Indigenous by E-Jazzy
[MID REVIEW]
1. Abstrak
Anak itu muncul di jendela meski tak pernah ketahuan kapan masuknya.
Tahu-tahu hidupku sudah dijajahnya.
Banyu Biru bilang ingin aku jadi temannya.
Tiada orang waras ingin berkawan denganku, kubilang, karena aku Anila Jelita.
-
Empat kalimat sebagai abstrak adalah pilihan bagus, tidak hanya bagi pembaca karena bisa menghemat waktu baca dan lebih banyak waktu menerka, tapi juga ke penulis dan penerbit karena nggak banyak kata yang harus diketik. Masalahnya, bisakah kalimat-kalimat abstrak yang pendek itu jadi mengundang? Kak Jaz sukses menjawab pertanyaan ini dan bikin saya tergoda buat baca. Well done.
2. Sampul
Sampul sudah pernah berganti. Dan menurut saya pribadi, sampul ini yang paling cocok. Jika sampul pertama manipnya minim dan kesan gambar comotannya masih kerasa karena nggak nyambung antara abstrak dengan gambar, sampul kedua sudah berhasil mewakili isi buku secara keseluruhan.
Aksen kelam mewakili dengan baik sub genre horor yang memang jadi bumbu di sepertiga cerita. Dua tokoh di tengah-tengah gambar mewakili kondisi kedua tokoh utama dengan baik. Perbedaan antara pantulan di air dan di permukaan adalah hal yang paling saya sukai dari sebuah lukisan, jadi kak Jaz beruntung sekali bisa punya cover yang cocok.
Tapi, saya akan protes pada font dan mata di latar belakang sampul. Font yang digunakan tidak berbaur dengan baik ke latar yang kelam, selain karrna gaya font yang mirip tulisan indah, efek garis di pinggirannya bikin font seolah salah titik di keseluruhan layout sampul. Untuk mata, saya memang tidak pernah protes pada mata kucing, tapi Obsidian punya mata zamrud, jadi saya gak menemukan alasan kenapa si kucing mata biru itu harus nemplok di sampul.
3. Tema
Seorang anak indigo yang diganggu satu makhluk halus tertentu. Premis pasaran yang tidak akan usang dibahas karena anak-anak berkemampuan istimewa seperti Nila selalu ada di setiap masa. Kalau sudah begitu, tinggal tunggu tokoh utama. Apakah tokoh utama kita tertarik menjalin asmara dengan yang tak kasat mata? Jika ya, akan saya beri nol besar untuk tema.
Dari judul, Indigenous berhasil membuat saya membaca halaman pertama tanpa langsung berdecak. Alasan pertamanya mudah: karena judulnya beda.
Indigenous, terdengar seperti mencoba ngeles dari judul indigo, tapi karena kak Jaz bilang, ini komedi, saya akan coba melupakan soal judul. Dan kenyataannya saya tidak membanting apa pun sampai chap 24.
Seperti yang saya bilang, anak indigo sudah diangkat ke banyak kisah di literatur maupun film dalam berbagai bentuk dan kekuatan. Dari yang jejeritan sampe yang mukanya selempeng papan. Akibatnya, dosa terbesar dari kategori ini adalah daur ulang karya yang idenya plok-plok sama, cuma beda lokasi, tokoh, dan tempat yang kalau dihitung selisihnya cuma 10%.
Nah, kisah Nila dan Biru ternyata berhasil membawa humor segar dan sisipan moral yang bikin saya tertahan dari asal langsung kebut. Mungkin bedanya hanya 50%dari karya-karya bertema indigo sejenis dan itu pun terbantu karena teori ruang dan waktu yang dijabarkan dalam cerita, tapi angka 50% itu bukan tempelan dari saya dan saya hargai usaha kak Jaz.
4. Alur
Pengarang menggunakan alur campuran, dengan alur maju yang mendominasi tiga perempat cerita.
Kisah dimulai dari Nila lima tahun dan itu pun hanya sekelebat kesan yang tettinggal dalam sebuah paragraf di Chapter 1. Karena segmentasi kisah ini remaja(PG-13), alur waktu secara global meliputi tahun dan bulan biasanya sedikit diabaikan. Kisah ini melakukan hal yang sama.
Waktu harus benar-benar diperhatikan karena perpindahannya yang cepat dan ketika terjadi kilas balik, juka tidak ada yang bilang "SMP" di narasi, saya udah pasti nggak tau mereka pergi ke mana. Dan di delapan chapter awal, waktu benar-benar terasa kabur seolah saya menonton dvd yang dipercepat.
Namun kekurangan ini agak tertutup setelah Chapter 7 dan 8. Konsistensi dan kematangan cerita serta humor yang disispkan secara cerdas tanpa membiaskan ide pokok per chap yang semakin matang membuat karya ini nggak termasuk satu lagi recehan penuh nelangsa.
5. Penokohan
Konsistensi berhasil dijaga kak Jazz di 90% cerita.
Nila dengan sikapnya yang apatis luar biasa. Sikap ini bertahan dari awal sampai akhir, diperkuat dengan berbagai bukti dari interaksi tokoh, narasi, dan dialog Nila sendiri. Jarang ada fantasi kontemporer, apalagi dengan tema sejenis sanggup menjaga konsistensi karakter.
Banyu, tokoh yang menurut saya deuteragonis ini berhasil memainkan peran jadi misteri utama tanpa bikin saya jijik. Kak Jaz berhasil buat nggak memasukkan Indigenous ke dalam jajaran karya yang bakal saya abaikan sepenuh hati itu dengan Banyu Birunya yang protektif dan manis dalam banyak arti.
Magenta jadi tokoh tritagonis favorit saya sejauh ini. Selain karena saya punya ketertarikan sama tokoh-tokoh berwajah bete, Magenta punya alasan dan sebab musabab yang kuat untuk tidak menolong ataupun menolong Nila. Nggak ada ujug-ujug langsung bantu bak malaikat.
Abu sebagai antagonis dari Manusia emang minta dijadiin abu gosok. Saya selalu mikir dia karakter yang cukup pantas dibenci walaupun sifat penindas dia belum sekelas penindas-penindas di novel serius. Konsistensi karakter dia terjaga, tapi di chapter 16, well, konsistensi dua karakter Nila dan Abu sedikit berguncang. Untuk ukuran musuh yang udah dua tahun saling menindas, mendadak senasib dikejar hantu itu agak ... nggak pas dijadikan alasan perdamaian, apalagi Abu percaya Nila yang ngirim Velvet ke dia.
Safir, Zamrud, dan para hantu memenuhi peran tritagonis dengan baik. Saya memang biasa lebih tertarik dengan peran pendukung daripada pemeran utama, karena mereka yang menghubungkan alur dan efisiensi pemakaian mereka akan menentukan kepadatan dan pembawaan konflik. Sejauh ini, semua karakter pendukung di kisah ini tidak ada yang terbuang. Semua punya peran masing-masing. Tidak ada karakter over power dan tidak ada karakter serba tahu, bahkan Biru sekalipun punya keterbatasan ruang gerak.
6. Latar
Jeng, jeng. Kita masuk ke bagian yang masuk unsur intrinsik tapi selalu dicuekin kehadirannya.
Dosa terbesar dari sebuah novel remaja adalah latar yang digambarkan dengan baik hanya satu dari tiga latar yang tersedia. Kebanyakan penulis mengabaikan latar waktu dan tempat. Mereka hanya digambarkan lewat satu kalimat. Sehingga, ketika seorang remaja tanggung diminta menjelaskan adegan ke-23 di tengah cerita, dia mendadak bengong beberapa detik, lalu membaca novel itu lagi.
Indigenous bukan pengecualian dari kekurangan satu ini. Tapi kak Jaz mengeksekusinya lebih rapih memasukkan jam olahraga di saat siang atau nuansa mencekam yang kental saat malam. Yah, nggak begitu suram deh latar waktu dan tempatnya.
Untuk latar suasana, sebaiknya saya nggak bahas banyak-banyak. Karena kelebihan dari novel-novel remaja adalah, mereka kebanyakan bahas suasana. Saking banyaknya, kalimat-kalimatnya kadang bias. Indigenous mungkin tertolong karena memang memasukkan humor ke sub-genre, sehingga ketika tiba-tiba Nila membahas borok padahal sedang mengamati mata Biru di tengah pelajaran yang berlangsung dengan guru masih di depan kelas, saya masih bisa maklum. Bias di paragraf semacam itu masih bisa ditoleransi semaksimal mungkin di novel remaja.
Dan karena saya orang yang menyukai humor cerdas yang ditempatkan di tempat yang pas, saya berharap kak Jaz meneruskan gaya bab-bab akhir yang sudah pas peletakkan humor dan campuran emosi lain ke dalamnya. Peletakkan humor di paragraf yang salah bisa bikin orang yang tadinya pengen ketawa, langsung pasang tampang lebih asem dari siluman acar.
7. Sudut Pandang
Kalau kamu menceritakan seorang anak indigo dengan kemampuan bisa melihat banyak kejadian di banyak waktu dan tempat padahal secara kasat mata, kamu cuma kongkow sama hantu bijaksana, sebaiknya kamu gunakan satu POV saja seperti kak Jaz. Tidak perlu masuk ke kepala tokoh lain yang tidak perlu dan hanya nambah-nambahin jumlah bab.
8. Gaya Bahasa
Nah, kita sampai ke bagian ulasan yang biasanya selalu gabung satu ke unsur Latar Belakang naskah ke unsur Ekstrinsik, tapi karena saya takut bahasan ini panjang karena ada tangkapan layar.
Paruh akhir cerita, saya tidak menemukan banyak kesalahan yang membuat saya mengerutkan kening. Tapi sepuluh chapter awal benar-benar lain cerita. Saya ambil satu contoh.
Dari atas, yang saya beri tanda panah hitam, saya nggak ngerti maksud dan gunanya di tengah-tengah kalimat seperti itu.
Tanda panah merah pertama, seharusnya bisa dihilangkan agar lebih efektif.
Tanda panah merah kedua, itulah yang saya sebut kalimat segar yang bikin mabok. Penggunaan kata 'rona', 'gores', dan 'sobek' itu tidak salah, tapi saya tidak bisa bayangkan petasan yang dimainkan di halaman rumah, menyobek angkasa. Itu berlebihan dan bukan berlebihan jenis hiperbola.
Tanda panah biru menunjukkan sesuatu yang menurut saya kontradiktif. Lepas dari kiasan yang berusaha kamu sampaikan, bagaimana Nila belum merasakan ketakutan padahal sudah mengerjapkan mata, berkeringat, dan adrenalinnya terasa keluar?
Itu hanya di paruh awal. Di paruh akhir, kesalahan di awal tertutupi dengan troll-troll yang ditebar di sepanjang kisah dan ending menggantung di setiap chapter yang membuat saya tidak sabar menunggu kelanjutan ceritanya.
9. Latar Belakang Kisah (Budaya, teknologi, sosial)
Indigenous membawakan kisah dengan gaya bahasa yang 90% sinkron dengan budaya yang melatar belakangi kisah. Kondisi sosial dan teknologi yang berbanding lurus dengan alur peradaban tanpa adanya anomali yang mencolok tanpa penjelasan membuat petualangan Nila jadi lebih enak diikuti. Jika pun ada yang harus saya protes, itu hanya penggunaan kata 'kau' yang masih belum konsisten di awal kisah. Sisanya, no problemo.
10. Kesimpulan
Indigeous adalah bacaan yang pas bagi remaja yang ingin kisah paranormal berbalut humor segar, tapi tetap tidak menanggalkan estetika sebuah kisah, lengkap dengan ilmu yang berisi tapi tidak sampai membuat otak hijau para remaja meledak. Belum cukup bagus sampai akan saya rekomendasikan, tapi Indigenous bisa dijadikan referensi bagaimana sebuah kisah paranormal indigo seharusnya dibawakan.
Penutup:
Nilai Akhir: 3.5/5
Sisa Antusiasme: 85%
Lanjut baca? YA
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top