14 : Keluarga Paryanto
"Kediaman keluarga Paryanto?"
"Ya, ada yang bisa saya bantu?" ucap pria paruh baya yang baru saja membuka pintu.
"Kami dari kepolisian." En menunjukkan tanda pengenalnya, begitu juga dengan Al. "Apa kami bisa sedikit melakukan tanya jawab?"
"Oh, tentu." Paryanto mempersilakan Al dan En untuk masuk ke dalam rumah.
"Apa pun yang ia suguhkan, jangan sentuh," ucap En memperingati Al. Mereka berdua mengenakan jaket kepolisian lengan panjang dan juga sarung tangan hitam. Al hanya mengangguk pelan sambil memajukan bibirnya.
En duduk dan mulai melakukan tanya jawab dengan pemilik rumah, sementara Al dengan surat penggeledahannya mulai memeriksa seisi rumah Paryanto, berharap menemukan sebuah petunjuk.
Al berjalan ke arah bufet kayu. Ia menatap sebuah foto keluarga utuh dengan formasi satu ayah, satu ibu dan dua orang anak, yang tertua seorang laki-laki dan yang kecil seorang gadis.
Namun, pandangannya teralihkan ketika menangkap seorang gadis kecil di sudut matanya. Gadis itu sedang menatap Alan dari balik pintu kamar. Ia merupakan putri kecil Paryanto. "Pak polisi, sini ...," ucapnya lirih seraya memberikan kode pada Al untuk mendekatinya.
Alan berjalan mendekat, lalu berjongkok di depannya. "Mau permen?" Ia mengeluarkan permen dari dalam kantong celananya. Anak itu hanya mengangguk, kemudian mengambilnya. Ketika anak itu menyentuh permen, tak ada reaksi apa pun.
'Ah, seenggaknya anak ini bukan setan. Aku udah nabur garem kasar di kantong buat jaga-jaga. Kalo anak ini beneran setan, pasti dia enggak akan mau mengambil permen itu.' Batinnya.
"Ada setan di lantai atas ...," bisik anak itu sambil meletakkan jari telunjuk di bibir mungilnya. "Tolong ditangkap ...."
Alan meneguk ludah. Meskipun ia sudah sok berani dengan segala yang ia ucapkan sebelumnya, tetapi nyali tetaplah nyali, bukan sesuatu yang mudah ditipu hanya dengan kata-kata. "Se-setan?"
Anak itu mengangguk, kemudian menutup pintu kamarnya secara perlahan. Membuat Alan semakin tak karuan.
Anak itu aneh, kan? Iya, kan? Setan? Dia bilang tolong ditangkep?'
Alan menatap tangga yang biarpun terang terlihat horor. Sembari berjalan menuju tangga, Al memberikan kode pada En untuk mengulur waktu lagi. Ia akan mengecek lantai atas.
En kemudian membuang lirikannya dan kembali fokus menatap Paryanto agar tidak menimbulkan kecurigaan.
Al berjalan dengan sangat hati-hati, mengingat tangga itu adalah tangga kayu yang sudah reot. Takut-takut, malah ambruk dan membuanya patah tulang akibat jatuh. Sesampainya di atas, hanya ada dua pintu di sana. Pintu yang menghubungkan dengan balkon, dan juga satu kamar dengan pintu tertutup. Sejenak Alan meneguk ludah, hingga perlahan ia memberanikan diri menyentuh gagang pintu kamar dan membukanya.
Dilihatnya sosok laki-laki yang sepertinya adalah anak pertama Paryanto. Pria itu sedang duduk membelakanginya. Mengetahui pintu kamarnya di buka, ia pun menoleh dan bertatapan dengan Alan. Orang itu mengenakan pakaian serba hitam, dengan jaket yang memiliki bulu-bulu di pinggiran tudungnya.
"Siapa, ya?" ucapnya memicingkan matanya.
"Dari kepolisian," ucap Alan menunjukkan lencana palsunya. Alan berjalan dengan kedua tangan yang bersembunyi di balik kantong celana. Begitu posisinya sedah dekat dengan pria itu, Alan sengaja menjatuhkan dirinya dan membuat garam-garam di kantongnya berhamburan keluar.
Orang itu menunjukkan ekspresi yang aneh. Melihat itu, Alan terus memandangnya sambil satu tangannya siap menarik sebuah pistol yang ia sembunyikan di balik baju. Namun, orang itu tiba-tiba terkekeh. "Apa yang polisi lakukan dengan garam dikantongnya?" tanyanya seperti meledek, dan berjongkok membereskan garam-garam itu.
'Oke, aman. Berarti setannya bukan sejenis Takau yang bisa berubah wujud.'
"Ada yang bisa saya bantu?" lanjutnya.
"Enggak ada. Cuma mau ngecek sesuatu aja." Alan menatap sekeliling ruangan, berusaha mencari sesuatu yang terlihat mencurigakan.
Orang itu tak berhenti menatap Alan. "Apa anda tidak terlalu muda untuk menjadi seorang polisi? Maksudku, untuk menangani--entah apa?"
"Yaaa, hanya seorang bawahan," balas Alan sambil tersenyum. "Oke, enggak ada apa pun di sini, sebaiknya saya turun kembali." Alan memutar tubuhnya dan pergi meninggalkan orang itu. Ia turun ke bawah dan memberikan kode pada En untuk segera keluar.
En bangkit dan menyudahi tanya jawab dengan Paryanto. Al datang di saat yang tepat. En sudah kehabisan pertanyaan di kepalanya. Ketika mereka berdua keluar dari rumah itu, Al dan En segera berjalan menuju mobil mereka.
"Jadi, gimana?" tanya En.
"Yah, terlihat normal. Kalo pun dia seorang pengguna ilmu hitam, pasti dia punya satu ruangan khusus buat melakukan ritualnya, kan? Sejauh ini aku enggak nemuin apa pun yang sifatnya aneh. Kecuali di kamar putri kecilnya. Aku belum masuk ke sana."
En menghela napas. "Seharusnya kamu juga masuk ke sana. Sekarang semuanya jadi sia-sia. Kita jadi enggak tau apa yang ada di dalam sana."
"Tadinya aku mau masuk, tapi anak perempuannya bilang ada setan di lantai atas. Aku cuma ngikutin instingku buat naik ke atas, dan ternyata enggak ada apa pun, selain putra tertuanya. Dia kira-kira lebih tua sedikit daripada aku."
"Anak tertua?" En memicingkan matanya. "Al, ikut aku sebentar. Ada sesuatu yang harus kita klarifikasi di sini."
***
Kini mereka berdua kembali ke rumah kepala desa. Enriko meminta daftar orang-orang yang meninggal dalam kurun waktu tiga bulan terakhir.
"Kapan jelasnya, curug itu menelan korban?" tanya En.
"Tepat sebulan yang lalu," jawab Sasongko. "Di tanggal tujuh kalo enggak salah."
"Dan yang menjadi korban pertamanya adalah ...." En menatap satu nama paling atas di daftar tersebut. "Niko?" tanya En sambil menoleh ke arah pak Sasongko.
"Ya, Niko adalah korban pertama." Mendengar itu, kini Enriko menatap Alan. Namun, Alan tak tau untuk apa tatapan itu.
"Baik, pak. Terimakasih atas jawabannya. Permisi." Enriko dan Alan kembali ke mobil mereka.
"Mendapatkan sesuatu, Kevin prakoso?" ledek Al, alias Ujang Garuk.
"Al, kau yakin bertemu dengan anak pertama Paryanto?" En menatap tajam ke arah Al. Tatapannya sangat serius kali ini.
"Ya, seorang pemuda yang cukup tampan, tapi matanya agak kosong. Buat mastiin, aku sedikit menaburkannya garam kasar sebagai tanda waspada."
"Dan?"
"Apa?" Alan memicingkan matanya. "Enggak terjadi apa-apa."
"Al ...." Enriko kini menyandarkan kepalanya di kursi. "Anak pertama Paryanto itu adalah Niko. Orang yang menjadi pembuka dari parade berdarah ini. Gimana ceritanya kamu bisa ketemu sama dia dan seolah-olah semua terlihat baik-baik aja?"
Alan sangat terkejut mendengar itu. "Tapi aku serius, orang itu enggak menjauh dan malah ikut mungutin garemnya, En!"
"Nanti malem cuma ada aku yang pergi ke curug. Kamu balik lagi ke rumah itu dan cari tau sesuatu yang janggal di sana," ucap En. "Tugas kamu belum beres, Kak."
"Sendiri ke curug gila itu?!"
"Ini cara buat menghemat waktu, dan lagi kita enggak tau pergerakan orang itu, kan?"
Dengan segala perdebatan, Al akhirnya mengalah. Lagi pula, salahnya juga membiarkan rumah itu tak tergeledah seutuhnya.
***
Malam ini, purnama bersinar terang. Tidak ada awan di langit, tampak normal dan cerah. Sementara En pergi ke curug, Al berbaring di kasur dalam mobil karavan dan memejamkan matanya. Bukannya ia ingin tidur, hanya saja ia mencoba untuk melakukan proyeksi astral.
Beberapa menit berlalu, ia kembali membuka mata. "Ah, giliran genting aja! Enggak bisa!" Ketika ia hendak memukul meja, tangannya menembus benda itu. Kemudian Al menoleh dan menatap dirinya sendiri yang sedang tertidur di kasur. "Oke, mulai besok kamu harus memanggilku Spirit Master, En." Al membayangkan proteksi astral untuk menyelimuti raga dan rohnya. Setelah itu, ia terbang menuju rumah Paryanto.
Dalam mode astral, rumah itu tampak tak menyenangkan. Gagak-gagak beterbangan di atas rumah itu menyanyikan suaranya yang gusar. Tempat itu tidak terlihat seperti rumah biasa, melainkan penjara. Hanya rumah itu saja yang dikelilingi gerombolan gagak, awan hitam dan badai. Mencoba memberanikan diri, Al berjalan masuk ke sana.
Tanpa basa-basi, ia langsung menuju kamar putri Paryanto. "Pak polisi!" ucap gadis itu menatap Alan yang datang lagi ke rumahnya.
"Hey! Kamu bisa liat aku?"
Gadis itu menangguk. "Pak polisi, temanmu dalam bahaya!" ucap gadis kecil itu.
"Enriko?" Alan tampak khawatir, tetapi ia masih memiliki tugas di tempat ini. "Tunggu, kak polisi mau nanya sama kamu. Emangnya beneran ada setan di lantai atas?"
Belum mendapatkan jawaban, suara rantai bergoyang membuat Alan menoleh pada kegelapan yang berada di belakang gadis itu.
Gadis itu menatap tangga. "Makhluk itu yang membelenggu Ibu!"
Al memicing. "Makhluk? Membelenggu? Ibu?"
Dilihatnya samar-samar seorang wanita yang penuh dengan darah sedang duduk bersandar di tembok. Ia terbelenggu rantai-rantai yang terlihat menyakitinya. Orang itu merupakan wanita yang berada di dalam album foto milik Paryanto, dia adalah istri dari pria paruh baya itu.
"Bagaimana caramu dan adikmu bisa selamat?" tanya wanita itu.
"Hah? Selamat? Apa maksudnya?" tanya Alan bingung.
Wanita itu melotot hingga bola matanya hampir keluar. "Pergi!" Ia membentak roh Alan hingga terpental kembali ke raganya.
Pintu kamar terbuka, Niko masuk ke dalam kamar. Gadis kecil itu bersembunyi di dalam selimutnya. Kini pria itu menghela napas berat sambil menatap Ibunya. "Kau menyelamatkannya? Sudah ku bilang, kan? Jangan terlalu banyak bicara. Kau beruntung, aku hanya mengambil anak pertamamu. Ahh ... seharusnya aku mengambil jiwa putri kecillmu juga, nyonya Sagara." Dengan wajah datar, ia menoleh ke arah gadis kecil yang bersembunyi. "Perjanjian kita batal. Aku akan membawanya."
"Hey, Jahanam! Sedang apa kau?! Jangan sentuh putriku!" Wanita itu menatap Niko yang berjalan pelan ke arah putri kecilnya. Kicau gagak menghiasi sekitaran rumah Paryanto. Wanita itu menangis dan berteriak sekeras yang ia bisa, tetapi tak ada yang bisa mendengarnya.
***
Di sisi lain, En kini memergoki seseorang yang duduk di tengah tanah tak berumput. Seseorang dengan topeng kambing yang terlihat sedang melakukan sebuah ritual. Darahnya mendadak naik seiring detak jantung yang memburu ketika melihat wujud itu.
"Terasa familiar, Enriko Sagara?" ucap orang itu. Ia membuka topeng kambing yang ia kenakan. Topeng itu benar-benar terbuat dari kepala kambing yang masih segar, wajah Paryanto bermandikan darah dari kambing itu. "Sejujurnya, kau tidak dibutuhkan lagi. Anak terakhir Mira sudah cukup usia untuk membuka gerbang Iblis. Sekarang seluruh syarat sudah terpenuhi. Tinggal mencari kuncinya saja."
"Akulah anak terakhir Mira. Dan aku tidak akan pernah membantu kalian membuka gerbang Iblis itu," balas Enriko.
Paryanto tertawa. "Kau itu anak keduanya. Kau harus tahu, Eriko. Kau memiliki seorang adik kecil yang cantik dan manis. Wajahnya persis mirip seperti Mira."
"Apa yang kau katakan barusan? Bercandamu kurang lucu."
Tiba-tiba mata Paryanto terbelalak. Dalam sekejap ia tergeletak di tanah. Tubuhnya kejang-kejang hingga mengeluarkan busa dan darah dari mulutnya.
Enriko terkejut melihat apa yang terjadi dengan Paryanto. "Apa-apaan ini?"
"Enriko!" Alan tiba-tiba muncul. Dari mobil, ia langsung berlari mencari Enriko ke dalam area curug, hingga menemukannya.
"Alan, apa yang kamu lakukan di sini?"
Paryanto tiba-tiba tertawa. Matanya copot keluar dan mengeluarkan banyak darah, tetapi dengan santainya ia bangun dan berdiri menghadap dua bersaudara Alan dan Enriko. "Alan, dan Enriko ...," tuturnya dengan suara yang terdengar berbeda. "Orang yang berada di depan kalian ini baru saja meninggal. Aku membunuhnya."
"Siapa kau?!" bentak Alan.
Sesuatu yang berada di dalam tubuh Paryanto tertawa. "Siapa aku?" Ia tak menjawab dan hanya tertawa terbahak-bahak.
Alan dan Enriko saling bertatapan, kemudian menatap kembali ke arah Paryanto. "Berengsek ini ... dia pikir kita pelawak," ucap Alan.
Pada satu titik, Paryanto menunjuk ke arah Enriko. "Berikan jurnal itu dan kalian akan ku biarkan hidup. Aku juga akan memberitahukan kebenaran yang kalian cari. Untung besar, bukan?" Ia menyeringai hingga menampilkan deretan giginya. "Kami hanya memerlukan kuncinya saja. Ayolah, kami akan membiarkan kalian berdua hidup dengan damai."
"Bicara sesukamu. Aku benar-benar marah." Alan membuka bungkusan putih yang menutupi pukulan bisbolnya. "Familiar dengan tongkat ini?" Makhluk itu hanya menatap tongkat tersebut seperti tak tahu tentang benda itu. "Ya, biar pun kau tidak tahu, aku tidak peduli. Toh, kalian sama-sama Iblis juga!" Alan berlari hendak menyerang Paryanto.
"Alan! Jangan!" teriak Enriko. "Jangan ceroboh! Dia itu Iblis!"
Iblis. Mereka berbeda dengan setan-setan lain. Bisa dibilang, mereka adalah bosnya. Semakin mendekat dengan sosok itu, Alan tiba-tiba gemetar dan tak mampu lagi berdiri. Ia berlutut tanpa diperintah. Aura yang memancar dari makhluk itu menekan dan menjatuhkan mental manusia di sekitarnya.
"Ngomong-ngomong, anak tertua itu harus mati demi adiknya. Aku akan membunuh Alan untukmu, Enriko." Sosok itu berjalan menghampiri Alan yang berlutut gemetar.
"Tidak! Jangan!" Enriko berteriak, tetapi sosok itu tak peduli.
Kini Paryanto mencengkeram kepala Alan dan membuat Alan berteriak kesakitan. Semakin Alan menjerit, sosok itu semakin tertawa. Satu tangan Paryanto bersiap untuk membunuh Alan. Ia rapatkan jari-jarinya dan hendak mengeksekusi Alan dengan kuku-kuku tajamnya.
"Alan ...." Sama seperti Alan, Enriko pun tak bisa menggerakkan tubuhnya yang gemetar. "Siapa pun tolong! Cuma Alan yang aku punya!"
"Ku persembahkan darahmu untuk, Yang Mulia!" Paryanto melesatkan tangannya menuju dada kiri Alan.
Namun, gerakan pria itu terhenti ketika aroma mesiu tercium pekat menguasai area tersebut. Sebuah peluru melubangi tubuh Paryanto, membuat ia agak terpental ke belakang dan mengeluarkan darah hitam. Suara shotgun yang dikokang terdengar semakin dekat. Tembakan kedua bersarang di kepala Paryanto hingga kepala itu hancur. Kemudian terdengar lagi tembakan ketiga, dan berikutnya hingga tubuh Paryanto tergeletak tak berdaya.
"Ibislnya--mati?" tanya Enriko yang masih belum bisa bergerak dan masih gemetar karena efek yang diberikan oleh Iblis tadi.
"Enggak. Enggak ada cara buat bunuh Iblis. Dia cuma keluar karena tubuh itu enggak kuat lagi nampung dia dari dalem," ucap seorang pemuda kecil yang berjalan mendekati jasad Paryanto. Gayanya seperti Van Helsing, dengan topi fedora berwarna hitam dan juga jubah hitam panjang.
"Siapa kau?" Sambil tertatih, En kini memegangi Alan yang tak sadarkan diri.
"Aku?" Orang itu hanya tersenyum. "Aku ini Van Helsing."
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top