Suspence vs Suspense
Chill vs Thrill
Santai vs Bantai
Hahaha, bahasan saya jadi sadis begini ya. Abis, saya suka yang berima begini sih.
-
Oke, sebenernya saya nggak suka jurnal ini jadi semacam kajian membedah karya sastra secara teknis karena itu bukan tujuan utama saya bikin jurnal ini.
Saya bikin jurnal ini semata cuma pengen ngomel-ngomel puas tentang bagaimana susah dan dilemanya seorang pengarang dalam membangun semesta cerita dan bagaimana saya kesal pada buku-buku di luar sana yang semakin tidak jelas mutunya karena mencari duit semata.
Tapi kemudian saya lihat bahasan soal ini tidak ada sama sekali di luar sana. Materi yang dulu pernah saya terima pun terhapus dan terarsip di archive.org dan saya terlalu malas mencari di tengah ribuan terrabite data yang pernah diposting di internet, so saya akan bahas di sini saja.
-
Saat melihat tulisan di atas, apa kalian bingung? Atau ada yang sudah paham?
Keduanya sama seperti tulisan bahasa Inggris yang lain. Beda satu huruf aja, maknanya udah lain.
Nah kali ini, perbedaan satu huruf ini membuat dua kata di atas bermakna antonim.
-
Q: Maksudnya?
Suspense adalah unsur yang bikin penasaran, identik dengan unsur yang bikin tegang alias thrilling. Merupakan salah satu dari 4 kaidah umum dalam penyusunan plot (Plausability, Suspense, Susprise, Unity)
Sementara,
Suspence adalah Penundaan. Berkebalikan dengan suspense yang menegangkan dan biasanya berhubungan dengan tempo dalam sebuah plot, suspence biasanya adalah penundaan.
Tapi tolong bedakan dari kegiatan santai yang biasa mengisi di antara 4 kaidah plot, seperti candaan, obrolan santai, atau aktivitas yang tidak memengaruhi plot. No, Penundaan bukan sesuatu semacam itu.
-
Q: Gunanya Suspense buat apa?
Menarik minat pembaca alias page turner, apalagi?
Emangnya kalian bisa tahan menahan diri dari cerita dengan plot cepat yang penuh aksi mendebarkan? Jujur aja deh
-
Q: Bedanya Penundaan sama Suspense apa?
Begini, berbeda dari Suspense yang merupakan unsur penting dari Plot, Suspence alias Penundaan merupakan unsur tersier alias ekstra dari yang paling ekstra dari sebuah cerita. Ibarat kue, dia cuma selai yang ngisi bagian antar kue spons.Dia menambah rasa dan bikin kita seenggaknya punya jeda dari menghabiskan sepotong cake yang besarnya segede rainbow cake.
Beda dengan Suspense yang merupakan bagian dari Plot, Suspence selaku adik yang sering disalah artikan dan banyak nggak diketahui adalah sebuah gaya penceritaan yang berfungsi memperindah sebuah karya sastra, menjembatani antara dua adegan yang mungkin akan sangat memacu jantung dan antisipasi, di atas sebuah jembatan Nuance alias membawakan suasana.
Penundaan itu merupakan unsur yang cukup umum di kalangan novel sastra, tapi tidak umum di novel kontemporer (dalam genre apa pun)
-
Q: Jadi Penundaan itu nama lain Latar Suasana?
Kebanyakan membawakannya seperti itu, tapi sekali lagi, Penundaan hanya sebuah pembawaan cerita. Jika kamu ingin Latar Tempat yang menjadi landasan Penundaan, boleh saja, tapi hampir semua pengarang gagal menggunakan Latar Tempat sebagai Penundaan dan jatohnya malah "Telling" alias Info Dumping.
Beberapa mengakali Penundaan dengan memberi eksposisi berupa pendapat atau opini tokoh ke dalam cerita, dalam catatan, menunda aktivitas apa pun yang sedang ia lakukan. Sebelum jatuh kembali ke dalam plot yang berjalan.
Tapi itulah menariknya unsur ini. Salah sedikit, jatohnya Info Dumping atau Over-Eksposisi, tapi jika tidak dibawakan sesekali dalam cerita (apalagi jika kalian menuliskan novel yang nyastra) novel kalian kurang estetik dari segi bahasa (menurut beberapa kalangan) dan riskan jatuh ke golongan kontemporer.
-
Q: Terus gunanya Penundaan buat apa dong?
Nah, di sinilah masalah bermula. Mulai dari sini, saya fokuskan untuk bahas Suspence ya. Pembahasan soal Suspense sudah banyak, jadi saya sudahi.
-
Q: Lah, nggak proporsional, dong?
Kalian bisa baca materi Suspense di lain tempat.
-
Begini, dari segi kacamata saya selaku penikmat novel kontemporer, Penundaan ada untuk estetika semata.
Mungkin untuk kalangan penikmat novel yang nyastra, bisa nimbrung di sini. Bagi kalian Penundaan itu buat kalia bermakna apa? Apakah unsur penting yang tanpa dia, sebuah novel tidak akan lengkap, ataukah seperti saya, sebuah estetika saja?
-
Q: Terus apa gunanya? Kan bikin novel itu ngitung halaman juga. Kalau ada penundaan, buang-buang halaman dong?
Karena itulah, Penundaan dibatasi secara ketat, bersama-sama pengarang dan editor. Tapi saya akui, di karya sastra, tanpa Penundaan, rasanya memang sedang membaca novel kontemporer dan bukannya Sastra.
Sekali lagi, ini untuk alasan estetika. Sebuah keindahan bahasa. Selama batas halaman yang sewajarnya bisa diraih, kenapa tidak buat Penundaan?
-
Q: Bukannya sama aja kayak Eksposisi alias Deskripsi Meluber? Info Dumping? Artinya Penundaan itu eksposisi yang meluber kan?
Sedikit berbeda.
Sepengetahuan saya selama membaca novel, ada perbedaan tipis antara Deskripsi atau Eksposisi Meluber dengan Penundaan.
Sesuai unsur katanya, Penundaan artinya kau menunda sesuatu. Sang tokoh biasanya sedang beraktivitas, melakukan sesuatu, kemudian ada yang menunda dia untuk melakukan aktivitas selanjutnya. Di sinilah kalimat-kalimat nyastra meluncur.
Pak W.N Rahman memberikan contoh, dalam sebuah cerpen yang terbit di Harian Jogja bertahun-tahun lalu (Sayangnya saya kehilangan artikel ini dan lupa judul cerpennya) sang tokoh utama perempuan tengah berdiri di depan pintu kafe. Dia berhenti di depan pintu karena suatu alasan dan berkembanglah sebuah Penundaan selama satu halaman HVS lebih, mulai dari pikiran si wanita, sikap gugupnya, pikiran dia soal langkah selanjutnya, deskripsi soal si tokoh lelaki, banyak hal.
Padahal yang si wanita lakukan cuma satu: berdiri di depan pintu kafe. Dan berhenti di situ. Nggak ngapa-ngapain.
Dia nggak melakukan apa-apa selain itu.
Sementara eksposisi meluber adalah penggambaran yang terlalu detail dari sebuah adegan ketika si tokoh tengah bergerak. Si tokoh sedang berjalan lima langkah, tapi panjang lima langkah dari dia itu memakan lima halaman, yang artinya setiap satu langkah, memakan satu halaman. Di sana dia menceritakan suasana hatinya yang seolah berubah setiap langkah, deskripsi suasana, deskripsi tempat, dan lain sebagainya.
Itu bukan penundaan lagi namanya. Itu makan halaman. Deskripsi meluber dan eksposisi yang sebenarnya bisa dipersingkat. Apalagi jika gaya bahasanya diperparah dengan gaya yang nggak bagus-bagus amat. Ambyar sudah.
Makanya, para pengarang dan penulis nyastra pun membatasi Penundaan. Mereka meunda biasanya hanya di adegan-adegan penting yang akan mengubah hidup si tokoh, bukannya tiap dia kaget, deskripsinya makan satu paragraf lebih.
-
Q: Terus apa bedanya dong? Sama aja kan antara eksposisi berlebih sama Penundaan? Kalau bisa langsung, kenapa harus pakai Penundaan?
Pertanyaan inilah yang saya rasa membuat materi ini dihapus dari forum.
Penundaan terasa terlalu subjektif dan tidak konkrit dibandingkan dengan materi sastra lain. Seperti kata saya, terlalu tersier. Tanpa ini pun, sebenarnya bisa saja sebuah karya sastra berjalan dan tamat. Tapi lengkapkah? Beberapa bilang, tanpa penundaan yang nyastra, kurang.
Adham T. Fusama selaku pengarang dari jalur kontemporer berpendapat demikian. Kalau bisa langsung, kenapa harus pakai Penundaan?
Yeah, itulah susahnya mempertemukan jalur orang yang emang nyastra sekali seperti Pak Rahman dengan pengarang novel thriller macam Kak Adham. Memang sudah ditakdikan jarang berseberangan, apalagi ketemu jalur. Jadi sekalinya ketemu, yang ada adu argumen mulu.
-
Q: Nggak konkrit? Jadi Penundaan itu nggak ada, dong? Cuma bias pendapat aja-kah?
Menurut saya nggak. Menurut saya, penundaan itu benar adanya dan lumayan penting dalam novel sastra.
Penundaan sama nyatanya seperti Eksposisi berlebihan dan Info-Dumping. Tapi nggak sepenting Suspense yang menjadi bagian dari plot.
-
Q: Coba kasih contohnya kalau emang ada!
Oke. Saya ambil ini dari novel terkenal Andrea Hirata. Novel perdana beliau: Laskar Pelangi.
Ketika aku sampai pada kapur-kapur yang berserakan persis di bawah tirai itu, hatiku berkata pasti nona ini akan segera menutup pintu agar aku tidak punya kesempatan sedikitpun untuk melihat dia lebih dari melihat kukunya, namun yang terjadi kemudian sungguh di luar dugaan. Kejadiannya sangat mengejutkan, karena amat cepat, tanpa disangka sama sekali, si nona misterius justru tiba-tiba membuka tirai dan tindakan cerobohnya itu membuat wajah kami yang sama-sama terperanjat hampir bersentuhan!!! Kami beradu pandang dekat sekali ... dan suasana seketika menjadi hening ... mata kami bertatapan dengan perasaan yang tak dapat kulukiskan dengan kata-kata. Kapur-kapur yang telah ia kumpulkan terlepas dari genggamannya, jatuh berserakan, sedangkan kapur-kapur yang ada di genggamanku terasa dingin membeku seperti aku sedang mencengkeram batangan-batangan es lilin.
Saat itu aku merasa jarum detik seluruh jam yang ada di dunia ini berhenti berdetak. Semua gerakan alam tersentak diam dipotret Tuhan dengan kamera raksasa dari langit, blitz-nya membutakan, flash!!! Menyilaukan dan membekukan. Aku terpana dan merasa seperti melayang,mati suri, dan mau pingsan dalam ekstase. Aku tahu A Miauw pasti sedang berteriak-teriak tapi aku tak mendengar sepatah kata pun dan aku tahu persis bau busuk toko kelontong itu semakin menjadi-jadi dalam udara pengap di bawah atap seng, tapi pancaindraku telah mati. Aliran darah di sekujur tubuhku menjadi dingin, jantungku berhenti, jantungku berhenti berdetak sebentar kemudian berdegup kencang sekali dengan ritme yang kacau seperti kode morse yang meletup-letupkan pesan SOS. Lebih dari itu aku menduga bahwa dia, si misterius berkuku seindah pelangi, yang tertegun seperti patung persis di depan hidungku ini, agaknya juga dilanda perasaan yang sama.
"Siun! Siun! Segere...!" teriak kuli Sawang, terdengar samara, menggema jauh berulang-ulang seperti didengungkan di dalam gua yang panjang dan dalam, mereka memintaku minggir.
Tapi kami berdua masih terpaku pandang tanpa mampu berkata apa pun, lidahku terasa kelu, mulutku terkuncirapat_lebih tepatnya ternganga. Tak ada satu kata pun yang dapat terlaksana. Aku tak sanggup beranjak. Wanita ini memiliki aura yang melumpuhkan. Tatapan matanya itu mencengkeram hatiku.
Ia memiliki struktur wajah lonjong dengan air muka yang sangat menawan. Hidungnya kecil dan bangir. Garis wajahnya tirus dengan tatapan mata kharismatik menyejukkan sekaligus menguatkan hati, seperti tatapan wanita-wanita yang telah menjadi ibu suri. Jika menerima nasihat dari wanita bermata semacam ini, semangat pria manapun akan berkobar.
Bajunya ketat dan bagus seperti akan berangkat kondangan , dengan dasar biru dan motif kembang portlandica kecil-kecil berwarna hijau muda menyala. Kerah baju itu memiliki kancing sebesar jari kelingking, tinggi sampai ke leher, merefleksikan keanggunan seorang wanita yang menjaga integritasnya dengan keras. Alisnya indah alami dan jarak antara alis dengan batas rambut di keningnya membentuk proporsi yang cantik memesona. Ia adalah lukisan Monalisa yang ditenggelamkan dalam danau yang dangkal dan dipandangi melalui terang cahaya bulan.
Seperti kebanyakan ras mongoloid, tulang pipinya tidak menonjol, tapi bidang wajahnya, bangun bahunya, jenjang lehernya, potongan rambutnya, dan jatuh dagunya yang elegan menciptakan keseluruhan kesan dirinya benar-benar mirip Michelle Yeoh, bintang film Malaysia yang cantik itu. Maka terkuaklah rahasia yang tertutup rapi selama bertahun-tahun. Sang pemilik kuku-kuku indah itu ternyata seorang wanita muda yang cantik jelita dengan aura yang tak dapat dilukiskan dengan cara apa pun.
Kejadian ini membuat pipinya yang putih bersih tiba-tiba memerah dan matanya yang sipit bening seperti ingin menghamburkan air mata. Aku tahu bahwa selain sejuta perasaan tadi yang mungkin sama-sama melanda kami, ia juga merasakan malu yang tak terkira. Ia bangkit dengan cepat dan membanting pintu tanpa ampun. Ia tak peduli dengan kapur-kapur itu dan tak peduli padaku yang masih hilang dalam tempat dan waktu.
Suara keras bantingan pintu itu membuatku siuman dari sebuah pesona yang memabukkan dan menyadarkan aku bahwa aku telah jatuh cinta.
(Andrea Hirata. Laskar Pelangi (2008). 208-211)
-
Sepanjang berapa halaman? Hampir 3 halaman penuh.
Ngapain si Ikal di adegan sepanjang atas sana? Diem, di depan A Ling, kaget.
Lihat bagaimana suasana, deskripsi wajah, sampai deskripsi tempat bercampur jadi satu di dalam 3 halaman, padahal yang dilakukan Ikal cuma saling tatap muka dengan A Ling? Itu namanya penundaan.
Bisa nggak disingkat jadi satu halaman aja? Bisa
Tapi coba kalian bayangkan, deskripsi di atas, yang mana terjadi pada remaja jatuh cinta untuk pertama kalinya. Menggantikan bahasa yang membuai mendayu seperti di atas, dengan satu kalimat sederhana saja, tanpa ada deskripsi lain yang menyusul sebelum maupun sesudahnya:
"Aku jatuh cinta pada pandangan pertama, pada A Ling."
Entah menurut kalian, tapi menurut saya, satu penggalan kalimat di atas lebih ke horor alih-alih romantis.
-
Q: Tapi gimana kalau suasana tegang malah ada Penundaan?
Makanya saya bilang, para pengarang sekalipun membatasi penundaan dan lihat situasi. Mereka biasanya melakukan Penundaan di adegan berbunga atau butuh drama. Di adegan yang emang butuh cepat dan tergesa-gesa, serta adrenalin? No. Mereka tidak akan mendahulukan estetika saat itu terjadi.
-
Q: Terus gimana bedanya dengan Eksposisi Meluber dan Info Dumping?
Karena ini bicara soal kekurangan naskah orang lain, saya lebih memilih tidak mengungkapkan mana info dumping. Tapi kalau soal narasi berlebih alias eksposisi yang nggak ketulung banyaknya, saya punya satu contoh:
Dikutip dari novel A Court of Thorn and Roses karangan Sarah J. Maas:
Aku mengambil posisi yang lebih nyaman dan lebih tenang, menajamkan pendengaran ke arah hutan yang diliputi angin. Salju turun terus menerus, menari-nari dan berputar-putar seperti buih laut, putih segar dan bersih berpadu dunia coklat kelabu. Terlepas dari diriku, terlepas dari kaki tanganku yang kaku, aku menenangkan pikiranku yang gelisah dan keji demi memerhatikan hutan yang berselimut salju.
Dulu sudah menjadi kebiasaan untuk menikmati kekontrasan rumput yang baru tumbuh di antara tanah gelap yang sudah digarap, atau bros batu kecubung yang menempel pada kain sutra hijau zamrud; dulu aku bermimpi, bernapas, berpikir dalam warna, cahaya, serta bentuk. Terkadang aku bahkan menikmati lamunan siang hari saat kakak-kakak perempuanku telah menikah dan hanya ada aku dan ayahku, punya cukup makanan untuk bepergian, cukup uang untuk membeli sedikit cat, dan cukup waktu untuk menaruh warna-warna serta bentuk-bentuk itu ke atas kertas atau kanvas atau dinding pondok.
Sepertinya tidak akan terjadi lagi dalam waktu dekat--mungkin tidak akan pernah. Jadi, aku hanya punya momen-momen seperti ini, mengagumi kilau cahaya musim dingin pucatnya salju. Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku melakukannya--menyempatkan diri untuk memerhatikan apa pun yang indah atau menarik.
Curi-curi waktu di lumbung bersama Isaac Hale tidak terhitung; itu masa-masa kelaparan dan hampa, terkadang kejam, tetapi tidak pernah indah.
Deru angin berubah menjadi desah lembut. Sekarang salju turun dengan malas, membentuk gumpalan-gumpalan besar dan gemuk yang mengumpul di setiap celah dan tonjolan pohon.
Memikat--lembutnya kecantikan salju yang mematikan. Tidak lama lagi aku harus kembali ke jalanan desa yang belumpur dan membeku, ke pondok kami yang panas menyesakkan. Bagian kecil dan rapuh dana diriku tergugah memikirkan itu.
(Sarah J. Mass, 2015: 12-13).
-
Lihat apa yang salah dari kutipan di atas? Nggak, emang nggak ada yang salah
Tapi mempertimbangkan suasana yang seharusnya sedikit dibuat tegang karena sedang mengintai dan menunggu buruan, agaknya, deskripsi di atas terlalu mendayu-dayu, bukan begitu?
Tapi, hei, materi ini benar-benar subjektif, jadi terserah pendapat kalian. Saya cuma ngomong.
-
Q: Kayaknya sama aja deh. Nggak ada bedanya
Karena itulah, materi ini sangat subjektif dan sagat riskan dibahas, tapi perlu dibahas, agar para penikmat kontemporer, terutama, tidak memandang sebuah Penundaan sebatas hanya menghabiskan halaman.
Penundaan itu kadang diperlukan untuk estetika dan tidak perlu melulu disamakan dengan Eksposisi meluber karena yang namanya Meluber itu pasti udah kelewat batas.
-
Q: Intinya nggak ada gunanya dong, Penundaan itu? Nggak efektif? Kita kan harus bikin kalimat se-efektif mungkin dalam novel?
Itulah estetika.
Kita membicarakan estetika dan bukan seni kriya; ketika semua yang kamu lakukan, bahkan bahan yang kamu gunakan harus menggunakan konsep tepat guna, bahkan zero waste.
Ketika kamu bicarakan estetika, kamu akan bicara soal segala hal yang ekstra, entah itu ekstra biaya, tenaga, dan waktu, untuk hasil yang sebenarnya tidak jauh berbeda dari hasil awal kamu tanpa perlu memakai estetika.
Kelihatan sia-sia, memang.
Tapi ketika seorang pengarang menulis tema yang sudah jutaan kali dibahas dalam berbagai literatur, apa yang bisa dibanggakan dari naskah pasaran itu, selain dari estetika alias originalitas gaya bahasa sang pengarang itu sendiri?
-
Itulah materi Suspence vs Suspense. Mungkin akan jadi satu-satunya materi sungguhan walau berbasis teori abal-abal ala pengarang amatiran. Sebenernya, enakan dibikin latihan sih di sini. Saya juga kepenginnya begitu.
Ntar saya kasih foto dan situasi, kalian bikin 2 paragraf dengan minimum 4 kalimat per paragraf, berisi penundaan dari situasi yang saya berikan.
Yah, tapi apalah saya. Saya nyadar kalau saya aja nggak tau banyak soal penundaan, sok-sok mau kasih latihan.
Ngasih ilmu kagak, ngajak sesat berjamaan mah iya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top