21 : Komite Pemburu Nasional
Bandung.
Akhirnya empat roda karavan yang berputar membawa keempat manusia itu ke ujung perjalanan. Mereka tiba di depan markas Komite Pemburu Nasional. Dari ekspresinya, tentu bukan seperti yang Alan harapkan.
"Rumah joglo?" tanya Alan.
Adi tersenyum. "Julang Ngapak," balasnya, "salah satu rumah tradisional Jawa Barat."
Irvan menertawakan ekspetasi Alan. "Kalo yang di Jakarta baru gedung pencakar langit. Jangan berharap banyak sama kantor cabang."
Mata Enriko menyipit. "Cabang? Berarti ...."
"Komite punya tiga kantor. Pusatnya di Jakarta, cabangnya di Bandung sama Jogja," celetuk Irvan. "Meskipun punya tiga kantor, tapi anggotanya enggak sebanyak yang kalian pikirin. Makanya antar pemburu Komite itu biasanya saling kenal. Kayak gua sama Adiwangsa."
"Van Helsing!" teriak seorang gadis muda dengan penampilan yang anggun, dari arah gerbang utama.
Alan tertegun melihat wajah cantiknya. Rambutnya yang panjang terurai membuat ia semakin manis di mata Alam. "Oi, siapa itu?"
"Maya Safitri," jawab Irvan. "Pemburu tingkat atas."
"Dia juga bisa berburu?" tanya Enriko.
Irvan menggeleng. "Maya punya kemampuan indra keenam yang kuat. Dia mampu mendeteksi keberadaan setan, melacak energi supernatural, dan membaca tanda-tanda gaib."
"Meskipun tidak punya keterampilan bertempur, tapi kemampuannya sangat diakui di Komite," tambah Adi.
"Bisa enggak sih enggak usah heboh," ucap seorang wanita berpakaian serba hitam yang terkesan misterius. Ia memiliki rambut panjang dan gelap yang disanggul rendah. Tatapannya yang tajam memiliki daya pikat tersendiri untuk Enriko.
"Wah, wah, udah pada balik kanan nih," sambung seorang pria muda berpenampilan trendi, dengan kemeja lengan pendek di padu celana pendek dan sepatu keluaran Vans. Pria itu memiliki postur tubuh yang tinggi, terlihat kuat, dan berotot. Ia memiliki kulit yang gahar dengan tato-tato kecil yang terlihat di lengan dan punggung tangannya.
Bersamaan dengan si pria garang, seorang pria bertubuh kecil dengan potongan rambut tipis berkacamata muncul. Ia tak berbicara seperti yang lain, dan hanya berfokus pada mobil karavan Sagara bersaudara.
"Selamat datang," sambut seorang pria yang lebih tua daripada semua yang datang menyambut.
Irvan dan Adiwangsa menundukkan kepala pada pria tersebut. "Kami sudah menyelesaikan tugas yang Raden berikan," ucap Irvan.
Pria yang dipanggil Raden itu tersenyum. "Aku tahu kalian mampu. Masuklah, kalian pasti belum makan, kan?"
"Siapa dia?" tanya Alan.
"Menunduk bodoh!" Irvan menginjak kaki Alan hingga membuat pria itu melompat kesakitan. "Dia itu Komandan tertinggi di Bandung, Raden Wiratama."
Raden Wiratama memiliki kulit yang terawat dengan sedikit kerutan di sekitar matanya, menunjukkan tanda-tanda usia yang bijaksana. Ia memiliki janggut pendek yang terpelihara rapi dan memakai pakaian tradisional dengan aksen Jawa.
"Siapa mereka?" tanya pria gahar.
Irvan maju satu langkah dan mengabaikan pria itu. Matanya menatap tajam ke arah Raden Wiratama. "Saya membawa dua orang yang potensial sebagai pemburu. Saya sudah dua kali bertemu dengan mereka. Pertama ketika di Cianjur menghadapi hantu Banyu, dan juga malam malam ini di Padalarang ketika berhadapan dengan kawanan Mariaban. Saya mohon pertimbangkan mereka menjadi bagian dari Komite."
"Jadi mereka orangnya ...." Raden Wiratama berjalan menghampiri keempat orang yang baru saja tiba dengan mobil karavan. "Pemburu yang diburu Iblis."
Alan dan Enriko meneguk ludah. Aura orang yang satu ini berbeda. Ia tampak tenang, tapi di satu sisi memancarkan kengerian tersendiri.
"Siapa nama kalian?"
"Alan Sagara," ucap Al.
"Enriko Sagara," sambung En.
Mendengar nama belakang mereka, semua mata berkedut, kecuali Raden Wiratama.
"Sagara ...," lirih Irvan. Sepertinya pemuda itu tak tahu siapa yang ia bawa.
Raden tersenyum. "Irvan, perkenalkan semua yang ada di sini pada kedua Sagara bersaudara ini."
Irvan menatap Alan dan Enriko. "Gua enggak akan ngenalin Adiwangsa lagi." Kini ia berjalan ke arah gadis misterius yang menawan pandangan Enriko.
"Rani Wijaya," ucap Irvan memperkenalkan gadis itu pada Alan dan Enriko. "Dia seorang penghafal yang bisa merapalkan mantra-mantra kuno buat ngusir roh jahat. Selain itu, Rani paham tentang ramalan."
Kini ia berjalan ke arah pria kekar. Meskipun tubuhnya lebih besar, tapi pria itu seiusia dengan Al dan En. "Bima Pratama. Dia terampil di pertempuran jarak deket. Kalo lawannya jenis siluman, udah enggak diraguin lagi, mungkin Bima masternya."
Irvan kembali berjalan hingga berada tepat di depan pria berkacamata. "Andi Santoso. Orang paling ahli teknologi di Komite. Dia punya keahlian gabungin teknologi sama pengetahuan gaib, kayak bikin alat-alat canggih modelan kamera infrared, perangkat pendeteksi energi spiritual, dan perangkat elektronik khusus untuk berinteraksi dengan roh."
"Yang ini?" Alan menunjuk Maya.
"Tadi kan udah," balas Irvan.
"Lagi."
Irvan menghela napas. "Maya Safitri. Punya indera keenam yang kuat. Dia bisa mendeteksi keberadaan roh, ngelacak energi supernatural, dan membaca tanda-tanda gaib."
Arah tatap Enriko dan Alan berpindah pada seorang yang belum dikenalkan secara rinci oleh Irvan. Menydari arah tatap mereka, Irvan menoleh ke arah Raden.
"Beliau adalah Raden Wiratama, Komandan tertinggi di Komite cabang Bandung. Sekian."
"Berarti di dalam Komite sendiri ada pangkat dan jabatan?" tanya Enriko kritis.
"Komite punya pangkat tersendiri. Ada Ketua, Komandan, Kapten, sama perwira," jawab Irvan. "Ketua itu orang yang mimpin keseluruhan cabang, kalo Komandan itu orang yang memimpin cabang, dan Kapten memimpin perwira."
"Tugas perwira?" tanya Alan.
"Memimpin diri sendiri," jawab Irvan.
Perbincangan selesai. Kini Al, En, Irvan, dan Adiwangsa berjalan masuk. Mereka langsung menuju meja makan besar yang tampak seperti meja meeting. Di meja itu duduk seorang pria paruh baya yang sedang merokok ditemani segelas kopi. Ia mengenakan jaket varsity berwarna hitam dengan lengan putih yang memiliki ukiran aksara jawa di punggung tangan dan bagian punggungnya.
Irvan menatap pria itu, lalu kembali menatap Al dan En. "Alan, Enriko, perkenalkan ...."
"Hendra Permana," potongnya dengan suara berat memperkenalkan diri.
Begitu Raden Wiratama datang, pria itu langsung bangkit, tetapi bukan untuk memberikan hormat.
"Pak tua, aku ambil dua anak ini," ucapnya.
Al dan En memicing. Wajar, pria itu sedang menunjuk ke arah mereka berdua.
Irvan dan Adiwangsa berjalan meninggalkan Al dan En yang berhenti. Kedua orang itu kini sibuk mengambil makanan di meja makan, sementara Alan dan Enriko masih berdiri mematung berusaha memahami situasi.
"Ambil apa?" tanya Alan.
Hendra mendekat pada Alan dan Enriko, lalu merangkulnya sambil menyeringai. "Bagaimana, Pak tua?"
Raden menghela napas. "Kau yakin, Hendra?"
"Yakin apa?" tanya Alan yang masih bingung.
"Let's go kids, prepare yourselves, we're going to Jogja," ucap Hendra.
Alan melepaskan rangkulan sok akrab itu. "Apaan sih?"
Hendra mengerutkan kening. "Kalian mau jadi pemburu, kan?" Tatapannya mengintimidasi Alan dan Enriko.
"Ya, kami mau jadi pemburu," balas Enriko dengan sorot mata yang tajam.
"Kalian pikir bisa masuk begitu saja? Untuk bergabung dengan Komite, ada penilaiannya. Ada dua metode, tapi tidak semua orang mendapatkan metode kedua. Pertama, kalian akan melewati berbagai macam tes dan ujian. Atau yang kedua—kalian akan dipantau seorang Kapten. Tergantung potensi kalian, nantinya Komite yang memutuskan berdasarkan penilaian si Kapten."
"Jadi, paman adalah seorang Kapten?" tanya Enriko.
Hendra terkekeh. "Ya, sama seperti Roni."
Mendengar nama Roni, Alan dan Enriko merinding. Tak seperti Irvan, rupanya ada yang mengenal Roni di tempat ini. Langkah mereka berdua datang ke Komite Pemburu Nasional sangatlah tepat. Meskipun hanya selangkah, tapi sudah cukup untuk memantapkan mereka, bahwa perjalanan mereka menemui kemajuan.
Tatapan Hendra berubah menjadi tatapan miris. "Aku paham, kalian punya banyak pertanyaan di kepala kalian, tapi simpan saja itu semua. Pertama-tama kalian makan malam dulu, setelah itu kita berangkat."
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top