13 | Gara-Gara Adegan 21 Ples
BAB 13
Gara-gara Adegan 21+ Ples
🍃🍃🍃
Semesta batal menciumnya? Demi apa?
Mentari kesal sekali! Padahal dia pikir, setelah sekian lama Semesta akan punya inisiatif menciumnya. Bayangkan betapa keringnya hubungan mereka selama ini. Tapi, Mentari yang secantik dewi pagi mempunyai stok sabar tak terbatas. Dia berhasil melewati cobaan itu demi meraih akhir bahagia dari kisah cintanya dengan Semesta Arya. Barangkali Semesta ingin menyimpan ciuman pertama mereka di malam pertama setelah halal nanti, agar lebih romantis.
Namun, tak semudah itu kesalnya hilang. Rasanya Eta mau berteriak kencang, mengadu pada dunia bahwa keinginannya untuk mendapatkan ciuman sejati belum juga kesampaian. Ia benar-benar iri pada tokoh perempuan dalam novel roman atau film percintaan yang selalu mendapat ciuman lembut kekasihnya, karena dia belum juga dapat. Mentari jadi tak sabar ingin segera menikah agar bisa menyerang Semesta duluan. Kalau sudah jadi suami, Semesta tidak akan pernah menolaknya, kan?
Aih, mengingat kejadian sore tadi, sukses membuat Eta kembali merana.
Menghentakkan kaki pelan agar bunyi ujung heelsnya tak terdengar sang tunangan, Eta berusaha menampilkan wajah penuh senyum. Seolah semua baik-baik saja. Seakan kelakuan Semesta tadi sama sekali tak melukainya. Dia melangkah cepat demi menyamai gerak kaki Semesta yang bergerak gesit. Eta yakin, suatu hari perjuangannya akan berbuah manis.
“Yang, yakin nikahnya nggak mau dicepetin aja?” Eta makin mempercepat langkah hingga posisinya sejajar dengan laki-laki itu. Ia menarik lengan baju Semesta. Tubuhnya memberat, langkahnya melambat, semata agar tidak lekas sampai ke rumah. Eta tak pernah berani memulai skinship lebih dulu, karena Semesta tak suka. Padahal mereka sudah tunangan, masa kalah dengan remaja esempe yang bahkan sudah berani mama-papaan di depan umum? Tapi, Semesta memang berbeda. Barangkali itu yang membikin Eta jatuh cinta.
“Aku masih belum mau mati di tangan papa kamu.”
Lagi-lagi karena ayahnya. Mentari mendesah pendek. Dia bertekad akan merajuk habis-habisan pada Rafdi setelah ini. Pokoknya dia harus sudah menikah sebelum beranjak kepala tiga.
“Kalau Papa udah kasih izin, janji ya ... nikahan kita wajib dipercepat!”
“Hmm.” Semesta hanya bergumam pendek. Tak yakin Rafdi akan memberi izin putri kesayangannya untuk menikah cepat. Rafdi itu super protektif. Beliau bahkan setengah tak merestui pertunangannya dengan Mentari. Bukan karena tidak menyukai Mesta, ia hanya tidak suka siapa pun mendekati putrinya. Rafdi memberi batasan usia 30 tahun untuk menikah pada Eta pun karena gadis itu yang memohon-mohon sampai mogok makan seharian. Lantas, sekarang Eta mau memakai cara apa lagi untuk meluluhkan ayahnya itu? Mesta tak yakin. Dan ia berharap Rafdi tidak mengubah keputusannya. Karena demi apa pun, Semesta belum siap. Dia tidak berani membayangkan apa jadinya bila benar-benar harus menikahi Mentari sebelum cinta tumbun untuk gadis itu. Karena hubungannya dengan Mentari begitu hambar.
Menatap langit barat yang mulai jingga, bulu roman Semesta meremang. Ingatannya mengelana pada sentuhan tangan tak sengajanya dengan Rain bertahun-tahun silam. Rasanya aneh, menggelikan, menyenangkan, dan membuat candu. Berbeda sekali dengan sentuhan tangannya dengan Mentari selama ini. Semua terasa dingin.
“Lihat aja. Kurang satu bulan dari sekarang, kamu udah harus siap-siap nikahin aku!” janji Eta yang hanya Mesta angguki sambil lalu. “Nanti pas ijab aku mau pake kebaya, terus resepsinya pake gaun ala Cinderella. Eh, nggak, kayaknya gaun Aurora lebih cantik, deh! Atau Belle aja, ya? Waktu dia dansa sama The Beast, cakep, tuh. Nanti kamu pakenya tuxedo putih biar lebih ganteng. By the way, Yang, kita mau ngadain resepsi berapa kali? Minimal dua kali aja ya, satunya di Bali. Biar kayak nikahannya Raffi Ahmad sama Nagita Slavina. Nikah di pantai sambil menikmati sunset. Terus yang dateng cuma sahabat dan kerabat deket aja. Huaaaa ... romantis banget nggak sih, Yang?”
Semesta menahan diri untuk tidak memutar bola mata jengah. Merayu Rafdi saja belum tentu berhasil, tapi tunangannya ini sudah sibuk berkhayal pada pesta pernikahan. Dan Semesta tidak punya pilihan lain kecuali berdehem mengiyakan. Biar Eta senang. Karena bila Eta senang, telinga dan kepala Semesta pun tenteram.
“Ih, Yang!” Eta melepaskan tarikan tangannya dari lengan baju Semesta. Ia berhenti melangkah dengan bibir mengerucut serta sepuluh lipatan di wajahnya. Kakinya menghentak kesal. Melihat tingkah Mentari yang seperti ini, Semesta tahu ada yang salah. Dia sudah bersiap-beraiap dari rumah dengan membawa balsam dalam kantung jaketnya untuk berjaga-jaga bila pelipisnya mendadak pening. “Kamu kok, nggak ada antusias-antusiasnya gitu sih, sama rencana pernikahan kita?”
Benar, bukan? Dia keliru lagi.
Semesta memicing seraya menarik napas panjang. Ia lupa sesuatu. Mentari itu bila dikasih hati mintanya jantung! Dituruti sedikit, maunya segunung. Dia tipe-tipe perempuan manja menggemaskan yang lebih sering bikin kelimpungan. Semesta harus selalu menambah ekstra sabar menghadapinya.
“Terus kamu maunya aku gimana, Ta?” Ia terpaksa ikut menghentikan gerak kakinya. Menatap Mentari Setengah enggan. Bagaimana bisa dia belajar mencintai Eta, jika semua yang ada dalam diri wanita ini sama sekali berbanding terbalik dengan yang Semesta inginkan? Tapi mencari perempuan lain pun Mesta tak lagi punya kesempatan.
“Tanggepin omongan aku, kek. Kasih saran gaun yang cocok buat aku nanti, kek. Gaun Aurora, Cinderella, atau Belle? Jangan diem aja gitu.”
“Aku bahkan nggak kenal mereka. Gimana caranya aku kasih kamu saran?”
“Demi apa, kamu nggak kenal mereka? Masa kamu nggak pernah nonton Disney, sih? Kamu punya adik cewek padahal, tapi nggak kenal Cinderella, Jasmine, Ariel?”
Semesta mendesah. “Satu-satunya princess yang Meda kenal cuma Princess Mindy,” jawabnya menahan sabar, “itu pun karena dia suka nonton spongebob dan cinta mati sama Squidward.”
Ugh, ingatkan Eta kalau Semesta dan adiknya sama-sama aneh! Tapi, dia masih tak ingin menyerah mendebat. Mentari mau Semesta mengalah untuk kali ini saja. Apa pun gaun pengantin Disney yang dia rekomendasikan, akan Mentari pilih. Dia berjanji dalam hati.
“Tapi kamu pernah nonton Disney, kan?”
“Ya.”
“Terus, gaun pengantin yang kamu inget di film Disney apa? Yang paling berkesan buat kamu? Yang kira-kira cocok buat aku.”
Sejenak, Semesta tak langsung menjawab. Dia menatap Eta lebih intens. Menilik dari ujung kaki sampai kepala. Tapi tetap tidak menemukan ide. Satu-satunya gaun pengantin yang ia ingat di salah satu film Disney dan paling berkesan hanyalah ... “Gaun Ellie.”
“Belle?” Eta berusaha memastikan. “Gaun dia emang bagus. Kuningnya nggak norak. Kalau kamu suka, aku bakal minta desainer langganan Mama buat rancang gaun yang kayak gitu.”
“Ellie. Istrinya Carl di film Up.”
“Hah?” Otak Mentari yang masih pentium dua dipaksa berpikir keras. Matanya berputar-putar, berusaha mengingat judul film yang Semesta sebutkan. Hingga ingatannya melayang pada adegan pernikahan sederhana di sebuah gereja. Carl dan Ellie. Up. Terakhir kali dia menonton ulang film itu adalah satu tahun lalu, itu pun demi menemani Nina yang cinta mati dengan kesetiaan si Kakek Carl. Mentari sendiri kurang suka dengan genre petualangan seperti itu. Dan demi Tuhan ... gaun pengantin Ellie itu ... terlalu sederhana. Tidak ada renda, payet, taburan swatovsky atau apa pun! Dan Mesta merekomendasikan itu? Sungguh?
Maafkan Mentari kalau kali ini ia harus ingkar janji.
“Kalau aku pilih gaun lain, nggak apa-apa, kan?”
“Terserah.”
Tanpa sadar, Mentari mengembuskan napas lega. Mulai sekarang dia tidak akan meminta pendapat Semesta perihal busana pengantin mereka nanti. Selera Semesta benar-benar tidak tertolong!
Memasukkan kedua tangan ke dalam kantung celana, Semesta kembali menghadap depan. Siap meneruskan langkah saat tiba-tiba dia mendengar jeritan melengking Meda dari kejauhan. Begitu menoleh, didapatinya sang adik yang tengah menyeret paksa lengan Rain. Dua sosok itu baru saja keluar dari gerbang rumah keluarga Wiratmadja. Rain tampak berusaha melepaskan lengannya dan membujuk Meda agar kembali, tapi si bocah gembul menolak dan malah menjerit-jerit.
Melupakan Mentari yang masih mengoceh panjang pendek, Semesta segera berlari menghampiri dua manusia itu. Khawatir pada adiknya yang hampir menangis.
“Meda, kenapa?” tanyanya begitu jarak mereka tersisa satu meter. Sekilas Semesta sempat melihat ekspresi kaget Rain melihat kedatangannya. “Kenapa nangis?”
Sekonyong-konyong Meda langsung mengempas tangan Rain dan menghambur memeluk lutut kakak kesayangannya. “Kalin nakal, Bang!” Dia mengadu. Pipinya masih basah bekas air mata tadi. “Bang Sa juga nebelin! Dia ngajak Eda ke namam, tapi balik lagi! Eda kesel. Eda mau ke namam komplek! Kalin jangan itut!” Bocah itu melotot pada Rain. Alih-alih merasa takut, Rinai justru gemas dibuatnya. Gemas ingin mencekik bocah setan ini!
“Iya, iya. Meda ke taman sama Abang aja, ya!” bujuk Semesta sembari mengangkat si bocah gendut ke dalam gendongan. Meda sontak mengangguk antusias. Kerut-kerut di keningnya langsung menghilang. Ia melingkarkan tangannya pada leher si abang kesayangan.
Rinai yang melihatnya berdecih dalam hati. Mengikuti omongan Semesta dengan cibiran tak kentara. Andai Angkasa tidak melihat adegan dua puluh satu ples Semesta dan Eta, sekarang dia dan laki-laki itu pasti sedang menikmati sore di bangku taman sambil mengawasi Meda bermain. Tapi gara-gara rekan patung pancoran ini, rencana itu berantakan, diganti lamaran dadakan di pinggir jalan. Tidak romantis memang, tapi Rinai suka.
“Kamu senang Meda meminta kamu tidak usah ikut?”
Eh? Senyum Rinai yang semula terbit mengingat lamaran dadakan Angkasa, spontan musnah. Dia menoleh sangsi pada tuan muda sombong di hadapannya. “Maksud ente?”
Semesta menyipit dongkol. “Kamu tersenyum.”
“Salah?”
“Iya. Kamu tersenyum karena senang Meda tidak ingin kamu ikut ke taman, kan? Jadi kamu bebas tugas dan bisa pulang cepat. Tapi maaf, Rain, saya tetap ingin kamu ikut. Waktu kerja kamu masih tersisa satu jam. Jangan makan gaji buta!”
Rinai melongo seperti orang bego. Berusaha mencerna kalimat panjang Mesta yang ... terlalu sok tahu! Tapi mau membantah pun, Rinai tidak berani karena ini masih jam kerjanya. Yang itu berarti, Mesta sang tuan dan dia si babu!
Mengangguk sajalah.
“YANG, KENAPA AKU DITINGGAL, SIH!?”
Namun sepertinya, mereka harus melewati satu cobaan dulu sebelum benar-benar pergi ke taman. Karena di sana, lima belas meter di belakang mereka, Mentari tampak terengah-engah sambil memegangi lututnya. Rinai memutar bola mata jengah. Meda mengerucut kesal. Dan Semesta memejamkan mata, kembali mengisi stok kesabaran.
🍃🍃🍃
Esto bhule dhin dhika, Cah😘
Pamekasan, 20 April 2018
Repost, 09 Agustus 2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top