Bagian 1

Praaannggg!!!

Terdengar suara pecahan kaca dari ruang keluarga, Juni yang sedang tertidur dalam kamar bergegas bangkit dan keluar untuk mengintip apa yang sedang terjadi di bawah sana.

Nampak Ibunya tengah bersimpuh di dekat pecahan vas bunga dengan air mata yang telah mengalir deras. Sementara ayahnya berdiri dengan kepala tertunduk. Juni mencerna apa yang tengah terjadi dengan orangtuanya, selama delapan belas tahun dia hidup, belum pernah ia melihat orangtuanya bertengkar hingga seperti apa yang dilihatnya sekarang. Biasanya, jika mereka bertengkar hanya akan bertahan sebentar dengan salah satunya yang melunak untuk meredam amarah pasangannya. Namun kali ini, ayahnya tidak berusaha menenangkan sang ibu, melainkan hanya berdiri tertunduk tanpa ada sepatah katapun yang keluar. Dan siapa wanita yang duduk di sofa menyaksikan pertengkaran ayah ibunya?

"Katakan? Kenapa bisa?" Terlihat sang ibu berusaha berkata meski dengan tergugu, membuat Juni semakin bertanya-tanya apa yang terjadi diantara orang tuanya.

"Aku... aku tidak sengaja, Ma. Aku hanya berniat menolongnya ketika para preman itu ingin memperkosanya setelah dia dipaksa minum sebuah cairan, tapi setelah aku berkelahi dengan mereka, aku jatuh pingsan dan terbangun dengan dia keesokannya. Dia bilang tak akan mempermasalahkannya, tapi aku selalu merasa bersalah setelah itu,  meski aku tak berniat melakukannya. Aku teringat kamu dan Juni setelah kejadian itu. Aku takut apa yang terjadi padaku akan berdampak pada kalian, dan yang aku takutkan sekarang benar terjadi." Ayah Juni terlihat menangis saat mengatakan hal menyakitkan yang ternyata diam-diam Juni dengar.

Juni seketika mematung mendengar perkataan ayahnya. Dia bukan anak kecil yang tidak bisa mengartikan situasi yang dialami kedua orang tuanya. Juni tahu, bahkan sangat tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Dia kuatkan untuk melihat semua yang terjadi meski air matanya lebih deras mengalir dari sebelumnya.

"Baik, Mas. Kamu tanggungjawab saja dengan anakmu dari wanita itu. Ceraikan aku! Aku tahu ini sulit untuk kita, tapi aku tak mau hidup dengan penuh luka meski ini bukan sepenuhnya salahmu." Ibu Juni terisak namun berusaha tegar untuk mengatakan hal yang tak pernah Juni kira.

Runtuh, hati Juni hancur melihat ibunya menyerah dengan keadaan. Tak dia pungkiri sakit rasanya saat tahu orang yang kita cintai dan sayangi melakukan sesuatu yang menghasilkan nyawa lain, itu sangat menyakitkan.

"Enggak, Ma. Aku nggak mau pisah sama kamu. Aku sangat mencintaimu. Aku nggak mau melakukannya. Jangan minta hal itu, Ma. Maki, pukul atau lukai aku tapi tak akan ada perceraian antara kita." Ayahnya mencoba berlutut memeluk ibunya meski sang ibu meronta dalam dekapan.

Ibunya masih terus mencoba melepaskan diri dari pelukan Ayahnya, setelah berhasil Ibu Juni mencoba bangkit meski semakin deras air matanya.

"Pergi, Mas! Dia dan calon bayinya lebih butuh kamu. Aku dan Juni pasti bisa melewati ini sendiri jika itu yang kamu khawatirkan. Bawa wanita itu pergi! Jika kamu nggak mau ceraikan aku, akan lebih baik jika aku yang pergi." Nampak gerakan cepat Ibunya mengiris nadi dengan pecahan vas bunga yang entah kapan diambil.

Juni terpaku melihat apa yang terjadi didepan matanya saat ini, bersuara saja dia tak mampu. Semua berubah sunyi, telinganya entah kenapa berdenging kencang, matanya hanya tertuju pada darah mengalir deras pertanda luka itu sangat dalam tercipta, serta suara teriakan sang Ayah dan wanita yang tak dikenalnya mengiringi pandangan Juni yang kian menggelap.

***

"Aaaarrrrggghhh!!!! Mamaaaa!!"

Juni terbangun dari tidurnya, nafasnya tak beraturan. Mimpinya sungguh mengerikan. Tiga tahun, dia berusaha mengubur dalam lukanya. Namun, mimpi itu selalu menghantuinya.

"Ma, Juni mau mama." Hanya kalimat lirih itu yang selalu muncul setelah dia terbangun dari mimpi dan bayangan masa lalunya.

***

Tok.. Tok.. Tok..

"Kak Juni? Kakak di dalam?" Fara, tetangga kamar kos Juni mengetuk pintu kamar, khawatir terjadi sesuatu dengan seseorang yang telah dia anggap saudara tiga tahun belakangan setelah dia tinggal di kos ini.

Juni mengatur nafasnya, kemudian bergegas membuka pintu setelah ia mampu menenangkan dirinya. Memasang wajah seolah tidak terjadi apa-apa, dia menjawab pertanyaan Fara,"Iya Far? Kenapa?"

"Syukurlah! Fara tadi denger Kak Juni teriak, Fara khawatir terjadi sesuatu."

"Aku ngak apa-apa. Hanya tadi ketiduran terus mimpi buruk. Mungkin karena tidak berdoa dulu, namanya juga ketiduran." Juni mencoba tersenyum untuk meyakinkan orang yang telah dia anggap adik selama kebersamaan tiga tahun ini.

"Beneran kakak nggak apa-apa? Kakak bisa cerita sama aku kalau ada apa-apa. Meski mungkin aku nggak bisa bantu, tapi aku akan berusaha jadi pendengar yang baik seperti yang kakak lakuin selama ini buat aku. Aku akan selalu ada buat kakak." Fara menatap tepat di mata Juni hingga Juni bisa melihat ketulusan darinya.

"Kamu tenang aja, Far. Aku beneran nggak apa-apa kok. Cuma mimpi buruk aja tadi. Ini perutku jadi lapar, aku ganti baju dulu ya habis itu keluar cari makan."

"Kakak belum makan?" Fara menatap jam tangan yang melingkar di tangannya, "Kakak telat makan lagi, Fara tungguin disini ya Kak, kita keluar bareng. Fara juga lapar lagi ini." Fara tersenyum saat Juni memberikan anggukan sebagai jawaban.

Setelah Juni masuk dalam kamar, Fara hanya menatap nanar pintu yang telah tertutup. Fara tahu, jika banyak beban yang Juni simpan sendiri selama ini. Hanya saat dia berceritalah, kadang Juni tanpa sengaja memberitahu perasaannya ketika memberikan sebuah solusi.

"Semoga kakak kelak mendapatkan kebahagiaan kakak kembali,"batin Fara.

...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top