12 : Awal Dari Sebuah Akhir
Al dan En berdiri di pemakaman. Jasad Roni baru saja dikebumikan, mereka berdua tak bergerak dari tempatnya berpijak. Semua orang telah pergi dari area pemakaman, menyisakan Alan, Enriko, dan seorang wanita bernama Diana yang merupakan istri dari almarhum Roni.
"Maaf." Hanya itu yang terlontar dari mulut Enriko sambil perlahan menetekan air mata kembali.
"Pada akhirnya, Roni memilih apa yang harus dia lakukan," ucap Diana sambil menatap nisan Roni. "Baik aku, dan dia--kami tahu benar resiko dari ini semua." Ia tersenyum menatap Enriko, tetapi matanya tak bisa berbohong, ia adalah orang yang merasa paling kehilangan. Diana memberikan secarik kertas pada En. "Mungkin dia punya firasat. Beberapa hari lalu dia pulang dan menulis ini. Roni bilang, jika ia meninggal, berikan kertas ini pada Alan dan Enriko."
Enriko mengambil kertas itu, tetapi tak langsung membacanya. Ia menyimpan kertas itu di saku celananya, dan berniat untuk membacanya ketika perasaannya sudah mulai tenang. Diana menyuruh Al dan En untuk bermalam di rumahnya, mengingat rumah mereka sudah tak aman lagi.
Sebenarnya En tidak sejutu, mengingat keberadaan mereka bisa membahayakan Diana, tetapi Alan sangat ingin bermalam di sana. Pandangannya tak lepas dari wajah dan tubuh Diana yang tergolong sexy.
'Biadab kau Roni. Kau memang seorang panutan,' Batinnya menatap Diana.
Kini mereka bertiga masuk ke dalam mobil Diana dan segera menuju rumah yang ditinggali wanita itu. "Roni meninggalkan sesuatu untuk kalian," ucap Diana.
En memicingkan matanya. "Sesuatu?"
"Yups, kalian akan tahu nanti. Setelah melihatnya."
Perjalanan dilanjutkan tanpa sepatah kata yang terucap. Keadaan hening, mengingat mereka bertiga sedang berduka. Begitu pun Alan, meskipun naluri lelakinya bangkit dan matanya sesekali nakal menatap ke arah dada Diana, tetapi ia lebih merasa kehilangan daripada Enriko. Alan dan Roni memang tampak tidak akur, tetapi kenyataannya mereka memiliki banyak persamaan. Bagi Alan, Roni adalah sosok ideal yang ingin ia tiru.
Kira-kira empat puluh lima menit berlalu, kini mereka semua tiba di sebuah rumah berlantai dua yang cukup besar. "Ini rumah orang tua Roni," ucap Diana yang baru saja turun dari mobilnya.
"Tapi mereka enggak ada di acara pemakaman?" tanya En.
Diana tersenyum getir. "Ayahnya meninggal tiga tahun yang lalu," jawab Diana. "Beberapa hari lalu, Roni pulang sehabis bekerja untuk melayat Ibunya. Mereka pergi lebih dulu."
"Jadi, itu alasan paman pergi selama empat hari ...," gumam En lirih.
Alan seperti menjadi orang yang berbeda, ia lebih banyak diam daripada mengoceh seperti biasanya. Pria itu melamun dengan tatapan kosong.
"Jangan bengong, nanti kesurupan," ucap Diana sambil tersenyum menatap Alan. "Ayo, masuk." Enriko dan Diana masuk ke dalam rumah, sementara Alan ingin berada di depan sebentar lagi.
Ketika En memasuki rumah itu, ia melihat banyak aksesoris-aksesoris penangkal setan. Dari yang bermodel seperti taburan garam kasar, daun kelor, bahkan kaligrafi-kaligrafi bertulisan Arab. "Istirahat aja dulu, nanti sore aku akan memperlihatkan sesuatu yang Roni tinggalkan untuk kalian." Enriko di antar menuju kamarnya.
Sementara Alan menyalakan sebatang rokok dan mulai menghisapnya. "Jadi begini, ya? Rasanya rokok." Alan menatap getir sisa rokok yang Roni tinggalkan. "Rasanya enggak enak, tapi aku lakukan karena rasa hormatku. Aku ingin menjadi sepertimu, paman ...." Kini ia membuang asapnya. "Aku akan mencari tahu tentang misteri kematian Ibuku, dan membalas kematianmu. Aku akan mencari sesuatu yang sudah membunuhmu sampai ke dasar neraka. Dan aku akan melindungi istrimu yang cantik itu. Tentu saja untuk mu." Kini Alan mengangkat tasnya yang ia letakkan di tanah, lalu mengenakannya. Tasnya tak bisa tertutup sempurna, mengingat ia membawa tongkat berbalut kain putih milik Roni.
***
Kini, setelah cukup beristirahat. Al dan En berjalan turun dari lantai dua dan mendapati Diana yang sedang memasak makan malam untuk mereka. Menyadari kedua bocah itu turun, Diana mematikan kompornya dan menyediakan makanan untuk mereka. "Tentang sesuatu yang ingin Roni berikan pada kalian. Itu ada di garasi belakang. Sehabis makan malam, kalian boleh ke sana untuk melihatnya." Al dan En saling bertatapan. Mereka mencium bau petualangan.
Setelah menghabiskan makan malam, Diana dan Alan segera berjalan menuju garasi belakang, sementara Enriko masih duduk dan meningat kertas yang diberikan Diana, lalu membacanya.
'Jika kalian membaca kertas ini, artinya aku sudah tidak lagi bersama dengan kalian. Maaf, aku pergi duluan.
Kalian pasti bertanya-tanya, terutama kau, Alan! Mengapa aku meninggalkan istri yang menggairahkan seperti Diana dan lebih memilih berburu. Sejujurnya, aku berhutang pada Rudi. Malam itu, ketika Rudi meminta bantuanku untuk menolong kalian, ia berpesan bahwa ketika aku membantu kalian untuk pergi dari hutan itu, aku akan menjadi incaran iblis. Malam itu, harusnya Alan mati sebagai tumbal anak pertama, dan Enriko, kau harusnya adalah rencana mereka, mengingat kau adalah anak terakhir Mira.
Selama sepuluh tahun aku berusaha mencari kebenaran dan ketika aku semakin dekat dengan kebenaran, iblis semakin mengejarku. Ku putuskan untuk pergi dari rumah dan meninggalkan Diana demi keselamatannya. Hal yang serupa juga terjadi pada hidup Rudi, ia meninggalkan segala hal yang ia miliki dan membiarkan pria lain menikahi Mira demi keselamatan kalian. Bahkan Mira memalsukan nama kalian untuk mengelabuhi iblis, tetapi rupanya cepat atau lambat, mereka menemukan keberadaan Mira dan juga kalian dari informasi setan-setan lain.
Tentang bencana yang aku sempat singgung. Sebentar lagi akan terjadi perang besar. Mereka sudah mendapatkan apa yang mereka mau. Kunci terakhir yang mereka butuhkan hanya satu, jurnal Sagara yang entah apa mereka sangat inginkan.
Jaga jurnal itu dengan nyawa kalian. Tugasku sudah selesai. Ini adalah sebuah estafet. Kini giliran kalian yang menyelesaikan tugas kalian. Di buku itu tertulis cara untuk menggagalkan rencana iblis. Kalian harus mencari petunjuk lebih banyak untuk mengetahui cara memenangkan perang ini.
Aku tinggalkan kalian karavan kesayanganku dan Diana. Pergilah, jangan tinggal di satu tempat. Kalian harus keluar dari zona nyaman dan mencari kebenaran yang kalian cari. Semakin banyak langkah kalian, semakin tajam kalian. Maaf karena meninggalkan beban seberat ini pada pemuda seperti kalian.
Good luck, Alan dan Enriko. - Roni Kusuma Wardana.'
Di sisi lain, Alan sedang terperangah menatap mobil karavan berwarna perak yang terlihat gagah berdiri di dalam garasi.
"Aku dengar, kau bisa menyetir mobil? Bisa menyetir mobil ini?" tanya Diana.
Alan meneguk ludah menatap Diana, mereka hanya berdua tanpa Enriko. "Tentu saja bisa."
"Bagus, seorang pria harus bisa segalanya." Diana meletakkan jari-jari lentiknya di bahu Alan. "Ngomong-ngomong—Alan, kan namamu?"
Alan hanya mengangguk tanpa bisa membuka mulutnya.
"Kamu mirip sama Roni." Jari-jari lentiknya bermain di bahu Alan, membuat pemuda itu merinding. Diana mendekatkan wajahnya untuk melihat detail wajah Alan.
Alan berusaha membuang muka, tetapi tanpa sadar matanya justru melirik ke celah-celah kaos putih belahan rendah yang dikenakan Diana. Kini kulitnya agak terekspos ketika ia agak membungkuk di depan Alan.
"Kamu lagi liatin apa?" Kini jari-jari Diana berjalan hingga menyentuh telinga Alan.
"A-anu ...." Alan menjadi gagap seketika.
"Anu! Anu! Ternyata benar, kamu memang anak nakal seperti yang Roni katakan!" Diana menjewer telinga Alan hingga membuatnya memekik. "Roni bertaruh, jika aku menggodamu, kamu akan tergoda dengan mudah." Kini tangan-tangan Diana melakukan posisi defensif, dengan menutupi dadanya. "Kalo kamu bertemu iblis yang bisa menyerupai wanita, kamu pasti akan jadi makanannya, Alan. Perbaiki sifatmu."
'Roni, sudah mati saja dia masih bisa mengerjaiku! Rasanya seperti dia mengutukku seumur hidup.'
"Al, hidungmu mimisan." En yang datang langsung memberikan sapu tangan pada Alan, lalu berjalan menuju Diana. "Aku sudah membaca surat dari paman Roni. Jadi, ini benteng berjalan miliknya?" lanjut Enriko bertanya pada Diana.
Diana membuka karavan itu. Sebuah mobil dengan kapasitas kamar pribadi. "Semua sudah tersedia di sini." Karavan itu memiliki meja, lemari mini, kompor, tempat tidur, kursi, lemari pendingin kecil dan beberapa laci untuk menyimpan barang.
Dibukanya beberapa laci yang menyimpan bungkusan garam kasar dan juga bawang putih lanang. "Di sini juga ada beberapa senjata ...."
"Pastikan kalian tidak terlibat dengan polisi," celetuk Alan yang sudah hafal dengan teks lanjutannya. Diana tersenyum menatap Alan yang memotong ucapannya, anak itu hafal betul gelagat Roni rupanya.
"Kalo begitu, kami akan pamit sekarang juga," ucap En.
"En?!" Alan menatap Enriko dengan raut wajah yang tak enak pada Diana.
"Semakin kita lama di sini, semakin mereka bisa mencium aroma kita, Al. Kita sudah banyak merepotkan paman Roni dan tante Diana. Aku tidak ingin ada yang terluka gara-gara kita lagi." En menatap Al dengan sorot mata yang tajam.
"Ya, kamu benar." Al menoleh ke arah Diana. "Sepertinya kami harus pergi sekarang juga."
Diana berjalan mendekat pada mereka berdua. Ia memeluk Alan dan Enriko sambil meneteskan air mata. "Tolong balaskan kematian Roni ...," bisiknya lirih.
Dengan ragu, Alan menyentuh punggung itu. "Tanpa diperintah pun, kami akan melakukannya."
"Alan, Enriko ... jika kalian lelah. Kalian tau harus pulang ke mana. Roni berkata, dia menganggap kalian seperti anak-anaknya sendiri." Diana melepaskan pelukannya dan mengambil ponsel. Ia membuka chatnya dengan Roni dan memperlihatkan layar ponselnya pada Al dan En. Rupanya, tanpa sepengetahuan dua Sagara itu, Roni sering mengambil gambar mereka saat berlatih, belajar, dan juga momen-momen lucu ketika Alan tertidur dengan pose yang membuatnya terbahak. Roni seperti orang yang berbeda, di dalam chatnya, ia seperti seorang ayah yang sangat bahagia tinggal bersama anak-anaknya.
Getir melekat pada wajah kedua pemuda itu. Hujan yang harusnya telah berakhir, kini turun kembali. "Jaga diri kalian baik-baik, Sagara bersaudara," ucap Diana sambil sekali lagi memeluk kedua anak itu.
***
Setelah merapikan barang-barang mereka ke dalam karavan, Al dan En berpamitan dengan Diana. "Kamu harus belajar mengemudi, En. Jika aku mati, kamu harus bisa hidup sendiri."
"Ngomong apa sih?" En menatap Alan yang terlihat getir.
"Aku ngerasa kalo maut lagi berputar mengelilingi kita, En. Kita bisa mati kapan aja, di mana aja."
"Kita harus mencari informasi tentang 'Acedia'. Sesuatu yang Roni coba sampaikan pada kita." Kini En membuka ponselnya, dan mulai melihat google maps mencari destinasi untuk dituju. "Kita pergi ke Bogor. Paman Roni pergi ke sana untuk tugas terakhirnya sebelum ia pulang bertemu tante Diana." Kemudian En mengambil tumpukan koran bekas yang ia bawa dari rumah Roni, lalu mencari koran yang dibaca oleh Roni sebelum ia pergi ke Bogor waktu itu berdasarkan tanggalnya. "Ketemu. Dia pergi ke puncak. Berita mengatakan bahwa banyak korban yang ditemukan di salah satu curug yang berada di Gunung Salak."
"Roni pasti udah nyelesain itu, kan? Buat apa kita ke sana lagi."
"Ya, tapi dia pasti menemukan petunjuk di sana tentang apa yang kita cari. Kita akan mengeceknya sendiri. Ini hanyalah awal dari sebuah akhir," balas En dengan sorot mata yang tajam.
Al dan En segera melaju menuju Puncak Bogor untuk mencari tahu sesuatu yang mungkin saja Roni ketahui dan belum sempat mengutarakannya pada mereka berdua.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top