18 | Restu Untuk Mentari
18
Restu Untuk Mentari
🍃🍃🍃
Semesta meminta dibuatkan kopi.
Rinai tercenung di depan kompor yang sudah menyala. Menjerang air hangat untuk membuatkan Meda susu formulaawalnyasekaligus kopi Semesta. Isi dalam panci sudah mulai mengeluarkan gelembung kecil. Sebentar lagi air akan mendidih, tapi Rinai sama sekali belum punya ide. Berapa takaran gula dan bubuk kopi yang cocok untuk Semesta? Mau bertanya gengsi, takut laki-laki itu mengira dirinya tak becus mengurus dapurmeski itu memang benar. Lagi pula, kenapa Rinai berharap Semesta tidak mengetahui kelemahannya di bidang masak-memasak, toh yang Semesta tahu dia adalah laki-laki? Sial!
Mengambil cangkir dari rak, Rinai mulai mengisinya dengan setengah sendok gula pasir, dua sendok kopi dan sedikit garam. Tanpa sadar Rinai mendesah. Ia lupa kapan terakhir kali membuat kopi, yang pasti saat itu masih ada ayahnya di tengah-tengah keluarga mereka. Dan takaran yang kali ini dibuatnya merupakan kesukaan laki-laki itu. Laki-laki yang meninggalkan ia dan ibunya hanya karena janda kembang kegatalan.
Mendengus, Rinai segera menyelesaikan pekerjaannya. Membuatkan susu untuk Meda, kemudian meletakkan sepiring nasi beserta telor dadarnya, botol susu, dan cangkir kopi Semesta dalam satu nampan. Lalu membawanya ke meja makan. Tempat Semesta berkutat dengan bagan-bagan rumitnya. Tanpa suara, Rinai meletakkan cangkir kecil itu tepat di samping kanan laptop bergambar apel tergigit milik pemuda itu sebelum lanjut melangkah ke ruang tengah. Berharap dengan makan Meda akan berhenti bernyanyi. Karena sungguh, gendang telinga Rinai sudah nyatis pecah mendengar suara cempreng bocah itu.
“Terima kasih, Rain,” ucap Semesta yang Rinai balas dengan gumaman tak jelas.
Begitu punggung Rain tak lagi tampak, Semesta mengangkat kepalanya dari layar. Mengintip isi cangkir putih yang Rain letakkan di dekat laptop. Penasaran dengan isinya, diambilnya cangkir tersebut. Diangkat sesejajar dengan bibir, lalu menghidu aromanya dengan khidmad. Sepertinya enak. Makin penasaran, Semesta kian mendekatkan cangkir itu ke bibirnya hingga tertempel sempurna, lantas mulai menyeruput pelan. Sangat pelan agar panasnya tidak terlalu terasa.
Semesta mengernyit. Rasa kopi ini sedikit aneh, tapi ... enak. Tidak puas menyicipi sekali, Semesta menyeruput lagi. Lagi. Lagi dan lagi, sampai tak menyadari kalau kopinya tinggal ampas. Sial. Itu bukan enak lagi, tapi enak sekali. Meletakkan cangkir ke atas tatakan kembali, Semesta melongokkan kepalanya ke ruang tengah dan mendapati Rinai yang sedang berusaha menyuapi Meda yang masih aktif menari-nari di depan tivi. Rinai bahkan meliuk-liukkan tangannya seperti laju pesawat yang hendak mendarat di mulut si bocah hanya agar Meda mau lebih cepat mengunyah nasi dalam mulutnya dan menerima suapan selanjutnya. Memang bukan Meda namanya kalau tidak bikin pusing. Semesta jadi tidak enak meminta Rinai membuatkan kopi lagi.
Berniat kembali fokus mencari saham perusahaan potensial untuk dibeli dan berusaha melupakan rasa kopi buatan Rinai, perhatian Semesta kembali teralihkan. Kali ini bukan karena Rain, melainkan bunyi dering ponsel.
Om Rafdi Calling ....
Alih-alih langsung menekan ikon terima, Semesta malah menatap caller id lebih lama dari seharusnya. Menunggu sesaat, panggilan tak juga berhenti. Merasa ayah Eta memiliki maksud serius dengan meneleponnya, ia pun menggeser gambar hijau di layar 5,5 inchi tersebut. Mendadak saja perasaannya tidak enak.
“Halo, Om?”
“Halo, Ta. Akhirnya kamu mengangkat telepon juga.”
“Maaf, tadi ... “ segaja ia menggantung kalimat, berharap Rafdi yang tak sabaran itu segera menyela dan menganggap alasannya tak terlalu penting untuk didengar.
“Bisa kamu ke rumah sekarang?” Benar saja, suara di seberang saluran langsung memotong ucapannya sebelum tergenapi.
“Kenapa ya, Om?”
“Om ada perlu. Sekarang, ya.”
Lalu panggilan terputus. Semesta hanya mengedip sekali menanggapinya. Tidak heran. Rafdi memang begitu, semau sendiri. Dan sifat tersebut menurun sempurna pada Mentari.
🍃🍃🍃
“Om nyerah. Kalian boleh menikah secepatnya.”
“Serius, Pa?!” pekik Mentari yang tiba-tiba muncul dari balik lemari. Sedari tadi, sejak Semesta datang ke rumahnya, gadis itu buru-buru turun secara diam-diam dari kamarnya di lantai dua demi mengupingi pembicaraan Rafdi dan sang calon suami. Demi apa pun, tak sia-sia Eta mogok makan dua hari kalau pada akhirnya Rafdi mengabulkan juga permohonannya agar diberi restu menikah tahun ini.
Rafdi sempat kaget mendengar pekikan girang putrinya itu, tapi dia hanya berdehem pelan sebagai tanggapan. Mengiyakan setengah hati. Nina, istrinya memutar bola mata jengah. Sudah sejak tiga tahun lalu Mentari merengek supaya segera dinikahkan agar bisa menyusul Semesta ke Amerika. Dia tidak tahan kalau harus berhubungan jarak jauh dalam jangka waktu lama. Namun Rafdi yang terlalu posesif dan mencintai putri satu-satunya secara berlebihan itu melarang keras. Alasannya klasik. Semesta belum punya penghasilan sendiri, katanya. Padahal Rafdi jelas tahu bahwa Semesta sudah aktif bermain saham sejak awal kuliah dan sudah diajari berbisnis sedari usia remaja oleh Marko, omnya. Lalu sekarang, setelah Semesta lulus dan bergelar calon dokter, Rafdi tak lagi punya alasan. Kendati masih dalam proses pengukuhan profesi, tapi kalau hanya untuk memberi makan satu istri dan empat anak dengan hidup berkucupan jelas Semesta sangat mampu. Rafdi benar-benar telah kalah pesona di mata putrinya dengan laki-laki muda di seberang meja ini.
“Yeay ... jadi nikah, Yang!” Mentari berlari ke arah Semesta. Serta-merta ia menjatuhkan diri di sofa panjang, memepet calon suaminya yang duduk di bagian ujung. Tanpa permisi, Mentari langsung memeluk laki-laki yang mendadak jadi patung itu dengan erat.
“Ta, belum halal! Lepas!” Si papa posesif beraksi. Tapi Mentari yang kadung senang tak mengindahkan, membuat Rafdi geram. “Lepas atau Papa tarik restunya?” lanjut Rafdi penuh ancaman
Praktis Eta melepaskan tangannya tanpa menggeser duduk menjauh. Padahal ini kesempatan bagus, karena Mesta tak akan menolaknya di depan Rafdi, tapi ayahnya justru tak bisa diajak bekerja sama. Ditatapanya sang ayah dengan pandangan kesal dan bibir mengerucut sebal. Kendati begitu, ia tetap senang. Akhirnya ...!
“Aku tagih janji kamu, Yang! Kamu bilang akan nikahin aku kalo Papa udah ngasih izin.”
Berbeda dengan Mentari yang antusias, Semesta justru tak tahu harus berbuat apa. Mendadak saja semua persendiannya bagai dilolosi. Badannya menggigil, merasai tiupan udara dari pendingin ruangan yang serasa lebih dingin dari biasanya, bahkan tenggorokannya yang sempat dibasahi kopi buatan Rain pun jadi kerontang. Demi hujan, Semesta masih belum siap. Dokter Sunaryo memang menyuruhnya untuk mencoba, namun Semesta tak berani bermain-main dengan hati. Apalagi kalau sampai harus mengikat janji dengan Tuhan di atas ... sebuah kebohongan.
Tidak. Semesta tidak pernah berbohong tentang perasaannya. Dari awal ia memang tak pernah bilang cinta. Hanya menerima. Dan itu berbeda.
“Om, tadi bilang apa?” Mengabaikan kata-kata Mentari, Semesta balik bertanya pada Rafdi.
“Haduh, anak muda jaman sekarang. Saking senengnya sampe tuli, ya?” Bukan candaan, karena jelas nada suara Rafdi penuh sendirian. Demi Tuhan, dia belum rela melapas Mentari ke pelukan laki-laki lain. Apa lagi pada bocah bau kencur seperti Semesta. Mereka masih terlalu mudabaginya. “Saya nggak mau ngulang dua kali ya, jadi dengar baik-baik. Saya, Rafdi, ayah kesayangan sekaligus cinta pertama Mentari sebelum kamu, menyatakan bahwa saya merestui kalian menikah tahun ini!”
“Tahun ini?” Bagai orang tolol, Semesta membeokan empat silabel itu sembari menggigit ujung lidah.
“Ya. Dan karena Mentari merupakan putri saya satu-satunya, jadi saya mau pestanya harus meriah. Pesta meriah itu kan harus pakai persiapan yang matang, sewa gedung mahal juga biasanya antre lama. Papa dengar gedung hotel Aunty Mina yang di Jakarta baru bisa di-booking Juli tahun depan.” Rafdi menjelaskan panjang lebar.
Nina yang paham usaha suaminya yang berusaha mengulur-ulur waktu menyeletuk, “Bilang aja belum rela. Banyak alasan!” Rafdi berdecak, melirik istrinya sinis. Memberi kode agar Nina diam saja, yang Nina tanggapi hanya dengan dengusan kasar. Bagaimanapun dia adalah seorang ibu sekaligus perempuan. Dia tak ingin putrinya menjadi perawan tua hanya karena keposesifan Rafdi yang tak masuk akal.
“Padi apaan, sih!” sungut Eta tak terima. Bibirnya bukan lagi cemberut, tapi sudah maju hampir tiga senti. “Eta nggak apa-apa kok nikahnya sederhana. Ke KUA aja Eta juga nggak apa-apa. Yang penting sah aja dulu.” Lupakan gaun pengantin ala Disney. Lupakan! Eta tak butuh semua itu bila bisa memiliki Semesta sesegera mungkin.
“Om Rafdi benar. Tahun depan nggak apa-apa, Ta.” Mesta menyahut dengan senyum dipaksakan. Demi apa pun dia belum mengiyakan, tapi manusia-manusia dalam ruangan ini sudah seenaknya ambil keputusan, bahkan menentukan hari pernikahan. Menolak pun Semesta tak kuasa, karena memang sebelum ini ia menjajikannya pada Mentari. Asal dapat restu Rafdi, dia berani menikahi. Sial. Ini namanya termakan omongan sendiri. Semesta tahu Rafdi sangat mencintai Mentari dan tak akan membiarkan putrinya menikah muda. Tetapi seharusnya Semesta lebih tahu, di balik sikap polos mendekati begonya, Mentari cukup cerdik dan bisa melakukan seribu satu cara untuk mendapat apa yang ia mau.
“Nggak bisa! Eta mau secepatnya. Minggu depan juga nggak apa-apa!”
Tarikan napas keras Rafdi, senada dengan Semesta, dalam artian yang sama pula. “Apa nggak terlalu cepat?” bahkan mereka bersuara bersamaan dengan kalimat serupa.
“Ngga”
“Kalau minggu depan terlalu cepet, Sayang.” Nina akhirnya ambil bagian. “Mesta kan harus bilang dulu sama orangtuanya. Kalian juga harus daftar dulu ke KUA. Bikin undangan, ngurus catering dan apalah-apalah itu butuh proses, Ta. Paling cepet dua bulan, itu pun nggak bisa bikin acara yang terlalu besar.”
Kalau Nina sudah bersuara, Eta hanya bisa diam. Dari dulu, ia tak pernah bisa membantah perkataan sang ibu yang kelewat bijak.
“Dua bulan itu masih terlalu cepat, Ma!” bantah Rafdi tak terima. “Aula hotel Kak Mina ful tahun ini.”
“Kita bisa pakai pesta kebun!” Eta menyahut, tak ingin argumen ayahnya menang. Pokoknya Eta tidak boleh batal menikah tahun ini. “Iya kan, Yang?” Ia menoleh pada Semesta, meminta persetujuan. Yang ditanya tak mau menjawab. Laki-laki itu malah meraih cangkir teh di atas meja demi meredakan hausnya serta meredakan rasa tak nyaman di balik dada.
“Dua bulan lagi emang nggak bisa booking, sih. Tapi kemarin kan pihak hotel bilang, bulan depan ada yang batal nikah. Jadi, kalau mau bisa ngeganti.”
Uhuk!
Cairan teh hijau yang sudah masuk pertengahan kerongkongan Semesta muncrat keluar, dan sebagian tepat mengenai wajah Rafdi yang persis duduk di hadapannya. Kaget mendengar kata-kata Nina. Apa tadi katanya? Bulan depan? Oh, Tuhan ...!
“Kamu nggak apa-apa kan, Yang? Makanya kalau minum hati-hati.” Eta yang khawatir segera mengambil tisu dan mengelap sudut bibir tunangannya.
Di seberang meja, Rafdi mengusap wajah dengan tangan telanjang sembari menatap Eta dan Semesta berang. Siapa yang dimuncrati dan siapa yang mendapat perhatian! Lagi pula, Nina bukannya membantu malah menahan tawa. Sialan!
“Jadi gimana? Bulan depan mau? Tapi ya itu, kalian ngak bisa ngadain pesta besar-besaran. Cukup undang kerabat dekat aja, nggak usah prewed. Menunya juga jangan yang rumit-rumit. Kalau mau, Mama akan segera konfirmasi ke pihak hotel dan mulai mengurus semua yang dibutuhkan.” Nina kembali bicara, meminta kepastian calon mempelai di hadapannya. Abaikan dulu pendapat Rafdi, karena sampai lebaran monyet sekali pun dia tidak akan pernah rela melepas Mentari.
“Mau, Ma. Mau!” Mentari mengangguk cepat, sangat cepat sampai membuat Nina takut urat leher putrinya copot. Di sampingnya, Semesta hanya bisa diam. Dalam kepalanya berputar-putar senyum Rain serta aroma kopi yang tadi laki-laki cantik itu buatkan, sukses membikin ia mendadak pening.
“Terserah kalian saja!” Rafdi berdiri, melangkah kasar menuju lantai dua. Sebagian besar hatinya jelas tidak terima. Dulu saat melamar Nina, ia harus berjuang mati-matian bahkan nyaris mati sungguhan. Tapi Semesta, sekali bertamu langsung diterima. Anak kesayangannya pula!
“Kalau begitu Mama akan segera memberi tahu Mas Surya dan Mbak Damai, sekaligus musyawarah untuk merancang acara kalian sekaligus meminta daftar undangan dari pihak mereka,” putus Nina final.
🍃🍃🍃
Lama apdet, ya? Maaf. Banyak banget hal yang terjadi di duta akhir-akhir ini, jadi harap maklum yaaa ...
Nih, porsinya aku panjangin, jangan bilang masih pendek lho ya😒 berjuangnya dari sore nih. Kalau ada typo juga maapkeun😂😂
Oke, selamat membaca ja.
Esto bhule dhin dhika, Cah😘
Pamekasan, 18 Mei 2018
Repost, 16 Nov 2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top