17 | Telur Dadar

17
Telur Dadar
🍃🍃🍃

“Telo dadaaawww, kamu di mana telo dadaw, kamu pegi ke mana telo dadaw, aku menalimuuu .... Telo dadaw, akuna lapew telo dadaw. Aku menalimuuu ...!”

Bukan, itu bukan suara Saga anak Anji yang dapat rekor muri. Bukan! Itu suara cempreng Meda yang mendadak demam lagu Telur Dadar sejak minggu lalu, sejak Angkasa mencari video lucu di youtube dan akhirnya tersesat di channel musik dan jarinya terpeleset memencet tombol putar tanpa sengaja. Kalau suara Meda bagus, tak apa Rinai dengar. Tapi, ini? Andai dalam kartun Doraemon, pasti kaca-kaca lemari serta jendela rumah ini sudah pecah menjadi kepingan gara-gara getaran yang ditimbulkan oleh pita suara Andromeda Putri Wiratmadja yang bahkan lebih parah dari suara jelek Giant. Hampir mirip suara Suneo, dan sekilas seperti bunyi tikus terjepit pintu.

“Da, nggak usah ikutan nyanyi, dong. Biar Saga aja yang nyanyi.” Padahal Rinai sudah memasang headset dan menyetel volume suara hapenya sampai level tertinggi, tapi belum bisa mengalahkan nada sumbang Meda yang luar biasa bisa merusak gendang telinga.

“Napa? Suala Eda angus,” ucap Meda penuh percaya diri. Rinai mendengus. Sepertinya sifat sombong di keluarga ini sudah menjadi faktor keturunan. Dulu Surya, menurun pada Semesta, dan sekarang Meda. Semoga saja Angkasa tidak ketularan juga, karena Rinai masih ingin punya suami yang rendah hati, tidak sombong dan suka menabung.

“Iya, suara kamu emang angus, sampe gosong. Jadi nggak usah nyanyi, ya.”

“Suara Eda angus, jadi bole nanyi.”

“Terserah kamu aja. Terserah!” balas Rinai setengah dongkol. Ia merogoh ponselnya di saku celana, lalu mengganti daftar putar dengan yang lebih ngebit dan volume suara yang lebih keras begitu Meda kembali mengikuti gerak bibir Saga di layar kaca.

Oh, satu lagi! Selain suka bernyanyi tanpa tempo dan intonasi yang jelas, Meda juga menguasai tivi sekarang. Dan yang ditonton tetap sama. Video Telur Dadar, Pemirsah! Kemarin-kemarin Rinai masih oke ikut menonton Spongebob, karena dia kebetulan juga suka pada spon kuning itu. Sekarang yang selalu tampak di layar kaca hanya Saga. Rinai bahkan sampai hapal lagu Telur Dadar berikut tariannya. Salahkan saja Pak Surya yang terlalu over protektif pada Meda dengan melarang anak itu bermain atau menonton video di ponsel. Alasannya, takut kecanduan. Anak-anak Bill Gates, pendiri microsoft saja dilarang memiliki ponsel sampai usia 14 tahun, apalagi Meda yang hanya anak Surya katanya. Rinai setuju saja, tapi saat-saat seperti ini ia dongkol juga. Kalau tivi ikut dikuasai Meda, lalu apa hiburannya di rumah ini selain wajah tampan Angkasa? Yang sialnya lagi, Angkasa hanya ada di waktu-waktu tertentu, sebab dia harus bekerja seharian. Tidak seperti Semesta yang selalu wara-wiri di rumah ini.

Omong-omong tentang Semesta, laki-laki itu mendadak aneh sejak insiden jatuhnya Rinai dari kursi taman. Dia tiba-tiba suka menghindar dan berusaha meminimalisir interaksinya dengan Rinai. Rinai tidak terlalu ambil pusing sebenarnya, tapi tetap saja dia merasa ada yang aneh. Karena tak biasanya Semesta bersikap demikian.

Malas memikirkan Semesta dan mencemari isi kepalanya lebih jauh, Rinai memilih mencari aplikasi office untuk menulis, masih dengan telinga yang tersumpal headset. Melanjutkan artikel tentang tempat-tempat wisata instagrameble di Yogyakarta yang baru dapat seratus kata, demi menambah koleksi artikel unfaedah-nya di blog. Sejak bekerja menjadi baby sitter, Rinai tidak lagi berburu job di projek.ko atau pun sribulanyer, sebab waktu menulisnya semakin sedikit. Dia ingin fokus pada blog pribadinya saja. Toh kantong Rinai sudah aman setiap bulan, meski untuk itu ia harus mempertebal kesabaran.

Namun belum juga Rinai sempat mengetik satu kata, si bocah setan kembali mengganggu. Sepertinya dia memang tidak bisa melihat Rinai tenang barang sejenak.

“Kalin, Kalin ....”

Ugh, menggeram dalam hati, Rinai menyahut tanpa menoleh. “Kenapa, Da?”

“Lapew!”

“Ya udah, sana ke dapur. Minta sama Bi Rum.” Mata Rinai masih fokus pada ponsel. Membaca kumpulan artikel yang disimpannya di browser sebagai bahan tulisan.

“Males. Ambilin.”

“Kalau males, nggak usah makan,” ujar Rinai sambil lalu. Ia menekan tombol recent, kembali ke halaman office, hendak melanjutkan bagian tentang Gumuk Pasir Ambarukmo sebagai salah satu tempat wisata yang direkomendasikannya pada para pembaca. Lupakan fakta bahwa ia belum pernah ke Jogja, tapi sudah sok-sokan menulis tempat-tempat wisata di sana.

“Eda mau makan, tapi males minta Bi Lum.”

“Ya udah, diem.”

“Ga bisa. Cacing di pelut Eda bunyi. Mau makan telu dadaw. Lapew ngga bisa nanyi.”

“Ya makanya, minta sama Bi Rum, Da. Kak Rin ada kerjaan.”

Meda mencebik. Menatap Rinai dengan kening berkerut-kerut kesal. Ia menendang-nendang paha Rinai yang ditekuk di lantai dengan posisi duduk bersila. Tak mempan, Meda merubah serangannya. Ia berguling-guling di lantai sambil merengek, tapi Rinai yang sudah terlanjur fokus, malas menanggapi. Meda itu sudah makan siang tadi, satu jam yang lalu. Dan sekarang dia lapar lagi. Rinai tidak tahu seberapa besar tempat penampungannya dalam perut kecil itu.

Tak juga mendapat perhatian dari sang pengasuh, Meda bangkit berdiri. Ia berkacak pinggang di depan Rinai, membelakangi Saga yang tengah membuka tudung saji untuk mencari telur dadar di layar. “Dengan kekuatan bulan, Eda hukum Kalin!” pekiknya yang tetap tak Rinai indahkan. Detik kemudian, si bocah sableng berteriak lantang, “Bundaaaa”

Sial! Buru-buru Rinai melepas ponselnya demi membekap mulut Meda yang siap melayangkan aduan pada Kanjeng Ratu Damai, membuat semua isi dalam kepalanya berhamburan entah ke mana gara-gara teriakan Meda. Rinai tak bisa berbuat apa-apa kalau si bocah setan sudah memanggil nama kanjeng ratu sebagai ancaman. Kalau begini, kapan artikelnya bisa kelar?

“Iya!”  desisnya, yang Meda balas dengan menggingit tangan Rinai keras-keras. Cepat-cepat Rinai melepas mulut Meda sambil mengibas-ngibas tangannya ke udara.

“Sakit, Da!”

“Lasain!” Meda memeletkan lidah penuh ejekan. Sungguh, andai Meda bukan anak majikan, sudah pasti akan Rinai jewer telinganya. “Cwepet, Kalin, Eda lapew!”

“Dasar! Bocah titisan Firaun!” Rinai meraih ponselnya yang tadi terlempar begitu saja dan jatuh tergeletak ke lantai. Ditekannya tombol home dengan kasar, kemudian benda persegi itu ia angkat setinggi kepala, membuat gerakan seolah ingin menggetok kepala berambut kriting Meda yang pasti banyak kutunya. Tapi bukannya takut, Meda justru memelototkan mata lebar-lebar. Sialan!

Kesal, Rinai memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana dengan headset yang sudah terlepas sepenuhnya dari telinga sebelum bangkit berdiri. Melangkah menuju dapur dengan kaki yang dihentak-hentak kesal.

Langkah perempuan berambut cepak itu memelan begitu mendapati sosok Semesta di meja makan. Tatapannya terpusat pada layar laptop yang terbuka di atas meja, dan jari-jarinya menari lincah di papan ketik. Rinai tidak peduli pada apa yang tengah Semesta kerjakan. Paling juga sedang memerhatikan harga saham seperti biasa. Kata Angkasa, meski pengangguran, tapi dompet Semesta tebal. Bukan karena dia anak Surya, tapi karena memang dia lihai bermain saham serta pendapatan bagi hasil setiap bulan dari depositonya di bank.

Saat lewat di belakang Semesta, Rinai sempat mengintip sebentar. Dan penampakan di layar membuat kepalanya mendadak pening. Yang ada di sana hanya kolom-kolom dengan angka yang terus bergerak. Jangankan paham maksudnya, membaca saja Rinai tidak bisa. Jadi meski Meda menyebalkan, Rinai tetap lebih memilih menjadi pengasuh bocah itu daripada harus memerhatikan kolom baris seperti yang Semesta sering lakukan. Dan berjuang mendapat persetujuan Google Ads tentu saja.

Tiba di dapur Rinai dibuat celangak-celinguk mencari sosok Bi Rum, tapi tak ditemukan di mana pun. Rinai berdecak makin kesal. Mau tidak mau dia harus menyiapkan sendiri makanan untuk Meda. Rinai mengambil sebutir telur dari lemari es. Berniat membuatkan telur dadar untuk bungsu Wiratmadja. Meski terlahir di tengah-tengah keluarga kaya Raya, makanan favorit Meda seharga rakyat jelata. Dia paling suka telor dadar, tahu dan tempe goreng. Sudah.

Selagi menggoreng telur dadar, Rinai menyiapkan piring dan mengambil satu centong nasi dari rice cooker. Kemudian kembali mengecek wajan dan membalik telur dadar yang sudah setengah matang. Setelah semua siap, ia berniat membuatkan susu untuk Meda. Botol sudah diambil dari rak, begitu pun dengan air hangat yang tersedia di termos. Tapi, susunya di mana? Rinai mencari-cari di lemari dapur. Tidak ada. Ia membuka semua pintu kabinet atas sampai akhirnya mendapati kemasan dus tipis itu di sana.

Sial! Posisinya tinggi sekali! Rinai tidak tahu siapa yang terakhir kali membuatkan Meda susu sampai harus meletakkan bungkusnya di kabinet atas dan agak ke belakang pula. Ia sudah berjinjit-jinjit, tapi tangannya belum sampai juga. Rinaj berdecak. Dia sudah hampir menyerah dan akan membuatkan Meda jus jeruk saja. Namun rasa hangat di belakang punggungnya menghentikan semua niatan itu, disusul aroma citrus yang samar-samar tercium. Rinai spontan berbalik. Napasnya otomatis terhenti begitu mendapati tubuh Semesta yang begitu dekat. Sangat dekat. Hanya berjarak beberapa senti. Barangkali lima? Yang pasti tidak sampai sepuluh. Laki-laki itu mengangkat tangan ke atas, meraih bungkus susu formula Meda dengan mudahnya, kemudian menyerahkan pada Rinai.

“Kalau tidak bisa ambil sendiri, jangan malu untuk minta tolong pada orang lain,” ujarnya.

Rinai berkedip beberapa kali sebelum mengangguk, lalu menerima bungkus susu dari tangan Semesta. Bukan apa-apa, tapi posisi mereka yang begitu dekat membuatnya sesak napas. Rinai tidak pernah sedekat ini dengan laki-laki, Rendi atau Angkasa sekali pun. Saling berhadapan pula. Owh, lebih-lebih, wangi tubuh Semesta enak sekali.

“Oh iya, tolong buatkan saya kopi,” tambahnya sebelum berbalik badan dan melangkah menjauh. Kembali duduk di meja makan dan melanjutkan aktivitasnya menjual salah satu saham yang dinilai tak lagi potensial. Lalu membeli saham perusahaan lain yang cukup bagus dan sedang turun harga, berusaha mengabaikan lonjakan jantungnya yang keras. Saking kerasnya sampai bisa menyaingi suara cempreng Meda yang kembali bernyanyi sambil bteriak-teriak di ruang tengah. Sedang Rinai masih mematung di sana. Menatap pintu pemisah dapur dan ruang makan, tempat bayang-bayang Semesta menghilang.

Kenapa tadi Semesta tampak gentle, ya? Dan ... ugh, sedikit membuat Rinai berdebar.

“Telo dadaw ... kamu di mana telo dadaw ... kamu ngga dimakan Kalin kaaannnn .... Aku menalimuuu .....”

🍃🍃🍃

Setelah ketik hapus ketik hapus berkali-kali sampai mau stres rasanya, akhirnya saya biaa menyelesaikan bab ini sampai 1500 kata *elap keringat.

Aseli, ya. Semasa ini menyiksa sekali😭 mungkin dia nggak terima disiksa mulu, makanya bales nyiksa saya.

Oh iya,  bab ke belakang udah mulai santai ya. Nanti bakal naik naik lagi pas mau ke konflik utama. Moga ide lancar. amin. Moga ilham nggak ilang2an. amiinnnn....

Bdw, di mulmed ada lagunya Dedek Saga, Telur Dadar. Sebenernya bukan Meda yang demam lagu itu, tapi saya😆😆😆

Esto bhule dhin dhika, Cah😘

Pamekasan, 10 Mei 2018

Repost, 20 Okt 2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top