-DUA PULUH SATU-

~Miris tapi manis~

Denting sendok karena beradu dengan piring mengisi keheningan ruang makan di pagi hari. Jika dulu Hana selalu berceloteh mengenai Awan yang tak pernah berhenti bermain game saat makan, maka sekarang suara itu tak lagi terdengar. Sudah seminggu lebih kepergian sosok ibu dari sisi mereka, jelas saja atmosfer terasa berbeda.

Terbiasa tanpa kehadiran seorang ibu masih menjadi momok paling sulit untuk dilakukan. Adam sebagai kepala keluarga tentu tahu bahwa ini tidaklah mudah. Beberapa hari ini anak-anak memang jauh lebih pendiam dari biasanya, tetapi ia bersyukur karena kebersamaan tak pernah pudar dari keluarga kecilnya.

Nata meraih segelas air, lantas meneguknya hingga tandas. Setelah meletakkan gelas ke atas meja, ia hendak mengangkat piring kotor, tetapi ponsel di dalam saku celana bergetar panjang menandakan panggilan masuk. Kernyitan pada dahi seketika tampak tanda kebingungan. Nomor baru berpendar di layar gawai tersebut.

Meski tak ingin menjawab, tetapi ia seperti mendapat dorongan untuk melakukannya. Nata menatap Adam, Awan serta Lia yang ternyata memperhatikannya seolah menunggu panggilan tersebut dijawab oleh si pemilik gawai. Tanpa menunda lagi, tombol hijau pun digeser ke atas.

"Iya bener, Pak, saya Syanesa Arnata," jawab Nata sangat pelan. Jantungnya langsung bergemuruh hebat. Ia tidak jadi beranjak dari sana meski ingin, tetapi ayah dan saudaranya memandang dengan rasa ingin tahu lebih. Jika ia berlalu mereka akan mencecar berbagai pertanyaan.

"Maaf menganggu kamu pagi-pagi begini. Saya dokter yang menangani kamu waktu itu. Setelah melakukan pemeriksaan jantung dan otot ternyata saya membutuhkan satu pemeriksaan lagi untuk memastikan. Sebagai penyakit yang gejalanya muncul perlahan-lahan dan dapat mirip dengan penyakit lainnya, pemeriksaan genetik sangat dibutuhkan."

Mendengar itu, Nata sangat terkejut. Melakukan pemeriksaan genetik sama saja membongkar rahasia. Akan tetapi, jika tidak menuruti permintaan dokter ia tak akan mengetahui penyakit yang diderita, apakah aman atau justru berbahaya. Sebelum menjawab, ia kembali memandang sekitar. Ternyata keluarganya masih menaruh perhatian dan rasa ingin tahu yang tinggi.

Nata menggigit kuku, pikirannya bercabang antara mengiyakan untuk tes genetik atau selesai sampai di sini. Mata terpejam rapat, menenangkan pikiran sampai suara di seberang sana kembali terdengar.

"Bagaimana? Saya pikir ini bukanlah penyakit sembarangan. Maka dari itu, saya menyarankan untuk pemeriksaan genetik. Kalau memang kamu setuju, kamu bisa datang ke rumah sakit bersama ayah atau ibumu. Hari itu juga setelah hasil pemeriksaan keluar, saya sudah bisa menyimpulkan."

Bagai ditimpa batu besar, gadis itu tidak dapat berkutik. Ia terus menunduk, merasakan aliran darah terus mengalir deras. Melihat ada yang tidak beres, Adam kontan meraih ponsel Nata secara terpaksa.

"Halo." Adam sengaja hanya menyebut satu kata sebab ia tidak tahu siapa orang di balik nomor tak dikenal tersebut. Namun, setelah mendengar identitas serta pemaparan dari seberang, Adam seketika menegang. Netranya langsung menatap Nata yang terus menunduk.

"Pemeriksaan genetik? Apa anak saya terindikasi penyakit berbahaya?" Tak dapat dipungkiri perasaan sedih dan tidak tenang menyatu jadi satu.

"Saya tidak dapat menyimpulkannya sekarang, tetapi setelah melihat hasil tes otot serta jantung, menarik saya pada satu penyakit dan untuk memastikannya saya butuh tes gentik. Apa Bapak bersedia?"

Adam menelan ludah susah payah. "Baik, Dok. Saya akan ke rumah sakit sekarang."

Setelah panggilan terputus, pria paruh baya itu langsung memeluk Nata. Dapat dirasakan bahwa sekarang anaknya menangis. Lia dan Awan saling lempar pandang ketika melihat sang ayah dan saudara mereka saling dekap. Mereka tidak tahu apa yang terjadi. Melempar pertanyaan sekarang bukanlah waktu yang tepat.

"Ayah tidak pernah tahu tentang kamu, Nak. Tapi, ibu selalu tau tentang keluarganya. Dari surat ibu untuk Ayah, katanya kamu sedang tidak baik-baik saja. Ayah tidak percaya, tapi hari ini Ayah ketakutan," jelas Adam seperti berbisik.

"Kita ke rumah sakit sekarang, ya?" pinta Adam dengan sepenuh hati.

***
Nata menyimpan tas ransel di atas kursi. Atensinya beralih menatap rumah yang tak lagi ada seorang ibu di sana. Entah kenapa senyum manis malah menghiasi wajah. Jawabannya adalah tegar, tetapi lengkungan tipis itu seketika memudar bersama terpaan angin malam.

Ketakutan berpadu keterkejutan masih bersemayam dalam diri. Baru saja ia memutuskan untuk menjalani hari tanpa gundah. Baru saja ia ingin menjalankan perintah sang ibu untuk menutup rapat pedih dan berjalan diiringi nasib yang menanti. Sebuah kenyataan berhasil memukul mundur semangat juang untuk bangkit.

Divonis sebuah penyakit langka dan tanpa ada obat yang dapat memastikan kesembuhan, jelas sudah gadis berikat rambut ekor kuda itu tak bisa berharap banyak. Nata menjatuhkan tubuh di samping tas ransel. Sembari menunggu kedatangan sang ayah yang entah sedang mengurus apa, ia meraih jurnal biru dari dalam tas hendak menulis sesuatu.

Setelah mengambil barang yang dimaksud, ia langsung menggoreskan tinta di atas kertas dengan tangan bergetar hebat.

19 Januari 2020

Kali ini tentang gue, Ta. Sebelum gue gak menampakkan diri lagi karena bakalan di rawat di rumah sakit tanpa sepengetahuan yang lain, gue mau lo tau kalau sampai sekarang usaha gue selalu gagal buat lupain lo. Tapi, kali ini gue gak akan bahas itu. Gue pengen bilang kalau gue divonis Ataksia Friedreich.

Tangannya berhenti bergerak. Kedua matanya tiba-tiba buram karena menahan air mata. Tanpa sadar ia bergumam, "Penyakit di mana seseorang kehilangan kemampuan untuk mengontrol otot tubuh tertentu." Kalimat yang ia dengar di sore hari bersama sang ayah dari mulut seorang dokter.

Sebelum cairan bening itu terjatuh, ia buru-buru mendongak agar tidak menangis. Setelah itu tangannya kembali menuliskan sesuatu.

Kata dokter, gue bisa laluin hari seperti biasa dengan bantuan terapi. Sebab kenapa gue selalu jatuh tiba-tiba, tangan gak bisa digerakin, jantung kadang sakit, ternyata karena penyakit serius bernama Ataksi, dan selama ini gue nganggap gejala itu karena gue males olahraga.

Gue tau bentar lagi lo bakalan ke sini ngehibur gue. Sayangnya, sampai batas waktu yang enggak ditentukan gue gak bakalan di rumah dan gue gak mau lo tau kalau gue sakit. Gue harap selama di rumah sakit nanti, gue bener-bener bisa lupain lo.

Nata membuang napas kesal saat ponsel di dalam saku jaket terus bergetar. Ia sudah tahu siapa pelaku di balik getaran singkat tersebut, pastilah kedua sahabatnya. Dengan rasa malas ia meraih benda pipih itu dan membuka aplikasi WhatsApp tanpa memeriksa pop-up terlebih dahulu. Alhasil, kala melihat pesan teratas matanya melebar sempurna.

Tirta: Nulis tentang gue di buku itu? Kenapa gak bilang langsung ke gue?

Netra gadis itu refleks mencari keberadaan Tirta yang ternyata sedang bersandar pada pagar rumahnya dengan tatapan lurus ke depan, bukan ke arah Nata yang mengaga lebar karena terkejut.

Nata: Sok tahu!

Balasnya lalu secepat kilat memasukkan buku ke dalam ransel sebelum Tirta duduk bersamanya seperti biasa. Namun, sebelum itu terjadi, ada orang lain sudah menempatkan diri di sebelah kiri Nata. Gadis itu sontak menoleh dan mendapati kehadiran Arsyad. Karena terlalu terkejut, ia langsung memukul lengan cowok itu.

"Lo ngagetin gue tau gak!" kesalnya, tetapi dihadiahi tawa oleh Arsyad.

Arsyad merangkul gadis di sebelahnya dan berbisik pelan, "Gue lagi pengen nguji seseorang." Senyum miring di akhir kalimat membuat Nata membuang napas panjang. Arsyad berhenti tersenyum kala Nata melepas rangkulannya, di saat bersamaan Tirta berada di hadapan mereka.

"Gimana, Ta, udah cocok gak gue sama Nata?"

📘

The tweny first day ODOC wH
.
.

Ada bang Arsyad nih😂 pengen bunuh diri dia karena sakit hati

Bang Tirta

Gantengan siapa, hayooo😆

Nih, si Nata

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top