-DUA PULUH SEMBILAN-
Menjelang siang kamar rawat semakin riuh. Adam berulang kali berdecak diiringi tawa karena tingkah laku teman-teman putrinya ditambah Awan dan juga Tirta berusaha menghibur gadis berbalut pakaian biru ala rumah sakit. Setelah makan siang, mereka kembali berkumpul dan bercerita banyak hal di samping Nata, sementara gadis itu cuma mampu mendengarkan meski sesekali menyela dengan suara tersendat-sendat.
Adam meremas tangan kuat-kuat, keadaan anak tengahnya semakin memburuk dan Nata sudah tidak ingin melakukan terapi lagi. Lantas laki-laki bermata tajam itu tak tahu harus melakukan apa. Ia jadi teringat sang istri, jika saja Hana masih ada ia tidak mungkin khawatir seperti ini karena ada pasangan yang selalu mengingatkan untuk tegar.
Namun, semua dirasa percuma kala melihat si pasien di hadapannya benar-benar tak mampu lagi bergerak kecuali kepala, bahkan mulut pun semakin kesulitan untuk digerakkan. Adam menunduk dalam, memijat dahi berusaha meredam penat dan sedih yang bergelayut sedari tadi. Lia menyadari kerisauan sang ayah semakin merapatkan diri.
"Ayah kenapa?" tanyanya.
Pria paruh baya itu sontak mendongak, menatap anak sulungnya. "Ayah cuma capek."
Merasa tidak puas, cewek anggun tersebut mengenggam tangan ayahnya yang tertaut. Seketika dingin merambat di kulit. Ia kembali menatap ke samping, apa yang ayahnya rasakan juga mengalir padanya.
Karena tak bisa berkata-kata, cewek itu hanya bisa mengelus-elus tangan yang semakin mendingin karena memikirkan keselamatan sang anak.
"Kita harus kuat demi Nata, Nak," ujar pria itu sambil menahan desakan air mata di pelupuk.
Anggukan mantap memperkuat keinginan, memilih optimis dengan keadaan meski realita menjatuhkan. Sekeliling kamar semakin hiruk pikuk kala Awan mulai mengenjereng gitar, Ivy bertindak sebagai biduan. Meski nada dan suara tak menyatu dalam satu melodi.
Beberapa kali Nela tergelak, tetapi lain hal dengan Tirta. Cowok itu malah sibuk memainkan jari-jemari seorang gadis tanpa daya. Irisnya tidak pernah berpindah dari wajah Nata, padahal yang ditatap hanya menampilkan senyum yang sesekali melebar karena dikelilingi oleh keluarga dan teman-teman.
Tirta menunjuk pipi pasien tepat pada lesung pipit gadis itu saat tersenyum. Seketika ia tergelak kecil kala Nata refleks menghadap padanya.
"Gak usah balik sini, lo liatin mereka aja soalnya lo gak pernah senyum lebar kayak gitu kalau natap gue," oceh laki-laki berambut agak berantakan karena tak memiliki waktu untuk merapikannya. Bagi pria kelahiran dua ribu itu, melihat senyum Nata adalah hal paling menyibukkan.
"Gak usah nyahut, lo senyum aja lebar-lebar kalau mau ngehibur gue," bisik Tirta sebelum Nata berhasil membalas.
Bagai disihir, gadis berwajah oval nan pucat di hadapannya menyunggingkan senyum tipis, sangat tipis, pada detik berikutnya air mata menetes sekali, dua kali disertai senyum lebar yang dipaksa untuk mengembang.
Andai saja mulut dapat berucap normal seperti biasa, cewek yang tak dapat menghentikan air matanya saat ini ingin sekali mengatakan banyak hal.
Kesal semakin memuncak, air sebening kristal tumpah ruah ke atas bantal, tenggorokannya gatal, memaksa untuk berteriak. Namun, semua tertahan. Ia hanya bisa menangis dan terus mengerahkan tenaga, berharap tungkai dan tangan bisa bergerak seperti semestinya.
Akan tetapi, tak ada restu. Selama di rumah sakit pemilik bumi beserta isinya semakin menunjukkan tanda bahwa eksistensi berada lebih lama di semesta ini tak akan lama lagi. Tidak tahu pasti kapan semua ujian ini berlalu, yang ia tahu semakin hari hidup terus berwarna walaupun ia terus memudar.
Isak tersendat-sendat mengisi ruangan, seluruh pasang mata mengarah padanya. Ada dorongan dari dalam kerongkongan agar berteriak, mengeluarkan keluh kesah.
Sampai pada akhirnya, ia menyerah. "Ca-pek," lirih gadis itu.
Mereka mengerumuni brankar pasien, wajah yang tadinya dipaksa agar tertawa dan membuat suasana ramai akan bahagia tiba-tiba terselimuti mendung, dan tak lama lagi hujan 'kan mengiringi.
"Kamu kuat, Sayang. Ada kami di sini." Adam mulai dirundung awan gelap, seolah tahu hal buruk apa yang akan terjadi pada keluarganya kali ini. Namun, sekuat tenaga ia meyakinkan diri sekalipun detak jantung mulai tak berirama karena kegugupan yang menyergap.
Tidak ada satu pun orang sanggup kehilangan terus-menerus. Begitu pun ia, sebagai manusia biasa Adam tentu masih terpukul dan sekarang beban itu semakin bertambah bagai ditimpa batu berukuran besar, sangat sulit untuk bangkit.
Ketakutan serta lara hati juga tampak pada wajah-wajah yang mengelilingi Nata. Lia meremas tangan adiknya, menyalurkan dukungan moral. Lama kelamaan tangan dalam genggaman mendingan. Sangat kontras dengan raut bahagia gadis pucat yang terus berbaring karena keadaan.
"Te-ter-ima kas-ih su-dah ber-ju-ang un-tuk Na-ta," lirih Nata.
Lia melepas tangan itu dan menjatuhkan badan ke atas ubin, tidak sanggup bersitatap dengan adiknya. Sementara Ivy dan Nela membuang muka diikuti tangisan yang menjadi-jadi. Adam memeluk sang anak, Awan menangis di dekat jendela, enggan melihat wajah sendu kakak keduanya. Sementara Tirta mencium punggung tangan gadis itu, tanpa sadar air mata jatuh ke atas tangan tersebut hingga menimbulkan kesan hangat di atas kulit.
"Lo bisa, Nat. Jangan kayak gini, lo pasti kuat," ucap Tirta di sela-sela tangis.
"Ayah gak akan marah-marah lagi, Ayah pasti bisa jagain Nata sama kayak ibu kamu, Nak. Ayah janji akan belajar jadi ibu juga buat kamu asal jangan nyerah," pinta sang kepala rumah tangga. Mata bagaikan bendungan bocor, literan air semakin mengalir deras dari dua telaga.
"Nata lo bisa, kita di sini." Nela memandang wajah Nata nelangsa.
"Lo gak boleh pergi sebelum gue bilang cinta sama lo, Nat," bisik Tirta. Ia tak melarang air bening dari manik cokelat gelap yang memerah terus membentuk anak sungai. Ia tidak tahan lagi dengan penyiksaan batin, mendera berulang-ulang tanpa lelah.
Susah payah gadis di atas brankar menarik seulas senyum termanis, harusnya mereka bahagia dengan senyuman itu, tetapi justru sakit dan perih yang menyapa semakin dalam sampai ke dalam relung hati.
"Na-ta pa ---." Bunyi panjang nan melengking dari kardiograf sontak membuat mereka semakin merapatkan diri pada Nata. Ditengoknya alat pencatat denyut jantung, tetapi hanya ada segaris panjang di sana, tanda bahwa ruh telah meninggalkan jasad.
Berulang kali Tirta menekan tombol darurat di ujung atas kasur, berharap dokter segera datang. Tangan yang ia bungkus menggunakan tangannya kini menurunkan suhu, perlahan mendingin. Saat itu Tirta menyadari bahwa Nata sudah tak ada lagi di dunia ini.
Kenapa lo harus pergi sekarang, lirih cowok itu, lantas jatuh ke atas ubin, meninju penapak kaki sebagai pelampiasan sesak. Kasih telah pergi sebelum sempat saling menyelami kehidupan satu sama lain. Ia menangis histeris, tidak perduli jika saja lantai yang ia tinju berakhir rusak karena ulahnya.
Kebahagiaan hanya berlangsung selama beberapa jam, secepat api membuat kertas menjadi abu, bahagia kini terasa hambar. Wajah pucat dilengkapi senyum tipis di hadapan mereka tak memberi hangat sama sekali, hanya rundungan perih yang datang bertubi-tubi dalam sekali hentakan.
Ia Syanesa Arnata telah berpulang tanpa pesan, pamit pun tak sampai. Haru biru merayapi tiap diri mereka karena kenyataan yang tak pernah tertebak. Mereka hanya tahu rencana Tuhan selalu lebih baik. Yah, setidaknya Nata tak merasakan sakit lagi.
Bilang sama gue, Nat, gimana caranya membantai perasaan yang baru tumbuh untuk lo, dan begitu cepat menghayati perasaan yang semakin menyusup.
📘
.
The twenty ninth day ODOC wH
.
One chapter left... Ini bukan End😂
Hufttt percaya atau tidak aku juga sedih Nata pergi, tapi emang dia harus pergi😥
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top