Asphaltum: The Golden Blood by Alizarilanke

[MID REVIEW]

Asphaltum, judulnya sedikit mengingatkan saya pada bahan baku pembuat jalan, tapi mungkin itu hanya perasaan saya saja.

Judulnya keren dan tidak biasa. Apa artinya Asphaltum sendiri saya masih belum tahu, jadi misteri di balik nama itu masih layak ditunggu.

Tapi istilah "Golden Blood" sedikit mengusik saya. Sebuah istilah asing yang saya rasa agak kurang menyatu dengan istilah lain yang sudah membumi di dalam cerita seperti "Langit Merah", " Dimensi Langit", dsb.

Kenapa hanya Golden Blood yang pake bahasa Inggris? Apa ada orang Inggris di Universum? Hanya kak Al yang tahu.

1. Abstrak

Terbunuhnya calon sipir berdarah sihir alamiah yang akan menjaga para siluman dalam kerangkeng membuat Langit Merah gelisah dan siap menjatuhkan malapetaka.

Tujuh Syaman danau Wa'kakak pun berlomba-lomba mendapatkan keturunan murni yang layang untuk menggantikan Penjaga Bui Langit Merah, sebelum narapidana magis kabur.

Alih-alih terlaksana, sayembara pewaris istimewa Golden Blood malah menibulkan kegaduhan Dimensi Langit dan Dimensi Tanah alam semesta.
-
Abstraknya sudah berhasil dibawakan dan diakhiri dengan membuat rasa penasaran.

Jika ada yang menurut saya kurang, adalah pemberian langsung istilah Golden Blood tanpa ada penjelasan yang lebih baik. Saya masih oke dengan Dimensi Tanah dan Langit karena mereka latar, tapi untuk Golden Blood yang bahkan dapat tempat kehormatan di judul, saya rasa butuh pengenalan lebih dari sekadar: "berdarah sihir alamiah".

2. Sampul
Menarik. Banget.
Saya masih belum ngeh soal fua sosok berseberangan itu siapa, tapi makna yang dihantarkan mereka berdua, bahwa ada Dimensi Langit dan Dimensi Tanah di Universum cukup tersampaikan dengan baik. Latar kosmik yang menggambarkan universum juga pas.

Font yang dipilih pun sesuai dengan nuansa dan kontur gambar. Nggak ada yang kebentur atau kelihatan tidak sesuai sejauh mata awam saya memandang.

3. Tema
Perebutan kekuasaan. Penguasa tiran. Kekacauan yang akan terjadi jika sampai perebutan dibiarkan.
Uggghhh ... Menarik. Pake banget.

Fantasi dengan intrik soal kekuasaan memang tidak akan pernah habis buat dikembangkan. Judul-judul baru pun bermunculan dengan sub tema dan premis yang saling kebut untuk tampil sebagai yang paling segar, seperti seri Lunar Chronicles, seri Red Rising, tetralogi Red Queen, dan seri The Mark of Thief.

Asphaltum megang material cerita yang menarik. Tapi racun-racun paradigma yang sudah tertanam dalam benak saya, membuat saya agak pesimis soal semua novel fantasi keluaran wattpad, internasional dan lokal terutama.

Saya sebenarnya tipe orang yang tidak begitu idealis. Tapi entah kenapa, untuk fantasi dan hanya untuk genre satu ini, saya benar-benar kritis. Saya lihat semua aspek, kata per kata, bahkan penyampaian pesan moril sampai ke bungkus-bungkusnya.

Jadi, Kak Al, jika Kakak menggulirkan layar ke bawah dan merasakan sakit berlebihan pada area sekitar kepala sampai perut, mohon segera hubungi dokter.

4. Alur
Sebenarnya oke. Pertarungannya cadas. Aksi-aksinya keren. Semua tokoh konsisten dengan kemampuan maaing-masing. Belum ada alir yang ngawur. Alur majunya disiplin. Pembawaannya juga tidak lompat-lompat ataupun terlalu cepat.

Tapi itulah masalahnya.

Kak Al membawakan alur agak terlalu lambat di bagian pertama. Di pertarungan pembuka, eksekusi yang kurang baik membuat pertarungan di tiga bab pertama yang harusnya epik berubah jadi lakon yang sebenarnya nggak lucu-lucu amat.

Pokok masalahnya simpel.

Pemborosan alur dengan adegan yang belum jelas apa pengaruhnya ke cerita ke depan+pemborosan majas.

Saya tangkap ada pola pada bagian pertama Asphaltum. Pola alur itu: tokoh dikenalkan->tuduhan dilempar sebagai pemicu konflik->prasangka menyebar->baku hantam->tokoh baru diperlihatkan->dampak konflik kepada pihak ketiga. Hal ini terus berlangsung hingga separuh awal bagian pertama.

Maksudnya baik. Pengenalan tokoh, latar, dan membawakan konflik inti. Tapi penyampaian yang bertele-tele di bagian deskripsi suasana, tokoh yang terlalu banyak, dan komedi yang sebenarnya nggak dibutuhkan amat, membuat penyampaian alurnya agak lebih panjang dari yang sebenarnya bisa dilakukan.

Sebenarnya alur begini bagus dan standar baik dalam pengembangan cerita. Kak Al pun mengembangkan gaya cerita di momen pertarungan dengan baik. Yang awalnya bertele-tele jadi lebih berbobot dan penuh aksi di kali kedua.

Sayangnya, alur dalam Asphaltum tidak hanya berasal dari satu arteri cerita. Pertarungan 1 antara A dan B, berdampak pada C dan D. Kemudian pertarungan 2 antara E dan F, lalu berdampak pada G, H, I, dan J.  Dan begitu seterusnya. Belum ada tokoh yang dibahas lebih dalam. Padahal dampak pertarungan ke alam dan orang sekitar sebenarnya bisa dirangkum jadi satu pariwara saja, tidak perlu satu chap.

Belum lagi kenyataan kalau Penjara Langit Merah baru dibahas sedikit banget dan itu pun cuma tugas kantorannya saja. Para siluman penghuni kerangkeng belum ditampilkan dan saya jadi penasaran gimana tampang para tahanan yang dijaga penjaga hukum Universum.

Dengan demikian banyak potensi dan misteri tak terpecahkan, Asphaltum seolah sebuah bab 1 yang mengenalkan daftar latar dan tokoh, belum masuk ke cerita yang sesungguhnya.

Saya masih bisa mengikuti alurnya, tapi saya takut alur yang demikian akan membuat pembaca kak Al yang lain gagal paham.

Bukannya saya meminta Kak Al mengubah alur secara keseluruhan. Tidak ada perubahan berarti pada alur selain konflik yang dipadatkan pun tak apa. Tapi sebagai saran, kenalkanlah konflik pelan-pelan dalam cara yang padat. Tanamkan sedikit komedi di tempat yang pas, berikan sedikit petunjuk bahwa tokoh seperti pak Rane dan sang peri air itu ada perannya, baru alurnya klop.

5. Penokohan
Aspek yang saya rasa paling  dianak tirikan di paruh pertama cerita. 

Di kurang lebih 13 bab pertama, saya terus dikenalkan pada tokoh di satu semesta. Paling tidak 2-3 bab sekali saya dijejalkan tokoh baru, dengan gelar baru, dengan kemunculan yang terasa ujug-ujug, entah karena usul luar biasa, atau karena langsung terlibat pertarungan. Bukan pengenalan yang buruk, tapi terasa kurang lembut.

Saya pun belum bisa membahas satu per satu karakter secara lebih dalam karena belum ada perkembangan karakter yang muncul.

Hanya Kaisar Ragadam, Tiga bersaudara Ra Trar, dan Pendeta Pustaka yang sudah terlihat sedikit karakteristiknya. Rokako yang ada di bagian awal kisah pun belum bisa saya duga dan kemunculannya jadi makin samar di paruh akhir bagian pertama.

Rata-rata, tiga dari lima tokoh yang ditampilkan di kisah ini langsung terlibat baku hantam atau kejadian penting. Tahu-tahu saya sudah diberi jurus dari sang tokoh dan usulannya yang bikin orang pada kicep, padahal menggambarkan muka tokohnya saja dalam kepala, saya belum sempurna.

Di jeda baku hantam atau perdebatan itu, saya diberi penjelasan baru bahwa tokoh yang saya kira sudah tumbang atau tiada arti penting, muncul lagi dengan petunjuk penuh misterius.

Memang bagus mengenalkan tokoh dengan petunjuk misterius yang menyertai mereka satu demi satu.

Tapi jumlah sebaiknya juga diperhitungkan di sini.

Kak Al seperti langsung menjejalkan ayam+ikan+telor dadar+sayur nangka+sayur daun singkong+tempe+telor ceplok+tahu bacem+bakwan+sate telur puyuh+kerupuk+sambel+lalapan di dalam nasi yang banyaknya lebih dari porsi warung padang. Alhasil, saya begah hapal tokoh-tokoh hanya di bagian pertama Asphaltum.

Tokoh yang saya kira figuran ternyata tetap dimunculkan, sementara konflik satu belum kelar, tokoh lain muncul. Lalu gelar-gelar seperti Syaman Nekromansi, Pendeta Pustaka, Petinggi Langit Merah, diulang-ulang tanpa ada pengulangan deskripsi baik hati untuk menyegarkan ingatan selama tiga bab lebih. 

Sebaiknya, gelar-gelar tanpa nama itu diberi nama atau karakteristik lebih jelas dan lebih dini, jadi tidak banyak ruang lagi buat bingung. Soalnya, Syaman Nekromansi ada lebih dari satu. Hanya menomorkan separuh dari mereka di banyak kesempatan agak sedikit membingungkan.

6. Latar
Yang paling banyak dibahas di sepanjang cerita. Latar, suasana, tempat, maupun waktu dibahas dalam bahasa yang aduhai indahnya. Yah ... Walaupun kadang kak Al kayaknya terlalu terbawa membawakan latar suasana sampai semua kata rasanya tumplek blek (ya, termasuk semua kata yang sebenarnya nggak ada pun, nggak apa) di dalam satu paragraf deskripsi, saya masih bisa maklum. Kidung duka benar-benar berkumandang keras di saat kematian menjumpa dan lagu pengobar semangat pertempuran rasanya benar-benar bergema di telinga saya sewaktu pertempuran hebat terjadi.

Tapi....

Pulau Wa'kakak, Gunung Wakakono, kepala desa Wakano....

Entah apa maksud kak Al bikin nama yang demikian mirip begini, tapi yang jelas ekspresi wajah saya saat baca tiga nama ini jauh sekali dari tertawa "wakakak".

7. Sudut Pandang
Secara umum, kak Al menggunakan sudut pandang orang ketiga serba tahu. Sudut pandang yang mudah digarap dan cocok bagi karya dengan bahasa seperti yang kak Al pakai.

Saya tidak akan banyak protes soal aspek ini karena kak Al membawakan sudut pandang dengan disiplin tinggi. Tidak ada sudut pandang yang keliru dalam pembawaannya. Good job.

8. Gaya Bahasa
Saya akui, Kak Al memang punya kosakata yang kaya bin berjaya. Kak Al sanggup menggilas semua tembok pembatas imaji yang tanpa sadar memberi kerangkeng pada diri saya sendiri. Kak Al membuka jendela, merentangkan permadani wawasan dan menerangkan akal pikiran banyak pembaca, bahwa kosakata mereka sebenarnya tidaklah sesempit kotak rias.

Majas kak Al kaya. Saya akui, koleksi contoh penggunaan majas saya bertambah.

Itu hal yang patut dipuji. Sebagian besar orang akan menyukai kosakata yang kaya seperti yang kak Al pakai.

Tapi di situlah justru letak kelemahan saya sebagai pembaca.

Saya tipe pembaca yang tidak bisa dipukau hanya dengan gaya bahasa yang berkilau.

Untuk penggunaan kata dan gaya bahasa, memang semua pengarang punya selera masing-masing, seperti halnya pembaca. Tapi saya pribadi setuju pada pendapat pak Edi selaku pimred Divapress bahwa keberhasilan seorang penulis tidak hanya dari gaya bahasa memukau, tapi juga dari kemampuan mereka menyampaikan apa yang mereka tulis kepada pembaca. Cara penyampaian yang baik itu bisa dilakukan, salah satunya, dengan membuat "kalimat sehat". Yaitu, kalimat yang sekalipun punya kosakata yang wah, makna kalimat per kalimat mampu sampai kepada pembaca dengan baik sehingga tidak ada lagi kerutan yang timbul di dahi saat membaca kalimat-kalimat indah.

Sayangnya kak Al kurang berhasil dalam hal ini.

Contohnya:


" bak tunas hijau", saya rasa majas itu bisa dihilangkan. Jadi, fokus kalimat tidak ganda, antara bahas otot ataukah peyot.

Banyak kalimat membias seperti itu. Kesan kalau Kak Al cuma mau melakukan penundaan terasa kuat. Beberapa kali saya coba pangkas adegan per adegan dalam imajinasi saya dan ternyata memang bisa dihemat sampai beberapa ratus kata.

Dan, saya merasa perlu membahas hal yang satu ini:

Kak Al, sebenarnya laharnya mau keluar dari jalur depan apa belakang?

Kenapa cuma selisih satu paragraf aja tuh gunung ganti lobang pengeluaran dari lobang sembelit ke lobang rahim?

Itu bukan masalah besar sih. Buat majas doang. Bukan masalah kepenulisan. Konsistensi kecil yang sebenarnya tidak banyak berpengaruh ke cerita.

Tapi sebagai perempuan, saya terusik jika ada satu lubang sama, secara bergantian menggunakan istilah persalinan dan sembelit.

Lahar itu memang bisa diibaratkan ampas dan kelahiran. Tapi plis, kak Al, sebaiknya Kakak jangan terlalu beragam memberi kosakata untuk satu objek yang sama. Kalau ada kontradiksi begini, jadinya heran juga.

Kemudian, secara umum, saya menemukan selipan humor dalam berbagai adegan di dalam Asphaltum.

Humor yang agak kurang pas momennya menurut saya. Jadi alih-alih tertawa, senyum aja saya jadi lupa gimana caranya.

Kak Al sebaiknya memilih humor yang lebih segar ke tengah-tengah cerita. Sebagai saran, kak Al kurangi fokus pada organ genitalia dan semua sekretnya karena lelucon apa pun soal itu nggak terlalu membumi.

Kemudian mengurangi pembuangan kata, pemborosan majas, dan kisah yang diulur-ulur. Itu mengurangi makna yang akan disampaikan, menimbulkan kebingungan di benak pembaca, dan menimbulkan bias ide pokok cerita yang tidak perlu.

9. Unsur Ekstrinsik (Teknologi, sosial, budaya)
Sebenarnya Asphaltum dibangun di atas latar yang solid, semesta yang dibangun dari dasar, dan segala yang berkaitan dengan Asphaltum dibuat dengan detail.

Tapi ada beberapa kesempatan ketika saya mengerutkan dahi pada kata bernapaskan budaya yang diselipkan ke dalam cerita.

Contohnya ini:

Mandor kontraktor dan tukang bangunan, saya berharap bisa melihat dua pekerjaan ini sungguhan di dunia kak Al dan menemukan alasan kenapa dua istilah dari kebudayaan kita bisa nyaplok di dunia sana.

Ini dan majas-majas lain yang serupa sepertinya dimaksudkan untuk memberi humor, tapi karena saya tidak tersenyun, saya coba konfirmasi lagi.

Jawabannya, ya. Karya ini ber-sub-genre komedi. Jadi saya berusaha memberi toleransi lebih.

Tapi lain cerita untuk yang seperti di bawah ini:

Belum kelar soal surat kabar dan perangko yang entah kenapa bisa dijadikan analogi jodoh di cerita ini ... Muncullah spongebob.

Karena kalimat ini, saya gagal tertawa pada lelucon apa pun selama satu hari penuh.

Kak Al, boleh saya tahu kenapa ada budaya kontemporer masuk ke dalam cerita ini? Karena walaupun hanya di majas dan bermaksud memberi kesan segar, peletakkan mager, ketela, keripik kentang, dan terutama Patrick, agak tidak sesuai di dunia fantasi tingkat tinggi begini tanpa ada penjelasan pasti asal muasalnya.

10. Kesimpulan
Karya ini patut dibaca. Bagi kalian yang suka fantasi tingkat tinggi dengan intrik yang seru, dunia yang dibangun dengan apik, pertarungan yang fantastik, dan konflik yang tidak melulu soal cinta, Asphaltum cocok masuk ke dalam rak buku kalian.

Dengan catatan, jika kalian bisa mengabaikan gaya bahasa, humor tidak biasa, dan majas-majas merumitkan yang digunakan di paruh awal buku.

-
Penutup:

Nilai akhir: 2.5/5

Sisa Antusiasme: 60%

Lanjut baca: TIDAK (sampai saya kembali ingat bagaimana caranya tertawa)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top