-TIGA-

~I'm always coming back to you~

Embusan napas berat terdengar mengisi ruang kamar berwarna biru muda itu. Pemilik kamar baru saja menghempas badannya di atas kasur setelah meletakkan ranselnya di meja belajar. Nata memejamkan mata, berusaha melepas penat. Semenit berlalu dalam keheningan sampai pikiran gadis itu melayang pada kejadian di bengkel tadi.

Ternyata dewi keberuntungan sedang berpihak padanya. Nata diberi kesempatan meninggalkan bengkel itu lebih dulu, motornya sengaja ia titipkan di sana dan akan mengambilnya malam nanti. Ia tidak tahu harus berbuat apa jika Tirta melihatnya. Mau diletakkan di mana wajahnya?

Nata mengubah posisi rebahan menjadi duduk di pinggir kasur. Ia mengambil jurnal berwarna biru yang selalu ia sembunyikan di dalam sarung bantal. Jurnal itu berisi ungkapan hatinya yang tak pernah tersampaikan pada seorang cowok bernama Tirta Derana. Senyum manis bermakna kepedihan terukir di wajah Nata saat membuka halaman pertama jurnalnya.

"Benci dan cinta berbeda tipis." Nata tertawa kencang saat membaca kalimat itu.

Ingatannya kembali pada masa SMA. Kala itu ia sangat membenci Tirta karena kesombongannya. Tirta adalah salah satu siswa terpandai di sekolah dan selalu menjadi sorotan guru dan kaum hawa, jadi wajar saja sifat sombong melekat pada peraih juara kelas selama dua tahun berturut-turut di kelasnya. Kebencian semakin merasuki dirinya saat Tirta menolaknya menjadi teman kelompok pada salah satu pelajaran.

Nata membuang napas lelah hingga bahunya ikut merosot. "Akhirnya gue suka juga sama lo, Ta." Lagi-lagi Nata tertawa mengingat kebodohannya. Ia tidak menyangka bahwa ungkapan benci jadi cinta benar adanya sampai ia sendiri yang merasakan kebenaran itu.

Nata menyudahi kegiatan nostalgianya. Gadis itu meletakkan jurnalnya di atas meja belajar dan memutuskan untuk mandi sore karena badannya semakin lengket akan keringat. Setelah mengambil baju kaus dan training yang akan dikenakannya, Nata beralih meraih handuk di belakang pintu dan bergegas ke kamar mandi.

***

Benda pipih berwarna hitam di atas nakas terus bergetar menandakan pesan masuk. Tirta meraih benda itu tanpa minat. Kegiatan menonton animenya terpaksa ia hentikan. Cowok berambut quiff itu mengecek grup alumni kelas semasa SMA yang ternyata sudah memunculkan ratusan pesan.

Ia pikir isi pesan-pesan itu hanyalah hasil kegabutan dari teman-temannya, tetapi setelah mengecek dan memastikan ia tidak salah lihat, Tirta tertarik untuk terus membaca pesan-pesan itu sampai akhir. Ternyata teman-temannya memutuskan untuk meet up esok hari. Seulas senyum terbit di wajahnya. Bukan karena pertemuan yang membuatnya bahagia, melainkan makanan gratis yang akan ia dapatkan.

"I'm coming," teriak Tirta seraya melempar ponselnya ke atas kasur dengan perasaan bahagia.

Di lain tempat, Nata sedang berpikir keras untuk menentukan keikutsertaannya pada acara meet up besok. Di tengah kekalutannya, Nata membuka grup berisikan dua orang sahabatnya. Ia terus menggulir pesan-pesan dua makhluk berbeda kepribadian itu. Sesekali ia tersenyum membaca pesan Ivy dan Nela hingga melupakan sesuatu yang membuatnya sakit kepala.

Nela: Gue gak mau ikut meet up kalau Nata gak ikutan.

Ivy: Gue udah jelas gak ikutan :v

Nata: Gimana, yah. Gue pengen tapi gak bisa.

Nela: Si Ivy, lo emang gak perlu ikutan. Lo gak sekelas sama kita.

Nela: Ikut aja, Nat. Setahun, lho, kita gak pernah ketemu sama mereka.

Ivy: Kuatkan hatimu, Nat :D

Nata mendengus membaca pesan Ivy. Jika bukan karena pesan yang ia kirim pada Tirta, ia tidak akan pusing seperti sekarang. Nata menimbang-nimbang perkataan Nela. Benar kata sahabatnya, mereka belum pernah berkumpul sejak mereka semua dinyatakan lulus ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Ia tidak mau mengorbankan reuni kelasnya hanya karena pesan 'apa kabar' yang telah ia kirim untuk Tirta.

Nata: Yaudah, La. Gue ikut. Tapi janji lo juga ikut, ya.

Nela: Sip. Sebelum ke rumah Bian katanya kita di suruh kumpul depan SMA Nusa Bangsa. Biar berangkatnya bisa bareng-bareng semua.

Nata: Oke.

***

Sesuai perjanjian, sudah sekitar dua puluhan orang berkumpul di depan sekolah. Keadaan begitu riuh meski mereka sekarang berada di pinggir jalan menunggu kedatangan teman yang belum menampakkan batang hidungnya. Nata meremas ponsel di genggamannya. Ia berharap agar Tirta tidak turut berpartisipasi. Namun, ia harus menelan kenyataan pahit saat melihat seorang cowok ber­-hoodie abu-abu tengah meminggirkan motornya di antara motor-motor yang terparkir.

Nata memasang tudung jaket parasutnya agar Tirta tidak langsung melihat keberadaannya. Kelakuan Nata sangat kontras dengan teman-temannya yang terlihat bahagia karena pertemuan. Ia terus berusaha untuk tidak menampakkan wajahnya, tetapi takdir berkata lain saat mereka semua bersiap menuju rumah teman tempat mereka akan mengadakan party kecil-kecilan.

Karena jarak perjalanan cukup jauh, maka banyak dari kaum hawa memilih berboncengan dengan kaum adam. Nata mengumpat dalam hati, andai saja kakaknya tidak meminjam motornya ia pasti bisa berboncengan dengan Nela. Tirta yang melihat Nata masih diam di tempat memutuskan untuk mengampiri gadis itu.

"Bareng gue?" Nata terkesiap. Jantungnya melompat-lompat kala suara itu menyampu pendengarannya. Seketika ia flashback pada masa kelulusan di mana pemilik suara berat itu juga menawarinya tumpangan.

Nata berusaha menelan ludahnya, tiba-tiba kerongkongannya kering. Keringat dingin membasahi tangannya. "G-gue bareng Rian aja,"

Merasa disebut, Rian berbalik ke arah Nata. "Bareng gue? Gue udah sama yang lain," ucap Rian sembari menggerakkan kepalanya ke arah teman boncengannya.

"Semua udah punya teman boncengan, udah bareng gue aja," ajak Tirta.

Karena sama sekali tidak mendapati pergerakan Nata, ia akhirnya menarik gadis itu menuju motornya. Sensasi dingin langsung menjalar pada kulit tangannya saat menyentuh tangan gadis itu. Ia menoleh menatap Nata yang sudah pucat pasih.

"Lo sakit?" tanya Tirta.

Nata mengerjapkan matanya lantas menarik tangannya dari genggaman cowok itu. Ia memperbaiki ikatan rambutnya dan berusaha menata raut wajahnya agar tidak terlihat gugup. "Gak, kok. Gue sehat."

Tirta mengangguk kemudian bersiap-siap untuk beranjak dari tempat mereka berkumpul. Nata masih terdiam di belakang motor Tirta, ia belum siap berboncengan dengan cowok itu. Segalanya terlalu tiba-tiba. Nata menarik napas dalam lalu mengembuskannya perlahan, berharap detak jantungnya dapat berdegup normal.

Nata memalingkan wajahnya, menatap Tirta kala cowok itu menyuruhnya naik ke atas motor karena semua temannya sudah beranjak. Nata duduk di belakang Tirta dalam keadaan menahan napas dan gugup luar biasa. Ia takut jika cowok itu mendengar detak jantungnya yang begitu kencang seakan ingin menerobos keluar dari tempatnya.

"Udah siap?" tanya Tirta sebelum menjalankan motornya.

Nata mengangguk. "Udah."

Setelah itu, motor melaju membelah jalan beraspal yang tidak begitu ramai di hari sabtu. Tirta mengangkat kaca helmnya lalu menoleh sedikit ke arah Nata.

"Gue baik, kenapa chat gue?" ucap Tirta sama seperti pesan balasan yang ia kirim untuk Nata kemarin.

Nata kembali menahan napasnya. Entah mengapa mulutnya seakan terkunci. Kedua tangannya terangkat memegang pipinya, sensasi hangat langsung ia rasakan. Untung saja kaca helmnya sudah berganti riben jadi ia tidak perlu bersusah payah menyembunyikan wajahnya yang memerah.

"Nat, lo dengerin gue gak?" Suara Tirta kembali menyadarkan Nata dari keterkejutannya.

"Gue denger," jawab Nata dengan nada cepat.

"Lo apa kabar?"

Nata semakin sulit menelan ludahnya, ia terus berusaha mengontrol respon tubuhnya agar tidak terlalu berlebihan walaupun sebenarnya sangat sulit baginya untuk bersikap biasa-biasa saja.

"Baik," jawab Nata terdengar cuek.

"Gue chat lo karena tantangan dari Ivy." Entah ada angin apa, tetapi Nata merasa perlu memberikan konfirmasi mengenai pesan yang ia kirim pada cowok di depannya ini.

Tirta termenung sesat. Matanya melirik Nata dari balik kacak spion, tetapi percuma saja karena ia tidak bisa melihat wajah orang di balik punggungnya. Tirta tersenyum tipis sebelum menanggapi ucapan Nata.

"Kalau lo gak dapat tantangan berarti lo gak mau chat gue?" Tirta bertanya dengan nada kesal, membuat Nata mati kutu.

Nata ingin sekali mengangkat kaca helmnya dan menjawab pertanyaan Tirta, tetapi kedua tangannya tiba-tiba terasa berat untuk digerakkan. Perlahan Nata mencoba menggerakkan tangan kirinya yang tidak begitu sulit digerakkan, tetapi usahanya sia-sia. Jelas saja ini bukan reaksi karena ia begitu dekat dengan Tirta. Nata membuang napasnya kasar, sebenarnya ada apa dengan dirinya?

📘

The third day ODOC wH

Ini aku masih semangat, kok😂

Kurang lebih itu gambaran rambut quiff, tapi dia bukan Tirta, yah. Kalau Tirta ada di mulmed👆😂

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top