11 | Bukan Telor Ceplok
12
Bukan Telor Ceplok
🍃🍃🍃
“Emang dada gue serata itu, ya, Ren?” Rinai duduk bertopang dagu di meja makan kediaman Rendi. Perutnya sudah kenyang. Diisi oleh berbagai masakan buatan Lulu yang luar biasa enak. Tidak kalah dengan hasil makanan Mpok Nuri—penjual nasi uduk di depan gang tempat tinggal mereka. Rinai datang ke rumah ini semata-mata bukan hanya untuk menumpang makan. Tapi, juga untuk menumpahkan segala unek-unek yang sedari tadi siang bersarang dalam batok kepalanya. Dan satu-satunya tempat sampah yang ia punya hanya Rendi seorang.
Pertanyaan spontan yang diajukan tanpa tadeng aling-aling itu, praktis membuat Lulu yang sedang meminum susu hamilnya tersedak. Buru-buru ia menjauhkan gelas dari bibir dan melap mulutnya yang belepotan. Dibantu Rendi yang menepuk-nepuk punggungnya dengan sayang.
“Pelan-pelan dong, Bun, kalau minum.”
Rinai memutar bola mata jengah melihat betapa lembut sikap Rendi kepada Lulu. Berbeda sekali saat bersikap terhadapnya. Rendi, si belangsak itu bisa menjadi begitu penyayang bagi keluarga. Rinai jadi bertanya-tanya, akankah Angkasa seperti itu juga nanti? Kalau pun iya, belum tentu juga Rinai yang menjadi pasangannya. Hah, nasib terjebak friendzone ya, begitu. Diungkapkan malu, tidak diungkap bikin hati ngilu.
“Rinai, tuh, Yah!” tuding Lulu begitu batuknya reda.
“Lah, kok, gue?” Rinai yang tak merasa telah melakukan kesalahan, balik bertanya. Tangan kanan yang sebelumnya dijadikan penopang, ia lipat di atas meja.
“Pertanyaan kamu itu, loh. Masya Allah sekali, Rin. Untung aku yang jadi istrinya Bang Rendi, ya. Kalau nggak, bisa jadi kamu udah dituding pelakor, tahu!”
Rinai makin tak paham. Dia melirik Rendi sekilas sebelum kembali bertanya polos pada Lulu. “Hubungan pertanyaan gue sama pelakor emang apa?”
“Kamu barusan nanyain ukuran dada sama suami aku.” Lulu mendelik. “Ya kali, dia tahu!”
“Ya, pasti tahulah! Satu-satunya mahluk batangan yang tiap hari sama gue kan, laki lo, Lu. Lagian dia udah kayak abang gue.”
“Ya Allah, Rin, mulut lo emang perlu dirukyah, ya!” Rendi geleng-geleng. Inilah salah satu alasan ia berharap Rinai benar-benar terlahir sebagai kaum Adam. Sahabatnya yang satu ini benar-benar tak bisa menjaga omongan. Beruntung Lulu sudah kenal mereka lama dan tahu kalau dirinya dan Rinai terikat persaudaraan karena tali persusuan. Jauh sebelum Rendi menjalin hubungan dengan Lulu. Jadi Lulu tidak akan pernah tersinggung dengan letusan mercon dari mulut Rinai. Yang bahkan tidak malu bertanya tentang ukuran dadanya pada laki-laki beristri itu.
Suara dengusan kasar dari sampingnya, menarik perhatian Rendi yang tengah memusatkan pandangan pada wanita setengah jadi di seberang meja. Saat ia menoleh, didapatinya Lulu yang sudah mendorong kursi makan ke belakang sembari berdiri. Siap pergi.
“Urusin bini kedua kamu itu dulu, deh, Yah. Aku mau nyuapin si Adnan,” ujar Lulu sebelum berlalu ke dapur.
“Bini kedua? Dalam mimpi sekali pun gue nggak sudi jadi bini kedua lo, Ren,” cibir Rinai setelah Lulu tak tampak lagi dalam jangkauan pandangannya.
“Dih, lo pikir gue sudi?”
Rinai cemberut sok imut. Mendengar perkataan Rendi yang terlalu jujur, ia jadi teringat maksudnya datang ke sini. “Emang gue nggak secewek itu, ya?” Ia kembali bertopang dagu. Dua pipinya di kembungkan bagai ikan lohan. Niat hati ingin tampak cantik, tapi dari cara pandang Rendi, ia tahu penampakannya malah cenderung bikin ngeri. Berdecak, Rinai menormalkan posisi duduknya seperti biasa. Satu kaki diangkat ke atas kursi.
“Maksud lo nggak secewek itu?”
“Tadi gue main air tuh, sama adiknya si Aang, kan. Baju gue basah, jadi nemplok banget sama badan gue, sampe dada gue keliatan. Nah, si Semesta lihat gue ternyata, dan dia malah ngira gue kelainan apa, tuh. Nyebut namanya aja gue nggak tahu. Intinya sih, kelainan. Sejenis laki-laki berpayudara gitu,” terang Rinai tanpa diminta. “Emang dada gue serata itu, ya? Sampai nebak gue perempuan aja kayaknya mustahil banget buat dia.”
Serta merta Rinai kembali diingatkan pada kejadian siang tadi. Di taman belakang keluarga Wiratmadja. Saat Mesta menatap dadanya penuh arti. Di bawah terik matahari yang serasa membakar kulit keduanya. Kalau bukan karena Meda, Rinai ogah berpanas-panas ria dan menambah gosong kulit eksotisnya.
Anehnya alih-alih marah karena disebut kelainan, Rinai justru merasa malu. Pipinya terasa panas, bahkan ia yakin telinganya ikut merah kala itu.
“Gi-ginekomastia?” ulangnya hati-hati. Takut lidahnya terpleset dan salah berucap kata. Ia menatap Semesta bingung. Dua tangannya masih menyilang di depan dada. Berusaha menutupi sesuatu yang bahkan tak terlalu tampak sekalipun tak ditutupi.
“Iya. Ginekomastia. Itu sebutan untuk laki-laki yang ...” Semesta menatap mata Rinai dengan pandangan yang sulit di artikan. Lalu kembali pada dada Rinai yang masih berusaha ditutupi, “memiliki payudara. Hal itu terjadi karena pembesaran kelenjar glandular di bagian dada. Ginekomastia biasanya terjadi akibat gangguan keseimbangan estrogen-androgen pada laki-laki. Umunya terjadi pada bayi, remaja dan lanjut usia. Tapi bisa juga terjadi pada laki-laki dewasa yang pernah mengalami obesitas, atau karena sindrom klinefelter, kecanduan alkohol, bahkan penggunaan obat-obat tertentu,” jelas Semesta panjang lebar. Tak menyadari wajah Rinai yang sudah melongo karena tak paham. Otak Rinai yang masih pentium satu itu jelas kesulitan memahami seluruh perkataannya. Entah karena ia yang terlalu bodoh, atau karena Semesta yang terlalu pintar.
Rinai ingin bertanya, maksud penjelasan Semesta itu apa. Namun sebelum satu vokal lepas dari katup bibirnya, laki-laki setinggi 179 senti itu kembali bicara, “Sekarang saya paham kenapa kamu selalu pakai baju kebesaran. Karena memiliki ukuran payudara yang menonjol bagi kaum kita itu memang memalukan.”
Kaum kita, katanya?
Rinai tambah melongo. Selain pintar, Semesta ternyata juga sok tahu. Dan ... sejak kapan dia jadi cerewet begini? Setahunya, Semesta itu jenis manusia paling irit bicara di kolong langit. Rinai membuka mulut hendak menyahut, tapi lagi-lagi suara Semesta lebih dulu menyela. “Tapi, kamu tenang saja. Itu masih bisa ditangani oleh medis, kok. Saya punya kenalan ahli endokrinologi kalau kamu mau periksa dan konsultasi.”
“Mmm ... begini”
“Baju kamu basah.”
Demi apa! Rinai ingin mengumpat rasanya. Laki-laki yang irit bicara ternyata sekali buka suara bisa semenyebalkan ini. Dia bahkan selalu berhasil memotong setiap kata yang bahkan belum sempat keluar dari mulut lawan bicaranya.
“Ikuti saya,” perintahnya dengan nada yang tak ingin dibantah. Tanpa menunggu jawaban Rinai, ia berbalik badan. Meraih tubuh mungil Meda dalam gendongan, kemudian melangkah ke dalam rumah. Tak sekali pun menoleh ke belakang. Seolah yakin kalau Rinai akan mengikutinya.
Dan, ya. Rinai memang tak punya pilihan selain menurut. Sialan.
Semesta ternyata membawanya ke kamar laki-laki itu di lantai dua. Sekali lagi, kamar laki-laki itu. Rinai jelas tak berani masuk. Dia hanya mematung di muka pintu yang terbuka lebar. Sedang Meda sudah guling-guling di kasur super besar sang Abang tanpa peduli baju basahnya.
“Kenapa berdiri di sana? Saya menyuruh kamu masuk.”
Yeah, menyuruh. Bukan meminta. Sebagai babu Rinai tak bisa mmebantah. Lagi pula Semesta tidak akan melakukan tindakan asusila padanya. Dia kan, pria di mata laki-laki itu.
Rinai mengikuti gerakan Semesta yang kini sibuk di depan lemari panjang dan tinggi berbahan kayu jati yang melintang di sisi dinding selatan. Luas kamar ini bahkan sama dengan separuh rumahnya. Tanpa bisa dicegah, mata Rinai bergerilya. Menatap interior kamar Semesta yang terlalu rapi untuk ukuran kamar laki-laki. Seluruh dinding diselimuti cat putih. Lantai putih. Seprei pun putih. Bahkan lemari pakaian juga putih. Yang memiliki warna berbeda hanya tivi 40 inchi yang menempel di dinding seberang ranjang. Lebih dari sebuah kamar tidur, bagi Rinai ruangan ini cocok disebut kamar mayat. Terlalu pucat.
“Cepat ganti pakaian kamu.”
Rinai mengerjap. Matanya berhenti menginvasi demi menatap Semesta yang entah sejak kapan sudah berada di hadapannya dengan kaus, celana jins panjang serta celana dalam di tangannya. Tengah disodorkan pada Rinai.
Demi Tuhan. Haruskah lengkap dengan celana dalamnya juga?
“E ... ini” Rinai kebingungan mencari kata-kata. Ia mau-mau saja mengenakan pakaian Semesta. Tapi, celana dalamnya? Ia ogah mengenakan celana dalam bekas orang lain. Apalagi bekas mahluk berbatang.
Dan seolah mengerti kecamuk dalam benak Rinai, Semesta kembali bicara. “Ini masih baru,” ujarnya sambil membalik kain segitiga itu untuk memperlihatkan bandrol harganya yang masih belum dilepas. Dan mata Rinai nyaris copot begitu melihat enam digit angka di sana.
“Kamu bisa ganti di kamar mandi kalau malu sama saya.”
“Nanti balikinnya”
“Nggak usah. Untuk kamu saja.”
“Sama ini juga?” Rinai mengangkat celana dalam abu-abu pemberian Mesta di depan wajahnya. Berusaha merasai tekstur kain luar biasa kembut dan halus dari benda segi tiga seharga ratusan ribu itu.
“Iya.”
Setelahnya Rinai buru-buru mengambil pakaian yang Semesta sodorkan dengan hati berbunga. Kapan lagi dia bisa dapat celana dalam mahal. Gratis pula. Rejeki nomplok, pamali ditolak.
“Semesta belum tahu kalau lo cewek?” pertanyaan Rendi otomatis menyentak Rinai. Berhasil membawa perempuan berdada kecil itu kembali pada kenyataan.
“Belum. Kalau dia tahu, ya kali ngira gue kelainan!” balas Rinai kemudian.
Rendi mengangkat satu alis. Menatap sang lawan bicara dari ujung kepala sampai sebatas perut. Lalu memandang lama bagian dada Rinaiyang memang tampak ratatanpa membuat Rinai tersinggung. Dia meringis setelahnya. “Kalau gue nggak kenal lo juga, mungkin gue bakal ngira lo laki, Rin,” katanya jujur. Bahkan terlalu jujur sampai Rinai mendelik kesal. “Lagian ini udah sepuluh tahun, loh. Dan Mesta masih aja ngira lo cowok. Kalau sampe lo ketahuan bohong, bisa langsung dipecat. Nganggur lagi. Nyaho lo!”
“Gue nggak pernah bohong sama dia!” bantah Rinai tak terima. “Dia sendiri yang ngira gue laki.”
“Iyalah. Dari awal lo kumpulnya sama cowok. Ikut tawuran sama balap liar. Penampilan lo kayak cowok. Kelakuan lo juga. Nggak ada feminim-feminimnya. Ya wajar, sih, kalau Mesta ngira lo laki. Lagian, mestinya tadi pas dia bilang lo kelainan itu, lo jujur kalau lo cewek. Heran gue. Nyamain laki-laki itu dosa, Rin, tapi lo malah bangga.”
Rinai merenggut. “Nggak usah lo nasihatin, gue juga udah tahu!” bantahnya. “Lagian kenapa gue harus jujur sama dia, coba?”
“Ya karena dia majikan lo, Ogeb!”
Bibir Rinai makin manyun. Dalam hati menolak kalau Semesta adalah majikannya, karena jelas dia bekerja untuk Damai. Bukan si calon dokter yang suka bikin jantungan.
“Lagian, Mesta jeli banget tuh pasti. Sampe bisa liat dua telor ceplok yang nemplok di dada lo.”
Sialan. Harusnya Rinai tahu, curhat pada Rendi hanya akan bikin emosi.
🍃🍃🍃
Saya udah bosen bikin Mesta salah paham mulu. Pengin cepet2 si Rain ketahuan cewek. Tapi nanti nggak gereget dan terkesan buru-buru. Karena sebelum itu, hidup mereka harus dijungkir balik dulu😑
Jadi sabar aja, Yes!
Kalau ketahuannya pas Rain cinta sama Mesta, keknya itu lebih gereget, kaaann ....
Iya kalo dibikin cinta, tapi😈😈😈
Esto bhule shin dhika, Cah😘
Pamekasan, 15 Maret 2018
Repost, 09 Juli 2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top