Bagian 9
Mendung disertai hujan deras, Bian meringkuk dalam sebuah ruangan gelap. Pikirannya berputar pada kejadian siang tadi. Fakta yang dia dapatkan hari ini sungguh menyiksanya. Bagaimana bisa dia melupakan kemungkinan itu? Andra, putra yang tidak pernah dia ketahui kehadirannya. Awalnya Bian tak percaya, namun melihat wajah Andra yang begitu mirip dengannya waktu kecil, membuat semua penyangkalan dalam batinnya sia-sia.
"Aku benar-benar brengsek!" Bian memukul kepalanya sendiri berulang kali.
Senyum bocah kecil yang dia lihat saat berada dalam pelukan Juni, membuatnya merasa seperti pria yang sangat jahat. Dia memperkosa Juni dengan sadar dan ternyata membuat Juni mengandung dan melahirkan anaknya sendiri. Sementara dirinya selama ini bebas bergerak kemanapun sesukanya di luar.
"Mas! Buka pintunya!!" Teriakan Rey terdengar bersamaan dengan gedoran pintu pada ruang kerjanya.
Bian bergeming, tak ingin beranjak untuk meladeni pertanyaan-pertanyaan dari adiknya itu.
***
"Andra, Anak Juni." Suara berat itu membuat Bian mengalihkan perhatiannya. Itu suara Arfin Putra Adhitama, ayah Juni.
Arfin terlihat berjalan ke arah Bian dengan tangan yang terkepal dalam saku celana. Entah perasaan yang bagaimana yang bisa Arfin jabarkan melihat pria yang ternyata telah mengoyak putrinya hingga sehancur ini, dia juga pria yang sama yang hendak melamar Kirana empat tahun lalu.
"Pak?" Bian menatap Arfin dengan raut terkejutnya. Batinnya terus berharap semoga apa yang dia dengar barusan bukan sebuah kebenaran. Membuat Juni hancur karena perbuatan yang tidak Juni ketahui saja, sudah membuat hati Bian merutuki diri selama beberapa tahun belakangan. Lalu, bagaimana jika bocah kecil itu benar hasil kebejatannya beberapa tahun silam? Bian semakin kacau, otaknya tak dapat lagi berpikir.
"Kenapa? Kaget?" Arfin menunjukkan raut sinis.
"Bagaimana bisa??" Bian bergumam tanpa sadar.
"Kamu pria dewasa, saya yakin pasti mengerti arti ucapan saya." Arfin berujar dengan nada dingin, kemudian membalikkan badan menghadap kaca pintu, melihat Juni yang kini tengah memeluk erat anaknya. Bibirnya tersenyum tipis melihat perlahan trauma Juni terkikis dengan nalurinya sebagai ibu.
"Anak itu, dia juga korban dari egomu. Kamu membuatnya tiga tahun tumbuh tanpa kasih sayang seorang Ibu dan Ayah. Juni membencinya, bahkan sebelum dia terlahir. Kamu masih berusaha menyangkalnya?" Arfin berujar tanpa melepaskan pandangannya dari Juni dan Andra yang kini kembali terlihat kembali saling memeluk satu sama lain. Entah apa yang terjadi di dalam sana, punggung Juni nampak bergetar hebat.
"Mas? Apa maksudnya ini? Jadi ...?" Rey yang sejak tadi mendengar percakapan dua orang di depannya menepuk pundak Bian. Dia tak bisa lagi menahan pertanyaan-pertanyaan yang mulai bermunculan dalam benaknya.
Bian baru menyadari keberadaan adiknya, Rey pasti mendengar pembicaraan antara dirinya dengan Arfin. Bian mengangguk lesu sebagai jawaban. Sudah saatnya keluarganya tahu, dia tidak bisa lagi menyimpan dosa masa lalunya.
"Pergilah, Rey. Tidak sekarang aku menjelaskan semua padamu. Ada hal yang lebih penting saat ini yang harus aku lakukan." Bian menatap Rey dengan tatapan memohon. Baru kali ini Rey melihat Bian yang nampak putus asa. Rey putuskan menuruti perkataan kakaknya dan berlalu dari sana, mungkin ia akan meminta penjelasan pada Bian saat mereka berada dirumah.
Setelah memastikan Rey menuruti ucapannya, Bian kembali menatap pada ruang di depannya. Sejak dia melihat Andra, Bian merasa seperti melihat dirinya di sana. Dan ketika melihat senyum bahagia Andra dalam dekapan Juni, Bian merasakan ada sesuatu yang merambat hangat pada hatinya, serta jantungnya yang berdebar hebat.
"Boleh aku menemuinya?" Bian menatap penuh harap pada Arfin. Entah keberanian dari mana dia mampu mengucapkan kalimat itu, meski sisi lain hatinya mempertanyakan pantaskah dia bertemu dengan Andra?
"Saya benci mengucapkan ini, tapi bagaimanapun Andra tetap putramu. Meski dengan bertemu dengannya tidak akan mengubah apa yang sudah terjadi, setidaknya kamu telah mengakui semua kesalahanmu dan memperbaikinya. Temui dia, tapi bukan sekarang. Ada hal yang perlu kamu selesaikan sebelum menemui Andra. Penuhi janjimu kemarin, bantu Juni menyembuhkan traumanya. Kamu harus bertanggung jawab untuk itu, Juni berhak bahagia. Saya akui, secara tidak langsung saya juga ikut andil pada trauma yang kini dialami Juni. Jika saat itu saya tidak menolong Kirana, mungkin keluarga kami akan baik-baik saja sampai sekarang." Arfin mengepalkan tangannya.
Ceklek
"Kalian? Apa yang kalian lakukan di sini?" Pertiwi terkejut mendapati suaminya dan Bian yang berada tepat di depannya saat membuka pintu.
"Aku ingin membicarakan sesuatu denganmu," Arfin melihat sebentar pada Bian kemudian melanjutkan ucapannya,"Ini tentang Juni dan Andra."
"Baiklah, tapi tidak di sini. Kita ke sana." Mendengar nama putri serta cucunya, Pertiwi menyetujui ucapan suaminya. Ia mengajak Arfin menjauh dari ruang rawat Andra agar tak terlihat oleh Juni. Pertiwi tahu jika Juni belum siap untuk bertemu kembali dengan Ayahnya
"Ayo." Arfin memberi kode pada Bian untuk mengikuti Pertiwi yang kini lebih dulu melangkah.
Saat mereka duduk berhadapan di bangku taman yang terletak di ujung lorong, hening menyelimuti, suasana mendadak tegang.
"Apa yang ingin kamu bicarakan soal Juni dan Andra, Mas?" Pertiwi kemudian beralih mentap Bian lalu kembali bertanya pada Arfin,"Kenapa dia juga ada di sini? Sebenarnya ada apa? "
"Saya Bian ... Ayah kandung Andra." Bian membulatkan tekad untuk mengakui semuanya pada Pertiwi. Apapun konsekuensi dari kejujurannya akan ia terima.
Perkataan Bian membuat Pertiwi membeku di tempatnya. Jiwanya seakan tercabut mendengar fakta yang dia peroleh dari mulut Bian sendiri. Bian? Bagaimana bisa? Pertiwi bagai orang linglung. Pertanyaan demi pertanyaan muncul dalam pikirannya. Apa salah putrinya pada pria ini? Kenapa Bian tega melakukan semuanya?
Hingga mengalirlah semua cerita dari Bian, yang ternyata masih berkaitan dengan Arfin dan Kirana. Pertiwi tergugu, kenapa putrinya yang menerima akibat dari kesalahan mereka.
"Saya salah. Saya akui. Tapi saya mohon, ijinkan saya menebus semua kesalahan saya pada Juni dan Andra, Bu." Bian berlutut di depan Pertiwi. Entah apa yang akan Pertiwi lakukan setelah mendengar semua ini. Dia pasrah.
"Apa? Jadi, Bian?" Suara itu, Bian sangat mengenal suara itu.
...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top