15 | Manusia Pembawa Sial

15
Manusia Pembawa Sial
🍃🍃🍃



“Maaf. Saya benar-benar tidak sengaja tadi.”

“Nggak sengaja bikin kepala gue benjol dan nggak punya muka di depan orang-orang maksud lo?”

Jam kerja Rinai sudah habis sejak tiga puluh menit lalu. Jadi sekarang dia bebas mau berbicara apa saja pada tuan muda sombong ini. Mau mengumpat juga boleh. Tapi, Rinai yang sudah kadung dongkol merasa lebih baik diam, sehingga sepanjang jalan perempuan berambut cepak itu hanya bungkam. Jangankan berbicara, menoleh ke arah kursi kemudi saja dia tidak sudi.

Ya, kali ini Rinai kembali diantar pulang Semesta. Tidak, si Blackymotor bututnyabaik-baik saja, hanya jidat Rinai  yang bermasalah. Damai yang terlalu khawatir melihat ia pulang dari taman dengan kening benjol besar nyaris menyerupai bakpao, tak mengizinkannya pulang sendiri, apalagi mengendarai motor. Takut Rinai merasa pusing saat tengah menyetir dan pingsan di tengah jalan katanya. Iya, Damai memanglah selebay itu. Padahal bila disuruh memilih, Rinai tujuh kali lipat lebih baik pingsan di tengah jalan ketimbang pulang diantar si Semesta Arya Sombong Wiratmadja. Kalau bisa diantar Angkasa sebenarnya, tapi laki-laki itu menghilang entah ke mana sejak insiden ciuman Mentari dan Semesta beberapa saat lalu.

“Tadi saya refleks, Rain.”

“Refleks yang bagus sampe bikin kepala gue kayak si Papa yang suka drama!”

“Papa siapa yang suka drama?”

“Lupakan!” Rinai malas menjelaskan. Lebih-lebih bila lawan bicaranya adalah cowok sombong, sok pintar, sok ganteng dan tahunya istilah kedokteran! Mau dijelaskan sampai mulut berbusa pun Mesta tak akan paham.

Di sampingnya Semesta mendesah keras, setengah mendengus. Dia sudah berusaha meminta maaf, tapi Rinai tolak mentah-mentah, membuat rasa bersalah dan jengkelnya makin besar saja. Apalagi bila tak sengaja melirik benjolan besar di keningnya, membikin tangan Mesta gatal ingin mengelus dan mengecup. Seperti yang biasa ia lakukan pada Meda bila kejedot, siapa tahu benjolan itu bisa langsung kempes. Tapi sebelum bibirnya menempel di kening Rain, dia yakin sudah terkena jotos lebih dulu.

Namun di samping itu, Mesta juga kesal setengah mati. Seumur-umur dia belum pernah begini, mengemis maaf pada seseorang! Oh, jangankan meminta maaf sampai sebegininya, diperlakukan ketus saja tak ada yang berani. Hanya Rinai, serta dua cecunguk lainnya. Si Angkasa serta sahabat mereka yang satu lagiMesta lupa siapa namanya dan tidak ingin ingat juga.

“Saya sudah menawari kamu untuk periksa ke rumah sakit, tapi kamu tidak mau. Kamu bahkan menolak saya obati.” Semesta berujar lagi begitu mendengar seseorang di sampingnya meringis samar-samar.

“Lo pikir malu gue bisa dikasih obat?!” Balas Rinai sinis. Lebih dari jidatnya yang bejol, dia sakit hati. Rinai tidak pernah ditertawakan di depan umum. Dengan keadaan yang sangat memalukan. Di area  taman komplek perumahan elit yang cukup ramai pula. Ini pertama kali dan semoga tidak terulang lagi.

“Seenggaknya dengan obat, sakit di kepala kamu bisa berkurang.”

“Makasih deh, gue nggak butuh!”

“Apa yang harus saya lakukan biar kamu memaafkan saya?”

“Ke laut aja sono!”

“Kalau saya tenggelam bagaimana?”

“Sukur!”

Merasa percuma mengajak Rain berdamai, Mesta ikut diam. Tatapannya diarahkan pada jalanan menuju gang tempat tinggal Rinai yang sore ini padat merayap, membuat waktu tempuh menjadi lebih lama dari seharusnya. Sementara Rinai lebih suka menikmati jingga yang mulai terlukis di langit barat. Mulutnya cemberut akibat sisi kiri kepalanya nyut-nyutan, padahal tadi sudah dikompres oleh Bi Rum. Awalnya Semesta yang menawarkan diri untuk mengompres, tapi Rinai tolak. Alih-alih sembuh, ia takut benjolnya makin besar nanti.

Sampai di gang tempat tinggalnya, sedan hitam itu berhenti. Tanpa mengucapkan terima kasih, Rinai langsung membuka pintu mobil dan keluar begitu saja. Meninggalkan Semesta yang termangu di belakang kemudi. Laki-laki itu hendak ikut turun untuk mengantar Rinai sampai ke rumah, tapi gerakannya yang hendak membuka sabuk pengaman terhenti begitu dari kejauhan dia melihat seorang perempuan berhijab memanggil nama Rain. Dan Semesta tak bisa merasa lebih patah hati dari ini saat mendapati Rain yang melangkah setengah berlari menuju wanita tadi. Wanita berparas cantik dengan perut buncit.

Mereka tampak berbicara entah apa. Yang pasti, si wanita berhijab itu menyentuh kening Rain dengan ekspresi khawatir dan tatapan ... sayang? Sedang Rain mengelus perut buncitnya yang kira-kira berusia tujuh bulan.

Apa itu istrinya? Batin Semesta pilu. Mereka tampak serasi. Berbeda bila Rain disandingkan dengan dirinya. Tidak ada serasi-serasinya sama sekali. Tentu saja. Memang Semesta siapa? Jelas bukan siapa-siapa, dan tidak memiliki hubungan apa pun dengan mereka! Dia juga tidak berniat menjadi pelakor seperti kata Kenzo. Tapi melihat Rain dan wanita itu, kenapa rasanya sakit sekali?

Tak kuasa, Semesta cepat-cepat memutar kemudi. Tidak tahan melihat adegan mesra keduanya. Semesta butuh udara untuk bernapas, sekaligus mengurangi sesak asing yang sama sekali tak menyenangkan ini.

🍃🍃🍃

“Rin!” Suara Lulu, istri Rendi, terdengar dari kejauhan. Berhasil menghentikan langkah menghentak Rinai. Keningnya yang tadi berkerut kesal, berganti kebingungan.

Sedang Apa Lulu di sini? Tak tega melihat wanita hamil yang sudah mulai kesusahan berjalan itu berusaha mendekatinya, Rinai berisiniatif menghampiri.

“Heh, ngapain lu di sini? Rendi mana?”

“Dia nemenin si sulung di rumah. Lagi merajuk anaknya. Kebetulan aku mau ngambil jahitan di rumah kamu. Bareng aja, yuk!” Lulu sudah hendak berbalik untuk melanjutkan langkahnya saat tanpa sengaja melirik kening Rinai yang benjol, sedikit tersamarkan oleh poni depannya yang mulai memanjang dan disampirkan ke telinga kanan. “Lho, kamu abis nabrak tiang listrik, Rin?” tanyanya khawatir sembari menyentuh kening Rinai dan mengelus-elus pelan. Rinai meringis ngilu.

“Tadi kejedot kursi.”

“Kok bisa? Emang kamu duduknya pake kepala?”

Rinai sedang bad mood, dan mendapat pertanyaan Lulu yang lugu, polos mendekati bodoh ini bukan kombinasi yang pas. Dari pada tambah emosi, Rinai mengalihkan topik pembicaraan saja. Disentuhnya perut Lulu yang sudah melendung seperti balon dengan pelan. Sangat pelan, takut perut Lulu meledak bila ditekan terlalu kasar.

“Kabar calon ponakan gue gimana?”

Berhasil. Lulu sudah lupa pada benjolan bakpao di kening Rinai. Sekarang malah ikut mengelus perutnya sembari menjawab, “Alhamdulillah, baik. Tapi makin ke sini dia makin aktif nendang, kadang sampai bikin perut sakit.”

“Tapi lo nggak apa-apa, kan?”

“Nggaklah. Ngidamnya juga udah jarang.”

“Lah, kenapa malah jarang ngidam? Diseringin dong, biar si Rendi ada kerjaan. Enak banget dia, seneng pas bikin doang, giliran jadi aja malah istri yang dikasih beban!”

“Hus, anak itu anugerah, bukan beban!”

Iyalah, Rinai mengalah bicara dengan Ibu Ustazah. Apa-apa yang dia omongin mental kalau berhadapan dengan Lulu. Rendi beruntung sekali punya istri calon penghuni surga macam si Lulu, yah ... walau pun kadang tingkahnya terlalu polos mendekati bego, sih.

“Hayuk, deh, Rin. Udah mau magrib ini.”

Rinai menurut. Berjalan pelan mengikuti ritme langkah Lulu. Tak hamil pun jalannya seperti putri keraton, apa lagi hamil. Rinai mengeluh dalam hati. Bisa-bisa mereka sampai rumah Rinai saat azan isya.

“Ngomong-ngomong, itu yang anterin kamu Angkasa?”

“Bukan. Abangnya.”

“Oh!” Lulu manggut-manggut sok paham, padahal Rinai yakin sama sekali kalau perempuan berhijab ini tidak tahu menahu tentang abangnya si Aang. Dan Rinai juga malas menjelaskan. Menyebut namanya saja dia ogah. “Ganteng, ya.”

Jedug!

Rinai tersandung kerikil di depannya, sukses membuat kulit lututnya tergores dan celana jinsnya robek. Meringis ia mendongak, menatap Lulu yang tampak kaget dengan pandangan kesal.

“Rin, nggak apa-apa? Makanya kalau jalan hati-hati.” Istri Rendi yang kadang menyebalkan itu berusaha membungkuk untuk membantu Rinai berdiri, tapi Rinai menolak uluran tangannya. Sadar diri kalo ia memiliki bobot tubuh yang lumayan. Enam puluh kilo. Kalo ia menerima ukuran tangan Lulu, bukannya berdiri, yang ada mereka akan jatuh berdua. Sekadar informasi, Lulu ini merupakan tipe wanita lemah lembut. Jangankan angkat beban, lari pun dia tidak bisa.

“Udah. Gue bisa sendiri,” ujar Rinai berusaha menahan ngilu. Ia menunduk, berniat membersihkan bagian depan jinsnya yang barangkali kotor. Tetapi niat perempuan itu tak kesampaian lantaran melihat bagian yang tergores itu ternyata sudah bolong. “Sialan! Jins kesayangan gue!”

Rasanya Rinai mau menangis saja. Jins yang ia pakai sekarang adalah jins laki-laki favoritnya, hadiah ulang tahun dari Angkasa tiga tahun lalu. Dan harganya lebih sejuta! Lalu sekarang ... sobek?

“Kenapa, Rin?” Lulu tambah panik. Ia sampai menengok bagian lutut Rinai, takut-takut cederanya parah. Tapi yang didapatinya cuma luka kecil, hanya kain pembungkus kakinya saja yang tak terselamatkan. “Lukanya nggak parah, kok.”

“Bukan lukanya, Lu! Celananya! Ini gara-gara lo tahu, nggak?!” Rinai tidak bisa menahan diri untuk tak mengomel. Bahkan dia tidak sadar sudah membentak, membuat si ibu hamil mengkerut takut. “Sekali lagi lu ngomongin tuh cowok, gue bisa sial lagi!”

“Maaf, aku nggak tahu kalau dia pembawa sial.”

“Yaudah, sekarang udah tahu, kan?”

Lulu mengangguk cepat tanpa berani menatap wajah garang Rinai. Pandangannya fokus ke bawah, pada kerikil kecil yang tidak sengaja Rinai injak dan membuatnya tergelincir.

Rinai sudah hendak melangkah saat Lulu kembali bersuara, “Tapi, Rin, bukannya nggak ada manusia pembawa sial, ya?”

“Demi Tuhan, Lulu!”

Dan Lulu tak lagi berani bersuara. Rinai jarang kesal padanya, dan sekali dia buat kesal, Lulu bisa dicueki sampai seminggu.

🍃🍃🍃

Esto bhule dhin dhika, Cah😘

Pamekasan, 30 April 2018

Repost, 04 Sep 2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top