17 : Precognitive Dream

"ALAN!" teriak Enriko. "ALAAAAN!"

"Oi, merindukan, ku?" ucap Alan yang sedang duduk menggunakan laptop sambil membuka jurnal. Ia sama sekali tak menoleh ke arah En, hanya sekadar membalas teriakan En yang memanggil namanya.

Enriko bangun dan terduduk dengan napas terengah-engah. Keringatnya bercucuran secara tak wajar. Ia memandang ke arah Alan. Merasa diperhatikan, Alan menoleh ke arahnya. "Apa?" Enriko tak menjawab, ia terlihat seperti orang ling-lung.

Alan mengambil botol air mineral yang berada di atas meja, lalu melemparnya pada Enriko. "Tangkep." Enriko secara refleks menangkap botol itu. "Minum dulu sana," lanjut Al.

Setelah melihat En yang sudah agak tenang dari pantulan layar laptopnya, Al tersenyum. "Mimpi buruk?"

"Ya," jawab Enriko sambil beranjak dari kasur. Ia berjalan ke arah Alan dan melihat apa yang sedang kakaknya kerjakan dengan sebuah laptop. "Jelangkung?" En memicingkan matanya, tepat ketika melihat apa yang sedang dicari oleh Alan.

"Ya, mainan anak-anak ini cukup ngerepotin kayaknya," jawab Al. "Ada desa yang enggak jauh dari sini. Seorang anak SMA meninggal, kemungkinan besar karena bermain Jelangkung."

"Kenapa bisa yakin karena Jelangkung?" tanya En.

"Karena mereka main bertiga, dan salah seorang di antara mereka juga dihantui."

"Bentar ...." En memasang wajah serius. "Apa orang yang kamu maksud itu pake kacamata?"

Seketika itu, Al menoleh ke arah En dengan ekspresi bingung. "Ya, dia pake kacamata. Tau dari mana?"

En mengangkat bahunya. "Entah, cuma tebakan." Ia kemudian mencondongkan tubuh ke depan. "Apa dia juga tau tentang kegunaan lain dari garam kasar? Dan ... dia tahu nomor ponselmu, Kak?"

"Aku memberikannya sekantong garam kasar, dan aku juga memberikan nomor ponselku." Alan kini memutar seluruh tubuhnya menatap En. "Apa itu ada kaitannya dengan mimpi burukmu barusan, Tuan cenayang?

"Ya, ada."

***

Jingga keemasan. Itu adalah warna transisi dari sore menuju malam. Di balik keindahan senja, ada hal menyeramkan yang tak banyak orang lain paham. Bahwasanya, dikala itu, mereka yang tak terlihat baru memulai aktivitasnya.

Al sedang duduk di kursi yang ia bawa dari dalam mobil. Kepulan asap rokok mengepul di udara, tatkala sorot matanya menatap pada satu titik di angkasa raya.

"Apa pun yang terjadi, aku enggak akan biarin kamu sendirian, Kak," tutur En yang bersandar di badan karavan sambil membaca jurnal.

"Itu cuma mimpi, En, bukan buat ditakutin."

"Mimpi? Itu adalah pengelihatan masa depan, Kak!"

Alan menggeleng sambil berusaha menahan tawa. "Sejak kapan kamu jadi cenayang, heh?"

"Pria berkacamata? Garam kasar? Jelangkung? Nomor ponsel? Apa aku salah?" tanya En dengan wajah emosi.

"Dan ... kematianku?" balas Alan sambil menikmati hisapan terakhir rokoknya, lalu membuang putung itu ke tanah dan menginjaknya.

"Terserah. Aku enggak akan biarin kamu mati. Cuma kamu satu-satunya keluargaku yang tersisa. Biar pun cuma mimpi acak, 100% aku akan mempercayai itu dengan landasan waspada, Al." En membersihkan shotgun yang ia temukan di kolong tempat tidur.

"Umpetin itu, anak Dajjal!" bisik Al. "Kalo ada yang liat, mereka pasti salah paham!"

"No!" ucap En sambil menggeleng. Ia menatap tajam mata Alan. "Kecuali kamu ngebiarin aku ikut."

"Oke, oke, oke, berengsek. Kamu ikut."

En tersenyum dan melempar senjata itu ke dalam mobil. "Udah aku isi garam balok kayak si Van Helsing Sunda itu," ucap En.

Alan melempar sebuah ID card. "Ambil itu, ceritanya kita pemburu hantu," ucap Alan.

"Kan emang pemburu hantu. Kenapa harus ngaku sih? Mereka pasti bilang kalo kita orang gila!"

En ingat betul, alasan kenapa dari kecil ia dibully oleh teman-teman sekolahnya. Ya, karena ia berbeda. Karena En bisa melihat apa yang orang lain tak bisa lihat. Ia dipanggil 'orang gila' karena kerap berbincang sendiri. Terkadang ia tak mampu membedakan manusia dan arwah.

"Halah! Sekali-kali, biar keren," balas Alan.

En menatap ID yang diberikan pada Alan. Kini ia memasang wajah datar. Al tersenyum, ia sudah menunggu momen ini. "Kenapa muka kamu, wahai tuan bakso goreng?"

"Mamat Basreng?" En menatap Al dengan tatapan tak senang. "Yang bener aja."

"Ujang Garuk," balas Al tersenyum sambil bernostalgia.

"Siapa nama kamu di sana?" En menunjuk ID milik Alan.

"Bastian Vanhouten."

"Bastard ...." En memukul badan mobil, sementara Al terbahak-bahak karena pembalasan dendamnya berhasil.

***

En menutup semua jendela dan juga pintu mobil. Ia memang tak suka suana maghrib, mengingat banyak makhluk yang berkeliaran kala itu. Di sisi lain, Alan dengan mata berkantung hitamnya, sedang sibuk mencari cara untuk menghentikan Jelangkung, tetapi ia tak menemukan petunjuk apa pun.

"Dah lah, bakar aja, ribet." Alan merebahkan dirinya di kasur, dan memejamkan matanya sejenak. Mengingat semalam ia mengemudi, dan siangnya tak mendapat jatah istirahat karena berusaha mencari informasi tentang cara menghentikan permainan Jelangkung.

"Harusnya pemain-pemain itu enggak ngelepas Jelangkungnya, dan mulangin dia secara baik-baik setelah berinteraksi," ucap En. "Kalo kabur, ya udah. Pasti marah."

Alan tak merespon, sepertinya ia tertidur. Enriko lanjut mencari petunjuk seorang diri hingga ia menemukan sebuah postingan di salah satu situs terpercaya.

"Akhirnya, setelah scroll ratusan page," gumam En. Ia membaca tentang memberikan darah ayam cemani untuk Jelangkung.

Ayam cemani memiliki gen dominan yang menyebabkan hiperpigmentasi, yang membuat ayam-ayam ini kebanyakan berwarna hitam, termasuk bulu, paruh, dan organ dalam. Ayam cemani biasa digunakan untuk beberapa ritual ghaib.

"Duh, PR banget ini nyari ayam beginian." En tampak pusing, mengingat ia melihat Al mati di dalam mimpinya. Ya, mungkin saja itu hanya mimpi biasa, tetapi rasanya terlalu nyata untuk sebuah kebetulan. Seperti, memang benar-benar pertanda, atau memang sesuatu yang akan terjadi.

En menatap jam tangan miliknya. "Kira-kira si kacamata itu tidur jam berapa ya? Argh, sial! Enggak ada petunjuk waktu di dalam mimpi itu." Ia mulai frustasi dan menggaruk kepalanya. "Tapi sih, perkiraan jam sembilan sampai jam sebelas mungkin, mengingat dia masih anak muda dan aktif di dunia maya. Masih ada waktu sebentar." Ia keluar mobil dan mencoba mencari ayam cemani di pedesaan. Siapa tahu, ada salah seorang warga yang memilikinya, dan berniat untuk menjual ayam tersebut.

***

Beberapa jam berlalu, Al terbangun dari tidurnya karena perutnya keroncongan. Al membuka lemari es mini dan mengambil beberapa nugget untuk digoreng. Namun, sebelum itu, Al membuka pintu mobil dan menoleh ke sekelilingnya. 'En kemana?'  Tak mendapati Enriko di sekitarnya, Al masuk kembali dan mulai menggoreng nugget untuk porsi satu orang.

Baru saja hidangannya matang, ponselnya berdering. "Yah, telat! Pasti mau bilang 'mau nitip makan apa?'" Namun, panggilan itu bukanlah dari En, melainkan nomor tak dikenal. "Siapa nih jamet?" Al memicingkan matanya, tetapi hanya sepersekian detik berselang, matanya membulat utuh, mengingat bahwa mungkin saja itu si bocah Jelangkung yang sedang membutuhkan bantuan. Tanpa mengangkat telpon, Alan berlari dengan bermodalkan tongkat bisbol signature Roni.

Tak berselang lima menit setelah Al keluar, En masuk kembali membawa sebuah botol. Ia menatap nugget di piring dan menyentuhnya. "Masih anget, ini baru digoreng. Alan sialan!" Menyadari apa yang terjadi, dengan cepat Enriko berlari mengejar Alan entah ke mana. En tidak mengetahui tempat yang Alan tuju, tetapi ia memiliki insting yang menuntunnya berdasarkan ingatan samar di dalam mimpi.

***

Sementara itu, Alan kini berada di depan rumah Ari. Ia mengetuk pintu, tetapi tak ada jawaban.

'Yang tadi nelpon, dia bukan, sih? Apa gua salah orang, padahal itu nomor cewek mau kenalan?'

Alan menggaruk kepalanya sambil memasang wajah bodoh. 'Otak gua udah tercemar nih sama kemistisan dunia.'

'Atau--kalo itu emang dia, apa dia udah mati di dalem rumah?! Wah, gawat itu'

Otaknya tak bisa berhenti berpikir. Al hendak mendobrak pintu rumah Ari untuk memastikan, tetapi tiba-tiba saja pintu terbuka dan Alan terjatuh. Ari membuka pintu sambil berlari hingga menabrak Alan, napasnya tergopoh-gopoh dengan keringat yang bercucuran.

"Ke-kenapa lu di sini?" ucap Ari terbata-bata.

Alan menatap Ari dengan rasa penasaran. "Tadi lu yang nelpon gua, kan?"

Ari mengangguk sebagai jawabannya. "Jelangkung itu di sini ...," ucapnya sambil meneguk ludah.

Alan menoleh ke samping rumah. "Ya, dia emang di sini," ucap Alan sambil menatap sebuah boneka menyeramkan yang sedang mengintip mereka berdua dari balik tembok luar. "Jangan lari. Gua saranin sih lu jangan jauh-jauh dari gua." Alan membuka bungkusan putih yang berisi pukulan bisbol. Ia berjalan pelan ke arah Jelangkung tersebut, mencoba memberanikan diri dengan apa yang sebenarnya ia takutkan.

Tiba-tiba Jelangkung itu terbang mundur. Karena tertutup tembok, Al kehilangan pandangan terhadap Jelangkung itu. "Sial! Jangan kabur!" Ia berusaha mengejar, tetapi benda itu menghilang di balik tembok. Alan berlari, tapi ketika ia tiba di tempat Jelangkung tersebut, ia tak mendapati sosok itu di sana.

'Ke mana perginya si bangke itu?' pikir Al.

"Awas!" teriak Ari yang melihat Jelangkung itu berada tepat di atas Alan.

Belum sempat Al bereaksi. Jelangkung itu menukik tajam dari atas secara vertikal.

'Ini, kan?!'

Sebelumnya, En bercerita pada Alan tentang apa yang ia lihat di dalam mimpinya. Saat ini, keadaannya persis seperti saat Alan mati tertancap ujung Jelangkung itu, menurut cerita En.

Dengan cepat, Alan mengambil sesuatu dari balik kantong jaketnya, lalu melempar sesuatu itu ke atas sambil memaksa dirinya untuk mundur. Jelangkung itu kini tertancap di tanah, Alan berhasil menghindar dan melewati cuplikan kematian di mimpi En. Ia menyorot Jelangkung itu dengan tatapan tajam. "Bukan aku yang mati, En." Alan mengambil korek zippo dari kantong celananya, lalu melemparnya ke arah Jelangkung yang sudah terkena minyak tanah.

Sebelumnya, Alan melempar minyak tanah yang ia bungkus plastik. Ujung Jelangkung yang tajam itu memecahkan plastik tersebut, dan membuat bagian benda itu dilumuri minyak tanah. Kini Jelangkung itu terbakar begitu api dari korek zippo menyambarnya.

"Selesai." Alan berjalan ke arah Ari, tetapi wajah Ari sama sekali tak menandakan ekspresi kemenangan.

"Awas!" Ia justru berteriak pada Alan. Sontak membuat Alan menoleh.

Jelangkung setengah terbakar itu melesat ke arah Alan dengan sangat cepat. Namun, di mata Alan, semua yang ada di sekitarnya bergerak lambat. Termasuk Jelangkung itu dan juga dirinya sendiri.

'Orang bilang, ketika kita akan mati--semuanya bergerak lambat? Apa kematian yang ada di dalam mimpi Enriko itu nyata?' Alan memejamkan matanya dan pasrah terhadap hidupnya.

Sebuah tembakan menghantam Jelangkung itu hingga terpental. En berlari melewati Alan sambil melempar shotgunnya pada Alan, ia mengincar boneka terkutuk yang hampir membunuh kakaknya. Dengan sangat cepat, Enriko memegang Jelangkung itu agar tidak terbang ke mana-mana, lalu menyiramnya dengan darah ayam cemani yang ia simpan di dalam botol. "Permainan sudah selesai, terimakasih karena sudah menyambut pesta kami. Kamu boleh pulang sekarang!"

Setelah itu, boneka Jelangkung itu diam tak menunjukkan pergerakan. Hawa negatif yang menyelubunginya sirna menjadi kepulan asap. "Dia udah pergi. Kalian aman," lanjut En.

Alan berbaring di halaman dengan napas tak beraturan. Jantungnya berdebar tak karuan. "Aku hampir mati, En ...," tuturnya lirih.

"Tenang, kak." En berusaha menenangkan kakaknya. "Selama ada aku, kakak enggak akan mati. Enggak ada satu pun dari kita yang akan mati sebelum menyelesaikan urusan kita sama keparat-keparat itu."

Ari menatap Enriko, membuat En menatap balik ke arahnya dan menghampiri Ari. "Jangan pernah mencoba berinteraksi dengan 'mereka' lagi, oke?"

Ari terduduk lemas sambil menganggukkan kepala. Rasanya pemuda itu kapok dengan apa yang ia dan teman-temannya lakukan. Bermain-main dengan sesuatu yang ghaib adalah hal yang memiliki resiko tinggi.

Suara tembakan shotgun dan beberapa kali teriakan Ari pasti memancing tetangga berdatangan untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi. En kini membangunkan Al, dan merangkulnya. "Ayo kita pergi, sebelum di sini rame." Ia membawa Al pergi kembali ke karavan.

.

.

.

TBC


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top