06 | Manusia Es Batu
Bab 06
Manusia Es Batu
🍃🍃🍃
T
erjebak macet di lampu merah bersama patung es itu rasanya ... lebih baik Rinai pulang jalan kaki daripada diantar dengan menggunakan mobil sekelas Mercy begini. Rinai bahkan tak bisa mendeskripsikan bagaimana perasaannya. Karena, Demi Tuhan, berdua Semesta lebih mencekam ketimbang duduk sendirian di kuburan pada malam Jumat keliwon. Bahkan, Rinai lebih rela tukar posisi dengan waria yang hilir mudik membawa kecrekan di pinggir jalan. Oke, Rinai mulai berlebihan. Semata karena dia duduk tegang di sisi kemudi. Sesekali melirik takut-takut pada si sopir yang tadi mendesisinya karena ia berniat duduk di bangku belakang.
Tak tahan terus berdiam, perempuan setengah matang itu berdeham pelan. Merasa dehamannya tak membawa perubahan terhadap keadaan yang masih sunyi, dia berdeham sekali lagi. Kali ini lebih keras. Tetapi masih tak berdampak apa pun.
Kesal, Rinai mendelik. Ia melipat tangan di depan dada, lalu menolehkan kepalanya pada jendela. Lebih baik melihat lampu merah di depan sana daripada berusaha membuat si rekan patung pancoran bicara. Padahal Rinai hanya tidak ingin dianggap babu tak tahu diri yang sudah diantar pulang, tapi malah sok jual mahal. Namun mau bagaimana lagi kalau yang mengantar barangkali sedang sakit gigi.
Mendengar samar-samar suara melas perempuan di antara deru kendaraan bermotor dan bunyi kelakson yang bersahut-sahutan, Rinai mengalihkan pandangan dari lampu merah yang masih menyala. Seorang ibu-ibu menggendong bayi menghampiri mobil mereka dengan membawa kaleng susu kosong, meminta belas kasihan. Rinai hanya melihat, tak berniat menurunkan kaca jendela yang memang setengah terbuka, apalagi memberi recehan. Dari berita yang sering ia tonton di tivi, pendapatan pengemis di Jakarta per harinya bahkan sampai jutaan. Gila, gaji PNS saja kalah. Padahal kalau dilihat dari segi fisik, kebanyakan dari para pengemis itu masih tergolong usia produktif dan sehat, sekalipun memiliki bayi, tak bisa dijadikan alasan untuk meminta-minta. Menurut Rinai, manusia moderen harus bisa kreatif. Lebih-lebih di zaman sekarang orang-orang bisa memanfaatkan kemajuan teknologi untuk mendapat uang dengan menggunakan jasa internet, tapi kesuksesan memang tak serta-merta bisa diraih. Rinai saja masih merangkak demi mendapat pundi rupiah dari blog dan star up. Bukan merangakak lagi sebenarnya, melainkan tiarap. Saking tiarapnya, ia masih harus ngebabu di keluarga Wiratmadja.
Rinai mengernyit. Lehernya terasa tidak enak. Pasti gara-gara batuk-batuk kecil tadi, tenggorokannya jadi benar-benar gatal. Sialan. Mau tak mau, ia berdeham lagi.
Merasa ada pergerakan di sampingnya, ia pun melirik dari ekor mata dan mendapati Semesta membuka laci dasbor, kemudian mengambil sesuatu.
Tanpa kata, laki-laki itu menyodorkan sashet obat batuk padanya.
“Ini ... apa?” tanya Rinai sangsi.
“Komek.”
Rinai memutar bola mata jengah. Angkasa bilang, Semesta ini pintar. Bahkan dia kuliah di salah satu universitas terbaik dunia. Tapi, orang bego yang buta huruf saja pasti tahu kalau yang disodorkannya pada Rinai adalah obat batuk jenis komek rasa lemon! “Maksud gue, ngapain lo ngasih komek?!”
“Kamu batuk.”
Baru-baru ini, masyarakat Indonesia dihebohkan oleh berita tentang siswa yang membunuh gurunya hanya dengan memukul bagian leher. Dan sekarang, Rinai gatal untuk mempraktikkan hal itu pada saudara sahabatnya. Ingin membuktikan kebenarannya, jika saja ia berani.
“Angkasa bilang, lo dokter. Spesialis pula. Tapi ngebedain batuk sama deheman aja, lo nggak bisa!”
Semesta berkedip lambat. Barangkali lelah menyodorkan tangan pada Rinai yang tak mendapat sambutan, ia pun meletakkan obat tadi di atas dasbor, kemudian balas berkata, “Pertama, izin praktik saya belum keluar. Kedua, saya spesialis jantung, bukan THT. Dan ketiga, orang sakit batuk, tenggorokannya gatal, jadi pasti akan sering berdeham. Lantas bagian mana dari tindakan saya yang salah?”
Dan seketika, Rinai menyesal pernah berusaha membuat Semesta bersuara hanya demi membunuh sunyi di antara mereka. Yang ada, kini ia malah dibuat setengah gondok oleh dokter jantung yang benar-benar membuatnya nyaris jantungan itu.
“Semerdeka lo aja, deh!” Rinai kembali memalingkan muka. Mengabaikan kerutan dalam yang mulai muncul di antara alis tebal sang lawan bicara. Ibu-ibu tadi yang menghampiri mobil mereka sudah pergi entah ke mana.
“Saya berusaha berbuat baik sama kamu. Seharusnya kamu bilang terima kasih.”
“Oke, makasih!”
“Tapi, obatnya belum diminum.”
Demi kolor Rendi, orang ini benar-benar!
Malas mendengar bacot Semesta lebih panjang, Rinai mengambil obat batuk di dasbor dengan gerakan kasar. Menggigit bagian ujung, lantas mengisap seluruh isi kemasan dengan sedotan kuat dari bibirnya. Tak menyadari Semesta yang terus memerhatikan tanpa kedip sambil sesekali menelan ludah. Angannya mulai bergerilya ke mana-mana hanya dengan melihat gerak bibir Rinai.
“Puas lo, sekarang?” tanya Rinai kemudian. Ia membuang bungkusnya pada tempat sampah kecil yang selalu tersedia di mobil. Lalu berdeham sekali lagi demi merasakan tenggorokannya yang mulai sedikit lega. Meski demikian, Rinai ogah mengakuinya di depan Semesta.
“Ehm, ya. Saya puas.” Semesta mengerjap seraya terbatuk-batuk kecil. Entah kenapa, justru tenggorokannya yang sekarang terasa gatal.
Lampu lalu lintas berubah warna. Semesta menggerakkan sedikit mobilnya mengikuti kendaraan di depan sana. Berusaha tak terpengaruh oleh Rinai yang kini tengah menjilati bibirnya untuk menghilangkan bekas obat likuid yang tadi diminum. Tak tahan, akhirnya ia bersuara lagi, “Berhenti jilat-jilat. Kamu bisa pakai tisu untuk membersihkannya!”
“Komeknya lengket. Kalau pake tisu, bakal nempel di bibir gue!”
Semesta merogoh sesuatu dari kantung celana, kemudian melemparnya ke atas pangkuan Rinai. “Pakai itu!”
“Lo maksa banget, sih? Emang kenapa kalau gue jilatin?”
“Jorok!”
“Yang jorok gue, kenapa lo yang sewot?”
“Karena itu ganggu penglihatan saya!”
“Kalau gitu jangan lihat, lah!”
“Nggak bisa!”
“Kenapa nggak bisa?”
“Kalau saya bilang nggak bisa, ya, nggak bisa!”
“Nggak jelas, lo!” Mau tak mau, Rinai mengambil sapu tangan putih polos itu, lalu dilapkan dengan kasar ke bibirnya. Dalam hati ia mengumpat, mengabsen nama seluruh binatang di ragunan. Rinai tidak tahu siapa tunangan Semestadan tidak berminat untuk tahu, tapi dapat dipastikan kalau wanita yang entah siapa pun itu merupakan mahluk paling sial di muka bumi karena mendapat jodoh jenis manusia es yang sok sempurna bin songong ini!
Ya kali, membersihkan bibir saja harus ada aturannya! Andai Semesta tahu saat Rinai selesai makan akan menjilati jemari tangan kanan satu-persatu, mungkin dia akan mati berdiri!
🍃🍃🍃
“Udah pulang, Rin? Yang nganterin lu siapa?” Lilah langsung memberondong Rinai dengan rentetan pertanyaan begitu ia membuka pintu depan. Lilah tadi tak sengaja melihat mobil mewah berhenti di depan gang rumah mereka dan mendapati Rinai keluar dari sana. Ia tak bisa melihat si sopir karena jendela di sisi pengemudi ditutup, pakai kaca hitam pula. Yang Lilah tahu, anaknya pulang naik mobil bagus. Harga mobil itu pasti mahal, membuat Lilah berandai-andai, kapan ia bisa naik kendaraan sekeren itu. Apalagi kalau yang menyetir adalah menantunya, pasti terasa bagai surga dunia. Dia akan pamer pada para tetangga nanti.
“Anak majikan,” jawab Rinai tanpa minat. Ia menjatuhkan bokong pada kursi plastik di ruang tengah sembari mengambil remot dan menghidupkan televisi. Sisa-sisa kekesalannya pada Semesta masih ada. Sukses membuat mood Rinai anjlok sampai dasar bumi.
“Anak majikan? Angkasa?” Lilah ikut duduk. Dia mengambil tempat di samping Rinai sambil memangku keranjang kain. Belum puas dengan jawaban putrinya.
“Abangnya.” Rinai mengeraskan volume televisi, kode halus pada Lilah agar tak banyak bicara, apalagi kalau bahasannya Semesta.
Namun, Lilah yang kurang peka tentu saja tak bisa menangkap kodenya. Alih-alih berhenti, ia malah makin jadi bertanya, “Anak Pak Surya dari mendiang istri keduanya? Yang ganteng itu, bukan? Siapa dah namanya? Emak lupa.”
“Rinai juga lupa, tuh!”
“Ya kali lu lupa. Lu kan, kerja di rumahnya!”
Andai membentak orang tua tidak dosa, Rinai pasti sudah melakukannya. Tapi, manusia setengah matang seperti Rinai tak benar-benar peduli dosa. Ia lebih peduli kulitnya, karena sekali ia berani membentak Lilah, maka ia pun harus siap mendapat cap lima jari di pipi, lebih-lebih perutnya bisa jadi tak merdeka malam ini. Jadilah Rinai menahan diri. Lebih memilih menahan dongkol di hati. “Semesta, Mak.”
“Nah, iya, Semesta. Dalam rangka apa dia nganterin lu pulang?”
“Motor Rin mati.”
“Alhamdulillah!” seru Lilah penuh syukur. Sukses membuat kening Rinai dipadati kerutan. Dia langsung menatap Lilah kesal, melupakan acara Pesbukres yang sedang ditonton.
“Motor Rinai mati, Mak! Kok malah bersyukur gitu, sih?”
“Ya justru karena motor mati, lu jadi dianter cowok cakep. Seneng, dong! Kali aja bisa jadi kayak eptipi yang kemarin Mak tonton itu, loh. Apa dah judulnya, ya? Mm ... ah, iya. Gara-gara Motor Mati Jodoh Menghampiri. Duh ... romantis pasti, tuh! Tapi, jangan sering-sering jalan berdua, ketiganya setan. Kalo mau sering-sering, minta hakim dulu.”
Rinai malas menyahut. Ia mengembalikan perhatiannya pada Rapi Amad yang sedang memakai baju pangeran kodok dan tengah merayu Ayu tong-tong. Sialnya, aksi lucu itu tak bisa memecah tawa Rinai gara-gara perasaan dongkol.
“Ngomong-ngomong, Rin, dia belum punya calon, kan?”
“Dia udah mau nikah, Mak!”
“Yah, sayang banget, ya.” Ekspresi antusiasme Lilah mendadak luntur. Buyar sudah harapannya punya menantu ganteng dan kaya yang bisa dipamerkan pada tetangga. Tidak usah ganteng atau kaya sebetulnya, karena Rinai laku saja Lilah sudah bernazar akan berpuasa Senin-Kamis selama satu bulan.
“Emang kalau belum, kenapa?”
“Kali aja dia mau sama lu, gitu.”
Cukup, sudah. Telinga Rinai yang suci ini tak lagi sudi dicemari oleh nama Semesta. Meletakkan remot setengah membanting ke atas meja, Rinai berdiri. Dengan berasalan mau ambil wudu karena hampir adzan magrib, ia pergi dari ruang tengah menuju kamar, lantas mengempaskan tubuh pada kasur kapuk yang terasa begitu keras di bawah punggungnya. Huh, padahal acara Pesbukres sore ini sedang seru-serunya karena banyak menampilkan adegan Rapi Amat, tapi si emak yang tak bisa diajak bekerja sama malah terus merecokinya tentang Semesta.
Semesta. Rinai benci laki-laki itu!
🍃🍃🍃
Tuh Rinnya apdet. Tapi saya kesel karena nggak bisa nyantumin foto😭😭😭 yaudahlah ya, liat di mulned aja. Ada Bang Mesta tuh. Thanks bbuat kapika fotonya. Lagi-lagi pas ngetag nggak muncul. Fix, jaringan di sini minta adik!
Esto bhule dhin dhika, Cah😘
Pamekasan, 16 Februari 2018
Repost, 27 April 2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top