19 | Tawaran Pertemanan

19
Tawaran Pertemanan
🍃🍃🍃

“Rain, tolong buatkan saya kopi.”

“Lagi?!”

“Hmm ....”

Ini sudah kali ketiga Mesta memintanya membuat kopi sejak ... pagi tadi. Rinai tidak tahu apa yang terjadi, dan tak ingin tahu. Barangkali rasa kopi buatannya memang terlalu enak sampai membuat Semesta ketagihan. Atau laki-laki itu sedang galau dan ingin mabuk, tapi karena alkohol dilarang agama makanya dia memilih kopi sebagai pelarian. Bisa jadi. Sebab sepulang Mesta dari rumah Mentari, laki-laki itu tampak lesu. Pun tatapannya kosong. Seakan seluruh beban di seluruh dunia ditumpukkan di atas pundaknya seorang. Mungkin dia sedang bertengkar dengan jelmaan si mak lampir masa kini hingga membuatnya uring-uringan.

Rinai sebenarnya ingin bersikap tak acuh, tapi tidak tega juga. Jadi usai membuatkan Semesta kopi, ia duduk di sofa tunggal sambil memegang bantalan kursi. Meda sudah jatuh tertidur di atas pangkuan sang abang di sofa panjang yang menghadap televisi, sedangkan Damai keluar rumah dengan wajah riang usai menerima panggilan telepon dari calon besan. Layar plasma di hadapan mereka menyala, menampilkan berita pengeboman yang sedang marak terjadi akhir-akhir ini.

“Ane lihat wajah ente murung amat. Ada masalah?” Tidak. Rinai sama sekali tak pduli. Ia bertanya sekadar memecah keanehan yang mengambang di udara. Tentu saja aneh, mereka hanya berdua dalam satu ruangan tanpa ada percakapan basa-basi busuk. Rinai rasanya seperti babu tidak tahu dirimeski kenyataannya memang demikian.

Tatapan kosong Semesta yang semula terarah pada wajah damai Meda yang tampak pulas di atas pahanya, terangkat. Menoleh pada Rain yang mendadak salah tingkah begitu dipandang penuh arti oleh sang anak majikan yang sialan tampan, tapi menyebalkan itu. Semesta tak langsung menyahut. Ia mendesah. Detik kemudian, bukannya menjawab dia malah balik bertanya, “Kamu sudah menikah berapa lama?”

“Hah?” Rinai yakin wajahnya sudah seperti orang tolol sekarang dengan kening mengernyit, mata membola dan mulut menganga. Andai bukan ciptaan Tuhan, ia yakin rahangnya sudah jatuh membentur lantai keramik di bawah kakinya. “Nikah?”

“Iya. Kemarin saat mengantar kamu pulang, saya melihat kamu dijemput istri di depan gang.”

Praktis bibir Rinai terkatup. Satu tangannya yang tersembunyi dibalik bantal menggaruk paha melalui sobekan celana. Uhm, dia lupa kalau Semesta masih mengira dia laki-laki. Tapi, pikiran bahwa Lulu adalah istri seorang Rain itu dari mana? Lantas, Rinai harus menjawab apa? Merasa terlanjur berbohong sejak awal, ia memilih menceburkan diri sekalian. Perkara nanti ketahuan juga tak masalah. Cuma Semesta ini.

“Lima tahun.”

Alis Semesta terangkat. Menatap Rinai takjub setengah terkejut. “Lima tahun?” ulangnya lirih.

“Ya, kenapa?”

“Apa ....” Semesta sejenak ragu. Dia kembali menatap wajah damai Meda sebelum melanjutkan, “apa kalian saling mencintai?”

Rinai mengerucut miring. Berusaha mengingat-ingat curhatan Rendi sebelum kawin. Kalau tidak salah ingat, dulu Rendi dan Lulu dijodohkan. “Nggak,” jawabnya kemudian.

Semesta menoleh cepat padanya, penuh selidik. Ada banyak tanya dalam ekspresi laki-laki itu yang sayang tak dapat Rinai artikan. “Kalau tidak saling mencintai, apa yang mendasari pernikahan kalian?”

“Mmm ... mungkin karena waktu itu masih sama-sama belum ada pasangan.”

“Lalu sekarang, apa kamu ...” Semesta menarik napas panjang, “mencintainya?” Tenggorokannya sakit. Sakit sekali selepas kata-kata tersebut lolos dari katup bibirnya. Napas yang sempat ditarik masuk ke paru-paru bahkan sulit diembuskan lagi akibat sesuatu yang terasa mengganjal di sepanjang jalan napas.

“Tentu.” Dan jawaban ringan dari Rinai bagai palu Thor yang dihantamkan langsung tepat di jantung Semesta.

Rain mencinta wanita berhijab yang dilihatnya minggu lalu. Tentu saja.

Detik kemudian hening kembali meraja. Rinai menunggu pertanyaan sensus lanjutan dari sang lawan bicara, sedang Semesta mengusap ubung-ubun Meda tanpa tenaga. Suara Jessie J. mengalun dari speaker televisi. Acara berita siang sudah berakhir, diganti gosip selebritis tentang skandal artis terpanas minggu ini. Menghentikan usapan di pucuk kepala Meda, Semesta meraih remot di atas meja. Memencet tombol sembarangan sampai berakhir di channel musik.

Awalnya Mesta pikir mendengar musik di antara retakan hatinya yang berserakan daripada menonton infotainment yang memberitakan penyanyi dangdut transgendre yang suka bikin sensasi lebih baik. Demi menghindari bisikan gila dari salah satu syaraf sinting dalam batok kepalanya, tentang ... bagaimana kalau seandainya Rain memutuskan mengganti kelamin dan menjalani operasi agar menjadi perempuan seperti yang dilakukan Lubanci Luna? Sial!

Semesta berusaha mewaraskan kembali isi pikirannya. Mencoba menikmati lagu berbahasa Indonesia yang tak ia tahu judul dan penyanyinya. Sampai tiba di bagian reff, dan Mesta rasa kewarasannya sudah berada di ambang batas mendengar lirik yang pas sekali menggambarkan isi hati, sekaligus terdengar mengejek di telinganya sendiri.

Pernah sakit ... tapi tak pernah sesakit ini

Karena pernah cinta, tapi tak pernah sedalam ini

Aku ingin semua cintamu hanya untukku

Memang ku tak rela kau bagi cinta untuk hati yang lain

Tak tahan, Semesta segera menekan tombol off kemudian melempar remot ke lantai. Rinai yang kebetulan sangat menyukai lagu Azmi dan mulai mengikuti liriknya itu pun kontak kaget mendengar bunyi benturan ujung remot dan lantai. Cepat-cepat ia menoleh, menatap heran sekaligus ngeri pada laki-laki itu yang siang ini benar-benar aneh.

“Kenapa dimatiin?” protesnya.

“Saya tidak suka lagunya,” jawab Mesta tanpa menoleh.

“Ente kenapa, sih? Dari tadi perasaan nggak ada acara yang disuka. Ya kalau nggak pengin nonton, jangan di sini. Biar aye nonton sendirian aja!” Rinai kembali kurang ajar pada anak majikan, semata karena dia kesal. Demi apa pun dia suka acara gosip, tapi diam saja saat Semesta mengganti channel. Dia pikir karena Semesta laki-laki, normal kalau dia tidak suka acara seperti itu. Tapi acara musik, tidak suka juga karena lagunya. Sial! Apa semua anak orang kaya memang semaunya? Tanpa menunggu sahutan Semesta, Rinai beranjak berdiri. Mengambil remot di lantai sebelum menghidupkan tivi kembali. Lagu sudah berganti. Suara merdu Virgoun mengalun lembut. Rinai ikut bernyanyi. Mengabaikan Mestayang selalu menyebalkansepenuhnya.

“Bulan depan saya menikah, Rain.”

Satu alis Rinai terangkat begitu menangkap suara Semesta samar-samar. Ia melirik menggunakan ujung mata dan mendapati laki-laki yang biasa tampak kaku dan sok angkuh itu bersandar lesu ke punggung sofa. Tatapannya mengarah pada plafon ruangan tanpa ada yang benar-benar diamati dari langit-langit putih polos itu. Seolah menyadari Rinai tengah meliriknya, ia kembali mengulang, “Saya akan menikah,” dengan nada yang lebih lirih.

“Oh, selamat!” sahut Rinai tak tertarik. Mulai paham kenapa tadi Semesta bertanya tentang pernikahannya dengan Lulu. Mmm ... pernikahan Rendi maksudnya.

“Bulan depan,” jelas Semesta tanpa ditanya.

“Oh ....”

Merasa Rinai kurang tertarik dengan ceritanya, Semesta berhenti bicara. Kendati banyak sekali yang hendak ia utarakan, tapi hanya bisa tertahan di ujung lidah. Semesta ingin mengatakan pada Rain, bahwa ia sama sekali tidak pernah mencintai Mentari.

Namun, untuk apa? Jelas Rain tak akan peduli. Mesta menikah detik ini pun, Rain tak akan ambil hati. Karena sejatinya sejak dulu ia memang hanya cinta sendiri.

“Rain.”

“Hmm ....”

“Kamu teman Angkasa, kan?”

“Iya.”

“Kalau berteman sama saya juga, mau?”

Kuping Rinai pasti bermasalah. Pasti. Semesta tidak akan mungkin mau berteman dengan hamba sahaya seperti dirinya. Menerima Angkasa yang notabene saudara seayahnya saja dia enggan hanya karena sebelumnya Angkasa merupakan rakyat jelata. Lalu sekarang Semesta menawarkan pertemanan? Yang benar saja. “Apa tadi ente bilang?”

“Jadi teman saya.”

Rinai yakin dirinya tak mencampur kopi Semesta dengan sianida, meski ingin. Dicampur sekali pun tak akan membuat Semesta hilang akal, sebab cangkir berisi cairan hitam itu masih belum tersentuh sejak ia melatakkannya di atas meja. Uap panas yang tadi sempat mengepul kini bahkan tak lagi tampak. Sudah tentu kopinya mulai dingin, menyisakan aroma nikmat yang samar-samar tercium di udara.

“Ente seriusan mau temenan sama aye?”

“Iya.”

“Kenapa?”

“Seperti cinta, saya ingin berteman dengan kamu tanpa alasan. Agar kelak tidak ada alasan pula untuk kita saling membenci dan bermusuhan,” ujar Semesta sejuta arti. Sudut-sudut bibirnya terangkat membentuk senyum kecil penuh ketulusan, pun pancaran mata yang begitu teduh seakan menawarkan tempat ternyaman untuk bernaung. Ini kali kadua Rinai mendapat senyum dan tatapan itu. Senyum yang sukses membuat debar jantungnya kembali menggila.

Barangkali kelewat terpesona, entah pada kata-kantanya yang terangkai indah. Aatau senyumnya. Atau pada pancaran matanya. Yang pasti tanpa sadar Rinai mengangguk dua kali. Melupakan acara musik yang kini sudah memutar lagu terakhir.

“Terima kasih.”


🍃🍃🍃

Uluh, ada yang ngajak temenan tuh😂
Ini udah mau masuk ke bagian ... mmm bagian ... bagian apa ya?  Pokoknya gitulah. Jangan tanya kenapa percakapan mereka absurd, karena hubungannya aja juga absurd. Perasaannya absurt. Semua serba absurd.

Saya udah bilang mau namatin cerita ini abis lebaran kan? Entah lebaran tahun ini pa tahun depan. Moga aja tahun ini😂
ini aja udah mulai rajin apdet lho ...

Yang tanya kapan Mesta tahu rinai cewek, suabaaarrrr..  perjalanan masih panjang, tapi nggak seoanjang jalan kenangan kok. Tenang aja😂

Esto bhule dhin dhika, Cah😘

Pamekasan, 20 Mei 2018

Repost, 16 Des 2019

Note: yang mau peluk Mesta dalam bentuk buku, PO diperpanjang sampe tanggal 20 Des 2019 oke...😘

Yang mau, langsung wa aja ke saya.
0858-5221-8015

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top