The Holy Darkness by Hatred Rilvelt

[MID REVIEW]

The Holy Darkness, sebuah kontradiktif dalam satu judul yang langsung membuat saya tertarik.

Bagaimana mungkin sebuah kegelapan terasa suci? Saya sempat bertanya-tannya seperti itu dan menerka.

Terkaan saya terbukti separuh benar di abstrak. Separuh, karena ternyata memang benar sang tokoh utama katanya sudah dikecewakan oleh kebaikan dan kegelapanlah yang membimbingnya kembali ke jalan yang suci. Kegelapan yang harusnya jadi musuh, justru jadi pembimbing setia, sahabat, dan mengembalikan kepercayaan sang tokoh utama pada harapan, sesuatu yang sebelumnya gagal dilakukan oleh sang cahaya.

Kegelapan yang harusnya kotor, malah mensucikan. Akan seperti apa kisah ini nanti, saya benar-benar menantikannya.

1. Abstrak
"Percayakah kau bahwa kebaikan murni itu masih ada di dunia ini?"

Verron bukanlah anak yang mudah goyah, tetapi hidupnya benar-benar berubah semenjak kematian sang ibu. Pribadinya telah kehilangan sinar, berubah suram dengan pandangan yang berubah drastis terhadap dunia. Tidak ada lagi yang namanya kepercayaan, terlebih pengharapan. Hidup yang dulunya penuh dengan keinginan untuk bahagia bersama sang ibu pun berubah penuh dendam kepada sang pembunuh, ayahnya sendiri.

Kelam.

Hanya kata itulah yang mampu menggambarkan kehidupan Verron sekarang, hingga takdir membawanya bertemu dengan Zare, pria aneh yang mengaku-ngaku sebagai iblis. Terlihat dalam penampilan yang janggal, tidak tahu kapan harus berhenti mengoceh, dan selalu bersikap menyebalkan. Segalanya itu membuat hidupnya terasa lebih kacau, tetapi lebih berwarna daripada sebelumnya.

Namun siapa sangka ucapan demi ucapan Zare yang selalu dianggapnya omong kosong adalah mutlak kebenaran?

Seiring berjalannya waktu, berbagai kenyataan mengejutkan berdatangan, membuat Verron menyadari adanya benang merah yang menghubungkan berbagai kejadian semasa dua tahun belakangan ini. Tentang kematian ibunya, tentang keberadaan Zare sebagai iblis di dunia ini, juga perselisihan besar yang terjadi di antara malaikat dan iblis.

Terakhir dan yang paling tidak masuk akal, Zare si iblis ternyata mampu mengembalikan kepadanya arti dari kebaikan murni yang telah lama hilang dari dunia kecilnya.

-

Ketika saya bilang, tebakan saya separuh benar, itu karena separuhnya masih terkungkung dalam tanda tanya, akan seperti apa perkembangan alurnya nanti.

Dari abstrak yang potensial ini, sayang rasanya jika sampai semua premis manis ini terbuang begitu saja oleh pembawaan dan alur yang buruk.

Harapan dan keputus asaan, kebohongan dan kebenaran, dua aspek nilai moral bertentangan yang dipadukan dalam kisah ini agaknya bisa jadi duet yang luar biasa menyentuh dengan pembawaan yang baik.

2. Sampul
Adalah hal pertama yang memikat saya ke cerita ini.

Gambar siluet seorang pemuda dengan sayap sekelam malam, dengan abstrak yang demikian misterius dan judul yang tidak kalah misteriusnya, siapa yang tidak tertarik? Bukan saya, tentunya.

Sampulnya bikin iri, jujur saja. Sejak saya belum bisa bikin sampul, sampai sekarang bisa bikin sampul yang bagus jadi rusak, saya selalu iri sama sampul cerita ini. Nyomot gambarnya dari mana, coba?

Yah, walaupun tampilan sampul macam ensiklopedia alih-alih novel gara-gara font yang dipilih terlalu resmi dan covernya dipotong terlalu formal dan warna hitam membingkai gambar secara proporsional, saya masih mau buka sampulnya dan baca kisah di dalamnya.

Tapi mungkin sebagian orang yakin sampul dengan gaya anime begini berpotensi cerita di dalamnya pasti anime-ish alias gaya-gaya bahasanya ngikutin gaya anime banget. Saya juga termasuk stereotip itu karena udah beberapa kali dikecewakan novel bergambar amat bagus di sampul depan. Dulu sih, gaya cerita di kisah ini memang masih ngikutin gaya-gaya novel ringan jepang, tapi sekarang sudah sedikit berubah.

Berubah lebih baik atau lebih buruk? Saya simpan aspek itu di bawah.

3. Tema
Belajar kebaikan dari makhluk yang seharusnya paling jahat di semesta, itu salah satu premis favorit saya, sejujurnya. Kalau pengarangnya kreatip dan bisa membawakan alur serta penokohan yang minimal bagus, premis ini nggak hanya akan menampilkan cerita yang wow bagusnya tapi juga pelajaran yang benar-benar berharga. Karena, hei, kita juga belajar sebagian kebaikan dari kejahatan, begitu pun sebaliknya, kenyataan bilang begitu, suka maupun tidak.

Kalau tema ini bisa konsisten, saya bisa menoleransi cerita ini dan baca sampai akhir nanti.

Tapi sayang banyaknya sandungan yang saya temui dari segi bahasa dan pembawaan alur yang sedikit-sedikit jomplang dan narasi yang bias, mengurangi antusiasme saya membaca sampai separuhnya.

Saya paham apa yang ingin disampaikan kak Nat dan apa pandangan beliau, tapi menjejalkannya dan menjadikannya penundaan dalam cerita itu bykanlah hal bijak dalam mengolah tema. Sub tema bisa melenceng ke mana-mana akibat kesalahan itu, dan kemungkinan terburuk, konflik terselesaikan dengan wah dan komplit, tapi minim kesan.

4. Alur
Adalah aspek paling bermasalah yang saya temui di cerita ini.
Saya menemukan alur yang dibawakan kak Nat seperti jalur berbukit yang landai dan enak digunakan untuk jalur sepeda gunung.

Tapi adanya marka kejut, lubang, tikungan tajam, dan rambu berhenti yang tiba-tiba banyak di ujung jalur landai itu, membuat saya tidak nyaman.

Dengan proporsi monolog dan dialog 7:3, penundaan yang kak Nat berikan dalam setiap adegan agak membludak.

Kak Nat fokus dengan bagus ke alur maju dan baik dalam menyampaikan berbagai kilas balik yang terjadi, pun dengan berbagai selipan adegan masa lalu yang walaupun sedikit terlalu berbaur dengan paragraf, masih bisa ditoleransi.

Tapi penundaan yang seringkali terjadi si tengah cerita akibat pergolakan batin tokoh, membuat alurnya seringkali mandek.

Itu adegan tokoh utama sedang memikirkan keberadaan hantu di dunia ini. Paragraf kedua dan ketiga boleh-boleh saja, tapi saya rasa paragraf pertama bisa dipersingkat lagi. Tidak perlu menyuruh pembaca membayangkan sebenarnya karena Verron sudah menjabarkannya dengan baik saat mendengar suara gaib di kepalanya.

Penundaan dengan perbandingan tak langsung begitu berkali-kali ada di tengah konflik yang sedang panas-panasnya. Paragraf seperti itu sebaiknya dihemat, diganti, atau dihilangkan karena penjelasan seperti ini termasuk memperlambat alur, bukan dalam artian positif.

Rasanya saat membaca penundaan yang tau-tau ada di tengah konflik begini mirip nontonin adegan yang diberhentikan tiba-tiba, lalu dilanjut mendadak. Itu terjadi berkali-kali, mirip kesandung batu rasanya, dan itu bukan pembawaan alur yang baik.

5. Penokohan
Pernahkah saya bilang kalau saya suka tokoh remaja lelaki yang dapat menjaga emosinya?

Verron termasuk salah satu karakter remaja yang saya sukai. Dia dewasa secara emosional. Jadi alih-alih karakter senggol bacok yang pastinya emosinya dangkal, kita dapat remaja yang kayaknya seorang pemikir yang baik. Dia nggak tertebak. Seringkali setiap tindakannya, bukan mendatangkan tawa, malah tanya. Sayang banget pergolakan batinnya dia dijabarkan dalam paragraf yang langsung tumplek blek sehingga apa yang tampak dari pergolakan batin hebat, malah jadi racauan yang lebay.

Mia adalah penyegaran di antara banyak sekali karakter cewek agresif dan brutal. Cewek culun pemalu adalah karakter penuh keterbatasan favorit saya. Bukan yang malu-malu-mau kayak yang banyak banget di novel YA, tapi yang benar-benar pemalu dan tulus. Saya suka karakter Mia dan pengen tau seberapa jauh perkembangan karakternya dapat tercipta. Jika memang ada saran, sebaiknya jangan buat saya merasa sudut pandang Mia hanya sebatas penyegaran kejenuhan Kakak dari sudut pandang Verron dan Zare, karena kebanyakan sudut pandang Mia hanya berisi kegalauan dia dan aktivitas yang tidak begitu berpengaruh dalam cerita. Saya merasa sudut pandang dia sebenarnya bisa saja digabung ke sudut pandang Verron di banyak kesempatan.

Zare adalah tokoh utama kedua kita. Konsistensi kegalauan dan kegamangan dia lebih parah dari Mia sampai saya mulai menerka, jangan-jangan dulu kerjaan nih orang banyakan ngobrol dan bengong aje semasa hidup. Itu bukannya tanpa alasan walau saya rasa alasannya harus ditambah lagi. Pergerakan Zare terbatas agar tidak semakin dicurigai dan semakin jatuh jadi iblis. Motivasinya kuat. Dan dia berhasil jadi tokoh yang bicaranya paling berbelit dan misterius nomor dua setelah Hetelia. Saya harap emosi dan kegamangan dia bisa diperdalam dan dipernis lebih mulus lagi, sehingga gejolak batinnya dia nggak kelihatan seperti kehalauan abg. Tindakan dia menjaga Verron juga harus diberi keberagaman, sehingga dia nggak keliatan sebatas hanya nongkrong dan kelayaban.

Ao dan Oraclest ... Mereka sejauh ini jadi tritagonis yang sedikit lebih guna dibanding Zare sendiri.

Hetelia, karena masih belum terungkap apa yang dia lakukan, saya belum bisa komentar banyak. Dia sangat mengundang rasa pemasaran saya, tapi sudut pandang dia dan Zare sebaiknya memang digabung.

Raven katanya salah satu antagonis besar kita di cerita ini. Satu lagi antagonis bermoral abu-abu dan punya kisah pahit yang mengundang empati. Sejauh ini dia masih bisa saya toleransi keberadaannya walau motivasinya masih belum jelas. Saya justru lebih suka Maureen sebagai perusak suasana walaupun Maureen kebanyakan hanya tampil di Narasi dan baru satu kali tampil sungguhan di depan sang tokoh utama secara tidak langsung.

6. Latar
Soal di mana kejadian ini berlangsung, lumayan jelas. Sekolah ya sekolah, rumah Verron ya rumah Verron.

Tapi sisanya, suram.

Saya maklum pada cerita bersegmen remaja yang memang kebanyakan sangat anti pada penjelasan latar yang berlebihan walau sebenarnya hanya diminta menyebutkan satu nama kota.

Cerita ini mengikuti gaya penceritaan latar itu, dengan banyaknya petunjuk dan peta kota diberikan tapi nama kota dan letak geografisnya, hanya kak Nat yang tau.

Saya tidak protes sebenarnya, tapi latar kadangkala bisa menjadi unsur magis yang baik dalam cerita. Entah itu sebagai pemoles agar cerita bertambah kuat ataukah sebagai ajang promosi pariwisata. Yang mana pun, saya berharap kak Nat mempertimbangkan keberadaan aspek instrinsik yang seringkali diabaikan ini.

7. Sudut Pandang
Sudut pandang bergantian antara Mia dan Verron pada awalnya, lalu ditambah Zare, ditambah lagi Hetelia, dan ditambah lagi beberapa tokoh di part selanjutnya.

Saya bukan termasuk yang kontra sama pilihan sudut pandang berpindah-pindah sesering apa pun perindahannya dan sesering apa pun saya jadi lupa tokoh utamanya siapa karena banyaknya sudut pandang. Saya pun melakukan dosa ini dan nggak akan bohong waktu bilang, saya juga suka baca novel yang nggak konsisten sudut pandangnya begini.

Dengan catatan, asal semua tokoh yang menyumbangkan sudut pandang, melakukan sebuah aksi yang memengaruhi cerita. Bukan hanya nyumbang halaman yang ngabis-ngabisin memori dalam algoritma cerita.

Sayang, kisah ini kepeleset beberapa kali dan gagal mempertahankan hal yang harusnya jadi kewajiban para pembawa sudut pandang itu.

Beberapa kali sudut pandang dibawakan dengan cara yang berkesan pemborosan padahal dia membawakan sudut pandang yang penting. Oraclest dan Hetelia adalah contoh dari pembawaan ini.

Beberapa kali juga sudut pandang dibawakan oleh tokoh yang sebenarnya aksinya nggak penting-penting banget. Mia dan Verron kadang jadi tersangka di sini.

Sebenarnya Kak Nat berhasil membangun perpindahan sudut pandang yang baik dan kepribadian dalam berbahasa yang mampu membedakan tiap-tiap karakter hingga saya tidak tertukar siapa yang tengah bercerita, sekalipun tidak ada keterangan di awal bab. Perpindahannya juga rapih. Hanya saja, jumlah toloh yang terlalu banyak membawakan sudut pandang ini yang agak saya permasalahkan.

8. Gaya Bahasa
Mungkin menjadi aspek yang banyak saya perbincangkan sepanjang review ini.

Seperti yang sudah saya sebutkan di atas, kelemahan bahasa cerita ini cuma satu: penundaannya kebanyakan.

Di atas salah satu contoh sudut pandang Hetelia. Sejak kalimat kedua, fokus paragraf bias. Apa yang menjadi opini Hetelia tumplek blek dimasukkan ke dalam satu paragraf. Padahal apa yang ingin disampaikan Verron di makam ibunya menurut saya juga nggak kalah penting, tapi dipotong sejenak ama dialog batin Heyelia. Ini agak sedikit mengganggu. Dan pemotongan adegan oleh monolog begini, nggak cuma sekali.

Memang penyisipan pesan moral itu baik, tapi kalau terus menerus di tengah adegan begitu ... Yang galau bukan cuma tokohnya, kak. Saya juga ikutan galau, kapan adegannya lanjut.

Saya tahu kak Nat mau bikin kita tegang. Tapi bahasa yang terlalu estetik di bagian yang seharusnya tegang begini, malah bikin saya terhanyut dan kagum alih-alih ikutan tegang, Kak.

Saya tahu kadang onomatopia itu bagus untuk penguatan adegan. Tapi bunyi crat, blam, dan deg itu sebaiknya disimpan untuk novel grafis saja.

Dan aposisi seperti yang terjadi pada adegan crat itu sebaiknya dikurangi. Sesekali menyisipkannya agar adegan yang mendadak banget itu terkesan kuat memang bagus, tapi kalau kebanyakan, dikit-sikit blam dan deg, bikin ... Saya lupa, barusan Verron ngomong apa sebelum dipotong sama onomatop.


Kita sudah membicarakan ini, kak Nat. Tapi rupanya, jumlah yabg kebanyakan dan jarangnya ada penekanan berarti dalam dialog yang Kakak berikan bikin saya berhenti menoleransi kalimat-kalimat yang dimiringkan ini. Bentuk kalimat begini yang bikin saya sedikit risih waktu baca dan harus berpikir dua kali, apa yang bicara itu suara gaib atau emang cuma dimiringkan.

Sekadar saran, penomoran seperti ini menurunkan minat baca saya sampai 50%. Sebaiknya, tambahkan judul, paling tidak, di setiap part. Jadi part 1, 2, maupun 3 nggak begitu hambar. Misalnya part 1 judulnya permulaan, part 2 judulnya Kebenaran dari sebuah Keutus asaan, itu lebih baik daripada hanya sekadar angka. Tidak masalah mau kakak bikin berapa bab tiap part, asalkan nggak begitu menggantung pembaca ama judul per partnya. Setidaknya kami jadi punya gambaran ide pokok per part itu apa. Kalau tidak ada judul partnya begini, rasanya kami bakalan digantung ama jumlah chap yang banyak. Walaupin saya tahu, kak Nat pasti udah punya kerangka revisian ceritanya yang matang dan tamat.

Tapi sebaiknya janganlah buat kita sebagai pembaca  lebih menderita lagi setelah adanya ending menggantung, kak.

Ah dan sebelum saya lupa, ending menggantung di chap terakhir yang saya tandai ... Nice.

Itu ending menggantung yang saya sukai.

9. Unsur Ekstrinsik (Budaya, Sosial, Teknologi)
Saya setuju cerita ini ratingnya PG. Tidak semua anak remaja akan mengerti maksud kegelapan yang suci dan salah ambil kesimpulan, bisa berakibat fatal bagi mereka yang masih labil amit-amit.

Adanya perundungan dan beberapa topik sensitif di sini juga butuh PG sebagai rating. Yah, kita tidak tahu ada berapa banyak anak tolol di dunia yang dikasih contoh jeleknya perundungan, bukannya dijauhi malah dilakukan.

Dan sangat saya anjurkan, cerita berkarakter dengan pribadi abu-abu seperti Verron diberi rating PG agar nilai-nilai moral dalam cerita tidak dipertanyakan dan bias sendiri pada akhirnya.

Budaya terutama dari segi bahasa dan teknologi yang digunakan khas tahun 2000-an walaupun kayaknya bukan dekade kedua. Cukup selaras dan jika pun memang berlatar futuristik, kisah ini masih bisa diikuti anak-anak remaja tanpa ada konten yang tidak sehat.

10. Kesimpulan
Holy Darkness adalah bacaan yang bagus untuk para remaja dan dewasa muda yang suka karakter bermoral abu-abu dan konflin yang nggak hanya berkutat soal dunia remaja dan asmara.

Dunia, harapan, keputus asaan, kebenaran, adalah topik-topik sensitif menggelitik yang enak diajak nongkrong bareng.
-
Penutup

Nilai Akhir: 3.0/5

Sisa Antusiasme: 75%

Lanjut Baca: YA

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top