Alaritarium by Antelas Prayitna

[TEN CHAPTER RULE]

Alaritarium, itu bukan kata yang lumrah. Saya sedikit tertarik pada makna di balik kata itu sampai saya buka abstrak dan dapat jawabannya. Makna judul ternyata tidak serumit yang saya bayangkan dan justru mudah dicerna. Itu hal yang baik sebagai pembuka. Tidak menyulitkan pembaca dengan istilah yang aneh dan makna yang terlalu dalam sebagai pembuka adalah estetika tersendiri.

Awalnya saya kagum pada karya ini. Jarang sekali pemenang wattys mau mampir ke lapak sederhana saya dan meminta bantuan. Tapi karena ada satu di sini yang meminta saya mengulas karyanya yang masih berlanjut, saya menerimanya.

Hitung-hitung, saya butuh sampel untuk para pemenang karya fantasi tahun lalu dan saya juga penasaran, apakah selera saya dan para juri wattpad masih sama atau sudah bersilangan.

Kita lihat saja ulasan di bawah.

1. Abstrak

Permulaan dari Akhir telah dimulai.

Aku dapat melihat gejolak apinya.

Aku bisa mendengar tiupan terompetnya.

Aku mampu mencium abu dari para korbannya.

Di Zaman Akhir, Harmoni dari Simfoni Agung akan hilang seluruhnya, dan semua makhluk dari berbagai ras, bahasa, dan bangsa akan saling menumpahkan darah satu sama lain demi Agni Amarta. Perang Pangkai akan berkobar di mana-mana di Dunia yang Diketahui, dari Lembah Kambus hingga Gunung Loklok, dari Danau Mangsi sampai Samudra Peresih, dan bahkan Ranah yang Tak Pernah Terjajah--tempat tinggal makhluk-makhluk yang belum melihat cahaya--akan memainkan peran dalam pertempuran darah yang akbar.

Perang Pangkai yang berlangsung lama akan datang tanpa peringatan, dan pada akhirnya, bahkan Tanah Suci sekalipun--yang berdiri di Mahkota Mayapada--dilindungi dan dijaga oleh Para Alaritar, tidak akan terhindar dari kobaran apinya. Tidak sekalipun kemampuan atas bentuk dan arkana bisa menyelamatkan mereka. Jadilah yang tersisa dari Alaritar akan meratap untuk makhluk ciptaan mereka.

Maka ketika semua harapan meredup, Para Alaritar yang tersisa dan abdi-abdinya, Para Ilaur, akan meminta bantuan terakhir di Padang Es Utara, tempat bersemayam Sang Perawan Musim Dingin. Dengan kedatangannya, cepat atau lambat Perang Pangkai akan berakhir. Yang dipertanyakan hanyalah apa kehadirannya akan menyelamatkan atau menghancurkan kita semua.

-
Jujur saja, jika saya bukan penikmat kisah fantasi, saya sudah pasti akan kabur melihat abstrak seperti ini. Rasanya seperti disuruh menelan lima onde-onde segede alaihim sekaligus. Mual dan jujur saja, menakutkan setengah mati.

Sekali lagi saya mendapati kesalahan yang sama, mendasar, dan masih banyak diderita oleh para penulis fantasi: penjejalan info dunia dalam abstrak.

Membuat dunia memang pusing yang menyenangkan bagi para penulis fantasi, apalagi jika berkesempatan membaginya dengan orang banyak dan mereka menyukainya. Itu animo tersendiri bagi kami. Tapi antusiasme itu juga harus dibatasi dengan baik. Karena abstrak adalah api yang menarik para pembaca ke buku kita. Sedikit asupan penasaran akan memberi mereka cahaya dan kehangatan yang dibutuhkan sehingga mereka akan mampir. Tapi terlalu sedikit panas tidak akan menarik minat siapa pun dan terlalu banyak api yang menyala akan menyingkirkan semua orang yang hendak mendekat.

Jadi saran saya, sebaiknya kurangi sedikit istilah-istilah yang kurang awam di abstrak, ganti dengan istilah yang lebih membumi. Persingkat abstrak cerita dalam satu atau dua paragraf saja hingga tidak membingungkan yang lain. Karena untuk menyentuh orang awan, kita bukan hanya butuh nama yang beda dan ciamik, tapi juga sesuatu yang memorial dan lebih bisa dikenang.

2. Sampul

Sejujrurnya sampul Alaritarium tergolong biasa saja. Tidak ada kesan selain kegelapan yang menyeramkan dan cahaya yang akan menyingkirkannya yang saya dapatkan dalam sekali tatap.

Tapi memang, saya tidak bisa memungkiri. Cahaya ternag di tengah kegelapan itu menentramkan hati. Siapa yang tidak tenang meihat cahaya sejuk yang tidak membara galak sama sekali di tengah kegelapan pekat? Karena itulah angler fish menjadi pemangsa mutlak yang ditakuti di kegelapan laut dalam. hahaha.

Oke, tidak banyak informasi yang diungkap lewat sampul, tapi tidak banyak juga ruang kosong yang membingungkan, jadi untuk masalah kesan pertama lewat gambar, tidak ada masalah berarti. Good job.

3. Tema

Akhir dunia. Awal dari sebuah akhir. Keberlangsungan sebuah dunia yang terancam oleh ancaman dari luar maupun dari dalam.

Bukan sebuah tema yang baru. Sudah banyak novel dari fantasi maupun fiksi ilmiah yang mengangkat tema ini, dari segi abnormalitas maupun rasionalitas. Semuanya keren. Tapi tema yang terlewat umum akan membuat kemungkinan adanya tambal sulam ide semakin kuat.

beruntungnya Alaritarium mengangkat tema akhir dunia ini dari sudut pandang yang lumayan unik dengan dimulainya kelahiran sebuah abnormalitas yang luput dari mata para dewa. Sebuah kaum yang entah punya dosa apa. Kemudian semua bercabang menjadi dendam dan ambisi gelap yang mengakar terlalu jauh untuk bisa dimaafkan dan dilupakan.

Sekali lagi, bukan sudut pandang yang baru. Tapi tetap cara pandang yang unik pada sebuah akhir.

Sekali lagi para tokoh ingin menyelamatkan keberlangsungan semesta. Sekali lagi banyak tokoh terlibat. Sebenarnya saya suka bagaimana cara kak Prayitna menceritakan keberlangsungan dunia sejak awal penciptaan. Sayangnya lagi-lagi penciptaan semesta itu harus dimulai dengan kebosanan para dewa. Buku fantasi seperti Eldar pun mengawali penciptaan dunia dengan hal ini. Tapi yah, apa boleh buat, itu bukan batas yang bisa kita raih dengan pemikiran Manusia, jadi saya biarkan aspek yang bikin kurang nyaman itu.

4. Alur

Alur dibawakan dengan disiplin yang mumpuni. Tidak ada chapter yang mendadak dipercepat ataupun diperlambat. Itu sesuatu yang sulit dibawakan di awalan cerita, karena kebanyakan dari pengarang akan memanfaatkan awalan cerita untuk membawa tempo cepat yang akan menarik minat lebih banyak pembaca.

Bukan suatu hal yang buruk jika ingin membawakan alur dengan lambat dan penuh penjelasan soal dunia dan semesta Alaritarium, asalkan pembuangan narasi itu tidak jadi candu dan malah memperlambat alur.

Kak Prayitna sukses menghindari kesalahan itu selama empat chapter awal. Dan yang membuat saya mampu memberi skor lebih adalah kemampuan kak Prayitna membuat prolog yang sekalipun biasa-biasa aja, masih saya rasa punya peran dalam kisah ini, dan belum masuk kategori layak buang.

Tapi tentunya, alur disiplin seperti ini punya banyak ancaman tersembunyi, terutama jika dilihat dari abstrak yang kelihatannya masih jauh di angan untuk dicapai dalam cerita yang sebenarnya. Jika tidak dirawat baik-baik, disiplin alurnya bisa berantakan dan keistimewaan kisah ini bisa musnah.

Jadi, ganbatte buat kak Prayitna.

5. Penokohan

Karena baru empat chapter berjalan selain prolog, tidak banyak karakter yang diungkap sejauh ini kecuali Dayakara, beberapa Ulyana, serta Mondoroz dan sahabatnya, itu pun keduanya punya nasib tidak jelas sampai chapter terbaru.

Itu pun rata-rata semua tokoh terbangun dari bentuk humanoid. Sehingga butuh waktu bagi saya untuk menjejalkan semua deskripsi yang diberikan ke dalam gambaran utuh di dalam kepala.

Sedikit janggal di akhir prolog, memang. karena saya tidak bisa membayangkan bagaimana seekor kuda bisa menyeringai. Yah, itu agak menyeramkan, tapi selepasnya, lumayan bisa diterima akal.

Ada banyak tokoh yang terbangun dan silih berganti. Garis waktu yang dijabarkan pun berlalu dengan kecepatan kosmik yang sudah melewati generasi. Saat ini, hanya dua tokoh yang menurut saya mendapat perhatian cukup, ditambah dua tokoh potensial yang sepertinya memegang peranan penting.

Amilatura, sang dewi agung pencipta segala yang entah untuk sebab apa terkurung di dalam bongkahan es dan kini menjelma menjadi makhluk fana dengan segala keterbatasan kekuatan. Untuk ukuran dewi kuno, dia punya sisi naif yang keterlaluan dalamnya. Mengira dia bisa mengkalkulasikan segalanya sebenarnya ciri yang cukup konyol dimiliki seorang dewi, tapi mungkin ciri ini mengundang sesuatu yang baik ke depannya. Kita lihat saja nanti

Basta, murid dari Amilatura yang punya sedikit sifat yang berbeda dari rasnya secara umum. Tukang ngeluh, naif, dan gampang kelabakan. Dia seperti anak kecil, tapi tak pelak kehadirannya jadi penyegar dan ikon komedik di cerita ini.

Dayakara, tokoh yang saya harap nggak akan jadi tragic villain, tapi kemungkinan besar bakalan tragis juga. Saya sebenarnya sudah suka sifat Dayakara sejak pertama ditampilkan, tapi karena belum ada kejelasan lain mengenai dia, saya tidak bisa berkata banyak.

Mundoroz, adik Amilatura yang berbagi kenaifan sejenis dengan kakaknya. Jika Amilatura sedikit sentimental karena mungkin jati dirinya yang perempuan, Mundoroz seperti sosok sentimental karena minim pengalaman pahit. Sungguh, dia karakter murni yang yampaknya akan sangat dipinggirkan secara paksa di kisah ini dan mengundang iba. Saya harap, itu tidak jadi nyata.

Penokohan di kisah ini, harus saya katakan, sedikit terancam. Karena lintas generasi dan waktu yang kita bahas memiliki rentang dari penciptaan hingga akhir sebuah dunia, sudah pasti akan ada banyak tokoh dari banyak ras dan banyak tempat yang terlibat. Dan kalau kemungkinan itu terjadi, bukan tidak mungkin fokus cerita akan terpecah karena banyaknya kepentingan yang berseteru.

6. Latar

Alaritarium dibangun di atas semesta yang menurut saya sudah hampir komplit dengan istilah, awal mula, hierarki dewa, ras, sampai wilayah yang terbagi secara konsisten secara merata.

Kadang ada ilustrasi yang membantu dan sejujurnya, itu membantu sekali. Saya jadi bisa membayangkan lebih jelas maksud yang ingin disampaikan pengarang dan membayangkan betapa indahnya dan harmonisnya semesta Unus dan planet Terra di dalam kepala. Memang, ada beberapa istilah yang menurut saya kurang pas, seperti istilah suhu celcius yang bisa nyangsang di sini alih-alih Kelvina tau Fahrenheit, lalu nama-nama planet yang menurut saya agak terlalu familiar, tapi mumpung ini dunia lain, jadi saya maklumi.

Secara keseluruhan, sebenarnya Laritarium dibangun dalam latar yang pas dan konsisten, jadi good job buat kak Prayitna sejauh ini.

7. Sudut Pandang

Sebagaimana seorang fotografer harus mempersiapkan dan mengkalkulasi banyak hal sebelum mengabadikan momen, Alaritarium sudah melakukan persiapan dan pengambilan sudut yang pas untuk mengabadikan setiap momen di semesta planet Terra secara gamblang dan jelas.

Sudut pandang ketiga serba tahu memang yang paling sulit diterapkan, tapi juga yang paling pas diterapkan ke dalam kisah fantasi tinggi semacam ini. Kadangkala sudut pandang seperti ini bisa membuat pengarang tersandung dan terseok-seok dalam hal konsistensi pembawaan. Terutama jika pengarang rata-rata membutuhkan lebih dari 1500 kata dalam setiap chapter.

Alaritarium jelas melampaui 1500 kata dalam setiap chapter dan sejujurnya, bukan cerita yang ramah untuk orang awam dari segi struktur kalimat dan diksi, tapi sudut pandang berhasil dibawa secara konsisten dalam setiap paragraf. Sejauh ini, belum ada protes yang bisa saya sampaikan terkait aspek ini.

8. Gaya bahasa

Di luar bagian rekomendasi, karya ini memegang bahasa yang paling saya sukai di antara karya yang sudah saya ulas sampai sekarang. Untuk ukuran karya yang banyak sekali mengandung unsur yang biasa-biasa aja alias normal sehat wal afiat, karya ini mengandung estetika bahasa senilai emas. Istilah kerennya, bahasanya nyastra, bro.

Kata-kata yang digunakan mengandung estetika dalam porai yang menurut saya pas, tidak sering mbulet walaupun saya rasa pasti akan membingungkan pangkat tiga kepada yang kurang lumrah membaca karya bergaya bahasa seperti ini.

Saya menikmati membaca setiap ekspositoris yang dihadirkan, meski membosankan dan kadang terlalu niat dengan tidak menyertakan sedikit pun istilah lumrah ke dalam paragrafnya, terlalu banyak kata serapan, dan berkesan sekali pembuangan narasi.

Kesalahan penulisan selain pemborosan kalimat karena banyaknya kalimat majemuk yang menumpuk, minim saya dapati. Karena ini bukan karya aksi, tidak banyak bahasa penuh gejolak yang saya dapati. Estetika yang diletakkan dalam bahasa di karya ini pas sesuai konteksnya yang memang menyangkut konflik umum siklus dunia. Walaupun harus saya akui, perfeksionis kak Prayitna terasa sekali di setiap kata, sayangnya, hal ini pula yang menbuat saya merasa karya ini kurang ramah bagi pembaca awam.

Setiap kata-kata sulit yang dicantumkan seolah mengusir secara halus siapa saja yang merasa kisah ini tidak akan cocok dengan mereka. Bukan hal yang buruk untuk menuangkan imainasj secara total ke dalam tulisan, tapi kata-kata lumrah dan lebih membumi bukan pilihan yang buruk untuk setiap cerita.

9. Kesimpulan

Permata yang tersembunyi. Saya hanya bisa bilang demikian pada Alaritarium. Kisah ini jadi salah satu bukti, bahwa unsur-unsur paling normal dan paling pasaran sekalipun, jika diolah dengan disiplin tinggi, masih bisa dijual dengan harga selangit di pasaran.

Saya sudah berusaha mencari nilai-nilai yang kurang dari pembukaan kisah Alaritarium. Semua untuk mengurangi nilai yang sudah saya jadikan patokan skor akhir. Tapi ternyata, saya tidak menemukan alasan kuat untuk mengurangi nilai.

Ternyata juri-juri The Wattys masih senada dengan saya pribadi dan ya, demi potensi yang dihadirkan oleh Alaritarium, saya pun akan memberikan satu badge kemenangan pada karya ini jika saya jurinya. Potensi, tokoh penuh cacat yang sangat manusiawi, semesta solid nan luas yang sulit diabaikan, serta bahasa piawai yang sekalipun penuh info dumping dan terancam cuma bakalan buang-buang halaman macam Eyang Tolkien, masih layak ditunggu kelanjutannya. 

-

Penutup

Potensi: 3.5/5

Sisa Antusiasme: 85%

Layak Ditunggu: YA

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top