22 | Saat Semesta Bilang Cinta
22
Saat Semesta Bilang Cinta
🍃🍃🍃
Sejatinya Rinai bukan tipe wanita pemuja cinta. Memang benar dia menyukai Angkasa sejak SMA, tapi bukan berarti perempuan itu menutup kemungkinan untuk kehadiran mahluk Adam lainnya. Dia tidak pernah masalah dengan beberapa laki-laki yang disodorkan Lilah, yang menjengkelkan hanya reaksi mereka saat melihatnya. Bagi seorang Rinai Rainia, cinta bukan kunci utama dalam keberlangsungan hidup, membuat kenyang saja tidak. Lilah dan ayahnya yang menikah atas dasar rasa sentimentil itu saja berakhir pisah, sedang Rendi dan Lulu yang hanya bermodal taaruf bisa sangat mesrakadang-kadang. Asal si mahluk berjakun dapat bertanggung jawab dan bisa menyayangi ia serta ibunya, Rinai terima saja. Perkara orang yang dia suka jadi jodohnya, Rinai Alhamdulillah.
Dan baru saja, Angkasa, laki-laki yang ia taksir sejak belia mengajak menikah. Sudah pasti Rinai kegirangan. Ia sampai menjerit tanpa sadar, membuat kanjeng emak langsung melompat dari kursi plastik yang didudukinya demi menghampiri Rinai di kamar. Takut sang putri macho mendadak gila gara-gara selalu disebut perawan tua oleh beberapa tetangga.
“Serius Aang lamar lu?” tanya Lilah tak percaya. Yang dibalas Rinai dengan anggukan cepat, bahkan lebih cepat dari anggukan Meda saat ditawari eskrim rasa vanila. “Yah, kok Aang, sih? Kenapa bukan adiknya aja?” lanjut Lilah yang sukses membuat mood Rinai terjung payung ke tanah.
“Emang kenapa kalau Aang? Dia lebih baik, lebih sopan, lebih”
“Halah,” Lilah masuk lebih dalam ke kamar Rinai dan duduk tanpa permisi di sisi ranjang, sedang sang empunya kamar tetap berdiri di tengah ruangan sempit yang hanya muat satu tempat tidur kecil serta lemari berpintu ganda itu, “lu nggak beres, Aang sama nggak beresnya. Kalo lu berdua jadi, mau kayak apa cucu Emak, Rin? Raja narsis?”
“Jadi Rin tolak aja, nih?” balas Rinai setengah mengancam.
“Ya, jangan!” Lilah menyahut cepat. Ia lantas berdiri kembali, mendekati Rinai dan langsung merampas ponselnya demi membaca riwayat chat dari sang penerus tahta Wiratmadja, menekan-nekan layar dengan jempol kanan dan tampak kebingungan sendiri. “Ini cara balas pesan si Aang gimana? Lo kok punya hape nggak ada tombolnya kayak punya Emak, sih?”
Rinai memutar bola mata jengah seiring dengan karbon dioksida yang terembus kasar dari katup bibirnya. Ia balik merampas benda pipih berlayar lima inchi itu dari tangan Lilah. “Mau bales apa?”
“Tanyain, kapan dia siap nikahin lo?”
“Tadi aja sewot, sekarang nyuruh tanyain kapan siap nikah,” gerutu Rinai sembari mengaktifkan keypad ponsel, tapi tak satu pun huruf ia ketik. “Kata Aang pas umur tiga puluh,” lanjutnya.
“Eh, gila! Manupos dong lu? Emak nggak mau tau. Kalo nikahnya nggak tahun ini, Emak mau nikahin lo sama anak kampung sebelah aja. Emak nggak jadi punya cucu kalo nunggu lu jadi sama Aang!”
“Tadi katanya kalau Rin jadi sama Aang, anaknya jadi raja narsis. Gimana sih, Mak?!” Rinai mulai kesal, setengah dongkol meladeni Lilah yang suka bawel. Sialnya, dia sayang sangat dengan wanita paruh baya yang hobi marah-marah ini.
“Ya nggak apa-apa jadi raja narsis, dari pada nggak ada, kan?”
“Terserah! Jadi mau dibalas apa, nih?”
Lilah kembali duduk di sisi ranjang Rinai. Bibir keriputnya mengerucut miring, petanda si emak sedang sibuk berpikir. “Terserah lu aja. Intinya, kalo nikahnya nggak tahun ini, lu mau cari laki lain aja.”
Giliran Rinai yang berpikir. Ia mundur selangkah demi menyandarkan punggung ke pintu lemari berbahan kayu jati yang usianya sama dengan umur Rinai saat ini dan mulai terbatuk saat dibuka.
Setelah menemukan kata-kata yang tepat, jari-jari Rinai mulai menari lincah di atas layar ponsel. Sebelum menekan tombol kirim, sekali lagi ia baca chat Angkasa yang tadi.
Rinai: Lo serius mau nikah sama gue?
Angkasa: Gue nggak mungkin becandain hal seserius ini, kan?
Setengah girang, setengah kesal, setengah ragu, dan setengah-setengah lainnya, Rinai pun menekan tanda berbentuk pesawat kertas di ujung keypad.
Rinai: Tapi kalau nunggu kita kepala tiga, gue keburu manopause, Ang.
Setelah centang biru, Rinai mendesah kasar. Kenapa seolah dia yang keburu ingin dinikahi?
Angkasa: Emang lo maunya kapan?
Rinai: Kalau tahun ini?
Angkasa: Serius lo nerima lamaran gue?
Rinai: Lo sendiri serius nggak, nih?
Kenapa mereka jadi perang pertanyaan? Mendadak badmood, Rinai memasukkan ponselnya ke dalam kantong celana. Mengabaikan Angkasa yang tengah mengetik balasan untuknya. Rinai masih punya pekerjaan tambahan malam ini. Menemani Semesta Arya Wiratmadja yang songong jalan-jalan.
“Udah, ah, Rin mau berangkat.”
Lilah mengangkat satu alis. Baru menyadari bahwa Rinai telah siap dengan jins sobek-sobek dan kaus hitam lusuh gombrongnya. “Mau ke mana?”
“Ngepet,” jawab Rinai asal seraya meraih tangan Lilah dan diciuminya sebelum berlalu begitu saja, keluar dari kamar sambil mengucap salam ogah-ogahan.
“Lah, bocah ngapa, yak?! Ditanya serius jawabnya gitu!”
🍃🍃🍃
Semesta itu selain kaku ternyata juga sangat membosankan. Saat Rinai diajak jalan-jalan, dia kira Semesta akan membawanya ke mal untuk cuci mata, atau ke kafe yang menyenangkan dengan live music yang menghentak-hentak. Tapi, ternyata semua perkiraan Rinai meleset. Alih-laih tempat menyenangkan untuk menaikkan mood, kesayangan Pak Surya yang satu ini justru membawanya ke BookCoffee.
Iya. BooCoffee. Kafe semi perpustakaan yang beraroma buku dan ... sepi. Sedari mereka sampai hingga saat inikurang lebih sudah tiga puluh menit lamanyaSemesta langsung tenggelam dengan buku tebal berjudul bahasa Inggris. Rinai tidak mau berpusing-pusing ria mengingat judul buku itu, lidahnya selalu kesusahan melafalkan kata bahasa asing. Saking asyiknya membaca, laki-laki itu sampai melupakan kopi tarik yang baru saja diantar pelayan. Bahkan mengabaikan Rinai yang duduk dongkol di seberang meja, menatap Chiken Wings yang baru segigit masuk ke dalam perutnya.
Demi apa, Rinai tadi memesan menu Chiken Wings karena namanya yang lumayan keren dan mudah dieja, jadi tidak terlalu memalukan saat melisankan pada pelayan. Dan yang datang adalah sayap ayam. Sekali lagi Rinai ulang. SAYAP AYAM. Rinai yang nilai bahasa Inggris-nya selalu remidial mengira Chiken Wings adalah ayam terbang utuh yang dibumbui sampai berwarna kehitaman. Nahasnya lagi, rasa Chiken Wings-nya hambar sedang harganya nyaris seratus ribu. Sialan! Lebih enak juga di kedai Mang Parmin, tempat makan lesehan dekat depan gang rumahnya yang biasa ia datangi dengan Angkasa dan Rendi. Hanya bermodal uang dua puluh ribu saja, ia sudah bisa dapat ayam goreng sepaket dengan teh lemon. Ah ... ya, Semesta adalah Pangeran Wiratmadja yang lahir dengan sendok emas di tangannya. Berbeda dengan Angkasa yang sejak kecil terbiasa hidup susah. Jadi mana mau dia makan di pinggir jalan. Rinai memutar bola mata jengah, duduk bersandar pada punggung kursi. Untung Semesta yang bayar, kalau tidak, Rinai ogah masih bertahan di sini yang kanan kirinya dipenuhi oleh manusia-manusia pecinta buku dan bisik-bisik saat bicara. Rinai juga suka membaca sebenarnya, tapi membaca chat grup di WhatsApp.
“Lo ngajak gue ke sini emang buat diem-diem bae, ya?” Rinai yang tidak tahan, akhirnya membuka suara dengan nada pelan. Ia sampai memajukan tubuh hingga dada ratanya menempel pada meja, takut Semesta tak mendengar.
Tanpa mengangkat kepala dari lembar-lembar usang beraroma menyengat yang dipegangnya, Semesta menyahut sama pelan, “Saya hanya butuh ditemani, Rain.”
“Dan kenapa harus gue?”
“Karena hanya kamu teman saya.”
Rinai tidak heran. Hanya orang sinting macam Kenzo yang mau berteman dengan manusia membosankan macam Semesta. Ugh, Rinai lupa, dia sama sintingnya dengan Kenzo karena telah mengiyakan permintaan laki-laki ini untuk menjadi kawannya.
“Si Kenzo ke mana emang?”
“Dia sedang bulan madu.”
“Lo kan bisa ajak Angkasa.” Secepat kata itu melompat dari katup bibirnya, secepat itu pula Rinai menutup mulut. Dia lupa. Dari zaman remaja, dua saudara seayah itu tidak pernah akur. Perang dingin keduanya belum usai sejak perseteruan antara SMA Kebanggan Bangsa dan Maju Terus, diperkeruh pula dengan kisah pelik orangtua mereka di masa silam. Baik Semesta mau pun Angkasa tidak ada yang mau membuang ego untuk berdamai.
Tak mendapati jawaban dari Semesta, Rinai berdehem. Sedikit merasa tak enak hati dan salah tingkah. Ia membetulkan posisi duduk, menegakkan punggung dan kembali memakan Chiken Wings sialan yang tak berasa itu.
“Istri kamu tidak apa-apa ditinggal di rumah sendirian?” setelah nyaris lima menit kembali hening, akhirnya Semesta menurunkan buku beratus halaman yang sedari tadi dibacanya ke atas meja. Ia meraih cangkir mungil yang belum tersentuh, kemudian diseruput pelan. Keningnya mengernyit begitu cairan hitam pekat itu lewat kerongkongan sebelum mengablikannya ke tempat semula. Semesta tidak suka.
“Istri?” ulang Rinai. Dia sering lupa kalau Semesta masih menganggapnya laki-laki. “Mmm, dia nggak apa-apa, kok.” Di akhir kalimat, Rinai memberikan cengiran kuda. Mendadak dia merasa mulas. Angkasa melamarnya, lantas bagaimana nanti reaksi Semesta saat tahu ia akan menikahsemogadengan Angkasa? Bukan. Bukan reaksi Semesta yang Rinai khawatirkan, melainkan reaksi Damai dan Surya kalau tahu dia telah menipu putra kedua mereka. Bisa-bisa Tuan dan Nyonya Wiratmadja menganggap Rinai tukang bohong dan tidak memberinya restu.
Namun jikalau jujur, Rinai bingung bagaimana harus menjelaskan. Kesalahpahaman ini sudah terjadi terlalu lama. Sepuluh tahun. Kalau pun Rinai jujur, apa Semesta akan langsung percaya? Dia bahkan mengira Rinai sudah beristri.
“Bulan depan saya menikah. Kamu bisa datang, kan?”
Rinai mengenyampingkan kecamuk pikirannya demi membalas ucapan Semesta dengan nada sewot. “Ya iyalah. Siapa yang mau jagain Meda dan bantu Bi Rum cuci piring kalau bukan gue?”
“Oh iya, saya lupa pekerjaan kamu setara pembantu.” Semesta berdiri, mengembalikan buku yang tadi sempat dia baca ke rak semula. Setelahnya kembali duduk dengan tangan kosong. Kopi pesanannya ia jauhkan dari jangkauan, tak lagi berminat menikmatinya. Sedang di seberang meja, Rinai berusaha menahan umpatan gara-gara komentar Semesta yang kelewat jujur itu. Dari nada suara dan ekspresi datarnya, Rinai tahu Semesta tak bermaksud mencela, tapi kata-kata tadi yang tanpa saringan jelas sukses besar membuat sang lawag bicara sakit hati.
“Iye, gue emang pembantu. Kenapa? Masalah buat lo?” Rinai makin sewot.
“Sebenarnya ... iya.”
“Hah?”
Semesta menelan ludah kelat. Menatap ktelaga bening Rinai lamat-lamat. Berusaha mendalami perasaan dan menikmati letupan-letupan kecil di balik dada. Saat ini Rinai sedang mangap, tapi di mata Semesta, dia tetap tampak sebagai manusia tercantik.
“Emang apa masalah lo sama gue? Karena gue laki-laki makanya nggak boleh jadi pembantu gitu?!” lanjut Rinai, masih dengan nada yang berusaha mati-matian ia tekan demi tak menarik perhatian pengunjung lain yang kebanyakan malah asyik membaca ketimbang makan. “Kalau gue bilang sebenernya gue perempuan, lo nggak akan masalah lagi?”
Ada riak kecil dalam pancaran mata Semesta mendengar kalimat terakhir sang lawan bicara. Laki-laki itu tak langsung menyahut. Ia memalingkan muka, menatap jendela kafe yang kelambunya diikat ke samping, membiarkan pemandangan malam di luar sana tampak melalui kaca-kaca bening. “Ya,” suara Semesta mendadak parau, “seandainya kamu perempuan, saya akan sangat bersyukur.”
“Gue emang perempuan,” aku Rinai kemudian. Nadanya tegas dan agak lantang, membuat beberapa pasang mata di dekat meja mereka menoleh lantaran merasa terganggu. Rinai jadi meringis sendiri. Rendi benar, kesalahpahaman di anrara ia dan Semesta memang sudah seharusnya lekas diurai. Jika ia dan Angkasa benar berjodoh, maka ia dan laki-laki di hadapannya ini akan menjadi saudara ipar. Dan sebelum semua menjadi kian kacau, Rinai harus buru-buru meluruskan. Barangkali kini merupakan waktu yang paling tepat.
Namun alih-alih percaya, Semesta justru tersenyum pahit. Ia melirik Rinai dengan senyum sinis. “Kamu tidak perlu berbohong untuk menarik simpati saya.”
“Gue nggak bohong. Gue emang perempuan,” tekan Rinai sekali lagi, kali ini dengan nada yang kembali pelan. Kapok mendapat tatapan cemooh dari pengunjung lain. “Gue Rinai Rainia. Gue perempuan!”
“Kalau benar kamu perempuan, detik ini juga saya akan mengatakan, saya mencintai kamu, Rain.” Kembali dengan ekspresi datarnya, Semesta berdiri. Bergerak mendekati rak dan mengambil buku secara acak, kemudian membacanya sambil berdiri. Enggan duduk berhadapan dengan Rain yang ... membuat suasana hatinya makin kacau.
Di tempatnya, Rinai mematung dengan mulut ternganga. Andai bukan ciptaan Tuhan, sudah pasti rahangnya jatuh membentur lantai saking terkejutnya.
Apa baru saja Semesta bilang cinta? Seandainya ia adalah wanita.
Maksudnya apa?
🍃🍃🍃
Segini dulu aja deh.
Esto bhule dhin dhika, Cah😘
Pamekasan, 10 Juni 2018
Repost, 10 Mar 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top