BAB 12 Lanjutan

“Yang, kita kapan nikahnya, sih?”

Semesta sedang pusing. Pusing memikirkan pengurusan SIP yang begitu rumit, pusing memikirkan perkataan dokter Naryo, dan ditambah pusing memikirkan pertanyaan Eta yang ... kalau bisa tidak ingin ia jawab.

Sejak ia melamar Eta lima tahun lalu, sudah lebih dari seratus kali gadis itu bertanya hal yang sama. Kapan mereka menikah?

Menikah!

Rasanya Semesta ingin tertawa keras-keras. Jujur saja, menikah belum ada dalam daftar inginnya saat ini. Dan mungkin untuk beberapa tahun ke depan. Paling cepat, ia ingin mengakhiri masa lajang di usia ke 30 tahun. Bukan saat ini, saat statusnya sebagai dokter bahkan belum jelasnasib dokter lulusan luar negeri. Jika memakai koneksi ayahnya, tentu kini Semesta sudah bisa mengenakan jas putih dan bertugas sebagai dokter di sebuat rumah sakit swasta kenamaan Ibukota. Oh, tidak perlu memakai koneksi Surya, karena Nina, calon ibu mertuanya bahkan beberapa kali bertanya apakah ia sudah mendapat tempat praktik dan bagaimana progresnya dalam mendapat surat izin. Tapi Semesta ingin melakukannya semuanya sendiri agar saat gelar dokter benar-benar tersemat padanya ia bisa menjelanakan dengan sepenuh hati bilamana mengingat perjuangan yang harus ditempuhnya. Terlebih, ia benci segala bentuk nepotisme. Kalau pun nanti gagal menjadi dokter, toh ia masih punya 15 persen saham dari Wiratmadja Corporation.

“Memang kamu sudah boleh menikah sama Om Rafdi?” Alih-alih menjawab, Semesta balas bertanya, yang sukses membuat Mentari memajukan bibirnya.

“Kalau nurutin mau Padi, aku bisa jadi perawan tua, Yang! Nanti kamu keburu nyari cewek lain. Aku nggak mau!”

Semesta mendesah tak kentara. Disesapnya teh herbal dalam gelas tinggi yang sudah tersisa separuh demi mendinginkan otak yang mulai panas mendengar rengekan Eta.

Kata Dokter Naryo, dia harus mulai membiasakan diri dengan 'kaum perempuan' agar kecintaannya pada mahluk Tuhan paling menyebalkan itu bisa tumbuh. Dan dalam hal ini, Mentari merupakan satu-satunya perempuan yang bisa Semesta jadikan pelampiasan. Semesta tidak punya waktu dan tidak mau buang-buang waktu mencari wanita lain. Karena siapa pun wanita itu sama saja baginya.

“Kalau aku bisa tergoda sama perempuan lain, sudah dari dulu kamu kutinggal.”

Eta yang tengah menyesap jus apel nya kontan tersedak. Cairan yang seharusnya masuk ke dalam tenggorokan justru nyasar ke saluran napas begitu mendengar gumaman Semesta. “Kamu bilang apa tadi?!” jeritnya kemudian.

Semesta memicing seraya menarik napas panjang. Tidak suka dengan jeritan cempreng Eta yang tiba-tiba, membuat beberapa pasang mata yang posisi mejanya di dekat mereka menoleh. “Ingat situasi, Ta!” desisnya.

“Bilang dulu, kamu tadi ngomong apa?”

“Nggak ada.”

“Jujur, Yang! Aku denger!”

Mendesah sekali lagi, Semesta menyahut jengkel. “Kalau aku bisa tergoda sama perempuan lain, sudah dari dulu kamu kutinggal!”

“Berarti kamu nggak bisa tergoda sama cewek lain?” Mentari meminggirkan gelas minumnya. Ia melipat kedua tangan di atas meja sembari memajukan badan dan menelengkan sedikit kepala. Menatap Semesta lebih dekat sambil mengedipkan satu mata centil. Yang demi Tuhan membuat perut Semesta mual. “Berarti kamu udah cinta mati dong, sama aku!” serunya kemudian.

Semesta mengusap wajah kasar. Tak paham dengan tingkah perempuan yang menjadi calon istrinya ini. Detik yang lalu dia menjerit bagai singa betina yang siap menerkam, lalu detik berikutnya berseru kelewat riang.

Demi Hujan, Tuhan pasti mengutuknya. Membuat ia jatuh cinta pada sesama pria dan terjebak dengan wanita sejenis Eta.

“Kalau kamu sudah selesai, kita pulang.” Semesta malas menanggapi ocehan Mentari dalam bentuk apa pun. Niat hati mengajak wanita ini kencan untuk belajar mendekatkan hati, yang ada ia malah ingin mati menghadapi sikap aneh si Mentari.

“Yah, Yang ... baru sejam kita di sini loh. Kenapa sih, tiap jalan sama aku kamu buru-buru mulu? Coba lagi ngomongin saham sama Papa, mulutnya bisa sampai berbusa, tuh! Padahal kamu harusnya lebih banyak ngobrol sama Mama loh. Kan, sama-sama dokter.”

Satu lagi yang membuat Semesta tidak suka. Selain cerewet, Mentari mudah sekali teralihkan. Topik bahasan mereka tentang A belum selesai, kini dia melompat pada bahasan Z yang bahkan tidak nyambung dalam obrolan.

Coba jelaskan pada Semesta, apa korelasi antara 'ingin buru-buru pulang' dan 'sebaiknya berbicara dengan calon ayah mertua atau ibu mertua hanya karena profesi serupa'? Dan jangan lupakan bahwa sebelumnya bahasan mereka seputar pernikahan.

Apa semua perempuan seperti itu, atau hanya Eta saja yang langka? Semesta tidak tahu.

“Kalau kamu masih mau di sini tidak apa-apa. Aku pulang duluan.”

“Ih, Yang!” Mentari hendak kembali mengajukan protes, tapi melihat Mesta memundurkan kursi duduknya, mau tak mau ia pun harus ikut bangkit.

Laki-laki itu memanggil pelayan untuk meminta tagihan pesanan mereka, kemudian berbalik tanpa kata. Melangkah keluar dari kafe yang terletak di seberang jalan komplek tempat tinggal mereka.

Semesta memang tidak pernah mengajak Mentari kencan terlalu jauh. Tidak pernah keluar dari Jakarta. Dan kalau pun mereka jalan berdua, pasti tempat tongkrongannya di kafe, restoran, atau mal. Dan begitu saja Mentari sudah kelewat bahagia, meski lebih sering ia yang memaksa Semesta jalan.

Semesta tahu, untuk ukuran seorang laki-laki sejati, ia terlalu berengsek. Sangat berengsek. Dia yang telah meminta Mentari pada ayahnya, tapi justru tak bisa menghargai perempuan itu sama sekali. Semesta tahu Mentari sering terluka atas sikapnya, tapi percaya atau tidak, dirinya jauh lebih terluka.

Lebih dari separuh umur hidupnya Samesta belajar dan berusaha mencintai Eta, tapi tetep saja sulit. Barangkali memang karena cinta bukan sesuatu yang diusahakan, melainkan apa yang kita rasakan.

Di dekat mobilnya terparkir, Semesta tiba-tiba menghentikan gerak kaki. Mentari yang mengejar sang calon suami dengan langkah tergesa sampai membentur punggung tegap laki-laki itu.

“Ugh, Yang, kalo mau ngerem mendadak bilang dong!” sungutnya sambil mengelus kening.

“Ta!” Tak menanggapi ocehan mentari, Semesta berbalik. Menatap si cerewet Eta dengan tatapan intensnya, membuat perempuan itu bergerak salah tingkah. Selama lebih 15 tahun mereka kenal, baru kali ini Semesta menatapnya dalam jarak yang begitu dekat.

“Ya?” sahut Mentari mendadak gugup.

Semesta mendekatkan posisi wajahnya pada wajah Mentari. Sangat dekat. Nyaris tak berjarak. Eta bahkan sudah memejamkan mata. Siap menerima sentuhan tunangannya. Ciuman mungkin. Ciuman pertamanya. 

Namun lama menunggu, tak ada apa pun terjadi. Hanya desah napas berat Semesta yang terasa di dekat telinganya, disusul suara pelan laki-laki itu. “Tidak jadi,” katanya. 

.

.

.

Meda menjerit, meronta pada Angkasa agar tangannya dilepas. Rinai yang semula asyik menjilat es krimnya sampai menoleh pada dua kakak beradik yang selalu ribut ini.

Dengan alasan dendam kesumat pada si bocah iblis, Rinai enggan membantu tangan Meda lepas dari cengkeraman kakaknya. Tapi mendengar Meda mulai merengek hendak menangis, membuat Rain tak tega juga.

“Ang, lo isengnya jangan kelewatan, dong. Itu tangan Meda sakit!” serunya.

Namun, yang diajak bicara tak bergeming. Tatapannya masih fokus ke depan. Rinai mengernyit mendapati kobar amarah dalam telaga bening laki-laki itu.

Mengikuti arah pandang Angkasa, Rinai ikut mematung. Mendadak tuli pada rengekan Meda yang minta dilepas. Es krim yang masih baru dua kali ia jilat pun terlupa hingga melelahkan satu tetes kental ke tangannya.

“Ang ....” Rinai bergumam. Menatap Angkasa dengan luka yang sama. Dia tahu sejak dulu hati Angkasanya sudah tercuri. Tapi, Rinai tidak pernah tahu bahwa sampai kini hati pemuda cinta pertamanya ini belum juga kembali.

Merenggangkan genggaman pada tangan Meda yang sudah siap menangis, Angkasa berbalik. Tidak jadi pergi ke taman komplek sebelah. Diangkatnya Meda ke dalam gendongan tanpa banyak bicara, lalu kembali melangkah. Dia hanya ingin pulang. Menghabiskan minggu sore sendirian di gazebo belakang kediaman Wiratmdja rasanya lebih menyenangkan ketimbang terjebak di keramaian tapi merasa sepi. Dan semua itu gara-gara pemandangan sialan tadi.

“Ang”

“Rin, kalau sampai di usia tiga puluh kita masih sama-sama sendiri, lo mau ya nikah sama gue?”

“Hah?”

Rinai bukan lagi hilang napsu pada es krim rasa cokelat kesukaannya, makanan manis itu bahkan sudah terjun bebas mencium bumi. Sedang sang empunya mematung di sana. Menatap punggung Angkasa yang mulai menjauh dan meninggalkannya.

Apa baru saja ia bermimpi? Rinai mencubit pipinya sekali, lalu meringis merasakan sakit akibat ulah konyolnya sendiri.

Berarti ini nyata? Angkasa benar-benar melamarnya?

Demi apa pun, ini sulit dipercaya! Rinai di mata Angkasa itu tidak termasuk kaum hawa. Jika sampai Angkasa melamarnya, berarti dunia benar-benar sudah gila. Tapi Rinai suka kegilaan ini.

Menoleh ke belakang sekali lagi, Rinai melangkah setengah berlari mengejar Angkasa. Ia tidak tahu harus senang atau sedih sekarang. Angkasa mengajaknya menikah bila di usia kepala tiga mereka masih sendiri, tapi di sisi lain laki-laki itu melamarnya saat sedang patah hati.

Sisi baik Rinai menangis meraung-raung melihat luka Angkasa.

Namun sisi jahatnya tertawa kesenangan menyaksikan Semesta dan Mentari berciuman di depan kafe seberang jalan sana.

Setidaknya dengan ini Angkasa akan sadar, selamanya Mentari hanya milik Semesta. Angkasa hanya sekadar orang ketiga yang memiliki cinta terpendam. Dan Rinai merupakan mahluk astral yang terlupakan.

Yah, dirinya sengenes itu!

🍃🍃🍃

Yeay akhirnya!

Jangan protes pendek, ini udah 1300 kata lebih lhoo... Doain aja moga ide saya lancar jaya ya.

*Jaringan anjay. Buat apdet ini saja harus ngemis-ngemis wifi ke sepupu

Esto bhule dhin dhika *Cah😘

Pamekasa, 10 April 2018
Repost, 29 Juli 2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top