dari tidurnya. Ia menatap seorang gadis sedang berdiri di depan jendela sebelahnya, gadis itu tampak sedang menatap Al. Sosok itu merupakan siluet yang sebelumnya muncul di dekat En. Kali ini ia berdiri di tepat di sebelah Al dengan wajah yang lebih jelas, membuat Al bergidik ngeri dan sontak berguling hingga jatuh di antara tempat tidurnya dengan En.
Al tak berani menatapnya, ia hanya terdiam dengan tubuh gemetar.
"Ikutlah denganku ...," lirih sosok itu.
Suara jendela yang terbuka dan tampias air hujan yang masuk karena angin kencang membuat Enriko terbangun dari tidurnya. Gelagar petir terdengar nyaring membuat En menutup telinganya sambil menatap ke arah jendela yang berada di samping tempat tidur Alan. Keningnya mengerut.
"Al?" Ia menatap Alan yang sedang berdiri di depan jendela. Tubuhnya basah akibat terpaan hujan angin yang beringas. "Ngapain, Al?"
Alan tiba-tiba memanjat jendela dan melompat keluar tak menghiraukan Enriko.
"Alan?!" En segera beranjak dari tidurnya. Ia berlari menuju jendela dan mendapati Alan yang berlari begitu saja entah ke mana. "Tidak, tidak, tidak. Kalian tidak boleh mengambil keluargaku lagi. Alan satu-satunya saudara yang aku punya!" En segera melompat keluar dan mengejar Alan.
"Alan!" Enriko terus meneriaki nama kakaknya, tetapi Alan tak sedikit pun menoleh seakan ia tak mendengar panggilan En dan terus berlari.
'Sleepwalking?' pikir En sambil mengerutkan dahinya, tetapi rasanya tak beres jika itu hanya sebuah gejala sleepwalking biasa. Alan jelas-jelas berlari dengan kecepatan yang tak wajar. Sebelumnya ia juga membuka jendela yang terkunci dan melompat keluar. Kini jaraknya semakin jauh dengan Alan, seolah kakaknya berlari kencang tanpa kenal stamina. En terjatuh di aspal jalan dengan napas terengah-engah.
Sebuah mobil taxi berhenti di belakangnya, sopirnya keluar dan berlari untuk menolong En yang tergeletak di depannya.
"Pak, di depan ada orang yang sedang berlari, tolong bawa saya dan kejar dia." Enriko memohon pada sopir itu sambil memegangi dadanya yang sesak. Akhirnya sopir taxi itu membawa Enriko bersamanya.
Sepanjang jalan mereka melaju dengan kecepatan yang lumayan kencang, tetapi jejak Al sama sekali tak terlihat, orang itu berlari terlalu brutal. Mungkin jika ini adalah sebuah perlombaan internasional, Alan akan menjadi juara dunianya.
Hingga jalan yang En lewati, membawanya pada perasaan nostalgia. Ia berada di jalan menuju rumah lamanya dipinggiran hutan cagar alam yang lebat dengan nuansa hutan hujan tropis. Enriko dapat menerka-nerka, ke mana perginya Alan.
"Berhenti, pak!" seru Enriko sehingga pak sopir memberhentikan mobilnya secara mendadak. En keluar mobil dan berlari mengikuti sebuah jalan setapak yang menghubungkan dengan rumah lamanya.
"Woy, Bocah! tunggu!" teriak pak sopir.
Benar saja, Enriko melihat Al yang sedang berlari, tetapi kecepatannya berkurang. Ia langsung mengikuti kakaknya masuk ke dalam hutan. Mereka saling kejar-kejaran di hutan, hingga melewati jembatan merah yang pernah membuat Enriko kerap merasa ketakutan ketika masih kecil.
Alan berhenti di depan sumur tua, tempat kegemaran En bersembunyi ketika mereka bermain petak umpet dahulu. "Alan! Berhenti!" En berteriak sekeras mungkin memanggil Alan. Alan menoleh ke arah Enriko, sesaat sebelum ia melompat ke sumur tua itu. Sementara Enriko terbelalak mendapati bola mata kakaknya yang berwarna putih total.
'Alan kesurupan?'
Enriko yang baru saja berhasil memegang pinggiran sumur yang terbuat dari batu itu langsung menoleh ke dalamnya. "Alan!" Ia berteriak ke dalam sumur, tetapi hanya pantulan suaranya saja yang kembali. "Berengsek!" Enriko masuk ke dalam sumur dengan hati-hati. Karena ukurannya yang sempit, En menggunakan tangan dan kakinya yang menempel di dinding sumur untuk bergerak turun secara perlahan.
Sesampainya di dasar sumur, ia melihat sebuah terowongan. Sepertinya Alan bergerak ke sana. Enriko berjalan masuk ke dalam terowongan tersebut. Ia menyusuri terowongan hingga menemukan sebuah ruangan dengan pintu terbuka. 'Alan pasti di sana.' pikir En dan segera menyusulnya.
Benar saja, Al ada di dalam ruangan itu berdiri di tengah ruangan, berdiri membelakangi En. Menyadari Enriko berada di belakangnya, Al menunjuk sebuah brangkas besi, kemudian ia terjatuh tak sadarkan diri.
Hal pertama yang Enriko lakukan adalah berlari ke kakaknya yang terkapar di tanah. Dari tangan Alan berguling sebuah senter kecil. Setelah memastikan detak jantung kakaknya, En berusaha membangunkan Alan, ia juga mengambil senter kecil yang terlepas dari tangan Alan.
Karena Al tak kunjung bangun, En menyenter ruangan itu. Dan hal pertama yang ia sorot adalah brangkas besi yang sempat ditunjuk Alan sebelum ia tak sadarkan diri. Di hadapannya, berdiri sebuah brangkas tua yang terbuat dari besi, benda itu penuh dengan huruf aksara jawab kuno. Ia berjalan ke lemari itu dan menyentuhnya, brangkas itu memiliki tiga digit sandi. En memejamkan matanya, berusaha merasakan tekstur dari lemari itu.
Sekelibat visualisasi terlintas dibenak En. Mira, ibunya, pernah datang ke tempat itu. Ia tampak tergesa-gesa dan meletakkan sesuatu di dalam sana. Mira mengunci berangkas tersebut dan langsung pergi begitu saja. Dalam gerakan lambat, visualisasi tersebut berfokus pada angka-angka yang menjadi sandinya.
"1-8-4," ucap En sambil membuka matanya kembali. Ia mencoba membuka brangkas itu. Dan BINGGO! Brangkas tersebut berhasil terbuka. Tak ada yang terlihat berharga di sana. Hanya sebuah buku tua yang terlihat usang.
En mengambil buku itu dan meniup debu yang menutupi sampulnya. "Jurnal Sagara ...," gumam En lirih. "Ini pasti cacatan ibu." Ia berjalan ke sebuah meja dan mulai membuka buku tersebut. Ada sebuah foto menarik di dalam buku itu. Foto Mira, Alan, Enriko, dan seorang pria yang bukan merupakan ayah mereka. 'Siapa pria ini?' batin En sambil menatap wajahnya yang terlihat mirip dengan Alan.
"En." Alan terbangun dan menatap seluruh ruangan aneh yang terlihat gelap ini. "Di mana ini?"
"Banyak hal terjadi. Intinya, kita jauh dari rumah nenek," jawab En.
Alan berjalan menghampiri En yang sedang berdiri sambil membaca sebuah buku tua. Ruangan gelap itu hanya diterangi oleh sebuah senter kecil. "Buku apa itu?" Al masih tampak mencerna semua hal aneh ini. Ia berada di tempat yang entah di mana, dan En yang sedang fokus membaca. Mungkin, ia pikir ini salah satu mimpinya. Namun, itu semua sirna ketika ia mencubit dirinya sendiri dan merasakan sakit.
"Ini jurnal ibu, Al."
Alan agak menggeser tubuh En sehingga ia juga mendapatkan vision untuk membaca jurnal tersebut.
'Jika kalian menemukan jurnal ini, sesuatu yang buruk telah terjadi. Kalian memiliki pilihan untuk memilih jalan hidup kalian sendiri. Menjadi manusia normal, atau membantu Ayah kalian untuk memburu.'
Al dan En saling beradu tatap. "Memburu? Ayah seorang pemburu?" tanya Al.
En membalasnya dengan mengangkat bahu sambil menggelengan kepala.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top