Ingat, kamu....

   


     Aku diam sejenak sambil memandang tubuh Arni yang tanpa busana. Otakku tiba-tiba berhenti dengan sangat lancang. Bangsat! Rupanya aku terlena dengan tubuh polos perempuan binal ini.
    "Kita harus pergi dari sini. Para pemuda kampung, sedang menuju ke sini untuk mengerjaimu," kubilang, sambil menarik paksa semua kewarasanku untuk berkumpul dan memukul-mukul nafsu liarku.
    Arni tampak semakin terbelalak, matanya merah dan napasnya tersengal. Oh ya, aku lupa, aku masih membungkam mulutnya yang ndhak sengaja juga membungkam hidungnya. Pasti dia ndhak bisa bernapas.
    "Maaf."
    "Juragan, ini benar-benar lancang. Aku--"
    Aku langsung menariknya pergi. Sebelumnya, kupakaikan jarik basahnya yang tadi ia tanggalkan saat mandi. Suara samar-samar pemuda kampung sudah kentara. Jika ndhak cepat nanti aku yang akan mereka tangkap. Malu benar jika aku tertangkap hanya karena ingin menolong perempuan ndhak penting seperti Arni.
    Tunggu....
    Aku langsung berhenti, kupandang Arni dengan dahi berkerut. Ini bukanlah hal yang benar.
    "Ada apa, Juragan?" tanyanya.
    Pandanganku kini teralih pada tangan yang sedari tadi kugenggam dengan erat. Cepat-cepat kulepas tangan itu kemudian kuelap tanganku agar ndhak kotor.
    "Lancang benar kamu ini! Bagaimana bisa, kamu menyuruh tangan seorang juragan tersohor sepertiku yang sangat berharga ini memegang tangan kotormu!" marahku.
    "Maaf, Juragan. Saya ini ndhak paham. Perasaan yang memaksa saya untuk segera beranjak dari kali itu Juragan, lho. Sampai saat ini saya juga ndhak tahu pasti, apa alasan Juragan melakukan itu. Apa yang Juragan ucapkan itu benar-benar membingungkan."
    Tumben benar perempuan ini banyak bicara. Tak pikir, dia ini tipikal perempuan yang pendiam cenderung bisu.
    "Para pemuda hidung belang kampung, memiliki rencana untuk memperkosamu ramai-ramai di kali itu. Paham?" kubilang.
    Dia tampak kaget. Kemudian melangkah mundur dariku.
    Kini, aku yang kaget dibuatnya.
    "Jangan-jangan Juragan ini salah satu dari pemuda hidung belang itu, toh? Juragan sengaja membawa saya ke sini agar bisa Juragan perkosa!" histerisnya. Tuhan, kurasa dia telah teracun oleh hal-hal ndhak waras di radio atau semacamnya.
    "Aku ingin memperkosamu?" kubilang sambil berkacak pinggang. "Cih!  Sampai matahari terbit dari barat pun, aku ndhak sudi! Lancang benar kamu ini! Bagaimana bisa kamu menuduh Juragan yang terhormat sepertiku ini mau memperkosa perempuan rendahan sepertimu."
    Kulirik saja dia setelah mengatakan itu, wajahnya tampak bersemu merah. Aku yakin, jika saat ini dia malu. Padahal, toh, tadi, otak suciku ini sempat terbesit dan terbuai akan keindahan tubuhnya. Tapi, itu hanya sesaat!
    "Di mana perempuan bahenol itu? Katamu dia selalu mandi di sini sekarang? Ayo, cari!"
    Suara samar-samar itu pun berhasil membuatku dan Arni tampak kebingungan. Kami ada pada kondisi yang ndhak  menguntungkan.
    "Jadi, bagaimana ini? Aku sama sekali ndhak tahu," kataku lagi. Sebab, aku benar-benar ndhak tahu. Aku hanya memikirkan bagaimana cara membawa Arni keluar dari sungai. Aku ndhak memikirkan bagaimana setelahnya.
    "Kita harus pergi, Juragan." dia bilang.
    "Orang gila di kampung ini juga tahu kalau kita harus pergi. Masalahnya, kita harus pergi ke mana? Aku ndhak mau kalau sampai mereka tahu aku sedang bersamamu dalam kondisi yang seperti ini. Bisa-bisa, mereka menuduhku telah berbuat macam-macam denganmu, mengerti?"
    Dan, di sini malah aku yang kebingungan sendiri. Sementara Arni, tampak anteng-anteng saja di tempatnya. Sebenarnya, ini yang mau diperkosa aku apa dia, toh?
    "Juragan, ikut aku!" serunya setelah melihat kepanikanku.
    Ia menarik tanganku dengan tangan kanannya. Sementara tangan kirinya masih menggenggam erat bagian atas jarik yang membalut tubuh polosnya. Sambil berlari-lari kecil, ia membimbingku masuk ke dalam hutan bambu. Masuk ke dalam semak kemudia menyibak semak yang tampak rimbun. Hebat! Ada terowongan kecil di sana dan aku baru tahu!
    "Ini jalan pintas menuju rumahku, Juragan," jelasnya.
    Jika tahu seperti ini, aku ndhak perlu sok-sokkan menolongnya. Dia sudah lebih dari cukup fasih mengenali dan mencari jalan-jalan tikus untuk bersembunyi. Ah, rupanya kebaikanku yang agung ini sia-sia.
    Ndhak berapa lama, kami sudah berada di dekat belakang rumahnya. Arni terus menarikku sampai kedua kakiku masuk ke dalam rumahnya. Setelahnya, dia berdiri sambil melihat sisi kanan--kiri. Mungkin dia bingung, atau sedang memastikan suaminya ada di rumah apa endhak. Omong-omong, kenapa aku seperti simpanan istri orang?
    "Maaf," dia bilang, kemudian ia melepaskan genggaman tangannya padaku.
    Entah mengapa tanganku jadi terasa kosong. Kukibaskan tanganku, kemudian meliriknya yang masih tampak bingung.
    "Setelah ini, Juragan bisa pulang ke rumah Juragan lewat pintu belakang. Dan terimakasih Juragan telah sudi menolong saya. Sampai harga diri saya ndhak dilecehkan oleh pemuda-pemuda kampung."
    "Hahaha, aku terharu." kubilang, dia melotot.
    "Juragan, jangan keras-keras nanti anakku bangun!"
    "Hahaha!" sengajaku.
    Dan benar saja, tirai sebuah kamar mungil yang terletak di samping kanan dekat pintu belakang tersibak, aku nyaris melompat. Buru-buru Arni menarikku masuk ke dalam sebuah kamar, dan aku ndhak tahu itu kamar siapa.
    "Mak, Bapak sudah pulang?" tanya Ningrum dengan suara seraknya.
    "Belum, eh... sudah. Kamu tidur lagi, ya, Ndhuk. Nanti Emak buatkan makan," jawab Arni tampak gelagapan.
    Kuintip, Ningrum tampak mengucek matanya, kemudian ia menguap beberapa kali. Betapa manis anak perempuan itu. Sungguh, membuatku gemas karenanya.
    "Baik, Mak," jawabnya, kembali masuk ke dalam kamar kemudian suasana kembali hening.
    "Sebaiknya Juragan segera pergi," kata Arni kemudian.
    Baru saja aku mau melangkah keluar dari kamar. Suara batuk seorang laki-laki berhasil membuatku nyaris melompat. Tuhan, genderuwo mana yang dengan lancang berani membuatku melompat seperti ini!
    "Gusti, Kang Muri!" cicit Arni dengan wajah pucat pasi. Seakan-akan, ia akan digantung hidup-hidup detik ini. "Juragan, Juragan harus bersembunyi!"
    "Tapi, aku--"
    "Di sini.... atau di mana?" katanya yang sudah ndhak mempedulikan ucapanku.
    Aku bisa menangkap dengan jelas gurat takut di mata bundarnya. Bisakah kurengkuh perempuan ini sebentar saja, agar keresahan di hatinya bisa hilang?
    "Di sini?" tanyaku saat dia menuntunku masuk ke dalam... mungkin kamarnya. "Aku bisa pergi lewat jendela," kubilang, tapi sayang, kamar ini ndhak ada jendelanya.
    Kamar macam apa ini? Bagaimana bisa ada kamar ndhak ada jendelanya. Dan yang lebih hebatnya lagi, makhluk spesies macam apa yang mampu hidup dalam kamar sepengap ini.
    "Aku bisa bersembunyi di lemari, kan?" kataku pada akhirnya. Kulihat lagi, sepertinya lemari bukanlah pilihan tepat untukku bersembunyi. Bahkan lemarinya saja lebih besar aku.
    "Arni, di mana kamu!"
    "Aku di sini, Pak!" jawab Arni semakin gugup.
    Dia langsung menyuruhku untuk bersembunyi di kolong tempat tidurnya. Selang beberapa detik setelah itu, laki-laki bernama Muri kampret itu pun masuk. Padahal, kata Paklik Junet, bukankah hari ini Muri ndhak pulang karena ada keperluan ke kota? Ah, sialan!
    "Tumben benar, Pak, kamu sudah pulang? Biasanya malam. Ada apa? Apa urusan di kota telah selesai?"
    Kulihat, sepasang kaki kecil itu berjalan pelan mendekati sepasang kaki... genderuwo yang menyebalkan. Kemudian keduanya tampak duduk di atas dipan.
    Kampret benar ini! Dipan macam apa, yang baru diduduki dua orang nyaris ambruk. Membuat dadaku terhimpit olehnya. Tuhan, dosa apa aku ini sampai-sampai disembunyikan istri orang di bawah dipannya seperti ini. Malang benar nasibku.
    "Ada urusan sedikit dengan Warli, makanya aku kembali segera," jawab Muri.
    Dan, aku mendengarkan percakapan bodoh itu dengan bosan.
    "Kenapa kamu basah? Dan hanya memakai kemben seperti ini?" tanya Muri kemudian.
    "Habis mandi di sungai, Pak. Air yang ada di kiwan habis," jawab Arni.
    Kaki mungil itu tampak berdiri kemudian menjauhi ranjang. Disusul dengan kain jariknya yang jatuh. Dapat kulihat dengan jelas, dari pantulan cermin yang ada di lemari mungil Arni, tubuh polos itu terpampang nyata. Aku, bisa mengamati lebih jelas dari di sungai tadi bagaimana lekuk tubuh Arni begitu indah. Dan jujur, entah mengapa, birahiku sebagai laki-laki membuncah.
    "Sudah, ndhak usah pakai baju. Begitu, bagus... Sini, layani aku."
    "Tapi, Pak--"
    "Ah, lama!"
    Tunggu, tunggu....
    Apa maksud semua ini? Bagaimana Muri lancang mengangkangi istrinya di saat seperti ini? Di saat ada aku tepat di antara mereka! Tuhan, bagaimana bisa seorang juragan terhormat sepertiku menjadi saksi terpaksa bisu adegan ranjang pasangan suami--istri sialan ini. Karma apa yang telah Engkau berikan ini, Tuhan....
    Selanjutnya, ndhak perlu aku jelaskan kepada kalian bagaimana desahan, erangan, dan teriakan Arni nyaris membuatku gila. Dan gilanya lagi, kegiatan menjijikkan itu berlangsung sangat lama. Sampai-sampai, bisa kudengar Arni terisak memohon untuk berhenti.
    Masalah terbesarnya adalah, sampai kapan aku harus terjebak di bawah dipan sialan ini? Dipan ini sempit. Terlebih lagi, lantainya masih tanah. Tubuhku sudah mulai kedinginan, ditambah sedari tadi aku belum makan.
    Satu jam....
    Dua jam....
    Tiga jam....
    Dan entah sudah berapa jam aku berada di sini. Sampai suara lembut Arni membangunkanku.
    "Juragan, Juragan...."
     Kukerjap-keejapkan mataku. Badanku terasa begitu sakit dan meriang.
    "Kang Muri sudah pergi, sementara anak-anak sedang ndhak ada di rumah. Juragan bisa pulang sekarang,"
    Aku buru-buru keluar dari bawah dipan. Dan benar saja, aku langsung bersin-bersin ndhak berhenti. Badanku, rasanya panas semua.
    "Juragan ndhak apa-apa?" tanya Arni.
    Dasar, punya mata kok ndhak tahu kalau aku ini kenapa-napa.
    "Memangnya, otakmu ndhak bisa mikir bagaimana bisa orang yang terperangkap di tempat sepengap itu dan hampir sehari--semalam bisa ndhak apa-apa? Dasar udel kebo!"
    Aku segera pergi sambil terseok, mengabaikan teriakan Arni yang aku ndhak paham pun peduli dia sedang berteriak apa. Aku ingin segera pulang, ingin minum wedang jahe dan beristirahat sepanjang malam di kamarku yang nyaman. Dipan kesayanganku.
*****
    Sudah larut, ini benar-benar sudah hampir larut. Aku mengendap-endap masuk ke dalam rumahku sendiri dengan perut kelaparan. Aku ingat, jika jendela kamarku masih terbuka tadi, aku akan lewat sana kemudian tidur dengan nyenyak.
    Belum sempat aku mendekati jendela kamarku. Kudengar suara pintu tampak berderit. Siapa? Tumben benar jam seperti ini ada orang yang hendak keluar? Padahal biasanya, para abdi dalem memilih bercakap di dalam sambil minum wedang ronde dari pada harus di luar pada musim yang cukup dingin ini.
    "Habis dari mana kamu?"
    Aku nyaris saja melompat saat suara serak yang terdengar berat itu menyapaku. Mati aku. Tapi, tunggu....
    "Romo?!" cicitku. Kulihat Romo tampak berkacak pinggang.
    "Dari mana saja kamu? Sampai Romo dan Biungmu pulang kamu  ndhak ada di rumah untuk menyambut kami? Apa kamu pergi pacaran sampai selarut ini, hm?" selidik Romo dengan alis yang saling bertaut. Romo ini, mungkin dulu cita-citanya jadi polisi. Kalau soal menyelidiki, dia nomor satu.
    "Endhak lah, Romo. Aku ini habis dari mengunjungi kebun."
    "Selarut ini? Tak pikir kamu habis mengunjungi istri orang," sindirnya, dan tepat sasaran. Aku gelagapan dibuatnya.
    "Romo ndhak rindu dengan putra Romo ini?" tanyaku mencoba mengalihkan pembicaraan. Romo Nathan masih memandangku dengan tatapan aneh
    "Rindu." dia jawab dengan sangat singkat.
    "Ndhak dipeluk?" kutanya. Dia malah tertawa sambil menepuk-nepuk bahuku.
    "Baju kotor seperti itu minta dipeluk Romo?" dia berujar di tengah tawanya. "Nanti surjan Romo yang mahal ini akan kotor hanya karena memelukmu,"
    Aku mencibir, dia malah nempeleng kepalaku. Dia pikir aku ini putranya yang masih kecil.
    "Mandi, ganti baju, makan, lalu istirahat. Tubuhmu anget. Nanti biungmu kusuruh buatkan kamu wedang jahe."
    Aku baru ingat jika biungku datang. Kuabaikan Romo kemudian berlari masuk ke dalam rumah. Aku yakin, di mana ia sekarang saat ini. Duduk santai bersenda gurau dengan para abdi dalem sambil menikmati wedang ronde di ruang tengah.
    "Biung!" teriakku. Menghampiri perempuan ayu  yang sedang duduk dengan begitu anggun.
    Biungku ndhak berubah, dia masih sama seperti terakhir kali yang kulihat dulu. Masih begitu menawan hati dan memesona.
    Biung tampak berdiri, dengan mata yang berkaca-kaca ia hendak mendekat ke arahku. Belum sempat kami berpelukan, Romo sudah berdiri di antara kami sambil bersedekap. Ini orangtua, benar-benar menyebalkan!
    "Jangan peluk-peluk istriku. Nanti tubuh berharganya akan kotor karena pakaian kotormu itu. Sana, mandi dulu!"
    "Kang Mas, ndhak usah berlebihan seperti itu, toh? Dia anakku!" kata Biung yang ndhak terima.
    Aku tahu bagaimana kelanjutan dari adegan ini.
    "Lha, aku suamimu."
    "Tapi--"
    "Sudah, sudah!" potongku agar mereka ndhak berdebat lagi. "Aku capek, mau tidur!"
    Mereka langsung diam, menghentikan berdebatan konyolnya. Aku sama sekali ndhak paham, bagaimana bisa dua orang yang selalu bertengkar bisa tinggal satu atap sampai selama ini. Sungguh luar biasa.
*****
    Pagi ini, hujan cukup deras mengguyur Kemuning. Mematikan mata pencaharian sebagian orang yang telah berharap banyak saat petang. Kuembuskan napasku yang terasa hangat, tenggorokanku terasa tercekik sekarang. Dan kepalaku masih terasa pusing. Memang benar kata orang, jika harta yang paling berharga bukanlah uang. Selain keluarga, sehat juga.
    Kupijat pelipisku mungkin bisa meredakan rasa sakit yang ada di kepala. Entah bagaimana, bayang-bayang kejadian kemarin terus melintas di otakku. Ini benar-benar gila. Bagaimana bisa aku terus mengingat interaksiku dengan Arni. Terlebih tubuh polosnya itu saat basah....
    "Kamu ini sakit demam apa sakit rindu?" aku menoleh, rupanya Romo sudah duduk di sampingku. Kemudian, disusul oleh Biung.
    "Romo ndhak ke kebun? Katanya mau ke kebun." kutanya. Romo menggeleng.
    "Sedang malas. Pabrik-pabrik sialan itu telah mencekik para pemetik teh terutama kita. Apa kamu ndhak menyadarinya?"
    "Masalah kualitas daun teh yang bisa masuk pabrik agar bisa diolah?" tebakku. Romo menjentikkan jarinya.
    "Kalau tahu kenapa kamu diam saja?" tanyanya yang kuyakin, jika Romo sedang jengkel kepadaku.
    "Aku marah, dan ndhak terima, tentu saja. Akan tetapi, aku juga paham, Romo. Bisnis tetaplah bisnis, mereka pun tentunya ingin memberikan yang terbaik kepada konsumennya. Terlebih, begitu banyak pesaing. Itu sebabnya pabrik memberikan standart-standart tertentu untuk kita. Dan kurasa, itu bagus."
    "Bagus dengkulmu. Jika banyak daun teh yang ndhak diterima itu sama saja membuat kita bangkrut dan ndhak bisa membayar para pegawai kebun!" bantah Romo yang sudah emosi. Aku maklum mendengar perkataan itu. Sebab, akibatnya memang benar adanya.
    "Bagusnya, kita pun juga harus melakukan yang terbaik, Romo. Bagaimana caranya meningkatkan kualitas daun-daun teh kita. Pun dengan para pemetik, yang ndhak akan sembarangan memetik daun teh hanya agar tenggoknya penuh. Toh buktinya, selama satu tahun ini, pendatan kebun meningkat dua kali lipat, Romo," jelasku. Romo tampak manggut-manggut.
    "Bagus. Kamu menuruni darah Romo. Akan tetapi, bagaimana dengan urusan jodoh kamu belum ketemu-ketemu, Jun?"
    "Duh Gusti Pangeran, Kang Mas. Jauh benar kamu membelokkan arah pembicaraan. Baru beberapa detik membahas perkebunan, eh sekarang membahas masalah perempuan. Apa ndhak ada bahasan yang lain selain itu?" kini, biungku yang berseru.
    Aku tahu, bagi seorang Romo anak laki-laki seusiaku bagi mereka lebih dari matang untuk memulai berumah tangga. Akan tetapi, bagi seorang Biung, seberapa pun matang usia anak laki-lakinya, ia akan tetap di anggap sebagai anak kecil oleh biungnya. Benar, bukan?
    "Lha wong bagaimana, usianya sudah matang, pekerjaannya sudah mapan. Mau menunggu apa lagi? Menunggu anak perempuan orang agar lekas besar kemudian dijadikan simpanan?" kata Romo yang berhasil membuat Biung melotot. Aku yakin, Romo sedang menyindir Biung.
    "Mungkin saja Arjuna belum menemukan jodohnya. Dia, kan, di Kemuning saja. Ndhak pernah mau pergi ke mana-mana."
    "Memangnya kamu yakin jika jodoh Arjuna ada di luar sana? Siapa tahu jodohnya di Kemuning. Hanya saja Arjuna belum berkenalan dengannya."
    "Kang Mas ini, membantah terus apa pun yang aku katakan." kini, Biung ndhak bisa membantah lagi. Dan senyum kemenangan pun tercetak di kedua sudut bibir Romo.
    Kuembuskan napasku melihat kelakuan mereka. Benar-benar mereka ini, membuat orang iri.
    "Yen ning tawang ana lintang, yo, Dik.... Apa lanjutannya, Romo?" tanyaku, yang berhasil membuat orangtuaku langsung memandang ke arahku. Tapi, tiba-tiba Romo malah terbahak.
    "Kamu mau apa bertanya tembang itu? Zaman sudah maju, kok ya ada pemuda modern sepertimu bernyanyi tembang jawa. Yang ada, nanti pacarmu itu ndhak paham dengan apa yang kamu katakan!"
    Dan kini, sekarang giliranku menjadi sasaran ejekkannya. Tuhan, Romo ini benar-benar menyebalkan.
    "Dulu, Biung pernah dinyanyikan tembang itu sama Romo Adrian," kini Biung kembali bersuara. Kulirik Romo Nathan, sebab aku begitu penasaran bagaimana reaksinya. Apakah dia akan cemburu, tatkala perempuan yang ia cinta menyebut laki-laki lain meski itu adalah kang masnya? "Kamu tahu, Juna... Romo Adrian adalah laki-laki yang paling romantis di muka bumi. Meski usia beliau ndhak muda, percayalah beliau dapat dengan mudah membuat ribuan perempuan jatuh cinta," jelas Biung.
    "Jangan seperti Romo Adrian. Dia banci. Lembek jadi laki-laki. Ingat, Jun, cinta itu diutarakan, diperjuangkan, dan didapatkan. Tapi kamu juga harus lebih dari paham jika cinta wajib kamu lepaskan jika dia sudah jadi milik orang. Paham?"
    "Paham, Romo," jawabku. Kulihat Romo mengangguk.
    "Jangan pernah merusak, jika hubunganmu ndhak mau dirusak. Hukum karma itu nyata, dan pasti akan terjadi kapan saja."
    "Iya, Romo."
    "Pinter."
*****
    "Kenapa kamu ndhak ke kebun teh, Juna?"
    Sore ini Manis berkunjung, sebab ia  khawatir, sudah lima hari aku ndhak ke kebun teh. Ini bukan karena aku sakit, sungguh. Entahlah, seolah-olah aku ingin memiliki alasan kuat untuk ndhak pergi ke sana saat ini. Rasanya, berat. Dan aku ndhak tahu kenapa.
    "Aku sedang ndhak enak badan. Lagi pula ada Biung di rumah, dan perkebunan sudah diurus Romo." kujawab sekenanya. Manis tampak memegang keningku.
    "Kulihat kamu baik-baik saja, sehat jasmani dan rohani. Apakah sakit hanya akal-akalanmu saja untuk bermalas-malasan dan menjadi bayi besar di rumah karena ada Ndoro Larasati?" tebaknya. Aku terkekeh mendengar ucapan Manis.
    "Bukan, bukan...."
    "Iya, pasti. Ya, toh, Ndoro?" ucapnya lagi seolah meminta persetujuan.
    Rupanya, Biung sudah ada di sini. Ia memandangku dan manis sambil melipat kedua tangannya di dada. Kemudian, ia duduk di sebelah Manis.
    "Ndhak tahu ini kawanmu. Jangankan ke kebun, keluar kamar saja ndhak mau. Seperti perawan yang sedang patah hati," jawab Biung. Manis tertawa.
    "Duh kasihan benar nasib laki-laki ini. Jatuh hati saja belum kok ya sudah patah hati. Hahaha!"
    Kini giliran mereka yang tertawa. Sepertinya menertawaiku adalah hobi baru mereka.
    "Kamu tahu, Manis, apakah sekarang kawanmu ini sudah ada kekasih hati di sini?" tanya Biung setelah tawanya reda.
    Manis dan Biung ini kawan baik. Sebab Manis adalah keponakannya Bulik Sari--abdi dalemnya yang selalu mengikutinya kemana-mana.
    "Ndhak tahu juga, Ndoro. Juna ndhak terlihat berinteraksi dengan perempuan mana pun," jawab Manis sambil mengingat-ingat. "Kecuali beberapa waktu yang lalu."
    "Beberapa waktu yang lalu kenapa, Manis?" tanya Biung penasaran. Dan aku juga.
    Memangnya adakah kejadian yang manis tahu tentang aku dengan Arni? Sebab Manis adalah tipikal perempuan polos yang akan mengatakan apa pun yang ia lihat tanpa ada yang disaring.
    "Beberapa waktu yang lalu, Juna sempat memarahi perempuan. Kemudian perempuan itu--"
    Aku buru-buru menutup mulut perempuan menyebalkan ini. Kalau sampai Biung tahu aku memberi uang kepada Arni waktu itu, pastilah Biung akan menyelidiki siapa Arni. Dan jika Biung sudah tahu Arni, pasti aku akan dimarahi habis-habisan. Terlebih, jika Biung mengadukan perkara ini kepada Romo.
    "Juna, kamu ini apa-apaan, toh? Jangan membungkam mulut anak orang! Nanti Manis ndhak bisa napas!" marah Biung, ia berusaha untuk melepaskan bungkamanku. Tapi, kudekap Manis kuat-kuat.
    "Duh, Manis... kamu ini manis benar, toh. Kamu ndhak pengen tak ajak jalan-jalan kemudian tak belikan baju baru?" sogokku. Tapi, Manis masih tampak bingung. "Jangan beritahu Biung perkara aku memberikan uang kepada Arni. Kalau endhak, tak buat hidupmu menderita setiap hari, Manis."
    Manis mengangguk. Aku tersenyum lebar kemudian melepaskan rengkuhanku. Kemudian kusuruh Biung untuk duduk manis kembali di tempatnya tadi.
    "Ndoro...," kata Manis dengan wajah polosnya. "Aku dilarang Arjuna untuk mengatakan jika waktu itu dia memberi uang dalam jumlah banyak kepada Arni. Perempuan yang telah memiliki suami dan anak."
    "Manis!" teriakku marah. Lancang benar perempuan satu ini. Kenapa dia mengatakan itu kepada Biung? Bukan kenapa-napa, aku hanya berniat menolong waktu itu, sungguh. Hanya saja, aku yakin jika niatku itu ndhak semua orang bisa memahaminya.
    Kulihat mata Biung tampak melebar. Rona merah mulai menjalar di wajahnya yang sudah merona. Tuhan, tolong... jangan buat Biung marah karena ini.
    "Arni? Biung juga telah mendengarnya dari Simbahmu Romelah. Jadi, bisa kamu ceritakan kepada Biung bagaimana itu bisa terjadi sebelum Romo dan Biung mencarikanmu perempuan untuk kamu nikahi agar kamu ndhak melakukan dosa seperti orangtuamu lakukan dulu, Juna?"
    Kutundukkan wajahku dalam-dalam, entah kenapa nyaliku menciut tatkala Biung mengatakan hal itu. Bagaimana aku mulai menceritakannya. Jika jujur, akankah Biung percaya?
    "Lebih baik aku pergi, Ndoro. Ini urusan pribadi kalian," kata Manis sambil berdiri. Kemudian ia mengelus rambutku sekilas, lalu berkacak pinggang. "Kutunggu kamu di kebun, aku ndhak peduli apa pun alasanmu. Kamu harus datang ke kebun hari ini. Titik!"
    Dia langsung pergi, meninggalkanku dan Biung dalam suasana yang canggung lagi.
   "Jadi, jelaskan apa yang dikatakan Manis kepada Biung."
    "Sebelum aku bercerita, Biung harus percaya dulu jika aku ndhak ada maksud lain selain kasihan kepadanya," kataku hati-hati. Biung tampak mengangguk. "Arni itu istri dari Muri, anaknya Mbah Mislan salah satu orang yang terpandang di kampung ini. Akan tetapi, kehidupannya jauh dari kata terpandang di sini, Biung."
    "Kenapa seperti itu?" tanya Biung yang tampaknya mulai penasaran.
    "Mereka tinggal di gubug tua di ujung jalan, dekat dengan hutan bambu itu Biung. Dan Muri pun, bukanlah suami yang baik bagi Arni dan anak-anaknya. Selama ini, Arni ndhak diberi nafkah oleh suaminya, sehingga dia harus bekerja untuk mendapatkan uang. Dan yang lebih parahnya lagi, dia selalu disiksa suaminya, Biung," jelasku. Semoga Biung paham dengan ini. "Itulah sebabnya saat aku melihat anaknya yang mau berangkat ke sekolah memakai pakaian lusuh membuatku ndhak tega, dan memberikan uang kepadanya." kubilang. Biung mengangguk.
    "Kamu bilang ndhak  tega dengan anaknya, tapi menceritakan tentang biungnya. Kenapa Biung malah menangkap jika kamu memiliki rasa simpatik kepada biungnya, Juna?"
    Aku langsung terdiam mendengar perkataan Biung. Apa benar aku seperti itu? Aku sungguh ndhak tahu. Pada waktu aku memberikan Arni uang, bahkan aku masih memandangnya sebagai sosok perempuan yang kumal dan menjijikkan.
    "Kamu tahu bagaimana Romo Nathan dulu memperlakukan Biung sebelum kami menikah? Ah, bahkan setelah kami menikah pun dia tetap melakukan itu."
    "Apa, Biung?" tanyaku yang mulai penasaran.
    "Romomu itu, dia selalu saja memandang Biung sebagai perempuan yang rendah. Seorang simpanan yang menjijikkan yang bahkan mungkin ndhak pantas untuk hidup. Bahkan, dia tak sentuh saja merasa jijik. Kamu tahu apa alasan romomu melakukan itu, Juna?" aku menggeleng, kemudian Biung tampak tersenyum. Aku yakin sekarang ini ia tengah mengenang hal-hal manis bersama dengan Romo. "Karena, tanpa ia sadari. Rasa benci yang ia rasakan kepada Biung, perkataan-perkataan kasar yang ia lontarkan kepada Biung, ndhak lain karena dia begitu sangat mencintai Biung. Oleh sebab perasaannya ndhak bisa diungkapkan itulah ia melakukan hal yang sebaliknya."
    "Untuk mengungkapkan rasa cintanya?" tebakku.
    "Benar, Juna. Jadi kurasa jika benar apa yang kamu rasakan kepada Arni sama seperti apa yang Romo lakukan kepada Biung. Lebih baik, hindari perempuan itu, Nak."
     Aku ndhak  menjawab perkataan Biung. Sebab aku sendiri pun ndhak tahu apa yang ada di dalam benakku, apalagi hatiku.
     "Mencintai itu seperti apa, Biung?" tanyaku pada akhirnya. Biung kembali tersenyum, kemudian ia menepuk-nepuk bahuku.
    "Ndhak ada devinisi yang pasti tentang mencintai. Sebab yang merasakan hati, bukan nalar pun semacamnya. Coba pikirkan baik-baik, renungkan barang sejenak tentang apa yang dimau hatimu, Nak. Jika benar apa yang Biung katakan tadi, menjauh adalah hal yang baik dari pada kamu mencari penyakit."
    Ucapan Biung memang benar. Mana mungkin seorang lelaki lajang mencintai perempuan yang sudah bersuami. Itu adalah hal yang memalukan. Lagi pula, aku sendiri pun belum yakin, apa benar yang kurasakan kepada Arni adalah cinta. Atau malah, hanya berahi seorang lelaki semata?
****
    Paginya, aku sudah siap ke kebun bersama dengan Romo. Ndhak lupa, sama Paklik Junet dan Paklik Sobirin juga. Kami merasa jadi sok tampan sekarang, karena menjadi pusat perhatian. Lihatlah Paklik Junet, gayanya sok kecapekan sambil menyisir rambut klimisnya. Sementara Paklik Sobirin lebih memilih berdiam diri sambil melamun.
    "Lho, Juragan Nathan kembali, toh?" Paklik Waras tampak bersuara. Ia yang tengah membawa sebongkok jerami pun, tergopoh-gopoh mendekat ke arah Romo.
    "Kamu sudah tua, ya," ledek Romo. Dia memang paling bisa kalau mengejek orang. "Aku rindu, ayo kita berbincang di warung sana," lanjutnya. Setelah Romo berpamitan denganku, dia pun langsung mengajak Paklik Waras ke warung Mbah Marisah. Ndhak lupa, abdi dalemnya yang setia--Sobirin ikut juga.
    "Paklik, mau ke mana?" tanyaku pada Paklik Junet yang mengekori langkah Romo. Ia menghentikan langkahnya, kemudian memiringkan wajahnya agar bisa menatapku.
    "Aku tentu saja ikut romomu. Minum wedang sama makan ketan. Dari pada di sini, ndhak bisa lihat perawan semok." dia bilang.
    Memang kalau urusan pekerjaan dia ini nol besar. Coba saja kalau pemetik tehnya semua simbah-simbah tua, pastilah Paklik Junet ndhak akan mau menemaniku sedari dulu.
    Kuabaikan saja Paklik Junet kemudian melangkah mendekati beberapa mandor yang memeriksa hasil petikan para pekerja. Tampaknya, di cuaca yang lumayan mendung ini, mereka masih semangat untuk mencari nafkah.
    "Bagaimana hasil hari ini?" kutanya pada Warsito. Dia tampak sumringah.
    "Berkar hujan beberapa hari, Juragan, ulat-ulat di daun teh yang beberapa waktu lalu mengganggu kini hilang. Daunnya sudah bagus lagi."
    Aku senang mendengar jawaban itu. Seendhaknya para pemetik ndhak akan dimarahi oleh mandor, pula bisa mendapatkan daun-daun teh yang segar dengan jumlah yang banyak. Memang musim petik kali ini, ada-ada saja halangannya.
    "Kalau begitu, berilah kiranya mereka upah lebih untuk hari ini. Biar bisa buat beli jamu atau beras untuk masak nanti. Setelah selesai, kutunggu seperti biasa di rumah."
    "Baik, Juragan."
    Aku melangkah pergi, untuk menyusul Romo. Sepertinya, pekerjaanku hari ini berjalan dengan mudah dan cepat. Secangkir kopi, pastilah membuat perasaanku lebih ringan lagi.
    "Maaf, Juragan...."
    Langkahku terhenti tatkala mendengar suara lembut itu. Bahkan, mataku mengunci sosok yang kini sedang berdiri di depanku. Kami ini, seperti dua orang asing yang sedang berdiri di tengah hamparan kebun teh yang membentang. Atau bahkan seperti sepasang kekasih yang ingin melepas rindu sebab lama tak bertemu. Lantas, aku harus menganggapnya yang mana?
    "Beberapa hari ini Juragan ndhak  pergi ke kebun. Saya mendengar dari manis jika Juragan tengah sakit. Apakah Juragan sekarang baik-baik saja? Maksud saya, sudah sembuh?" tanyanya lagi dengan panjang lebar.
    Kutundukkan kepalaku sesaat sambil tersenyum. Kemudian kumasukkan kedua tanganku ke saku celana. Kuliat binar sepasang mata bulat itu benar-benar penuh kekhawatiran. Dan bahkan, wajah cantiknya tampak begitu cemas.
    "Aku sehat," kujawab. Dia tampak tenang. "Seperti yang kamu lihat, aku sehat." ulangku.
    Kini, giliran dia yang menundukkan kepalanya untuk sesaat. Kemudian memandangku dengan mata nanarnya. Kenapa dia menangis?
    "Syukurlah, Juragan. Saya sudah takut. Jika Juragan sakit karena ulah saya kemarin. Menyembunyikan Juragan di bawah dipan selama beberapa jam. Sungguh, perkara itu membuatku risau."
    "Lantas jika iya, apakah aku akan mendapatkan upah karena itu?" tanyaku. Aku maju selangkah agar tubuh kami semakin dekat. Dapat kulihat dengan jelas rona merah di kedua pipi perempuan cantik itu.
    "Upah? Apa?" dia tanya. Dan hanya dengan pertanyaan itu, jantungku tiba-tiba berdegup ndhak karuan.
    "Aku minta--"
    "Kamu yang namanya Arni?"
    Ucapanku terhenti, saat tiba-tiba Romo datang dan menarik tubuhku agar menjauh dari Arni. Kemudian menunjuk Arni tepat di wajahnya. "Aku bertanya, apa kamu yang namanya Arni?!" tanyanya lagi dengan intonasi yang lebih tinggi.
    "I... iya, Juragan." kini, Arni menjawab dengan nada ketakutan.
    "Ndhak tahu diri benar kamu, perempuan sudah bersuami masih saja menggoda Juragan terhormat di kampung ini. Apa kamu  ndhak diajari etika oleh orangtuamu?"

   
   

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #romance