09 | Pelakor Jaman Now

09
Pelakor Jaman Now
🍃🍃🍃

  
  

“Ehm, lo apa tadi?”

“I'm gay.” Semesta menjawab lemah. Nadanya terdengar lirih, sangat lirih sampai-sampai Kenzo harus menarik kursi kerjanya mendekati meja demi memangkas jaraknya dan Mesta yang tak seberapa jauh.

“Apa?”

“I'm gay.”

Kening Kenzo berkerut dalam dan banyak. Ia menggaruk pelipis beberapa kali. Merasa pendengarannya mulai bermasalah. Barangkali karena bunyi tamparan hujan di atas genteng rumah yang dibarengi sambaran petir beberapa kali. Atau mungkin tidak. “Gue rasa kebanyakan makan tahu deh, jadi mulai rada budeg gini,” gumamnya, sukses membuat Mesta bingung. Tak menemukan hubungan antara kebanyakan makan tahu dan sistem pendengaran. Tapi, toh dia hanya diam. Menunggu reaksi Kenzo setelah ini.

“Mungkin juga kemarin pas renang, kuping gue kemasukan air. Kok gue susah nangkep omongan lo, ya?” tanya laki-laki 27 tahun yang bulan depan akan naik altar itu. “Bisa lo ulangi lagi yang tadi. Jangan bisik-bisik doang.”

“Gue ada kenalan THT kalau lo mau!” Mesta yang mulai kesal, jadi malas mengulang. Ini aib. Dan Kenzo sedang tak bisa diajak bekerja sama.

“Ck, serius elah! Beneran gue ngerasa salah denger ini!”

“Gue gay, Ken. Gue gay, dan lo nggak salah denger!” ulang Mesta, kali ini dengan suara lantang. Ia berdoa dalam hati semoga tak ada orang tolol yang menguping di depan pintu ruang kerja Kenzo yang tertutup. Karena bila iya, habislah dia dan imejnya yang mati-matian dijaga sejak kenal tata krama serta norma.

Dan, yah. Reaksi Kenzo sudah Mata duga. Mata melotot nyaris keluar dari rongga. Mulut megap-megap bagai ikan lohan di akuarium rumah Surya. Punggung yang menjauh dari meja. Serta napas yang tertahan di dada.

Kenzo memang selebay itu.

Namun, detik berikutnya

“Buahahahahahahaha ....” sahabat yang sudah Mesa anggap sebagai saudara itu tergelak. Keras. Saking kerasnya sampai mengalahkan suara petir yang sekali lagi melayangkan pecut listriknya di kaki langit Jakarta yang menangis sejak sore tadi. Sukses melahirkan kerutan dalam di kening Mesta. Ia bingung, bagian mana dari perkataannya yang mengandung humor? Terkadang, Semesta memang tidak bisa mengerti temannya yang satu ini.

“Seumur-umur gue kenal lo,” kata Kenzo sambil menghapus titik basah di ujung mata, tawanya masih mengudara disela-sela ia bicara, “lo tuh jarang bercanda. Dan sekali bercanda, lo nyaris bikin gue jantungan tahu, nggak?”

“Gue spesialis jantung. Kalau lo semaput karena mendengar masalah ini, gue bisa ngasih pertolongan pertama sebelum ambulan datang,” tanggap Mesta datar. Sukses menghentikan kekehan Kenzo perlahan hingga benar-benar sirna sepenuhnya. Ia mendekatkan tubuhnya lagi pada meja kaca lebar yang menjadi pemisah mereka. Penumpukan kedua tangannya di sana setelah menyingkirkan berkas-berkas ke sisi meja lain, lalu menatap Mesta luru-lurus.

“Lo ... serius?” Desah napas panjang nan putus asa sang lawan bicara, menjadi jawaban bagi Kenzo. Menelan ludah kelat, laki-laki keturunan Korea-Indonesia itu kembali bertanya, “Gimana mungkin, Ta? Helo ... lo pacaran sama Eta dari SMA. Kalian bahkan udah tunangan dari lama. Dan si Eta itu perempuan, Man.”

“Lo tahu kenapa gue pacaran sama Eta!” tangkis Mesta. Kenzo mengangguk mengiyakan. Mana mungkin dia lupa drama saat SMA dulu. Masa-masa remaja yang mencoba nakal tapi gagal. Hanya demi membungkam Eta yang nekat hendak mengadukan Mesta pada ayahnya lantaran ikut tawuran, sahabatnya itu terpaksa mengiyakan Eta sebagai pacar. Kenzo kira semuanya baik-baik saja dan berakhir bahagia dengan Semesta yang mulai belajar mencintai si gadis centil, seperti isi novel-novel roman yang sering dibaca calon istrinya. Tapi, ternyata ....

“Gimana bisa lo bilang kalau lo itu ... gay?”

“Gue” Mesta menghindari tatapan Kenzo. Matanya menjelajahi seluruh ruangan dengan kerongkongan yang susah menelan saliva. “Gue suka sama seseorang. Dan dia laki-laki.”

“Sejak kapan?”

“SMA.”

“What?!” Andai bukan ciptaan Tuhan, Mesta yakin kedua bola mata Kenzo pasti sudah bergelindingan di lantai saking lebarnya ia melotot. Teman kecilnya itu bahkan sudah berdiri sekarang. Tak lagi duduk di kursi kebesaran ruang 6x7 yang dijadikan ruang kerja pribadinya. “Lo ....” Dia menunjuk Mesta dengan ekspresi ragu, kemudian mondar-mandir bagai setrikaan di antara kursi putaryang sudah menjauh ke pojokan saat ia refleks berdiridan meja. “Lo nggak pernah suka gue kan, Ta?” pandangannya berubah ngeri.

Mesta mendesah. Ia memutar bola mata. Berada di samping Kenzo membuatnya tak benar-benar bisa merasa galau, sesesak apa pun dia. Kadang hal ini menyenangkan, tapi lebih sering membikin jengkel. “Gue emang gay, tapi gue juga pilih-pilih, Ken!”

“Why? Gue ganteng. Mirip Oppa-oppa Korea. Muka-muka kayak gue biasanya paling diincer sama kaum homogen.”

Mesta benar-benar tak berhasil galau. Alih-alih merasa lega karena telah berbagi dengan seseorang, ia justru menyesal datang kemari. Kenzo bukan pilihan yang tepat. “Ken, please!”

“Oke!” Si sipit itu mengangkat tangan tanda menyerah. Ia menarik kembali kursinya yang sudah menjauh untuk mendekati meja, lantas kembali duduk sambil melipat dua tangan di atas meja. “Siapa cowok sialan yang udah bikin lo kayak gini? Dan ... demi Tuhan lo ngerasa menyimpang sejak SMA, tapi gue baru tahu.”

“Karena ini bukan hal menyenangkan yang bisa dibagi.” Suara Mesta kembali melemah. Ia menunduk, menatap tekstur kain celana jeans pudar yang dikenakannya malam ini sebelum kembali mengangkat sedikit kepala. Menatap Kenzo dari balik bulu mata.

Kenzo Fernando. Sahabat Semesta sejak sekolah dasar ini memang bukan anak pengusaha sekaya Surya Wiratmadja. Ayahnya seorang pejabat negara. Hidup Kenzo sekeluarga memang terbilang mewah, meski tak semewah hidupnya yang tinggal menjentikkan jari dan semua akan ada di depan mata. Kendati demikian, Mesta seringkali iri pada Kenzo. Sahabatnya punya hidup normal. Di antara kesibukan ayahnya mengurus negara, Pak Seno tetap selalu meluangkan waktu untuk keluarga. Juga Nyonya Shin yang mengabdikan diri sebagai ibu rumah tangga. Kenzo juga punya dua adik lucu yang makin menyemarakkan hidupnya. Lulus sarjana, ia mendapat tawaran kerja di salah satu perusahaan bonafide dan sekarang menduduki jabatan sebagai manager pemasaran. Dia bahkan memiliki kisah cinta yang manis dengan anak gadis atasannya di kantor dan bulan depan mereka akan mengucap janji pernikahan.

Yang pasti, hidup Kenzo tak sedrama dirinya.

“Siapa orangnya?” tuntut Kenzo tak sabar.

Mesta tampak ragu. Ia memukul-mukul pahanya pelan sebelum menjawab. “Rain.”

“Siapa?”

“Rain.”

“Rain?”

“Gue yakin lo beneran butuh penanganan dokter THT.”

Kenzo memutar bola mata jengah. “Siapa si Rain ini.”

Kerutan di kening Mesta makin banyak dan dalam. “Lo kenal, kok.”

“Iyakah? Siapa?”

“Sahabat laki-laki Angkasa.”

Kenzo memundurkan punggungnya hingga menyentuh sandaran kursi. Ia berpikir sejenak. Seingatnya Angkasa hanya punya satu sahabat laki-laki yang dulu sempat bermasalah dengannya hanya karena seorang gadis. Yang menjadi awal dari segala drama beruntun dalam hidup Semesta. “Astaga, Ta!” gumam Kenzo dramatisir setelah berhasil mengingat. Ia menatap Mesta dengan tatapan sepuluh kali lebih ngeri dari sebelumnya. Kenzo bahkan sampai menutup mulut dengan tangan kiri yang sukses membuat detak jantung Mesta rasanya mau jatuh ke perut bumi.

“Ke-kenapa?”

“Dia kan, udah punya bini! Udah punya anak malah! Lo mau jadi pelakor?!”

“Pe-pelakor? Wh-what is pelakor?”

Kenzo menatap Mesta prihatin. Wajah lawan bicaranya itu sudah seputih kertas. Ekspresinya campuran antara bingung dan cemas. “Perebut laki orang.” Dan dapat Kenzo lihat jakun Semesta yang naik turun, seolah sahabatnya sedang kehausan, tapi malah sulit membasahi kerongkongan. Dia jadi horor membayangkan jika seorang Semesta, si kaku berwajah triplekbila di depan orang lainini benar-benar menjadi pelakor yang sedang ramai diperbincangkan di media sosial.

Ah, pelakor jaman now bukan lagi perempuan perebut laki orang, karena laki-laki se-gentle Mesta juga bisa jadi saingan. Betapa mengerikannya!

Melihat tak ada tanggapan dari Mesta, Kenzo bertanya penuh simpati, “Ta, are you okay?”

“No.” Mesta benar-benar merasa tak baik-baik saja. Bukan Kenzo, tapi dirinyalah yang butuh penanganan dokter.

Dokter jiwa, tepatnya.

🍃🍃🍃

Wkwkw... Nulis Mesta sama Kenzo, kok lancar jaya ya😂 nggak kayak pas nulis Mesta sama Rinai yang bikin pusing tujuh keliling.

Apa saya pasangin Mesta sama Kenzo aja?😳😳😳

Esto bhule dhin dhika, Cah😘

Pamekasan, 03 Maret 2018

Repost, 12 Juni 2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top