10 : Debut Perburuan

"Gi-gimana caranya nyebrang alam?" tanya Alan berkeringat, berharap En tidak memiliki jawaban.

"Astral projection," jawab En singkat.

Alan semakin heran menatap Enriko. "Jalan-jalan pake—wujud arwah?"

"Yups."

"En, itu cuma mitos. Enggak ada yang namanya perjalanan astral!" bantah Al.

"Tapi di sini ada. Ibu nulis tentang itu di jurnal ini. Apa cuma kebetulan?"

Al menggeleng sambil tertawa tipis. "En, ini adalah hal yang baru dan enggak mungkin seseorang bisa langsung begitu aja ngelakuin ini dipercobaan pertamanya. Ya, kalo emang astral proyeksi ini bener-bener ada."

"Kita enggak akan pernah tahu kalo enggak mencoba sama sekali." En menutup jurnalnya. "Oke, kita omongin itu nanti. Sekarang kita harus nemuin pohon bambu yang dimaksud sama anak yang tadi sebelum maghrib."

Alan tak tahu harus berkata apa lagi. Ia hanya menggaruk kepala sambil mengikuti En dari belakang. Mereka berpencar untuk mempercepat penelusuran.

***

Beberapa jam berlalu. Al kini kelelahan, ia duduk dan bersandar di sebuah batu besar yang berada di belakangnya. Sesekali ia teguk minuman kaleng yang ia simpan di kantong jaket. Di tengah lelahnya, Alan membuka gambar yang diberikan Nauval sambil memperhatikan sekelilingnya.

"Ini item-item apaan coba? Apa itu bocah salah gambar? Terus coret-coret enggak jelas buat ngehapus gambar yang jelek?" gumamnya sambil menoleh ke belakang mencari petunjuk.

Alan memicingkan mata menatap batu berwarna gelap yang menjadi sandarannya, lalu menatap gambar itu lagi, kemudian ia menoleh ke arah sekumpulan pohon bambu yang membentuk lingkaran tak beraturan di samping batu itu. "Bola hitam ... adalah batu besar ini." Dengan secepat yang ia bisa, Al berusaha untuk mencari En.

***

Kini Alan dan Enriko berdiri di depan sekumpulan pohon bambu yang berkerumun membentuk pola lingkaran tak beraturan. En mengeluarkan ponselnya, ia menatap bar sinyal yang kosong. "Orang bilang, tempat angker itu mengandung medang magnet yang bisa bikin kacau sinyal dan alat elektronik lainnya." En kini tersenyum menatap Al. "Di seluruh hutan bambu ini, ada sinyalnya, kecuali di sini. Yups, kita berhasil nemuin sarang makhluk itu."

"Berhasil, berhasil, hore ...," ledek Al menggunakan logat Dora, dengan wajah datarnya. "Ya udah, sisanya silakan diurus, tuan pemburu."

"Nanti dulu," bantah En. "Enggak ada jaminan proyeksi astral nanti bakalan berhasil, jadi seenggaknya kita berdua harus coba. Minimal ada salah satu di antara kita yang berhasil."

Al menggosok-gosok kepalanya dengan raut wajah dongkol. "Ya, ya, ya, ya! Oke."

Kini mereka berdua duduk di depan batu besar sambil membuka jurnal peninggalan Mira. "Hal pertama yang harus dilakukan untuk melakukan proyeksi astral adalah ...." En menoleh ke arah Alan yang sedang meneguk ludah. "Rileks. Kita harus dalam kondisi yang rileks."

"Oke, rileks," sahut Alan.

En mengangguk, kemudian menatap jurnal itu kembali. "Selanjutnya, memindahkan kesadaran dari tubuh fisik. Caranya adalah dengan menghipnotis atau memberikan sugesti pada diri sendiri, lalu fokus untuk memindahkan kesadaran ke dalam roh."

"Roh, oke." Alan memasang senyum bodohnya.

"Roh atau tubuh astral akan selalu terhubung dengan tubuh fisik, disambungkan oleh energi tak kasat mata yang biasa disebut 'benang perak'. Gunanya untuk membimbing roh kembali pada tubuh fisik."

"Gimana kalo pas berhasil, ternyata enggak ada benangnya?" tanya Alan.

En tampak sedang berpikir. "Hmm ... mati, maybe ...."

"Maybe?!" Alan menatapnya dengan tatapan terkejut.

"Oh, ada sedikit tips di sini," ucap En yang masih membaca jurnal. "Saat melakukan proyeksi astral, bayangkan cahaya berwarna putih atau kuning muda menyelimuti diri kita untuk melindungi diri dari makhluk jahat. Dan kita bisa berinteraksi tanpa batas di dunia astral."

Tanpa basa-basi, Al dan En berlatih untuk bisa melakukan proyeksi astral. Hingga tak terasa waktu sudah mendekati maghrib. Tak ada satu pun dari mereka yang menemukan titik terang, malahan Alan tertidur saat mencoba.

"Gimana percobaannya? Berhasil?" tanya En.

"Oh, ya, hmm ... bagus." Al mengacungkan jempol pada En.

En memasang wajah datar, ia mulai paham daritadi hanya dirinya yang berlatih, sementara Alan tertidur. "Ya udah, sekarang udah hampir maghrib. Kita ngumpet di belakang batu sampe itu makhluk keluar sarangnya."

"Emang kita enggak ketahuan?"

En mengeluarkan bawang putih lanang dan juga beberapa siung bawang merah. Ia melihat jam tangan di tangan kirnya, lalu ketika ia rasa sudah hampir waktunya, En membakar bawang-bawang itu menggunakan korek gas milik Roni yang baru saja dibeli untuk menggantikan koreknya yang hangus terbakar oleh Alan beberapa hari lalu.

Melihat korek milik Roni, Alan semakin tegang. 'Wah, si gila. Enggak paham lagi deh, pasti jadi bubur nih pas pulang.'

"Makhluk-makhluk halus enggak suka aroma beginian, ini bisa nyamarin aroma kita dari penciuman mereka," tutur Enriko.

Tak lama berselang, adzan maghrib berkumandang bertepatan dengan transisi langit dari terang menuju gelap. "Setan enggak akan keluar sebelum adzan selesai. Mereka benci kumandang adzan. Bersiap, kak."

Tepat setelah adzan selesai, seorang wanita berbaju putih panjang keluar dari pohon-pohon bambu yang sedang mereka perhatikan. Alan meneguk ludah, ia berusaha menahan napas karena takut hembusannya akan membuat dirinya ketahuan. Sosok itu memiliki wajah yang hancur dan payudara yang membleh hingga ke perut.

"Aku suka dada wanita. Apa lagi yang besar, tapi ini pengecualian, En ...," bisik Alan. En terlihat tak peduli. Ia masih memperhatikan Wewe Gombel yang sedang terbang menuju desa.

"Kayaknya dia nyari mangsa lagi, ayo kita harus cepat! Kita enggak tahu kapan dia bakalan balik lagi." Mereka berdua berlari menuju kumpulan pohon bambu itu. Al mengambil golok dari dalam tasnya dan membuka jalur untuk masuk ke dalam, sementara En menabur garam kasar di sekeliling area itu untuk mencegah Wewe Gombel masuk kembali ke rumahnya. Setelah itu, mereka berdua duduk dan berfokus pada proyeksi astral.

"Salah satu dari kita harus berhasil, atau kita kehilangan satu-satunya kesempatan." Enriko memejamkan matanya, berusaha fokus memasuki alam bawah sadar.

Beberapa menit berlalu, Al mulai lelah. Ia membuka mata dan beranjak dari duduknya. "Ayo, En! Kita pergi. Percuma begini, enggak akan ada hasilnya!" Ia berusaha memperingati En karena mulai merasa gelisah, tetapi matanya terbelalak ketika mendapati tubuhnya yang sedang duduk di sebelah adiknya.

Mendengar ocehan Alan, En membuka mata. "Ah, berisik! Jadi enggak konsen ...." Ucapannya terhenti ketika ia mendapati Alan menjadi dua. "Alan! Kamu berhasil!" En tersenyum menatap roh kakaknya.

"Justru itu ... kenapa aku?!" Alan semakin panik dengan keadaannya.

"Enggak ada waktu berbahagia! Cepet, periksa lokasi ini, kak."

"Bahagia? Kamu gila, En ...." Alan menghentikan ucapannya, ia kini menatap sesatu di belakang tubuh mereka. "Ada sebuah terowongan bawah tanah di belakang kita," ucap Alan.

"Itu adalah dunia mereka. Aku enggak bisa lihat itu karena berada di dunia kita, tapi kamu bisa, kak. Cepet cari anak-anak yang hilang itu. Wewe Gombel enggak menyakiti mereka, tetapi anak-anak ini bisa mati karena kelaparan!"

Alan berusaha mencari senter di dalam tasnya, tetapi ia tak bisa menyentuh tas miliknya. "Yah, elah—nembus!"

"Alan, buruan!" pekik Enriko.

Al mengingat tips terakhir dari En. Sebelum ia masuk, Al membayangkan tubuh fisik dan rohnya memiliki perisai astral berwarna putih. Sontak membuat kedua tubuhnya mengeluarkan cahaya berwarna putih. 'Ah, berhasil rupanya.'

Ketika Al berjalan masuk ke dalam terowongan, En kehilangan wujud roh Alan. Sosoknya tiba-tiba saja menghilang dari pandangan Enriko, menyisakan raganya. Mungkin karena kini mereka berada di alam yang berbeda.

Di sisi lain, Al mengambil salah satu obor yang berada di dinding terowongan. Ia membayangkan sebuah api dan tiba-tiba saja obor itu menyala. Sejujurnya, ia agak terkejut, tetapi rasa takut membimbingnya untuk cepat-cepat menyelesaikan pekerjaan ini tanpa pertanyaan. Al terus berjalan menelusuri terowongan itu hingga ia menemukan sebuah pintu yang dirantai.

"Pintu ini ... jangan-jangan penjara anak-anak itu," gumamnya sambil berusaha memutuskannya.

Namun, rantai itu sangat keras dan tak mudah untuk dirusak. "Seandainya aja, ada kapak," ucap Al. Baru saja ia berkata seperti itu, sebuah kapak muncul entah dari mana. Ia tak peduli, yang jelas, Al langsung menghantam rantai itu dengan kapak yang ia dapatkan hingga hancur.

Setelah rantai itu hancur, Alan membuka pintu dan mendapati anak-anak yang sedang duduk ketakutan. Beberapa ada yang menangis dan beberapa tampak pucat seperti sakit.

"Kalian aman," ucap Alan pada mereka semua. "Ayo kita pulang." Ia membimbing anak-anak ini untuk keluar.

Mereka bergegas pergi. Alan berjalan menggendong dua anak yang terlihat sakit. Satu ia gendong di punggung, dan satu lagi ia gendong dipelukannya. Persis ayah tirinya dahulu ketika membawa Al dan En keluar dari hutan.

***

Sementara itu dari kejauhan, En melihat siluet seorang anak kecil sedang berjalan menuju tempatnya berada. "Begitu rupanya, Wewe Gombel tidak membawa anak-anak secara langsung, ia hanya membimbingnya dengan tipuan-tipuan mata. Membuat seolah si anak asik bermain, lalu menjebaknya di dunia lain." Enriko mengeluarkan jurnal Sagara, dan membuka halaman yang berisikan mantra-mantra pengusir roh jahat. Perlahan ia mulai merapalkannya, hingga membuat Wewe Gombel sadar akan kehadirannya.

"Alan, kau dengar aku?! Sekarang makhluk itu sedang menatap ke arah sini sambil membawa anak baru, sebentar lagi ia akan datang. Aku akan membawa bocah itu pergi keluar dari hutan dan menjadi pengalih. Aku akan membuat celah untukmu, jangan sampai gagal." En beranjak dari dari posisinya dan langsung berlari menerjang bocah kecil itu. Ia menggendong paksa anak itu dan membawanya kabur dari Wewe Gombel.

Enriko berlari. Bibirnya terus bergumam tak putus-putus merapalkan mantra secara cepat. Ia berlari sekuat tenaga tanpa menoleh ke belakang, hingga berhasil keluar dari hutan dan menemui beberapa warga yang baru saja selesai shalat maghrib.

"Tolong jaga anak ini, dia aman sekarang," tutur Enriko.

Seorang gadis menghampirinya. "Mahasiswa UI, kan?"

Itu adalah anak pak kepala desa, ia masih mengingat wajah Enriko rupanya. En tak terlalu memperdulikan orang-orang ini, ia sibuk menatap sekeliling dan tak jarang melihat ke arah hutan. "Ke mana dia?" ucap En.

"Dia? Siapa?" Gadis itu memicingkan matanya menatap En.

"Oh, no ... seharusnya makhluk itu ngejar, kan?"

Di sisi lain, Wewe Gombel itu tak mengejar En. Ia lebih memilih kembali ke rumahnya ketika melihat beberapa pohon bambu yang hancur akibar ditebang. Namun, melihat garam kasar mengelilingi rumahnya, makhluk itu tak berani masuk ke dalam. Setidaknya sampai hembusan angin perlahan membuat garam-garam itu berhamburan dan memutus pola yang melingkari rumahnnya.

Alan yang berjalan di depan anak-anak, kini menatap lorong panjang yang sempat ia lewati ketika masuk. Sehabis lorong ini, mereka akan menemukan jalan keluar. Namun, anak-anak mendadak berteriak ketika Alan menghentikan langkahnya dan menatap sosok yang berdiri tak jauh di depannya.

"Holy shit ...," gumamnya gemetar. "Nih, bijimane urusannye nih." Anak-anak itu serentak memeluk Alan. "Yah elah, makin kagak bisa bergerak aja ini woy!" ucapnya dengan nada panik.

Alan menyesal selalu bolos ketika ia dan En mengikuti pengajian di masjid ketika masih anak-anak. Seharusnya, ia duduk manis di pengajian. Minimal saat ini ia bisa membaca beberapa ayat random untuk mengusir setan itu.

Anak yang Alan gendong di punggung mencengkeram bahunya sekeras yang ia bisa. Tampaknya, anak itu adalah yang paling ketakutan di antara yang lain. Alan mendadak memikirkan sosok makhluk halus yang menuntunnya untuk mengambil jurnal milik Mira. Seketika itu ia mengingat bagaimana wanita berwajah pucat itu menghadapi Takau demi menolongnya dan Enriko.

"Seandainya dia di sini," gumam Al, tetapi, tak ada waktu untuk memikirkan hal-hal seperti itu.

Alan berusaha mendekat dengan langkah yang sangat pelan. Setidaknya, anak-anak ini harus bisa keluar, biar nanti En memikirkan cara untuk menyelamatkannya. Begitu pikirnya.

Namun, ketika jarak mereka tak terlalu jauh, Wewe Gombel itu perlahan melayang ke arah mereka.

"Ah, enggak seru nih kalo begini," gumam Alan yang semakin gemetar menatap kuku-kuku tajamnya.

Makhluk itu tiba-tiba menyeringai ke arah Alan dan menambah kecepatannya. Ia melesat sambil tertawa girang. Alan dan seluruh anak-anak yang ia bawa bergidik ngeri mendengar tawanya.

'Saat ini aku sedang berada dalam mode astral, apa aku bisa menyentuh makhluk itu?'

Demi anak-anak ini, Alan berusaha menghadapi rasa takutnya. Ia memberanikan diri untuk berlari menerjang makhluk menyeramkan itu. Ketika mereka berpapasan, Alan menatapnya dengan sorot mata yang tajam. Ia menjambak rambut Wewe Gombel dan membanting kepalanya ke dinding. "LARI! KELUAR DARI SINI!" teriakan Alan membuat anak-anak itu berlari keluar terowongan, kecuali seorang anak yang paling ketakutan.

Wewe Gombel tiba-tiba melempar Alan tanpa menyentuhnya, membuat perisai astral Alan menghilang. Makhluk itu menatap satu anak yang tersisa dan berusaha mendapatkannya, tetapi Alan menarik kaki Wewe Gombel yang penuh dengan darah, lalu berlari untuk membawa anak itu.

Alan kalah cepat, makhluk jahat itu lebih dekat dengan si anak yang tertinggal. Ketika ia hendak menangkap anak itu, sosok wanita berwajah pucat yang tempo hari menolong Alan tiba-tiba muncul dari pintu terowongan dan menerjang Wewe Gombel hingga masuk ke dalam ruangan yang digunakan untuk memenjara anak-anak.

Wanita itu menatap Alan seolah berkata 'pergi!', tetapi bukannya pergi, Alan malah berlari membantu wanita itu. Kini wanita itu berusaha menutup pintu yang disedang dipaksa terbuka dari dalam, sementara Al mengikat rantai-rantai yang tersisa. Ia membayangkan sebuah gembok, dan entah dari mana, sebuah gembok muncul dengan kuncinya. Tanpa membuang waktu, Alan menggembok rantai dan pintu di hadapannya, lalu membayangkan pelindung astral pada gembok dan rantai-rantai itu.

Ketika ia berhasil menyegel Wewe Gombel, Alan kehilangan sosok wanita berwajah pucat. Wanita itu menghilang begitu saja tanpa Alan sadari. Alan tak berusaha mencari, kini ia berjalan kembali dan menggendong anak yang tersisa, lalu membawanya keluar. Alan mengikuti tali yang menghubungkan antara roh dan raganya.

Ketika Alan duduk kembali pada raganya, ia telah kembali ke dunia. Digendongnya anak yang berhasil ia selamatkan, lalu berjalan keluar dari pohon bambu.

Alangkah terkejutnya ia ketika melihat warga sekampung menatapnya. Anak-anak yang selamat telah kembali pada orang tuanya.

"Rizki!" Anak pak kepala desa berteriak dan berlari ke arah Alan. Anak yang Alan gendong adalah adik dari gadis itu, yang tak lain dan tak bukan adalah putra bungsu pak kepala desa. Rizki turun dari punggung Alan dan memeluk kakaknya, ia tak dapat berbicara.

Menurut penuturan anak-anak lain, ada dua anak yang disusui oleh Wewe Gombel karena sering menangis. Itu adalah dua anak yang terlihat sakit sebelumnya, dan salah satunya adalah Rizki. Sejak itu, Rizki tak pernah berbicara.

Kini Enriko berdiri dan menatap Alan dengan tatapan bangga. Ia berjalan ke arah Alan dan memeluknya. "Selamat kembali."

***

Alan dan Enriko memasukkan beberapa hadiah yang diberikan warga pada mereka berdua karena dinilai menyelamatkan anak-anak yang hilang. Beruntungnya, bawaan mereka tak banyak sehingga semua oleh-oleh itu masuk ke dalam mobil.

"Maaf membuatmu dalam masalah, kak," ucap En sambil menutup bagasi.

Alan tak membalas ucapan En, ia hanya tersenyum, lalu masuk ke dalam mobil. En mengikutinya dan duduk di samping Alan sebagai navigator. Al mengambil ponselnya dan menelpon Roni.

"Halo, kami baru selesai. Sekarang dalam perjalanan pulang."

"Hmm ... kerja bagus. Santai saja, tidak perlu kebut-kebutan, oke?" balas Roni.

"Aku akan menceritakan banyak hal padamu ketika pulang. Malam ini, aku MVP nya," ucap Alan sambil menatap Enriko dengan senyum tipis, kemudian ia mematikan telponnya dan fokus menyetir mobil.

"En, tentang pekerjaan ini ...." Alan menghentikan ucapannya sejenak. Senyum tipisnya berubah menjadi tawa kecil. "Aku rasa enggak terlalu buruk. Emang sih enggak dapet upah yang sesuai. Ya, kalo pun dapet hadiah kayak tadi itungannya cuma bonus."

En menahan tawanya mendengar itu. "Ini—Alan, kan?" Rasa-rasanya seperti bukan Alan saja, ketika mendengar pernyataan barusan.

"Ngeliat senyum orang-orang itu. Ngeliat tangis bahagia anak-anak yang berhasil kita selamatkan. Kamu tahu, En ... mungkin aja polisi bisa menyelamatkan jutaan nyawa manusia, tapi dalam kasus ini mereka enggak akan bisa nyelamatin siapa pun, tapi kita bisa. Dan itu, keren." Al mulai merasa bahwa hasil dari apa yang mereka lakukan bukanlah hal yang sia-sia. "Sekarang aku tahu, kenapa Ayah dan Ibu melakukan ini semua."

"Ya, kamu bener. Mereka hebat," balas Enriko. "Dan kita akan menjadi lebih hebat dari mereka."

Alan mulai menyalakan radio. Ia ingin mendengarkan musik untuk mengalihkan pembicaraan yang semakin manis ini. Rasanya, ia jadi rindu pada sosok Mira. Banyak hal yang ia ingin ceritakan perihal pengalamannya, tetapi ia tak bisa.

Al hanya mampu berharap mampu bertemu dengan sosok wanita berwajah pucat yang tadi sempat menolongnya lagi, untuk menuntaskan dahaga atas rasa penasarannya. Kini Sagara bersaudara itu bermandikan cahaya bulan dalam perjalanannya menuju tempat yang mereka sebut rumah.

.

.

.

TBC


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top