04 | Laki-laki Sombong dan Setan Cilik
04
Laki-laki Sombong dan Setan Cilik
🍃🍃🍃
Hari pertama menjadi penjaga bayi, rasanya Rinai sudah ingin taubat nasuha. Bayangkan saja, dia harus mengawasi Meda yang aktifnya naudzubillah. Bocah berusia 3 tahun itu sama sekali tidak bisa diam. Berlari ke sana kemari, melempar apa pun yang ditemui, dan selalu berontak saat digendong. Bahkan beberapa kali dia menggigit pundak dan leher Rinai. Kalau ditegur, Meda akan menangis keras, berguling-guling di lantai, dan melempari Rinai dengan benda apa pun. Baru sehari bekerja saja, Rinai sudah mendapat reward berupa benjolan besar di jidat.
Sungguh, seandainya Rinai tahu akan seberat ini menjadi babysitter, lebih baik ia bekerja sebagai babu Rendi. Setidaknya, Rinai hanya akan disuruh mengangkut barang dan mengantar Lulu belanja, bukan menyiksa jiwa raga begini.
Jangan tanya ke mana perginya Damai, karena jelas dia sedang sibuk di dapur untuk memasak makan malam. Rinai yang sudah tidak tahan ingin pulang, menengok ke arah jam dinding di ruang tengah untuk yang ke sekian kali. Masih pukul setengah empat. Tinggal sembilan puluh menit lagi, dan demi Tuhan ini baru hari pertama, tapi badan Rinai sudah berasa remuk semua.
“Meda, jangan digigit dong, Sayang. Kotor.” Rinai merasa jijik pada suaranya sendiri yang terdengar bagai bencong pengkolan. Ia berusaha melepas boneka keroppi yang Meda masukkan ke mulutnya dan diemut-emut bagai permen susu hingga bulu boneka itu rontok. Tapi Meda yang tak terima malah ganti menggigit lengannya keras-keras hingga menyisakan bekas kemerahan.
Sialan! Umpat Rinai dalam hati. Andai Meda adalah adiknya, ia tak akan segan mencubiti dua pipi gembil itu hingga Meda menangis. Sungguh, lengan Rinai perih sekali, Jenderal! Meda punya dua gigi taring yang tajam, andai Rinai tak mengenal orangtua bocah ini, sudah pasti ia yakin setengah mati jikalau Meda adalah keturunan vampir. Sedang Rinai merupakan gadis lemah yang memiliki darah suci di tubuhnya. Oke, abaikan pemikiran Rinai yang mulai melantur.
“Dimainin aja, ya. Jangan digigit.” Rinai memegang si katak hijau dengan tangan kiri, lalu digerak-gerakkan di depan wajah Meda agar bocah itu tertarik. Alih-alih, Meda malah melengos dan ganti menariki rambut berbi. Bahkan si boneka cantik yang malang sudah nyaris botak, Pemirsah! Rinai membatin, perasaan Angkasa dulu tidak senakal ini.
Barangkali malas dengan boneka berbi yang sudah tak cantik lagi, Meda berdiri, kemudian berlari menuju lemari. Rinai mengekorinya di belakang. Ia mendadak kelabakan begitu melihat si anak majikan membuka pintu lemari bawah dan mengeluarkan piring-piring kristal dari sana. Secepat yang dirinya bisa, ia angkat Meda menjauh, lalu merapikan piring-piring kembali ke tempat semula sambil mendumel dalam hati. “Meda, jangan nakal, dong! Nanti Kak Rin pukul, loh!” geramnya tak tahan. Seandainya bisa, Rinai ingin mengundurkan diri saat ini juga. Rinai benar-benar ikhlas menjadi pengangguran serta mendapat omel tiap jam dari Lilah yang jengah melihatnya selalu di rumah.
“Siapa yang berani pukul adik saya?”
Rinai yang tengah berkacak pinggang di depan Meda usai merapikan piring-piring kristal Damai, berjingkrak kaget begitu mendengar suara bass dari belakang punggungnya. Spontan dua tangannya turun ke sisi tubuh. Perempuan yang masih dipertanyakan jenis kelaminnya itu berbalik badan untuk memastikan siapa yang datang. Ludahnya medadak kering begitu menangkap visualisasi laki-laki muda berwajah triplek yang tengah menatapnya datar. Dan dengan kurang ajarnya, mata Rinai malah jelalatan, balik memandang si lelaki muda dari ujung kaki sampai kepala. Sepatu pantofel mengilap, celana jins abu-abu longgar, kemeja liris merah-hitam, jam tangan mewah, dan ... wajah rupawan berkacamata bulat.
Fix, Rinai belum hilang ingatan.
Dia. Laki-laki di hadapannya adalah Semesta Arya. Kendati wajahnya sedikit berbeda, pun tampilan dewasa, tapi Rinai tak mungkin melupakan wajah itu. Remaja sombong yang sejak dulu dibencinya. Kakak Dari bocah nakal yang seharian ini berhasil menyiksa Rinai Rainia. Dan sekarang Rinai tahu, dari mana asal sifat menyebalkan Meda. Pastilah dari orang ini.
Sialnya, sebelum ia sempat membela diri, Meda yang semula melotot tak suka dengan teguran Rinai, mendadak mengubah ekspresi. Wajahnya ditekuk murung, pun bibirnya yang mencebik dengan mata berkaca-kaca, seolah dialah anak paling teraniaya di dunia, lantas berlari ke arah Semesta sambil berurai air mata. “Bang Ta, kakak itu nakal!”
Mendengar aduan Meda, praktis Mesta menoleh pada sang adik. Raut mukanya berubah lembut. “Sini bilang sama Abang, siapa yang berani nakalin Meda? Biar Abang tinju nanti.” Ia berjongkok demi meraih si setan cilik ke dalam gendongan. Berusaha menenangkan sang adik yang mulai sesegukan. Rinai mendengus jengah. Ternyata manusia es itu bisa tersenyum juga.
Setelah sesegukan Meda mulai reda, laki-laki itu kembali menghunus Rinai dengan kekuatan mata. “Sedang apa kamu di sini? Dan bagaimana bisa Meda ada sama kamu?” tanya Mesta tajam. Ekspresinya kembali sedingin es batu di kutub utara, sukses membuat Rinai menggigil di tempatnya berdiri. Membuat ia merasa bagai kancil nakal yang ketahuan mencuri.
Rinai berdehem. Berusaha menahan diri untuk tak menyalak seperti manusia barbar. Ini rumah Damai, dan Rinai harus berlaku sopan. “Guem ....” Rinai bingung. Secara teknis, Semesta termasuk majikannya, jadi Rinai harus menyebut diri sebagai apa? Gue? Atau saya? Tidak mungkin dia menyebut dirinya dengan kata ganti 'aku', membayangkan saja sudah membuat bulu romannya berdiri. Geli, anjay!
“Rain?” Kerongkongan Rinai makin tercekat begitu Mesta memanggil namanya lambat-lambat, barangkali kesal karena dia tak juga menjawab.
Berdehem sekali lagi, si tomboi itu pun membuka suara, “Sa ... e, aye kan mulai hari ini kerja di mari, e ....”
Mas?
Rinai harus memanggilnya apa?
Abang? Aden? Tuan Muda?
Euhh, kerja menjadi bawahan memang menyebalkan. Apa lagi bila yang menjadi bos adalah manusia sebaya yang memiliki masa lalu tak menyenangkan denganmu.
Sialannya, Mesta yang seolah mengerti bahwa ia sedang kebingungan, malah mengangkat satu alis tebalnya. Menunggu. Ugh, sudah berapa kali Rinai menyebut kata sialan sejak menginjak rumah ini?
“Mmm ... aye harus manggil ente, ape ye?” Yeah, mendadak Betawi sepertinya pilihan terbaik meski kedengarannya sedikit aneh. Rinai adalah keturunan Jawa-Sunda, tapi lahir dan besar di Jakarta karena kedua orangtuanya bekerja di Ibukota. Dan seumur-umur, ini kali pertama iya ber-aye-aye ria dengan orang yang seumuran. Mana pakai sebutan ente pula. Berasa pindahan dari Arab saja, tapi sayang hidungnya tidak mendukung.
“Mesta.”
“Oke, Mes-ta.”
“Kerja apa kamu di sini? Sopir? Tukang kebun?” tanya Mesta dengan nada sombongnya yang membuat perut Rinai mual. Selain fisiknya yang berubah makin matang dan tampan, tak ada lagi yang bisa dibanggakan dari sosok laki-laki ini. Setengah mati Rinai menahan diri untuk tak memutar bola mata jengah.
“Bukan. Aye jadi bebisiter Meda di mari.”
“Apa?”
Mengira usia telah mengikis ketajaman pendengaran Semesta, Rinai kembali mengulang jawaban sebelumnya, “Aye kerja jadi bebisiter Neng Meda.”
“Kamu?”
“Iye.”
“Sejak kapan laki-laki menjadi bebisiter?”
“Hah? Siapa yang” ucapan Rinai menggantung di udara, seiring dengan ingatannya yang samar-samar bermain lompat tali di otaknya.
Bagaimana Rinai bisa lupa? Ia mengenal Semesta pertama kali di arena tawuran, dan Semesta benar-benar mengetahui eksistensi seorang Rinai di malam pertandingan balap liar. Sejak pertama melihatnya, Semesta mengira ia adalah laki-laki. Rinai yang memang berharap dilahirkan sebagai kaum Adam, tak mau repot-repot memberitahu bahwa ia perempuan. Jadi, untuk apa sekarang ia mengakui kejelasan kelaminnya? Bukankah disangka sebagai laki-laki itu keren? Asal jangan sebut dia banci.
Maka, menarik tulang bahunya lebih lebar, Rinai menjawab dengan tampang sok keren. “Sejak hari ini.”
Mata Mesta makin sipit menatapnya. Tampak sekali bila dia tidak menyukai keberadaan Rinai di rumah ini. Jika saja Semesta tahu, Rinai juga sudah ingin mengundurkan diri.
“Lain kali jangan pernah berkata kasar pada adik saya!”
Andai dalam situasi normal, atau sepuluh tahun lalu misalnya, Rinai tak akan segan meneriaki laki-laki sombong itu dan berkata, “Adik lo tuh yang nyebelin. Lihat nih, tangan gue digigit sampe merah-merah begini! Anjir lo!”
Namun pada kenyataannya, Rinai cuma bisa diam. Sadar diri bahwa di sini dia hanya seorang kacung.
Ketika Semesta berbalik badan hendak menjauh, Meda melongokkan kepalanya dari bahu kokoh si calon dokter dan menjulurkan lidah penuh ejekan pada Rinai.
Triple sialan! Rinai berhasil dikibuli bocah berusia 39 bulan.
“Awas lo, Setan Kecil. Gue pites nanti!” geramnya dengan suara tertahan.
“Saya masih bisa mendengar suara kamu, Rain!”
Sialan pangkat sepuluh kali dua satu!
🍃🍃🍃
Tuh, Mestanya udah nongol, tuh😆😆😆
Esto bhule dhin dhika, Cah😘
Pamekasan, 08 Februari 2018
Repost, 02 April 2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top