Bagian 5
"Kita pulang ya sayang. Oma siapin tas Andra dulu." Pertiwi mengelus puncak kepala Andra kemudian beralih kembali pada tas yang digunakan untuk mengemasi keperluan cucunya selama dirawat.
Setelah hampir seminggu dirawat, hari ini Andra diperbolehkan pulang oleh dokter setelah bebas demam dua puluh empat jam dan kondisinya stabil. Selama hampir seminggu itu pula, keberadaan Andra disekitar Juni, perlahan membuat Juni dapat melihat pada anak itu meski hanya sebatas berada dalam satu ruangan. Begitu pula bagi Andra, kehadiran Juni membuatnya cukup bersemangat untuk bisa pulih meski pada awal pertemuan ibunya sama sekali tak ingin melihat padanya.
"Sudah, Ma." Juni masuk dalam ruang rawat, mendekat pada Pertiwi setelah mengurus administrasi.
***
"Oma, kita mau kemana?" Andra yang berada dalam gendongan Pertiwi, mulai bertanya ketika mereka malah berada di stasiun, bukan pulang ke rumah.
"Andra mau kan setiap hari bisa sama Mama?" Melihat Andra mengangguk antusias, Pertiwi melanjutkan ucapannya, "Kita akan ikut Mama, Sayang."
Senyum lebar seketika terbit dari bibir mungil Andra. Sejak dulu, hal inilah yang paling ia inginkan. Tinggal bersama dengan Juni, Mamanya. Juni mengamati interaksi antara Pertiwi dengan Andra, senyum tipis tanpa sadar ikut tersungging di bibirnya, ada bagian hatinya yang menghangat. Seminggu ini, ia berusaha berdamai dengan masa lalunya. Meskipun tak mudah, namun satu langkah kemajuan telah Juni lalui meski dirinya dengan Andra masih berbatas jarak. Juni sudah mampu menatap Andra.
"Benarkah Ma?" Suara Andra membuyarkan Juni yang berkelana dengan pikirannya sendiri.
Juni tergagap dengan pertanyaan Andra. Pasalnya, selama ini dia belum pernah berbicara sepatah katapun dengan putranya.
"Iya." Juni memberi jawaban singkat yang disertai anggukan kepala yang terlihat kaku.
Mendengar jawan Juni, membuat Pertiwi menatap lekat pada Juni. Satu kata yang amat singkat, namun mampu membuat mata Pertiwi memburam karena terharu dengan kemajuan yang ditunjukkan oleh putrinya.
Semoga perlahan kamu benar-benar bisa menerima Andra, Nak. Batin Pertiwi berharap.
***
"Kamu besok udah mulai kerja, Bian?" Mama Elsa bertanya dengan tangan yang telaten menyiapkan makan malam diatas meja.
"Iya, Ma."
Setelah Bian memutuskan untuk kembali pulang ke rumah, dia bekerja kembali pada perusahaan mendiang ayahnya setelah Elsa membujuknya. Pria yang kini berusia tiga puluh tahun itu memilih mengalah untuk menuruti keinginan ibunya.
"Mas Bian beneran mulai ngantor? Serius??" Rey duduk disamping Bian.
"Iya."
Rey hanya menganggukan kecil kepalanya. Jangan harap kakaknya ini akan menjadi orang yang banyak bicara. Bian mewarisi karakter ayahnya, irit bicara namun jangan sekali-sekali memantik amarahnya, karena dia bisa melakukan apapun yang bahkan tak pernah terbayangkan saat sedang marah.
***
"Sementara kita disini dulu ya Ma? Juni akan mencari kontrakan yang lebih layak buat kita." Juni membuka kunci kamarnya kemudian menyiapkan kasur lantainya agar Pertiwi bisa membaringkan Andra yang setelah makan malam tadi telah terlelap.
"Tidak apa-apa, Jun." Pertiwi duduk disebelah Juni setelah membaringkan serta memastikan Andra nyaman dengan posisinya.
Hening. Tidak ada dari keduanya yang melanjutkan pembicaraan. Hanya deru mesin pendingin ruangan yang terdengar.
"Bagaimana kehidupan kamu saat jauh dari kami?" Pertiwi bersuara dengan menatap putrinya lekat.
"Baik. lebih tepatnya Juni berusaha untuk bisa baik-baik saja, Ma. Mimpi itu masih saja menghantui Juni. Papa yang pergi, dan ... Dia ... orang itu ... hiks." Terisak Juni tidak mampu melanjutkan ucapannya.
Pertiwi memeluk putrinya, berusaha menguatkan meski dalam hati dan pikiran dia pun juga masih mengingat jelas sakitnya luka masa lalu mereka.
"Luapkan semua Nak, keluarkan semua yang kamu rasa. Mama ada disini. Setelahnya, kita akan berjuang bersama lagi." Tangisan Juni teredam dalam pelukan Pertiwi, namun tubuh Juni yang bergetar hebat menunjukkan seberapa tersiksanya sang buah hati.
Lama mereka saling memeluk, hingga Juni terlelap dalam pelukan Pertiwi dengan kelopak mata yang bengkak serta sembab. Sudah lama Juni tak berada dalam pelukannya, tak pernah Pertiwi sangka jika Juni yang dulu selalu bermanja padanya kini berganti dengan Juni yang tertutup dan tak tersentuh. Membelai lembut kepala Juni, mengamati setiap detail wajah putrinya yang kini terlihat semakin dewasa, berharap Juni akan menemukan kembali semua mimpinya.
***
"Juni kan?" Rey terkejut saat tak sengaja melihat Juni berada di tempatnya bekerja ini.
Juni hanya mengernyit, kemudian menganggukkan kepala saat ingat siapa pria bersneli di depannya ini.
"Siapa yang sakit?" Rey bertanya kembali.
"Andra." Juni menjawab singkat.
"Andra?" Rey mengernyit heran bertanya-tanya dalam hati, pasalnya konter administrasi dihadapan mereka hanya khusus untuk mendata pasien anak-anak yang sakit.
"Permisi Dokter Rey, Pasien sudah menunggu." Seorang perawat menyela sebelum Rey sempat kembali bertanya.
"Baiklah, Jun. Semoga Andra segera sembuh." Rey tersenyum hangat kemudian berbalik masuk kedalam ruang praktiknya.
Juni mengamati Rey yang telah menghilang seiring pintu yang telah tertutup dengan tulisan dr. Alfarezel Arfan., Sp.A. yang menggantung. Ternyata putra ibu Elsa itu juga merupakan seorang dokter.
...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top