Versi lengkap bisa diakses di google play store dan Karya karsa Nia Andhika
###
Puluhan panggilan tak terjawab Juni abaikan. Ya, Bhumi terus menerus menghubungi ponselnya. Akhirnya mau tak mau ia mematikan benda persegi itu. Juni juga meminta sopir taksi yang membawanya itu untuk kembali ke kantor.
Juni begitu yakin, Bhumi pasti akan menyusulnya pulang ke rumahnya. Dan jika hal itu terjadi, sia-sia usaha Juni yang berniat meninggalkan pria itu beberapa saat lalu. Bhumi adalah pria penuh pesona yang sudah pasti akan membuat Juni seketika tak berdaya saat dirayu olehnya. Dan jika Bhumi menyusul ke rumahnya dan merayu atau bahkan memohon-mohon kepadanya, Juni tak yakin akan bisa menolak pria itu.
Terbukti, berkali-kali marah dan geram pada sifat Bhumi, namun saat pria itu meminta maaf, Juni selalu tak berdaya dibuatnya. Bahkan berkali-kali masalah kebiasaan Bhumi yang seolah-olah enggan mengeluarkan uang untuk tagihan makanan mereka saat mereka makan diluar yang selalu membuat Juni jengkel karena pria itu begitu menyayangi isi dompetnya tak membuat Juni lelah untuk kembali melakukan hal yang sama.
Juni heran, apakah Bhumi mempunyai ilmu hitam yang membuat Juni selalu tunduk pada pria itu? Dan jangan lupakan pula wanita-wanita cantik yang sering kali mewarnai kehidupan Bhumi.
"Makasih banyak, Pak," ucap Juni begitu ia menutup pintu taksi. Ia menolehkan kepalanya ke sekeliling area depan kantornya. Saat ini hari sudah perlahan berubah gelap. Lalu apa iya ia harus kembali ke kantor? Kenapa ia tidak duduk manis di salah satu cafe yang tadi ia lewati dan menikmati sajian-sajian lezatnya di sana?
Bodoh! Juni mengumpat keras. Baru sadar jika apa yang ia lakukan saat ini adalah kebodohan. Ia terlihat begitu putus asa saat harus kembali ke kantor layaknya wanita kesepian yang tak mempunyai tempat lain untuk menghabiskan waktunya.
Sambil merutuki kebodohannya, Juni perlahan memasuki lobi kantor. Seorang petugas kebersihan menyapanya dan menatapnya keheranan. Juni mengabaikan hal itu. Hanya senyuman yang ia berikan sebagai balasan. Selebihnya ia hanya menjatuhkan dirinya di sofa lobi yang terasa begitu nyaman.
Ia harus memikirkan kemana ia harus pergi setelah ini. Hingga detik ini ia masih belum mandi apalagi berganti baju.
Sialan! Lagi-lagi Juni mengumpat. Semua ini gara-gara Bhumi dan drama gilanya bersama istri bosnya. Bagaimana mungkin pria itu begitu blak-blakan mengakui jika pernah menjadi selingkuhan wanita yang sudah bersuami?
Eww... Menjijikkan. Juni bergidik. Berarti pasti Bhumi pernah tidur dengan istri bosnya itu, lalu wanita itu juga tidur dengan Bagus Himawan yang diketahui bersama Sefrine di saat-saat terakhir wanita itu. Lalu wanita itu juga tidur dengan suaminya. Apakah wanita itu juga pernah tidur dengan pria-pria lain selain Bhumi dan Bagus? Apa wanita itu tidak takut jika sampai tertular penyakit mengerikan?
Juni lagi-lagi bergidik sambil mengusap lengannya dengan kedua telapak tangan seolah memeluk dirinya.
"Kenapa, Jun?" Suara berat nan dalan seketika membuat Juni berjengit kaget. Ia seketika menolehkan kepalanya, mendongak demi bisa melihat siapakah sosok yang menyapanya. Dan ternyata pria itu ada pak bos kalem yang selalu menjadi pria favorit para karyawati di kantornya.
"Eh, Bapak. Ngagetin aja, saya pikir tadi hantu penunggu kantor yang nyapa saya." Juni menggaruk tengkuk mengusir kegugupannya.
Pria di depannya tampak tersenyum teduh. Membuat Juni mengeluh dalam hati, cobaan jomlo baru netas gini amat ya. Di mana-mana ketemu pria cakep.
"Di sini nggak ada hantu, Jun. Yang ada sih pak Bono." Bian terkekeh geli dibalas Juni dengan dengusan.
"Kalau pak Bono sih lebih serem dari hantu, Pak. Baru dilirik aja udah ngacir tuh teman-teman. Apa lagi kalau sampai ketahuan salah buang sampah. Plastik masuk ke organik. Tamat!" Juni ikut terkekeh mengingat pria yang ia bicarakan.
Pak Bono adalah seorang cleaning service di kantor. Namun ia begitu ditakuti oleh seluruh karyawan karena kecintaannya pada kebersihan. Pria itu tak segan memarahi para karyawan yang terkadang masih seenaknya saat membuang sampah tanpa melihat tulisan yang tertera di badan tempat sampah. Ditambah lagi tubuh tinggi besar dan kulit sawo matangnya menambah kadar keseraman pria yang begitu mencintai pekerjaannya itu meskipun hanya sebagai seorang petugas kebersihan.
"Oh ya, Jun. Kenapa sudah sesore kamu masih belum pulang?" Bian bertanya setelah tawa mereka mereda.
"Oh, itu," Juni menjeda kalimatnya memikirkan apa yang akan ia katakan pada atasannya itu. Berkata jujur jelas tak mungkin. "Tadi ada insiden sedikit, Pak. Akhirnya saya balik ke sini." Jawaban yang tak sepenuhnya salah. Dan Juni tidak sedang berbohong.
"Terus sekarang sudah beres kan? Kamu nggak mau pulang?" tanya Pria itu lagi.
"Iya, Pak. Ni sebentar lagi mau pulang. Mau ke toilet dulu." Setidaknya Juni akan memberikan waktu untuk Bian agar pria itu pulang terlebih dahulu. Dan jika kondisinya memungkinkan. Ia pun akan segera pulang.
"Sana kamu ke toilet dulu, nanti kamu pulang bareng saya saja."
Juni seketika menganga. Matanya mengerjab berkali-kali masih tak sepenuhnya paham pada apa yang diucapkan atasannya di hadapannya itu.
"Maksud bapak apa ya? Kok saya nggak paham."
"Kalau kamu mau ke toilet silahkan. Setelah dari toilet nanti kita pulang. Rumah kita searah kan? Dan sejak tadi pagi saya tidak melihat mobil kamu di area parkir."
Lah, si bapak niat ngasih tumpangan maksudnya? Juni membatin senang. Namun detik berikutnya senyumnya memudar. Bagaimana kalau Bhumi teryata benar-benar menunggu kedatangannya di depan rumah Juni? Sama saja ia membenarkan tuduha pria itu jika ada sesuatu antara dirinya dan Bian.
"Nggak usah, Pak. Terima kasih. Nanti merepotkan. Saya mau naik taksi saja." Juni menolak halus tawaran Bian.
"Tidak merepotkan, kok. Kan rumah kita searah. Ayo sana kamu ke toilet dulu. Nanti tambah malam, lo." Akhirnya juga mengiyakan tawaran Bian. Ia bergegas ke toilet meskipun tak ingin melakukan sesuatu di sana. Namun pada akhirnya ia mencuci wajah dan kembali menyempurnakan wajahnya dengan make up natural namun memikat hasil kelenturan tangannya.
Sepertinya tak ada salahnya ia pulang bersama si bos duda baru itu. Kalaupun nantinya Bhumi menunggu di depan rumahnya setidaknya pria itu akan menyingkir melihat Juni dan Bian yang pulang bersama. Biarkan saja meskipun Bhumi akan menduga yang tidak-tidak. Yang penting ia bisa menjauh dari pria itu. Ya, itulah hal yang tepat untuk saat ini.
***
"Saya masih di jalan. Lagi pula sudah hampir malam. Urusan itu bisa dibicarakan besok. Saya akan datang ke sana sebelum ke kantor." Beberapa menit lalu ponsel Bian berbunyi berkali-kali. Mau tak mau pria itu menerima panggilan setelah memarkir mobilnya di pinggir jalan.
"....."
"Baiklah, saya akan ke sana sekarang." Bian menutup panggilan telepon di ponselnya. Pria itu tampak mendesah lelah menyandarkan kepala pada jok yang didudukinya.
Tak lama kemudian pria itu memandang Juni yang sedari tadi memperhatikannya. Gadis itu tak tahu apa yang telah atasannya itu bicarakan. Namun ia bisa menangkap jika sesuatu yang kurang menyenangkan pasti telah terjadi.
"Jun, emm ...," pria itu tampak ragu saat akan melontarkan kalimatnya.
"Kenapa, Pak? Bapak ngomong aja nggak perlu sungkan."
###
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top