Bagian 8

Tap ... Tap ... Tap

Terdengar langkah kaki cepat yang semakin mendekat. Saat pintu terbuka, pria itu terpaku menatap keadaan putrinya di sana. Berantakan, itu yang pertama kali dia temukan. Pakaian yang tak beraturan, lebam pada pipi, darah kering disudut bibir serta bekas merah pada pergelangan tangan dan beberapa bagian tubuh yang terlihat. Putrinya tidak baik-baik saja. Dia bergegas melangkah mendekat pada sang putri yang meringkuk di ujung tempat tidur dalam sebuah vila.

Pagi tadi, dia mendapat pesan dari nomor tak dikenal. Pesan yang hanya berisi gambar putrinya serta sebuah alamat vila di pinggiran kota. Berkali-kali ia coba menghubungi nomor pengirim, namun selalu saja hanya suara jawaban operator yang terdengar.

Pikirannya semakin kacau, saat sebelumnya ia hanya mendapati istrinya yang terbaring dengan penjagaan dari perawat saja. Tak mendapati keberadaan putrinya, perasaannya Arfin semakin tidak enak. Sendirian, dia putuskan menuju alamat yang tertera dengan harapan agar tidak ada putrinya disana. Namun, melihat apa yang ada didepannya sekarang membuatnya merasa tertampar, harapannya tak terkabul.

"Juni??" Tak ada jawaban, hanya pandangan kosong dari Juni yang dia dapati.

Berkali-kali dia mencoba mengembalikan kesadaran putrinya namun sia-sia, Juni bergeming dengan pandangan kosong. Arfin bergegas menyampirkan jas yang ia pakai pada bahu Juni. Saat perlahan ia gendong  putrinya, hatinya semakin hancur saat mengetahui putrinya telah dirusak ketika tak sengaja netranya menemukan bercak-bercak darah yang mulai mengering pada sprei yang kini tampak sangat berantakan.

***

"Bagaimana keadaannya?" Seorang pria mendekat pada wanita paruh baya yang terjaga disebelah ranjang rawat. Namun, hanya gelengan  dari wanita itu yang dia dapat.

Tadi sore, dia mendapat kabar jika putrinya dirawat di Rumah Sakit. Sepanjang perjalanan, pikirannya menerawang pada masa silam. Ternyata trauma pada putrinya masih ada, dan dia selalu merasa telah menjadi salah satu penyebabnya.

Pada awalnya, setelah peristiwa buruk itu, dia berusaha mendekati kembali putrinya, namun reaksi yang putrinya tunjukkan hanya penolakan serta kebencian. Hingga Juni kedapatan sering melukai diri sendiri, dia putuskan untuk menjaga putrinya dari jauh, meski hal itu sangat berat. Dia tidak ingin memperparah rasa benci serta trauma yang Juni rasakan.

Ceklek

Perhatian dua paruh baya yang semula saling diam, kini beralih pada sosok pria yang kini ikut berada dalam satu ruangan.

"Pak Bian??" Arfin yang semula duduk di sofa dekat pintu seketika berdiri saat melihat kedatangan Bian.

"Ya, Pak Arfin." Bian tersenyum canggung.

"Bapak bisa ada disini?" Arfin bertanya-tanya tentang kehadiran Bian dalam ruang rawat Juni. 

"Dia pingsan saat berada di kantor saya." Bian beralih menatap Juni yang masih terbaring dengan raut tak terbaca.

"Juni? Di kantor Bapak?" Arfin semakin bingung dengan keadaan sekarang.

"Iya, dia melamar pekerjaan di perusahaan saya." Bian mengalihkan pandangannya pada Ayah Juni itu.

Hening, mereka nampak memperhatikan Juni yang hingga malam ini belum juga sadarkan diri.

"Bisa kita bicara, Pak Arfin?" suara Bian memecah keheningan.

"Baik, kita keluar saja." Arfin melangkahkan kakinya keluar terlebih dahulu, Bian mengikutinya.

Langkah mereka berhenti di taman yang berada di samping rumah sakit. Tak banyak orang yang berlalu lalang disana, memudahkan mereka untuk berbicara empat mata. Arfin membalikkan langkah, menghadap pada Bian.

"Ada apa?" Arfin merasa ada hal penting yang akan Bian katakan.

"Kenapa Bapak tidak membawa kasus yang Juni alami pada pihak berwajib?" Bian menatap lekat Arfin.

"Darimana kamu bisa tahu hal itu?" pertanyaan Bian dijawab oleh Arfin dengan pertanyaan balik.

"Saya hanya ingin tahu alasannya." Bian menampakkan raut datar saat mengucapkan hal itu.

"Huh," Arfin menghela nafasnya kemudian berkata, "Saat itu hanya perasaan dan kesembuhan Juni yang saya pikirkan dan usahakan. Membawa masalah itu pada pihak berwajib hanya akan membuat Juni yang menjadi korban merasa lebih tertekan karena semakin teringat dengan peristiwa itu. Saya hanya ingin melindungi Juni."

"Jika Bapak tahu siapa pelakunya, apa yang akan Bapak lakukan?" Bian bertanya kembali.

"Entahlah, nyatanya Juni masih merasakan traumanya." Arfin berpaling menatap sekelilingnya. Ia juga tak tahu apa yang akan dia lakukan jika dia bertemu dengan pemerkosa Juni, hatinya sudah hancur. Dan selama ini, dia juga menyalahkan dirinya sendiri sebagai salah satu penyebabnya.

Bian melangkah mendekat, tiba-tiba badannya jatuh berlutut didepan Arfin. Hal itu membuat Arfin semakin bertanya dan berpikir jika...

"Saya yang melakukannya." Ucapan Bian membuat Arfin seketika tersadar dari pemikirannya. Dadanya nyeri, ternyata pikiran yang berusaha dia tepis bahwa Bian mengetahui sesuatu, benar adanya.

Tubuh Arfin terhuyung ke belakang mendengar pengakuan Bian. Tidak, dia tidak menyangka jika Bian-lah yang tega memperkosa putrinya.

Arfin terlempar pada kilasan masa lalu saat Bian datang ke rumah Kirana. Sesaat setelah Arfin pergi, Kirana menceritakan semuanya termasuk perasaan serta lamaran Arfin padanya saat itu.

Apakah Bian melampiaskan rasa kecewanya pada Juni? Rasa bersalah Arfin semakin besar pada putrinya. Mendapati kembali kesadarannya, Arfin melangkah mendekat pada Bian.

Bugh!!

Kepala Bian tertoleh ke sisi kiri dengan darah mengalir dari bibirnya yang pecah. Bian diam tak melawan, ia bersalah dan pantas mendapatkannya, bahkan rasa yang didapatkannya sekarang tak sebanding dengan apa yang Juni rasakan selama ini. Bian terlalu brengsek karena baru mengatakan kejujurannya.

"Ijinkan saya bertanggung jawab." Bian memberanikan diri melihat pada Arfin.

"Tanggung jawab apa yang kamu maksud?!" Nada bicara Arfin penuh penekanan.

"Saya akan bertanggung jawab pada Juni, saya akan berusaha agar trauma Juni bisa teratasi. Jika Bapak mau melaporkan saya pada pihak berwajib, saya bersedia mengakui semuanya. Saya memang brengsek. Kekecewaan membuat saya melampiaskannya pada seorang yang sama sekali tidak bersalah." Bian berkata sungguh-sungguh.

Seharian tadi, dia telah memikirkan hal ini. Ia harus mengambil keputusan saat bertemu kembali dengan Juni. Semua konsekuensi siap dia terima untuk menebus rasa bersalah yang diam-diam selama beberapa tahun dia rasakan sendiri. Entah apa yang akan terjadi saat Ibunya mengetahui bahwa anaknya melakukan kesalahan yang tak termaafkan. Bian tahu kesalahan yang ia lakukan sangat fatal, namun ia tak pernah tahu bahwa akibat dari perbuatannya sangat menyesakkan bagi Juni dan seseorang.

***

"Mama?" Juni mengernyit merasakan kepalanya yang berdenyut saat pertama membuka mata.

"Syukurlah kamu sudah sadar Nak." Pertiwi tersenyum lega melihat kesadaran putrinya yang kembali saat waktu menunjukkan lewat tengah malam, ia tekan bel agar perawat bisa memeriksa keadaan Juni.

Tanpa disadari, diluar ruangan dua pria terlihat menampakkan raut lega saat melihat Juni tersadar melalui kaca pintu.

"Ma? Andra?" Juni bertanya ketika dia sadar putranya masih menjalani perawatan di Rumah Sakit yang kebetulan sama dengan tempatnya dirawat. Jika ibunya disini, lalu siapa yang menjaga Andra?

"Andra sudah membaik, dan sekarang dia sedang tidur di ruang sebelah." Pertiwi mengusap puncak kepala Juni.

"Dokter Rey yang menemaninya. Dia menawarkan menjaga Andra saat tahu kamu juga dirawat. Bahkan dia memindahkan Andra disebelah agar ruang kalian masih bisa berdekatan." Pertiwi kembali berkata saat menemukan raut khawatir diwajah Juni. Dalam hati, dia bahagia melihat raut yang mulai Juni tampakkan untuk Andra. Juni mulai menerima kehadiran anaknya.

"Juni mau bertemu Andra, Ma."

Kalimat Juni membuat Pertiwi terharu. Dia tak menyangka jika Juni bisa melewati masa ini. Andra, harapan Pertiwi semakin besar jika cucunya itu adalah obat bagi Juni.

"Besok, ya? Kata dokter, kamu juga harus banyak istirahat. Kamu terlalu capek akhir-akhir ini." Pertiwi tersenyum ketika hanya anggukan pasrah yang diberikan Juni. 

***

Keesokan harinya, Juni terbabgun dengan keadaan yang lebih segar dari sebelumnya. Pertiwi datang mendekatkan kursi roda padanya untuk mengunjungi Andra.

"Ma, Juni bisa jalan sendiri." Juni mencoba berdiri, diraihnya tiang infus kemudian berjalan perlahan menuju ruang sebelah diikuti Pertiwi yang pasrah dengan keinginan putrinya.

Saat Juni keluar, Bian mengikuti tanpa sepengetahuannya. Bian yang tak sengaja melihat Juni keluar, bergegas pergi meninggalkan Rey yang semula bicara dengannya tak jauh dari sana.

Langkah Bian terhenti saat Juni berbelok masuk pada ruang yang ternyata berisi pasien yang merupakan seorang anak kecil. Bian terpaku, jantungnya berdegup kencang saat tak sengaja ia melihat wajah anak kecil yang menyembul diatas bahu Juni yang sedang memeluknya.

"Mas! Kenapa aku malah ditinggalin sih?" Rey menepuk pundak Bian.

"Anak kecil itu ... Siapa dia?" Bian bertanya namun pandangannya tak lepas dari wajah anak tersebut, membuat Rey ikut melihat pemandangan dalam ruangan didepannya.

"Andra. Anaknya Juni."

...













Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top