13 : Hanya Iblis Yang Bisa Membunuh Iblis?
Al sedang berbaring di kasur belakang karavan, ditemani lagu-lagu metal kesukaannya. Sementara En yang sedang duduk dan menatap layar laptopnya, kini sedang merasa terganggu dengan lagu yang diputar oleh Al.
"Lagu pemuja setan, tau enggak?" ledeknya.
"Mana ada. Nih, baru lagu pemuja setan." Alan mematikan musiknya, kemudian menggantinya dengan lingsir wengi.
"Kak!" Enriko menutup laptop miliknya, lalu menoleh ke arah Alan. "Jangan lupa tujuan kita dateng ke sini."
Al memalingkan wajahnya. "Iya, iya. Kamu mah enak enggak nyetir, enggak capek. Aku mau istirahat dulu bentar, capek."
Memang, Alan lebih lelah ketimbang Enriko. Mengingat Enriko masih bisa tertidur, sementara Alan harus tetap fokus untuk menjaga mereka terus bergerak dan terus bernapas.
"Aku mau cari angin sebentar." En pergi keluar karavan. Ia bersandar di badan mobil sambil menatap area sekitarnya yang penuh dengan kebun teh. Mereka baru saja tiba di puncak pass. Alan sengaja menepi untuk beristirahat, mereka berdua sudah memutuskan untuk mulai penyelidikan saat matahari terbit.
Sementara itu, Alan tak bisa tertidur. Pada akhirnya ia memutuskan untuk keluar dan mencari angin bersama En. Namun, ketika keluar ia tak melihat En. Alan menoleh ke sekelilingnya untuk mencari, tetapi sosok En tak berhasil ia temukan.
Alan memicingkan matanya menatap siluet orang berdiri tak jauh di depannya. "En?" panggilnya dan mencoba menghampiri.
Namun, semakin Al mendekat. Sosok itu memiliki rambut yang panjang, sepertinya itu siluet seorang wanita. Sebenarnya Enriko juga memiliki rambut yang agak panjang sebatas leher, tetapi yang ada di hadapannya lebih panjang dan lebih lurus daripada Enriko yang agak berantakan.
"O-orang, bukan? Hello ...," panggil Alan secara random. Firasatnya tak enak. "Ah bodo ah." Ia memutar tubuhnya dan hendak kembali ke mobil, tetapi tubuhnya tersungkur ketika mendapati sosok wanita itu pindah ke belakangnya. Ingin Al berkata kasar, tetapi ia tak bisa. Mulutnya kaku membisu.
Wanita itu tersenyum. "Akhirnya kita berjumpa lagi, Alan", gumamnya.
Sosok itu adalah wanita berwajah pucat yang beberapa kali membantu Alan.
"Siapa kamu sebenarnya? Dan di mana Enriko?"
"En tidak ada di sini. Ini duniamu, Al."
"Duniaku?" Alan mengerutkan dahinya. "Mimpi? Aku bermimpi?"
"Yups, aku merasuki mimpimu lagi."
Alan beranjak dari posisinya. "Apa tujuanmu? Mengapa membantu kami?"
Sosok itu hanya tersenyum. "Mira berteman bukan hanya dengan manusia," ucapnya. "Dia berteman dengan beberapa dari kami."
"Itu alasan kenapa kamu membawaku pada jurnal itu?"
Ia hanya mengangguk. "Jurnal itu berisi banyak informasi. Mira berusaha mencari tahu apa yang digenggam oleh Rudi. Ketika ia semakin dekat dengan kebenaran, aromanya terendus oleh 'mereka'. Pada akhirnya mereka membawa Mira."
"Membawa?" Alan memicingkan matanya.
"Entah, mereka hanya membunuh suaminya yang berusaha kembali menyelamatkan Mira. Sementara Mira dibiarkan hidup dan dibawa."
"Ayah dibunuh, dan Ibu dibawa? Untuk apa? Ke mana?"
Gadis itu menggeleng.
"Aku akan mencarinya. Keluarkan aku dari mimpi ini," gumam Alan.
"Tidak sekarang, Alan. Mira memang tidak langsung dibunuh kala itu, tetapi ia sudah mati beberapa tahun lalu. Para Iblis merencanakan sesuatu yang jahat. Kalian harus mencari tahu cara menggagalkan rencana mereka."
"Ah, shit! Aku tidak mengerti! Apa rencananya?! Kenapa harus kami?"
Sosok itu tersenyum. "Waktuku tidak banyak. Sampai berjumpa lagi, Alan Sagara." Sosok itu perlahan menghilang dari pandangan Alan.
"Hey, tunggu!"
Enriko menatap Alan yang baru saja terbangun dari tidurnya. "Tunggu apa?" tanyanya dengan wajah datar.
"Lupakan, cuma mimpi."
***
Sinar mentari yang menembus jendela mobil, membangunkan Enriko dari tidurnya. Dilihatnya Alan yang tak berada di dalam mobil.
Alan sedang merokok sambil memainkan ponselnya. "Yo, udah bangun?" sapanya ketika melihat En keluar dari mobil. "Ada berita yang cukup menarik."
"Berita apa?" tanya Enriko.
"Tepat di desa yang akan kita tuju, ada sebuah keluarga yang mendadak kaya raya." Alan menghisap rokoknya, lalu membuangnya ke arah yang berlawanan dengan En.
"Ya, mungkin mereka ketimpa rezeki dari yang di atas," sanggah En.
"Ya, semoga. Karena keluarga ini kaya di saat banyak korban berjatuhan." Al menatap En dengan sorot mata yang tajam. "Ayo kita segera ke sana."
En mengikuti arahan Al. Mereka berdua segera melaju ke desa yang pernah dibantu Roni.
"Yang aku heran, kenapa Roni tak menyelesaikan tugasnya? Apa karena ia mendapat kabar duka dari Ibunya yang meninggal? Aku merasa sesuatu mencoba menggagalkan dia menyelesaikan urusannya di sini."
"Kita harus tenang, Al. Jangan terburu-buru. Cepat atau lambat, kita akan segera mengetahuinya."
Untuk mempersingkat waktu, Al dan En bergegas menuju desa yang meninggalkan seribu tanda tanya di benak mereka. Selama perjalanan, Al tidak memasang musik sama sekali, seperti bukan dirinya. En yang duduk di kursi belakang, memperhatikan Al yang tampak berbeda hari ini, tetapi kemudian ia berfokus kembali pada apa yang ia cari di laptopnya.
"Hari itu paman Roni datang dan mengaku sebagai petugas negara," ucap En.
"Polisi?" tanya Al. "Dan, tahu dari mana kau?"
"Tepat sehari sebelum ia berangkat, paman merekayasa sebuah ID card badan negara untuk aksesnya masuk ke dalam kasus tersebut, menggunakan Photoshop. Aku mensortir data di laptop berdasarkan tanggal. Untungnya aku sering belajar software ini di warnet, jadi aku paham cara mengeditnya." Suara khas printer terdengar hingga ke telinga Al.
"Ada printer? Wow, aku suka mobil ini. Dia bisa melakukan apa saja yang mobil lain tidak bisa!" Al tersenyum. Moodnya sudah kembali, kini ia memasang musik. En tersenyum mendengar musik yang sebenarnya ia tak begitu suka, tetapi setidaknya ia tahu, Al telah kembali.
Setelah selesai dengan urusan printernya, En beranjak dari posisinya dan berjalan ke kursi depan, ia memberikan sebuah ID card untuk Alan. "Apa ini?" tanya Alan yang sekilas melihat benda itu.
"Kita butuh tanda pengenal palsu, kan?"
"Hahahaha itu baru adikku."
"Mau kopi, mang Ujang?" tanya En yang sedang menyeduh kopi menggunakan coffee maker.
"Boleh." Al sangat suka dengan kopi buatan En. Dan lagi, menurutnya pagi ini En agak berbeda, ia seperti adik yang baik. Al melirik ke arah ID cardnya kembali, tetapi kali ini ia mengerutkan dahinya menatap nama yang terpampang di sana. "Enriko biadab! Edit lagi enggak namanya!"
"Kenapa si?" Enriko tersenyum sendiri mendapati Alan yang marah. Tak ada jawaban dari Al, ia hanya terlihat emosi. "Marah-marah mulu, Ujang Garuk," ucap En sambil tertawa.
"Nama palsu kamu siapa di ID card?" tanya Al dengan raut wajah kesal.
En hanya tersenyum. "Kevin Prakoso."
Al menekan-nekan klakson mobilnya tak terima, hingga membuat pengemudi lain minggir dan mengklakson balik karena marah. Pagi ini, semua orang marah-marah, kecuali Enriko.
***
Desa yang tak jauh dari kawasan wisata Cibodas menjadi ujung dari perjalanan kali ini. Al dan En turun dengan pakaian yang rapi. Al mengenakan kaos putih dibalut jaket jeans berwarna biru, sementara Al tetap dengan style yang sama, tetapi menggunakan rompi anti peluru yang ia temukan di lemari mobil.
"Kmau tahu, kan? Area di mana banyak korban berjatuhan itu?" tanya Alan dan dibalas anggukan kepala oleh Enriko.
"Oke, kamu segera investgasi ke sana, sementara aku akan mengorek informasi dari warga dan kepala desa," lanjut Al.
Kini mereka berpisah. Al mencari tahu letak rumah kepala desa dan segera pergi kesana. Ucapan dari beberapa warga desa menuntun langkahnya hingga tiba di sebuah rumah bernuansa hijau, di padu dengan sedikit warna putih. Sebuah rumah dengan halaman yang cukup luas. "Permisi," ucap Alan dengan nada yang sopan.
Seorang pria tak terlalu tua keluar dari balik pintu. "Ya, ada yang bisa saya bantu?"
Dengan sangat terpaksa, Alan menunjukkan ID nya. "Saya detektif dari kepolisian." Setelah mengetahui bahwa Mas Ujang Garuk adalah anggota kepolisian, Pak Kepala Desa yang ternyata bernama pak Sasongko mempersilakan Al untuk masuk.
"Beberapa hari yang lalu, rekan saya yang bernama ...." Al mengintip tulisan yang berada di telapak tangannya. Nama samaran yang digunakan Roni pada hari itu. "Julian Pratama melakukan investigasi seputar kasus yang sempat meresahkan warga desa."
"Ya, pak Julian. Dia sempat datang ke tempat ini, tetapi tingkahnya cukup aneh."
"Aneh?" Al memicingkan matanya.
"Dia lebih mirip pemburu hantu ketimbang polisi."
Al terkekeh. "Yah, begitulah dia. Jadi, sekiranya apa yang dia dapatkan?"
"Memangnya dia tidak melapor?" Kini Sasongko yang mengerutkan dahinya.
"Sebenarnya, Julian meninggal beberapa hari yang lalu tak berselang lama dari saat beliau pergi ke sini."
"Saya turut berduka ...," ucap Sasongko dengan wajah bersedih.
"Apa ada sesuatu yang dia lakukan di sini? Menurut, bapak, apa Julian terlihat menemukan sesuatu?"
"Dia terlihat tergesa-gesa dan keluar dari penyelidikan. Bukan seperti orang yang menemukan hasil bagus, justru sebaliknya."
"Maksud, bapak?"
"Dia seperti ketakutan."
'Roni--ketakutan?'
"Apa Julian pergi ke tempat kediaman keluarga ...." Lagi-lagi Al mengintip telapak tangannya. "Par-yanto?"
"Ya, saya rasa dia sempat pergi menyelidiki Paryanto." Sasongko terlihat getir. "Sebenarnya ada beberapa rumor yang tak mengenakan dari keluarga itu, tetapi kita tak boleh berprasangka buruk tentang rumor tersebut. Tidak ada bukti kuat."
"Tentang apa?" tanya Alan.
Sasongko melirik sekitarnya, kemudian ia mendekatkan wajahnya pada Al. "Tentang pesugihan yang menumbalkan sejumlah korban beberapa minggu ini ...."
***
En baru saja kembali ke mobil, dilihatnya Al yang sedang duduk di belakang sambil menikmati secangkir kopi.
"Kopi mulu, awas nanti darahmu hitam," ledek En.
"Kopi hitam masih lebih baik, En. Daripada apa yang akan kita hadapi," balas Al. "Jadi?"
"Ya, ilmu hitam, dukun, praktek sihir, atau apa pun itu. Mereka ada di sini. Aku menemukan sebuah tempat yang memiliki hawa mistis menyengat tak jauh dari curug itu. Hanya tinggal mengikuti arus sungai, dan kamu akan menemukan sebuah tempat yang aneh."
"Aneh?" Al meletakkan kopinya di atas meja. Ia mencoba untuk fokus.
"Ada satu area yang tak memiliki banyak pepohonan. Hanya ada sekitar tujuh pohon di sana, dan itu mengitari sebuah tanah tak berumput."
Alan mengernyit. "Menarik, lokasi praktek sihir, heh?"
"Dari hawanya kemungkinan besar, iya. Tidak ada hawa keberadaan makhluk halus di sana."
"Kalo gitu, artinya tempat itu suci, kan?" Al memicingkan matanya, ia menjadi bingung dengan pernyataan Al.
"Bukan. Itu lebih kelihatan kayak tempat kekuasaan sesuatu yang kuat dan jahat. Eksistensi yang menguasai wilayah itu."
"Oke, nanti malam kita akan mencari tahu ke tempat itu. Sekarang kita akan menggeledah rumah keluarga Paryanto. Kita akan cari tahu, apakah dia bersih, atau tidak," ucap Alan.
En menatap Alan dengan sejuta tanda tanya besar. "Al, kamu enggak takut? Aku ngerasa kalo sejak kematian Roni, kamu berubah. Apa kamu masih Alan yang aku kenal?"
Alan tersenyum getir. "Sejak kematian Roni, Alan yang kamu kenal ikut mati terkubur bersama jasad pria itu, En. Aku yang sekarang benar-benar marah. Aku akan mengejar makhluk itu dan membunuhnya seperti seekor serangga. Kalo misteri di tempat ini ada kaitannya sama kematian Roni, aku akan benar-benar sangat marah." Alan menggenggam tangannya hingga menimbulkan bekas luka akibat kukunya yang agak panjang. "En, hentikan aku jika aku sudah berjalan terlalu jauh. Sebab ketika Paryanto terbukti melakukan santet pada Roni, aku pasti akan membunuhnya."
"Aku enggak akan biarin kamu jadi seorang kriminal, kak. Bukan dengan seperti itu caranya. Dendam hanya akan melahirkan dendam baru. Pertempuran enggak akan pernah berakhir."
"Ya, kamu bener, En. Maka dari itu, kamu harus bekerja keras untuk menghentikanku ketika itu terjadi. Aku bisa menjadi lebih buruk dari para setan itu. Mereka yang bermain, kita ikuti cara mainnya. Only demons, can kill demons."
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top