-SEMBILAN-

~Aku percaya ada trauma meski pada hal sederhana~

"Nata dari rumah teman," jawab Nata apa adanya. Hawa tegang semakin terasa mengelilingi mereka semua.

Adam menatap anaknya yang sedang terdiam di ambang pintu, lalu terkekeh. "Tidak usah tegang gitu. Ayah tidak marah sama kamu. Tapi, lain kali kabarin Ayah, jangan Kakak kamu." Perkataan Adam sontak membuat Nata membulatkan matanya, tidak percaya dengan apa yang ia dengar.

Nata ingin menjawab, tetapi bayang-bayang ayahnya saat berkata kasar kepada sang ibu seketika menyeruak, membuatnya urung berbicara dan berakhir dengan anggukan tanda mengerti. Sebelum berlalu dari ruang tamu, ia sempat menatap kedua saudaranya, sibuk dengan ponsel masing-masing.

"Kamu hari ini ada kuliah, Nak?" tanya Hana kepada Nata yang baru tiga langkah melewati ruang tamu.

"Iya, Bu. Hari ini setelah salat zuhur," katanya.

Hana mengangguk mengerti. "Ya udah kalau gitu, kamu makan dulu," suruh Hana.

Akan tetapi, ia belum beranjak. Seolah-olah ada sesuatu mendesaknya agar mengucapkan kalimat yang sedari tadi tertahan di tenggorokan. Nata menoleh ke arah Adam, membuat Hana mengernyit heran.

"Ayah jangan ngomong kasar lagi sama Ibu," pinta Nata hingga membuat Adam sontak mendongak dari koran di hadapannya ke arah Nata.

Hening. Semua atensi tertuju pada Nata, tetapi tak ada respon dari mereka semua. Hingga sang kakak mengode Nata untuk segera masuk. Nata pun kembali mengayunkan kedua kakinya ke ruang paling nyaman di rumah ini, kamarnya.

"Maafin Nata, Mas," pinta Hana, melihat sang suami hanya diam berusaha mencerna kalimat anaknya.

"Emang Nata salah apa, Bu, sampai harus dimaafin?" tanya Lia, tak lupa menyuguhkan senyum miring.

"Ka-" ucapan Hana menggantung kala si bungsu tiba-tiba bangkit dari duduknya.

"Awan pergi dulu ke rumah temen. Pengen ngerjain tugas kelompok," izin Awan pada orang tuanya. Ia lalu menyalim tangan ayah juga ibunya.

Dalam hati, Awan terus merapal maaf karena terpaksa berbohong. Ia hanya tidak ingin mendengar celotehan-celotehan ibu dan kakaknya, mempertentangkan sikap sang Ayah yang kerap kali marah-marah tidak jelas. Sedangkan Lia, wanita berumur dua puluh enam tahun itu langsung berlalu dari ruang tamu, tidak ingin berdebat panjang dengan ibunya.

***

Sudah kali keempat ponsel Tirta berpindah dari meja ke tangannya. Tirta mengacak rambutnya frustrasi. Ia belum mengirim pesan pada Nata, tetapi tangannya sudah mendingin dan terasa kaku. Entah kenapa, semenjak memutuskan untuk menjalin persahabatan dengan Nata, ia menjadi tidak tenang seperti ini.

"Elah, gue kenapa, sih? Gini doang kayak pengen nembak aja," kesal Tirta dan pada akhirnya memutuskan untuk mengirimkan Nata pesan.

Tirta: Hari minggu lo kuliah?

Tirta tertawa setelah mengirim pesannya pada Nata. Seharusnya ia langsung mengatakan yang sebenarnya, tidak menjadikan tugas gadis itu sebagai jembatan untuk mengajak Nata menjalin persahabatan. Aneh memang, ia sendiri tidak tahu kenapa mengambil langkah ini. Tirta hanya mengikuti kata hatinya, melakukan apa yang ia inginkan.

Ponselnya berdenting, menandakan pesan masuk. Cowok beralmamater warna kuning itu sontak mengecek benda pipih di tangannya.

Nata: Iya.

Seketika Tirta menyunggingkan senyum tipis, lalu mengetik balasan dengan cepat.

Tirta: Disya juga, dia masih kuliah. Info yah😆

Tak berselang lama, ponsel kelam itu lagi-lagi berdenting.

Nata: Setelah kuliah gue kelar.

Cowok dari Fakultas Ekonomi itu lantas semringah tanpa tahu perasaan seorang gadis yang tengah mengharapkan dirinya. Tirta memperhatikan mahasiswa yang sedang berlalu lalang dengan almamater kebanggaan kampus mereka. Cowok itu sedang berada di Semarang, mengikuti Konferensi Internasional Ekonomi, Bisnis, dan Pendidikan Ilmu Ekonomi (ICE-BEES) sebagai delegasi dari kampusnya bersama dua orang temannya.

Tirta terlupa akan sesuatu. Niat awalnya belum tersampaikan pada Nata. Dengan kecepatan kilat, ia menekan aplikasi berwarna hijau dengan logo telepon di ponselnya. Sangat mudah menemukan nama Nata, sebab ia baru saja saling berkirim pesan sehingga kontak gadis itu menjadi yang teratas.

Tirta: Nat, gue pengen bilang sesuatu sama lo.

Cukup lama cowok berumur dua puluh tahun itu menunggu balasan dari Nata, hingga akhirnya gadis itu membalas hanya dengan tanda tanya.

Cueknya ori ternyata, batin Tirta seraya meringis.

Tirta: Lo pernah sahabatan sama cowok?

Nata: Pernah, lo pengen jadi sahabat gue?

Tirta memelotot kala melihat balasan dari Nata. Apakah niatnya segampang itu ditebak sehingga Nata dengan cepat menangkap maksudnya? Tirta tertawa kecil, ia lupa bahwa orang cuek bukan berarti tidak peka.

Tirta: Peka banget. Sahabatan, yuk?

Nata: Dalam rangka?

Tirta: Emang lo gak mau sahabatan sama gue?

Di lain tempat, Nata semakin kesulitan meraup oksigen. Ia hanya iseng menebak-nebak maksud pesan Tirta, tetapi ternyata cowok itu benar-benar mengajaknya bersahabat. Entah, Nata harus senang atau sedih. Ia ingin menolak, tetapi hati terus memaksa menerima.

Hingga Nata sampai pada satu kesimpulan, meskipun mereka bersahabat, pada akhirnya Nata tetap akan berada di garis patah hati karena cowok itu sudah memiliki kekasih. Tak ada pula celah bagi Tirta untuk menyukainya. Jika ia tidak bisa berada di sisi cowok itu sebagai orang yang bisa dicintai, biarkan ia berada di sisi cowok itu sebagai sandaran untuk berkeluh kesah.

Meskipun ia tahu, persahabatan mereka nantinya hanya akan didominasi oleh curahan hati seorang Tirta, ia akan tetap bahagia karena bisa menjadi sandaran untuk orang yang ia sukai. Suka? Mungkin bukan lagi, melainkan ia sudah jatuh hati pada cowok aries itu.

Nata: Lo ada maunya jadi pengen sahabatan sama gue?

Hatinya mencelos kala mengetik pesan balasan tersebut, tetapi ia ingin mengetahui apa maksud terselubung cowok itu.

Tirta: Gue udah lama gak sahabatan sama siapa-siapa. Cuma Disya tempat gue berbagi kesedihan. Gue rasa, gue perlu orang secuek lo.

Tirta: Lo juga bisa curhat ke gue kalau lo mau, namanya sahabat, yah, harus bisa saling nerima keluh kesah. Btw, gue gak nerima penolakan. Jadi, lo harus jadi sahabat gue mulai detik ini.

Nata mengaga tak percaya. Ini bukan lagi permintaan, melainkan perintah. Oke, Nata pikir hari-harinya akan semakin berat. Tirta dengan curhatan mengenai Disya dan Nata dengan kebodohannya menyiksa diri sendiri.

Nata: Serah lo.

Nata memasukkan ponselnya pada saku jaket parasut navy yang selalu ia kenakan. Perkuliahan sudah selesai, sekarang waktunya beraksi. Memata-matai seorang gadis anggun, pujaan hati sahabatnya. Sahabat? Nata tertawa miris meratapi hidupnya. Ternyata sesakit ini agar bisa berada di sisi orang yang ia cintai.

Cinta memang tak pernah sejalan dengan logika. Cinta memang rumit seperti rumus matematika. Biarlah, Nata akan menanggung perih itu sampai ia menyerah dengan keadaan.

Membutuhkan waktu sepuluh menit untuk sampai di gedung Fakultas Manajemen. Nata mendengkus karena harus menginjakkan kaki di lokasi ini, lokasi yang paling ia hindari karena ada Arsyad di sana. Nata berdoa di dalam hati agar ia tidak bertemu dengan cowok itu, mengingat mereka memiliki jadwal yang sama hari ini.

Nata berjalan di koridor fakultas, mencari keberadaan Disya. Tak butuh waktu lama, ternyata dari koridor ini ia bisa melihat Disya bersama seorang cowok sedang bercengkerama di bawah pohon Trembesi. Nata merogoh saku jaketnya kemudian menekan ikon kamera untuk mengabadikan momen itu kepada Tirta.

Sebenarnya ia sendiri tidak nyaman melakukan ini, tetapi ia sudah berjanji untuk membantu Tirta. Jadi, ia akan tetap menjalankan tugasnya. Setelah berhasil memotret dua objek di sana, Nata bergegas menjauh dari tempat itu. Hasil jepretannya akan ia kirim setelah keluar dari gedung ini.

"Kak Nata, gue tahu itu lo. Cewek yang selalu liatin kak Tirta dari jauh." Nata membeku seketika kala mendengar suara itu berada tepat di belakangnya.

📘

The ninth day ODOC wH
.
.
Lama bener aku mikir di chapter ini😂, btw di mulmed ada si Disya

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top