1 : Kelam Malam

Gelap, itulah malam. Bulan menjadi utusan langit untuk menyingkirkan cahaya dari muka bumi. Orang-orang bilang, maghrib adalah waktu pergantian alam. Di mana alam ghaib memulai aktivitasnya.

Mungkin menurut sebagian orang, itu adalah hal yang tidak terlalu penting mengingat orang-orang tersebut tidak bisa melihat 'mereka'. Berbeda dengan bocah yang sedang duduk di dekat sumur tua di tengah hutan itu. Kini ia sedang duduk sambil menangis. Anak itu berada di tengah hutan karena sedang bermain petak umpet dengan saudaranya.

"Ayo pulang." Seorang anak lainnya datang menjemput bocah yang sedang menangis itu. Mereka adalah kakak beradik, Alan dan Enriko.

"Aku takut, Kak," ucap Enriko sambil menangis.

Memang, sejak kecil ia mampu melihat mereka yang tak kasat mata. Ketika pergantian sore ke malam Enriko selalu ketakutan, tak jarang ia menangis.

"Enggak usah dilihat kalo kamu takut." Alan berjongkok untuk menggendong adiknya. "Sini naik." Seperti biasa, En naik ke pundak Alan yang berbeda dua tahun di atasnya. Sambil menggendong adiknya, Alan segera berjalan menuju rumah, mengingat hari mulai gelap.

Ketika melewati sebuah jembatan, En mencengkeram pundak Al. "Tutup matanya, jangan takut," ucap Alan. Tepat di sebelah Alan, ada seorang wanita berwajah hancur yang mengikuti mereka berdua. Al tidak bisa melihat wanita itu seperti En, makanya ia berjalan santai sambil terus melangkah. Enriko hanya bisa pasrah dan berdoa agar mereka cepat sampai di rumah.

Berjalan sejauh 200 meter, akhirnya mereka berdua tiba di pinggir hutan. Terlihat rumah kabin tak jauh di depan. Mira dan Arif, orang tua mereka berdua sudah menunggu di dalam rumah dengan wajah penuh getir.

"Mandi dulu sana, terus shalat dan makan," ucap Mira, Ibu dari Al dan En.

Alan dan Enriko berjalan ke kamar mandi untuk mandi, kemudian mereka mendirikan shalat, setelah itu mereka berdua menuju meja makan untuk menyantap hidangan makan malam.

***

Malam semakin larut. Alan sudah tertidur, sementara Enriko masih menatap keluar jendela kamar. Di sana, wanita yang mengikuti mereka dari jembatan tadi mengintip dari balik kaca. Sosoknya membuat En ketakutan dan tak bisa tidur.

Mira menyadari kehadiran makhluk itu. Meskipun ia telah menabur garam murni di pinggiran rumah untuk menangkal makhluk-makhluk tersebut masuk ke dalam rumah. Tetap saja, fakta bahwa anaknya Enriko sedang ketakutan tak bisa dibiarkan begitu saja. Mira berjalan keluar membawa sebuah besi batangan.

"Mau ke mana?" tanya Arif.

"Sebentar, ada yang ganggu Enriko," jawab Mira sambil membuka pintu rumah dan berjalan ke samping.

Arif sudah akrab dengan hal-hal mistis. Ia menikahi Mira yang notabenenya wanita indigo. Mira bisa melihat dan merasakan hal-hal ghaib di sekitarnya. Selain itu, Mira juga memanfaatkan kemampuannya untuk membantu orang-orang yang mengalami gangguan mistis. Tak sedikit dari 'mereka' yang mengincar Mira. Oleh karena itu, Mira menangkal kehadiran mereka dengan beberapa cara, salah satunya menabur garam murni di sekitar rumah.

Makhluk tak kasat mata tidak memiliki jasad dan fisik sehingga terbebas dari ikatan molekul dan atom. Karena itulah mereka tidak bisa dilihat oleh manusia secara langsung. Akan tetapi, mahluk ghaib memiliki keterikatan dengan gelombang energi sehingga tidak sedikit alat pendeteksi radar mampu melacak keberadaan mereka.

Garam murni dinilai mampu mengeluarkan energi elekktromagnetik dan bisa menghasilkan gelombang listrik. Tidak bisa dibilang ampuh, tetapi garam murni bisa menjadi salah satu media yang cukup mampu menangkal kehadiran 'mereka'.

"Mau apa?" ucap Mira ketus pada sosok yang berdiri di depan jendela.

Sosok itu menoleh tanpa menggerakan tubuh, hanya kepalanya saja yang bergerak. Ia menyeringai sambil menunjuk ke arah Enriko.

Ini bukan kali pertama Enriko diikuti oleh 'mereka', dan Mira selalu mampu mengusir makhluk-makhluk ini tanpa sepengetahuan anak-anaknya. Kini Mira berjalan ke arah sosok tersebut. "Pergi, atau ku hajar." Ia menggenggam besi di tangannya dengan sangat erat.

"Hihihihi." Wanita itu malah cekikikan.

Mendegar tawanya, Mira agak merinding, tetapi dengan cepat ia langsung memukul makhluk tersebut hingga sosoknya menghilang menjadi kepulan asap hitam.

Mira menghela napas dan berjalan kembali ke dalam rumah. Setelah itu ia masuk ke dalam kamar dan membaringkan tubuhnya di kasur sambil berusaha memejamkan mata untuk tidur.

Ketika hening menjadi kuasa di tengah hamparan gelap, Mira terbangun dari tidurnya. Ia menatap jam dinding, rupanya sudah hampir tengah malam. Samar-samar ia mendengar suara langkah di teras rumah yang berlantaikan kayu. Ia bangun dan berjalan ke ruang tamu untuk mengintip siapa yang berjalan di teras rumahnya.

Namun, baru saja melangkah keluar Mira terbelalak mendapati garam yang ia tabur di sekeliling rumah kini berwarna hitam pekat. Melihat itu, sontak ia segera berlari ke kamar anak-anaknya sambil memanggil suaminya.

"ARIF!"

Ketika Mira membuka kamar putranya, ia melihiat Enriko yang sedang berdiri membelakanginya. Anak itu sedang menatap ke luar jendela. Sementara Al masih tertidur pulas.

En yang sadar bahwa Mira datang segera menoleh dengan wajah pucat ketakutan. "Ibu," ucapnya gemetar. "Ada manusia kepala kambing."

Mendengar ucapan anak itu, Mira langsung berlari menutup mata En, lalu menutup gorden jendela yang terbuka lebar.

"Ada apa, sayang?" Arif muncul dari balik pintu.

"Bawa anak-anak pergi dari rumah!" seru Mira dengan wajah tak kalah pucat dari Enriko.

Tanpa bertanya, Arif segera berlari menggendong Al dan En yang masih kecil. Mira menyemprotkan parfum beraroma bawang putih pada mereka bertiga, gunanya untuk menyamarkan aroma agar tak tercium oleh makhluk yang sedang mengincar mereka semua.

Mira mencium kening anak-anaknya. "Bawa mereka ke rumah Ibu."

Arif segera pergi melalui pintu belakang. Ia menggendong En di punggungnya dan Al di tangannya.

Pergerakan Arif agak lambat, mengingat menanggung berat dua anaknya yang masih kecil. Ia berhenti di pinggir jalan dan memberhentikan sebuah mobil taxi yang kebetulan lewat.

"Pak, tolong antar anak-anak saya ke alamat ini." Ia memberikan secarik kertas pada sopir taxi itu, dan membayar tagihannya.

Al yang masih mengantuk masuk ke dalam mobil bersama dengan En yang terus menatap ke dalam hutan. Mungkin karena takut, bocah itu tak mampu berkata-kata.

Arif menunduk dan mengusap kepala Enriko yang duduk di kursi tengah mobil. "Kalian tinggal dulu di rumah nenek, ya. Nanti Ayah dan Ibu nyusul," ucap Arif pada Enriko, dibalas anggukan kepala oleh bocah itu. Ia mengecup kening Al dan En, lalu menutup pintu mobil. Pria itu berjalan kembali ke rumah untuk membantu Mira. Sementara sopir taxi melanjutkan perjalanan ke alamat yang dituju.

Sejak malam itu, Alan dan Enriko tak pernah melihat kedua orang tua mereka lagi. Kakak beradik itu hidup bersama nenek mereka di kota.

Berita mengatakan bahwa Mira dan Arif terbunuh oleh hewan buas yang kebetulan berkeliaran di sekitar rumah mereka.

***

8 Tahun kemudian.

"En, En," panggil Alan sambil mengguncang-guncang tubuh adiknya. "Enriko!"

En terbangun dari mimpi buruknya. Kentara, ia selalu melihat sosok Mira di dalam mimpinya. Mira seakan mengatakan sesuatu padanya, tetapi tak jelas pesan apa yang hendak disampaikan oleh Mira. Yang Enriko ingat hanya, Mira di kelilingi oleh orang-orang bertopeng kambing. Mereka semua terlihat menyeramkan. Mira berdiri terikat di sebuah altar di kelilingi oleh obor-obor dengan nyala api yang mengelilinginya.

"Mimpi buruk lagi?" tanya Alan. Sementara En hanya mengangguk dengan napas terengah-engah.

"Ya udah, sekarang tidur lagi gih." Alan kembali merebahkan diri sambil menutupi diri dengan selimut miliknya. Perlahan matanya terpejam kembali.

Kini mereka berdua bukan lagi bocah ingusan. Al sudah hampir menginjak usia tujuh belas. Sekarang ia duduk di kelas tiga SMA, sementara En duduk di kelas satu SMA.

"Mimpi buruk itu ulah setan," tutur En memecah keheningan.

Mendengar pernyataan Enriko, Alan membuka matanya kembali. "Setan itu enggak ada. Kita udah bukan anak kecil lagi, En."

Ya, Alan tumbuh menjadi orang yang realistis. Ia tak percaya akan adanya eksistensi 'mereka' yang tak terlihat. Enriko pun paham, ia tak bisa memaksa Alan untuk selalu percaya padanya yang mampu melihat hal-hal mistis.

Kini mereka berada di jalan yang berbeda. Seperti Alan, kini Enriko kembali berbaring dan meyelimuti diri dengan selimut miliknya. Ia memaksa matanya terjepam, berharap mimpi buruk itu tak mampir kembali. Setidaknya untuk malam ini.

.

.

.

Welcome to Jurnal Sagara.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top