08 | Rasa Asing yang ... Mendebarkan

08
Rasa Asing yang ... Mendebarkan
🍃🍃🍃

  
“Ayang Mesta ...!”    

Kalau sudah mendengar suara cempreng begini, dapat dipastikan untuk beberapa jam ke depan hidup Mesta tak akan tenang. Padahal selama dua hari ini ia sudah bisa bernapas lega karena tak bertemu dengan Mentari yang ikut ayahnya ke luar kota.    

Kenapa perginya sebentar sekali? Desah Meta dalam hati.    

Suara derap langkah riang Eta terdengar makin mendekat. Sebelum dia menemukan Mesta di perpustakaan pribadi ayahnya, cepat-cepat ia bersembunyi. Melangkah setengah mengendap menuju pintu samping yang menjurus pada garasi. Daripada menghabiskan seperempat malam dengan ocehan tak bermutu dari gadis itu, Mesta lebih memilih untuk kabur sebentar dari rumah. Mengajak Kenzo mengerjakan tugas sepertinya terdengar lebih baik.     

Segera Mesta melompat masuk ke dalam mobilnya. Menghidupkan mesin, lalu memundurkan perlahan. Saat ia sudah keluar gerbang, dari kaca spion depan dilihatnya Eta yang menghentakkan kaki di teras. Memanggil-manggil namanya agar dia kembali, yang sama sekali tak Mesta pedulikan. Terserah kalau pun nanti dia akan mengadu pada Surya, toh malam ini sepertinya sang papa akan pulang larut.    

Berpikir tak mungkin pergi ke rumah Kenzo dengan tangan kosong, Mesta memarkirkan mobilnya di depan sebuah mini market tak jauh dari kompleks perumahan tempat tinggalnya. Saat keluar dari mobil, ia menemukan sebuat motor bebek yang tak asing terparkir di sana. Tapi Mesta yang sedang malas mengingat, memilih untuk mengabaikan.    

“Selamat datang di Monkey Mart!” sambut beberapa pramuniaga yang bertugas menjaga malam ini. Mesta hanya mengangguk sekilas sebagai bentuk balasan, lantas berjalan menuju rak makanan ringan untuk memeilih beberapa sebagai buah tangan. Kenzo memiliki dua orang adik yang pasti akan senang mendapat oleh-oleh darinya.    

Saat Mesta mengulurkan tangan untuk mengambil bungkusan snack, tanpa sengaja ia menyentuh tangan lain yang juga hendak meraih merk yang sama. Refleks Mesta menoleh ke samping kanan, hendak memastikan siapa si pemilik tangan itu. Dan ... Mesta mendadak lupa cara bernapas saat menemukan sosok cowok cantik yang semalam ia temui di arena balap liar.

Dia ... teman Angkasa. Anak SMA Maju Terus. Sahabat Rendi yang memiliki masalah dengan Kenzo.

Menelan ludah kelat, segera Mesta menjauhkan tangannya dari kulit kecokelatan yang seolah mengandung aliran listrik bertegangan tinggi itu. Entah nyata atau sekadar ilusinya saja, tapi Mesta benar-benar merasa tersetrum, bahkan tangannya gemetaran. Isi kepala tiba-tiba melompong, dan jantung ... tolong jangan tanyakan kabar organ dalam yang satu itu. Karena sungguh, Mesta tidak tahu bagaimana cara menjabarkannya dengan tepat.    

Mesta tidak tahu syaraf rusak bagian mana dalam tempurung kepalanya yang memerintah untuk menyapa laki-laki cantik di depannya ini, karena tahu-tahu saja dua belah bibirnya terbuka begitu saja. Tapi belum sempat sepatah kata keluar dari sana, suara dengusan kasar lebih dulu menyambutnya. Tanpa kata si cowok cantik mengambil satu langkah mundur, hendak pergi menghindar. Mesta yang tak terima diabaikan lebih cepat menahan lengannya.

Dan lagi, aliran listrik itu kembali terasa di telapak tangan, disusul desir halus yang baru pertama kali ia rasa. Semesta jadi kebingungan. Sebenarnya apa yang sedang terjadi padanya? Anehnya hal asing ini terasa ... menyenangkan dan membuat candu.    

“Lo ... cowok yang tadi malem nantangin gue, kan?” Mesta memberanikan diri bertanya, mencoba mengabaikan degup janggal yang menghentak di balik dada. Ini mengerikan. Mesta tidak mungkin gerogi di hadapan sesama laki-laki, kan?    

Yang ditanya mengerjap, tampak kebingungan. Tentu saja bingung. Tak ada angin tak ada topan, tiba-tiba lawan sahabatnya bertanya sok akrab begitu. Mesta sendiri sebenarnya malu. Hanya saja keingintahuannya terlalu menggebu.         

Tanpa menjawab lebih dulu, laki-laki cantik itu menghentak tangannya hingga pegangan Mesta terlepas. “Iya. Kenapa?” ujarnya kemudian.    

Mesta mengedip, tambah bingung mendapati serangan pertanyaan tersebut.    

Iya, kalau pun dia adalah cowok yang tadi malam, terus kenapa? Satu suara dalam benak ikut bertanya. Mengapa Mesta harus menyapa? Bukankah anak-anak Sekolah Maju Terus merupakan musuhnya?    

Selanjutnya, yang bisa Mesta lakukan hanya membisu. Ia ingin kembali bertanya, tapi bertanya apa? Rasanya tak rela saja membiarkan cowok cantik itu pergi tanpa bicara.    

“Mmm ... nama lo?”    

Mesta pasti benar-benar sudah gila! Ketertarikan seksulnya sungguh harus dipertanyakan. Bagaimana mungkin ia kesal bila di dekat Mentari yang jelas berkelamin perempuan dengan wajah seimut dan semanis itu, dan malah merasa deg-degan serta penasaran pada cowok cantik ini? Oh, lihatlah ... dia bahkan mengulurkan tangan lebih dulu!    

Lagi-lagi tanpa membalas uluran tanga Mestabarangkali tak sudisi laki-laki cantik menjawab, “Rain!”

Singkat. Padat. Jelas. Kemudian pergi begitu saja, meninggalkan Mesta yang masih terpaku di  tempatnya berdiri.    

Rain. Benaknya mengulang nama itu sekali lagi.    

Mesta, apa yang terjadi padamu? Akal sehatnya bertanya, dan Mesta sama sekali tak menemukan ide sebagai jawaban. Masih belum bisa meredakan keterkejutannya akan reaksi si jantung sialan yang malah berdebar-debar.    

Seingatnya Kenzo dulu sempat berkata bahwa dia deg-degan saat pertama kali bertemu dengan Cindy. Itulah alasan mengapa Kenzo mendenkati gadis itu, karena ia merasa telah jatuh cinta pada pandangan pertama. Tapi, ini kasusnya berbeda. Yang membuat Mesta deg-degan jelas bukan seorang perempuan. Melainkan laki-laki!    

Perlu dipertegas lagi. Dia ... LAKI-LAKI!    

Takut dengan reaksi tubuhnya yang di luar batas normal, Mesta memutuskan untuk pulang. Ia butuh bertemu Eta, hanya sekadar mengetes reaksi jantungnya sekali lagi saat berada dekat dengan gadis itu.

🍃🍃🍃

Kenzo merasa kiamat akan segera tiba. Pasalnya apa yang tengah ia lihat saat ini benar-benar ... langka.    

Mesta berjalan bergandengan tangan dengan Mentari.    

Sekali lagi Kenzo ulangi.    

Mesta berjalan BERGANDENGAN tangan dengan MENTARI!    

Mimpi apa dia semalam hingga bisa menyaksikan keajaiban dunia macam ini?    

Tak hanya Kenzo, rupanya siswa-siswa lain yang meiihat pemandangan tersebut menatap kedua mahluk itu dengan perhatian yang sedikit berlebihan. Bahkan Rudolf yang semula memegang bungkusan snack, tak sadar sudah menjatuhkannya ke lantai.    

Jika Eta yang menggenggam tangan Mesta dan menyeretnya, barangkali anak-anak akan berpikir bahwa Eta telah berhasil memaksa. Tapi, kini yang tampak justru Mesta yang menggenggam erat tangan gadis itu. Dan Eta dengan centilnya berjalan sambil menyenderkan kepala pada bahu bidang Mesta.    

“Itu ... beneran Semesta kita, kan?” Juned, teman sekelas mereka bertanya heran. Ia yang semula sibuk mengerjakan tugas yang belum selesai di bangkunya yang terletak di barisan depan, bahkan meninggalkan tugasnya demi menyambangi bangku Kenzo di pojok belakang.    

Dengan mulut masih setengah menganga, Kenzo menggeleng pelan. “Kayaknya bukan.”    

“Hai, Ken!” Eta menyapa dengan riang gembira begitu langkah kakinya dan Mesta sudah mendekati posisi Kenzo. Sadar dengan tatapan aneh sahabatnya, Mesta hanya membuang muka. Juned yang tak ingin adu mulut dengan Eta bila ketahuan mengurusi masalah gadis itu, memilih untuk kembali ke tempatnya semula.    

“H-hai,” balas Kenzo yang mendadak gagu.    

“Mending kamu balik ke bangku kamu, deh! Bentar lagi bel masuk.”    

Entah ini hanya telinga Kenzo yang salah dengar, atau memang baru saja Mesta berbicara pada Eta dengan nada lembut. Kelewat lembut hingga bulu romannya meremang.    

Setelah langkah Eta menjauh, buru-buru Kenzo menarik tubuh jangkung Mesta agar duduk di bangku sebelahnya, lalu meletakkan pungung tangan di dahi sang kawan yang diduga mengalami demam tinggi dan mungkin berakibat fatal.    

“Masih angetan ketek gue, kok!” ujarnya sambil meletakkan tanggan di kepitan  ketiak.    

“Apaan, sih!” Mesta yang merasa baik-baik saja berusaha tak acuh dengan respon siswa-siswa lain yang jelas merasa sikapnya terhadap Eta kali ini berbeda. Memang kenapa kalau dia baik pada Eta? Bukankah Eta pacarnya. Pacar yang ia tembak setengah hati beberapa hari lalu.    

“Lo enggak kesambet, kan, Ta? Atau saking putus asanya Eta ngejar-ngejar lo yang nggak pernah peduli, tuh cewek pake dukun buat dapet perhatian dari lo?” cerca Kenzo yang merasa butuh jawaban. “Mmm ... atau mungkin lo diancem sama bokap lo, kalau nggak baik sama Eta, dia bakal ngapus lo dari daftar waris?”    

Satu jitakan keras mendarat di kening Kenzo. Siapa lagi pelakunya jika bukan Mesta yang sudah tak tahan dengan cercaan pertayaannya yang mulai tak masuk akal. “Gue baik-baik aja. Enggak dalam pengaruh sihir atau di bawah tekanan ultimatum Papa!”    

“Terus ... tadi ... lo sama si Eta ....” Kenzo kesulitan mencari kosa kata untuk menyempurnakan kalimatnya.    

“Emang salah kalau gue berusaha bales perasaan dia? Bukannya lo yang kemarin-kemarin bilang, nggak ada salahnya gue nyoba jalanin hubungan sama Eta?”    

Iya, Kenzo memang sempat bilang seperti itu. tapi tak pernah terlintas di benaknya bila Mesta akan benar-benar merealisasikan sarannya, melihat betapa antipatinya dia pada Mentari. bagi Mesta, Eta tak ubahnya ulat bulu yang patut dihindari.    

“Udahlah, Ken. Lo harusnya seneng sekarang gue nggak jomlo lagi!”    

Pada akhirnya, Kenzo pun bungkam kendati masih ada puluhan pertanyaan lain yang ingin ia ajukan. Sungguh, Kenzo belum cukup puas dengan jawaban yang Mesta berikan. Pasti ada yang tidak beres dengan sahabatnya ini. Tapi, apa?

Di tempat duduknya, Mesta menahan diri untuk tak memuntahkan seluruh isi yang ada dalam perut.      Sedari tadi, ia berusaha menahan mual saat harus bersikap dan bertutur lembut pada Mentari. Lidahnya gatal dan kerongkongannya minta digaruk. Ini demi upaya membuktikan bahwa dirinya tidak mengalami penyimpangan seksual. Bahwa ia masih normal dan menyukai perempuan.    

Ah, sial! Jika bukan karena cowok cantik bernama Rain yang telah membuat jantungnya berdebar-debar, Mesta tak akan mau repot-repot memaksakan diri untuk menerima Eta yang ... cerewetnya minta ampun!    

Dari ekor mata, Mesta melirik ke bangku yang berada di pojok depan. Tempat duduk Mentari. Dan ternyata, gadis itu tengah memerhatiknnya dengan senyum merekah. Jika di hari-hari sebelumnya Mesta akan langsung membuang muka saat mereka tak sengaja bertemu pandang, maka kali ini tidak lagi. Ia menahan agar lehernya tak bergerak refleks untuk berputar. Sebaliknya, ia bertahan dan membalas senyum Eta tak kalah lebar.    

Demi pembuktian sebagai laki-laki normal. Demi pembuktian sebagai laki-laki normal. Demi pembuktian sebagai laki-laki normal. Adalah matra yang sejak tadi malam Mesta rapalkan.    

Lambat laun ia yakin akan bisa membalas perasaan Eta, dan jantungnya hanya akan berdebar untuk gadis itu. Ya, hanya untuk Mentari. Bukan untuk Rain, cowok cantik bertubuh mungil nan perkasa. Mesta lebih memilih untuk menerima kebawelan Eta sepanjang hidupnya daripada harus menghadapi kenyataan bahwa dirinya menyukai mahluk berjenis kelamin sama.

Namun, sekarang Mesta tak lagi yakin. Berat diakui. Dia memang ... menyimpang. Tangan Mesta bergetar usai membaca broadcast chat di grup WhatsApp alumnus Kebanggaan Bangsa. Tentang LGBT, yang sukses membuat ia makin ketakutan.

Selama ini tidak ada yang tahu bahwa Mesta menyimpang. Ia berhasil menutupi kelainannya itu dari semua orang. Termasuk Kenzo. Sahabatnya sejak TK. Dan sekarang ... Mesta butuh bercerita. Ia tidak mungkin menyimpan ini sendirian selamanya. Harus ada yang diberi tahu agar dia terbantu.

Ragu, Mesta menekan profil grup, men-scrol ke bawah, mencari nama Kenzo. Lalu meneleponnya.

“Halo, kenapa, Ta?”

“Ken.” Mesta menelan ludah. membasahi kerongkongannya yang mendadak kerontang. Ia memejamkan mata seraya menarik napas panjang. Berusaha mengumpulkan segenap keberanian.

“Ya?”

“Tolong, bantu gue.”

🍃🍃🍃

 

K


Esto bhule dhin dhika, Cah😘

Pamekasan, 26 Februari 2018
Repost, 27 Mei 2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top