14 | Sudah Jatuh, Tertimpa Kursi Pula
14
Sudah Jatuh, Tertimpa Kursi Pula
🍃🍃🍃
Sialan!
Sejak bertemu kembali dengan Rain, Semesta tidak tahu sudah berapa kali mengumpat. Padahal sebelumnya dia sama sekali tidak suka berkata kasar. Ini semua emang gara-gara Rain.
Bagaimana tidak, sebelumnya Semesta sudah bertekad ingin melupakan pemilik nama hujan itu. Tapi, hampir seribu satu cara yang dilakukannya selalu berakhir dengan nol besar! Dan sekarang ia mendapati dirinya susah berkedip hanya karena menatap laki-laki cantik yang duduk manyun di sisi kursi panjang dengan jarak sepuluh jengkal darinya. Semesta merasa ia hampir gila—oh, tidak. Dia emang sudah benar-benar gila—karena merasa kesenangan saat Mentari tadi menolak ikut ke taman gara-gara sudah terlalu capek jalan kaki. Ia jadi berpikir, bagaimana bisa seseorang mendua, sedang ia saja berusaha belajar mencintai seseorang dan melupakan yang lain saja begitu sulitnya?
"Bang Ta!" Meda yang sebelumnya tengah bermain kejar-kejaran dengan anak tetangga, tiba-tiba berbalik dan berlari menghampirinya. Mau tak mau Semesta mengerjap, berhenti curi-curi pandang pada si laki-laki cantik yang duduk bersedekap dan mendelik pada Meda saat bocah itu mendekat.
"Kenapa, Da?" tanyanya.
"Es glim!" Meda menunjuk ke arah jam sembilan. Tepat pada seorang laki-laki muda yang berjualan es krim di pinggir trotoar.
"Kamu mau?"
Meda mengangguk antusias. Kelewat antusias sampai Rinai yang melirik setengah enggan khawatir kepalanya bisa lepas lantaran mengangguk-angguk terlalu keras. Tapi, sebodo amatlah. Toh kalau kepala Meda lepas dan jatuh bergelindingan, Rinai tinggal mengambilnya dan menyambung dengan lem cina. Lagi pula, Rinai yakin kalau si bocah iblis itu punya nyawa sembilan, jadi aman.
"Mau rasa apa, Da?" Semesta bertanya sambil merogoh kantung belakang celana. Mengambil dompet berbahan kulit berwarna cokelat loreng-loreng yang tampak tebal. Penasaran dengan isinya, Rinai menelengkan kepala mendekat demi mengintip lembar-lembar rupiah di dalam sana. Dan perempuan setengah jadi itu hanya bisa menelan ludah begitu mendapati kumpulan Pak Soekarno Hatta sedang asik silaturahim di dompet Semesta. Tidak seperti dompetnya yang hanya dihuni Tjut Meutia.
"Vanila, Bang!"
Begitu Semesta menongak setelah mencabut salah satu lembar merah dari dompetnya, buru-buru Rinai menegakkan kembali posisi duduknya seperti semula sambil bersiul-siul santai dan toleh kanan toleh kiri agar tidak ketahuan mengintip.
"Heh," Rinai tahu Semesta memanggilnya, tapi dia pura-pura tuli saja dulu. "Rain!" Kalau sudah seperti ini, mau tak mau Rinai memutar kepala menghadap sang tuan muda dengan satu alis terangkat.
"Ya?"
"Tolong belikan es krim rasa vanila, dua," ujar laki-laki itu seraya menyerahkan uang tadi pada Rinai. Yang diajak bicara menerima uang tersebut dengan perasaan dongkol.
"Jadi cuma dua?" tanyanya memastikan. Kali saja Semesta lupa kalau mereka datang ke taman ini bertiga. Bertiga. Bukan berdua. Karena dia tidak mau dianggap setan.
"Ya, dua."
"Nggak mau dilebihin aja satu gitu? Takutnya Neng Meda kurang."
"Nggak, Rain. Dua!"
Rinai mendengus kasar begitu dirinya berbalik badan. Dalam hati merutuk sebal. Semesta itu tidak peka sekali. Atau dia memang pura-pura tak peka karena tidak mau bersedekah pada Rinai? Dasar orang kaya sombong! Sama sekali jauh berbeda dengan Angkasa yang baik hati dan suka menabung—walau kadang sedikit matrealistis, sih.
Dengan kaki menghentak, Rinai berjalan menuju Kang Es Krim. Setelah selesai memesan, dia kembali dengan ekspresi wajah yang tetap keruh. Dalam kepalanya terbayang ia tengah mencabik-cabik tubuh sang tuang muda dengan gigi taringnya yang mendadak panjang.
"Ini!" Wanita itu menyerahkan plastik putih pada Semesta beserta kembalian atas uangnya.
"Satunya kasih ke Meda. Satunya buat kamu." Semesta hanya mengambil sisa uang kembalian tanpa menerima plastik yang Rinai ulurkan.
"Eh?" Tapi yang diajak bicara itu malah melongo. Tak paham. "Maksudnya?"
"Satu buat kamu. Satu buat Meda. Kalau begitu saja kamu tidak paham, saya yakin dulu kamu lulus SMA dengan nilai katrolan."
Anjir! Rinai mengumpat dalam hati. Dia bukan tidak paham dengan interuksi Semesta, tapi dia hanya takut salah kira. Karena sebelumnya, Rinai menyangka dua eskrim ini untuk Meda dan tuan muda sombong di hadapannya ini.
"Jadi ini satunya beneran buat aye?" tanyanya sekali lagi.
"Kalau kamu tidak mau, sini biar saya kasih orang."
"Jangan, dong!" Rinai buru-buru menyembunyikan plastiknya di balik punggung. Benar-benar takut Semesta akan mengambilnya dan menyedekahkan pada orang lain. Rinai kan, juga doyan. "Tapi, ini gratis, kan?"
"Tentu saja tidak. Saya akan memotong gaji kamu sesuai harga es krim itu nanti."
"Kalau gitu, aye nggak mau, deh! Nih, kasih sama orang aja!" Rinai kembali menyodorkan plastik putih dalam genggamannya pada Semesta. Wajahnya bukan lagi cemberut, tapi sudah ditekuk sepuluh. Membikin muka kucel itu makin tak sedap dipandang. Tapi mata Mesta yang mang sudah bermasalah sejak awal malah enggan berpaling muka ke arah lain.
Dan siapa sangaka, ternyata si tuan muda sombong itu malah tersenyum.
Oh, tidak. Bukan senyum, melainkan tertawa. Tawa kecil yang membuat lesung pipit di sudut bibirnya kelihatan. Manis sekali. Saking manisnya, Rinai sampai terperangah, bahkan ia lupa bagaimana cara bernapas, hingga udara yang baru saja terhirup tertahan dalam paru-parunya selama beberapa saat.
"Serius sekali sih, kamu? Saya cuma becanda, Rain."
Apa tadi katanya? Bercanda? Jadi manusia rekan patung pancoran ini bisa juga bercanda?
Menelan ludah kelat, Rinai berkedip lambat. Ia tidak pernah menemukan sosok Semesta yang ... semanis dan setampan ini. Dan ia dibuat kaget mendapati dirinya merasa ... terpesona?
W-what? Terpesona? Oh ... spontan karbon dioksida Rinai embuskan melalui mulut. Ia mengerjap sembari menggeleng-gelengkan kepala. Berusaha mengusir bisikan setan yang tadi mengatakan kalau Semesta tampan. Ehm, memang tampan sih, tapi kaku dan sombong. Rinai tetap menobatkannya sebagai orang pertama yang harus dihindari.
Berdeham, Rinai menurunkan tangan ke sisi tubuh. Disampirkannya dua lembar rambut pendek nakal ke belakang telinga dengan gerakan rikuh. "Aye, aye kasih ini dulu buat neng Meda." Lalu cepat-cepat berbalik badan. Melangkah setengah berlari menuju posisi jongkok Meda yang diam-diam memetik bunga melati di sudut taman.
Saat kembali ke bangku panjang yang sebelumnya ia tempati bersama Semesta, Rinai mengambil tempat dengan jarak paling jauh. Saking jauhnya sampai hanya separuh bokong yang menempel di kayu panjang itu. Mau mencari tempat duduk lain, tapi semua kursi sudah penuh. Dan dia ogah berdiri. Jadi, satu-satunya pilihan hanya kembali ke tempat semula.
Satu suara dari syaraf otak yang mulai eror dalam tempurung kepalanya mengejek, 'Ngapa lu ogah duduk deket-deket sama Mesta? Tadi aja cuek bebek aja?!'
Ugh. Rinai tidak tahu harus menjawab apa. Dari pada memikirkan pertanyaan retoris itu, lebih baik ia membuka bungkus es krim dan segera melahapnya demi mendinginkan otak dan hati. Nikmatnya es krim vanila bertabur kacang membuat detak jantung Rinai yang sempat berdebar aneh jadi lebih adem. Sukses membuatnya melupakan senyum Semesta dan malah asyik menjilati makanan manis dalam genggamannya. Saking asyiknya sampai tak sadar seseorang yang tadi membuatnya tepesona sedang menatap intens.
Perhatian Rinai sedikit teralihkan saat Semesta tanpa tadeng aling-aling mengulurkan sapu tangan abu-abu ke depan hidungnya. "Apa?" tanyanya dengan mulut penuh.
Semesta tak menjawab. Hanya menunjuk sudut bibirnya sendiri, sebagai isyarat bahwa ada bekas eskrim yang tertinggal di ujung bibir Rinai. Alih-alih menerima sapu tangan dari Semesta, Rinai malah menjilati bibirnya sendiri. Membuat Semesta gemas dan akhirnya membantu mengelap ujung bibir si wanita setengah jadi dengan sapu tangan lembut tanpa benar-benar berani mnyentuh kulit pengasuh adiknya itu.
Lagi. Rinai terpaku. Debar kecil yang tadi menyerang jantungnya kembali. Tapi kali ini dengan tempo yang lebih kencang. Mesta yang memang pernah memimpikan ini, memanfaatkan keadaan dengan mengelap sudut bibir Rinai dengan lambat. Sengaja berlama-lama agar bisa mempelajari setiap tekstur kulit laki-laki cantik yang entah bagaimana enggan hengkang dari hatinya selama sepuluh tahun ini. Lebih-lebih, Rain tidak menolak.
Mata keduanya sempat beradu. Rinai jadi tahu kalau Smesata memiliki bola mata sehitam malam yang tak kalah indah dengan telaga bening beda warna milik Angkasa. Semesta juga memiliki tahi lalat kecil di bagian kanan kepalanya. Tampan.
Namun suasana syahdu itu mendadak hancur saat samar-samar Semesta mendengar bisik-bisik beberapa orang di sekitar.
"Mereka homo, ya?"
Sekonyong-konyong, Mesta mendorong kepala Rinai menjauh seraya beridri. Rinai yang duduk di ujung kursi panjang itu sontak terjengkang karena beban kursi yang tak seimbang. Naasnya lagi, kepalanya tertimpa sebagian kursi kayu hijau itu hingga ia mengaduh kesakitan. Es krim yang masih tersisa separuh terdorong ke muka dan menancap pas di hidungnya.
Mesta yang melihat itu berdiri terpaku. Meringis merasa bersalah, tapi tak berani membantu karena takut makin dikira homo. Sedang orang-orang di sekitar mereka tertawa terbahak-bahak. Meda sampai berguling-guling di atas rumput saking senangnya melihat Rinai yang sudah jatuh tertimpa kursi pula. Belum lagi wajahnya yang tampak seperti badut.
Sedang Rinai yang mendapat benjolan sebesar bola pimpong dan cemong-cemong es krim di wajah, menatap Semesta penuh ancaman.
Sialan! Dia tidak jadi terpesona! Dan Mesta harusnya memanglah dihindari!
Dasar patung pancoran! Manusia es batu! Tidak punya hati! Rinai makin benciii!!!
Lantas, mau ditaruh di mana mukanya setelah ini?
🍃🍃🍃
Ayo, Cah, kasih saran
Muka Rinai mau ditaruh di mana abis ini?😂😂😂
Entah kenapa saya suka sekali bab ini😂 mungkin karena Rinai sial sekali😳😳😳
Bdw, bantu pilih kover doongg... Bagusan mana
Ini?
Apa ini?
Saya bingung😥
Esto bhule shin dhika, Cah😘
Pamekasan, 23 April 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top