12. Cerita Pak Bos

Versi lengkap bisa diakses di google play store atau Karya karsa Nia Andhika

###

"Maaf ya Jun. Kamu jadi terlibat kerumitan permasalahan saya." Bian berkata pelan sesaat setelah mereka berdua memasuki mobil Bian. Pria itu tak menunjukkan tanda-tanda akan menjalankan mobilnya.

"Nggak apa-apa, Pak. Bapak nggak usah sungkan kalau sama saya." Juni terkikik menunjukkan gigi putihnya.

"Itu tadi ibu mertua saya. Ibunya Sefrine. Beliau sudah salah paham. Kamu dengar sendiri kan tadi, beliau mengira saya ada hubungan khusus dengan kamu." Juni mengangguk namun tak berani berkata-kata. Bukan tempatnya jika ia ikut campur masalah atasannya itu.

"Seharusnya Bapak memang tidak usah memberikan tumpangan kepada saya. Apalagi dalam situasi Bapak yang sedang berkabung." Bagi Juni atasannya ini memang terlalu baik.

Tidak baik bagaimana jika dia seringkali mengajak karyawannya untuk turut serta pulang bersamanya. Terkadang bahkan jika pria itu berangkat ke kantor dan kebetulan melihat salah satu anak buahnya masih menunggu taksi ataupun kendaraan umum lainnya, pria itu tak segan untuk berhenti dan menawarkan tumpangan. Benar-benar bos pujaan.

"Apa hubungannya berkabung dengan memberi tumpangan? Kita searah dan hingga hari mulai gelap kamu masih di kantor sendirian. Masak saya bisa tenang melihat karyawan saya seperti itu?" Juni melebarkan senyuman. Ya seperti itulah atasannya di kantor. Tak pernah memikirkan dirinya sendiri. Atasan yang selalu membaur dengan karyawannya.

"Bapak terlalu baik hingga terkadang membuat orang salah paham. Seperti contohnya mertua Pak Bian tadi."

Bian tampak menarik napas berat. "Kalian semua sudah saya anggap saudara, keluarga, teman. Masak sama keluarga sendiri nggak saling bantu."

"Iya benar. Makanya kami semua betah kerja ikut Bapak." Bian hanya mengulas senyum mendengar jawaban Juni. Ia menghidupkan mobil lalu memacunya membelah jalanan yang cukup padat.

"Beberapa hari ke depan saya akan pindah dari rumah." Tiba-tiba Bian berucap di lima menit perjalanan mereka. Juni pun hanya menoleh memandang pria yang serius memperhatikan jalanan di depannya.

"Tadi saya menemui pengacara mertua saya untuk menyelesaikan masalah itu. Rumah itu adalah rumah yang kami bangun bersama sebelum memutuskan menikah. Rumah itu sudah berusia cukup lama, sudah belasan tahun. Begitu Sefrine tidak ada, orang tuanya meminta agar rumah itu mereka ambil karena ada hak Sefrine di sana." Juni cukup terkejut mendengar penuturan Bian tanpa ia minta. Namun ia hanya menyimak apa yang pria itu sampaikan kepadanya.

"Beliau tidak rela jika rumah itu nantinya akan saya tempati dengan wanita lain yang mungkin di waktu mendatang akan menjadi istri saya," Bian menjeda kalimatnya dengan kekehan miris. "Jika setiap orang bisa membaca isi hati orang lain, pasti tidak ada yang namanya menduga-duga, prasangka buruk, juga fitnah. Semua kebenaran pasti akan terlihat dan akan ketahuan mana yang jujur dan mana yang berdusta."

"Maaf, saya sudah terlalu banyak berbicara. Pasti kamu tidak nyaman, Jun." Bian menoleh sekilas melihat Juni yang tak mengeluarkan sepatah katapun.

"Bapak tidak perlu sungkan." Senyuman tampak di bibir Bian.

"Kita berhenti untuk makan malam dulu ya, Jun. Nggak masalah kan?" Bian mengalihkan topik pembicaraan.

Juni berpikir sekilas, sepertinya cukup menarik jadi ia tak perlu pulang terlalu cepat. Tapi sayangnya perutnya beberapa saat yang lalu sudah terisi mie ayam. Yah meskipun hanya sampai beberapa suap ia sudah berhenti akibat bertengkar dengan Bhumi.

"Terserah Bapak saja. Tapi saya belum mandi lo, Pak. Kucel banget pakai baju kerja dari pagi." Juni meringis menyadari keadaannya yang begitu menyedihkan.

"Kamu lupa kalau saya juga masih memakai baju yang sama seperti tadi pagi?" Bian terkekeh. Pria itu akhirnya menghentikan mobil di sebuah rumah makan yang mereka lewati.

Juni seketika membelalak. Inilah yang di namakan rezeki anak shaleha. Tadi ia berencana makan sea food namun berakhir menikmati mie ayam dan putus dengan Bhumi. Kini beberapa saat lagi ia akan menikmati sea food lezat dari rumah makan yang sudah terkenal kelezatannya.

"Kamu nggak alergi sea food kan, Jun? Tidak keberatan kalau kita makan di sini?" Bian memastikan sebelum pria itu membuka pintu mobilnya setelah memarkir mobil di depan rumah makan yang ia tuju.

"Nggak kok, Pak. Justru saya senang banget sama sea food," jawab Juni riang yang dijawab anggukan Bian.

Juni meloncat turun mengikuti langkah lebar Bian memasuki rumah makan. Mereka menikmati obrolan ringan sambil menunggu makanan yang mereka pesan siap dihidangkan. Semakin lama Juni berbincang dengan pria itu, semakin menyenangkan saja. Ia bahkan heran apa yang Sefrine pikirkan hingga wanita itu berselingkuh?

Wanita itu mempunya suami yang berkantong tebal, tampan, juga perhatian. Kepada karyawannya saja dia begitu baik apa lagi pada istri dan juga keluarganya. Tapi begitulah manusia, selalu kurang dengan apa yang ia punya. Namun apapun itu tak sepatutnya Juni menilai seseorang dari sudut pandangnya.

Mungkin ada hal serius yang membuat wanita itu mencari pelarian. Atau mungkin ada yang kurang. Entahlah, siapa yang salah di antara mereka. Juni tak ingin memikirkan hal itu. Urusan Bhumi saja masih belum sepenuhnya selesai tak seharusnya Juni menambah dengan dugaan dan pikiran-pikiran buruknya pada rumah tangga atasannya yang telah menjadi duda itu.

Pukul delapan malam Juni tiba di depan rumahnya. Awalnya ia lega saat tak melihat mobil Bhumi berada di sana. Namun saat ia membuka pintu mobil Bian setelah mengucapkan terima kasih, tiba-tiba saja dari arah berlawanan sebuah mobil tampak mendekat dan berhenti tepat di depan mobil Bian.

Juni seketika tersenyum masam kala pintu mobil itu terbuka dan menampakkan sosok Bhumi yang tampak berdiri gagah dengan wajah dan tubuh lebih segar.

Sialan! Pasti pria itu sudah mandi dan berganti baju di rumahnya. Tidak seperti dirinya yang terlihat begitu menyedihkan. Keadaan benar-benar terbalik. Juni lebih terlihat seperti wanita yang baru saja diputuskan kekasihnya, bukan memutuskan kekasihnya.

"Kenapa jam segini baru datang?" Bhumi bertanya tanpa basa-basi. Junipun akhirnya menutup pintu mobil Bian. Berharap pria itu tak mendengar apapun yang ia ributkan.

"Terserah aku dong, Bang. Mau pulang jam berapa aja. Lagian ngapain Abang ke sini. Urusan kita kan sudah selesai." Juni balik menyerang.

"Kamu sudah mirip banget sama anak-anak yang baru nyoba pacaran. Sedikit-sedikit ngambek, minta putus. Kita sudah sama-sama dewasa, Jun. Kalau ada masalah diselesaikan, bukan malah kabur. Pikirkan dampaknya baik-baik. Ini lagi, kamu pulang sama siapa?" Bhumi melirik mobil Bian yang masih belum bergerak dari tempatnya. Bahkan sedetik kemudian terdengar mesin mobil dimatikan.

Juni seketika menolehkan kepala saat lagi-lagi terdengar suara pintu mobil dibuka dan sosok Bian terlihat setelahnya.

"Mampus! Nih orang ngapain ikut-ikutan keluar. Bikin makin rumit aja." Juni bergumam pelan yakin tak ada siapapun yang bisa mendengar suaranya.

"Oh, jadi ini alasan kamu ngajak putus. Benar kan yang aku bilang. Kamu ada main sama bos kamu itu," Bhumi berkata tajam begitu matanya menangkap sosok Bian yang berjalan mendekat.

"Nah, akhirnya ketahuan kan mana yang sebenarnya berbohong di sini! Kalian sama-sama busuknya." Bhumi menunjuk wajah Bian dan Juni bergantian.

"Bang, kamu jangan buat masalah. Sudah kamu pulang aja. Jangan memperpanjang masalah ini lagi." Juni mulai ketakutan, ia berusaha meredam emosi Bhumi.

"Kamu salah pilih, Jun. Sefrine meninggalkan pria ini demi laki-laki lain. Lalu ngapain kamu justru memungutnya. Benar-benar me...," kalimat Bhumi tak selesai terganti dengan suara hantaman yang cukup keras.

###

Semalam aq publish cerita baru "Another Sunshine" yuk segera meluncur ke lapak sebelah dan masukin ceritanya ke library teman2 ya😄

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top