03 | Rinai dan Cintanya yang Bertepuk Sebelah Tangan

Bab 03
Rinai dan Cintanya yang Bertepuk Sebelah Tangan
🍃🍃🍃

 

Rumah Angkasa itu besar. Berada di kompleks perumahan elite yang membuat Rinai harus menebalkan muka sebelum melewati rumah-rumah gedong dengan motor bebeknya yang soak dan sama sekali tidak ramah lingkungan. Begitu mematikan mesin motor di depan halaman rumah Angkasa, Rinai bertekad, pulang nanti ia akan memodif si Blacky agar bunyinya lebih halus. Apalagi tadi, satpam penjaga kompleks sempat menahan Rinai untuk masuk daerah ini dan mengajukan banyak pertanyaan yang membuatnya pening, serta memeriksa semua barang yang ia bawa. Bahkan Rinai sampai harus menelepon Angkasa agar si bapak-bapak berseragam putih dongker itu mau melepaskannya.

Hah, holang kayah! Tamu saja harus diperiksa sebegininya. Atau hanya Rinai saja, yang secara visual dan finansial memang tidak seharusnya bertandang ke sini?

Menginjakkan kaki di atas paving block halus di bawah sana, Rinai menarik napas. Ia mendongak, menatap istana tiga tingkat itu dengan pandangan memuja. Ini memang bukan kali pertama ia datang kemari, tapi rumah Angkasa selalu berhasil membuat ia kecil hati. Rinai seringkali merasa mimpi memiliki seorang kawan calon penerus keluarga Wiratmadja yang super kaya.

Merasa terik makin menyengat kulit kepalanya, Rinai segera melangkah menuju teras depan. Ia celingukan mencari seseorang yang bisa ditanya. Pintu utama sedikit terbuka, tapi Rinai tak berani langsung menyelonong masuk ke dalam seperti saat di kediaman Damai yang dulu. Salah-salah, nanti dia bisa dikira maling oleh pembantu rumah ini.

“Woy, ngapa berdiri di situ aja?” Daun pintu ganda di depannya terbuka lebar, menampakkan sosok Angkasa dengan tampilan rapi. Sahabat kecilnya itu mengenakan kemeja biru dan dasi liris-rilis. Celana bahan hitamnya menggantung rapi di pinggang. Rinai lupa kapan terakhir kali mereka bertemu, tapi kini Angkasa tampak kian memukau. Wajahnya tampan, kulitnya halus dan jambang-jambang kecil di sekitar rahangnya membikin tangan Rinai gatal ingin mengelus.

Oh, Tuhan ... bolehkah Rinai berharap dialah tulang rusuk Angkasa yang hilang?

“Hei!” Satu sentakan di lengan kanan, berhasil memutuskan keterpukauan Rinai pada sosok ganteng itu. Ia mengerjap beberapa kali, lalu cengengesan begitu menyadari dirinya melamun.

“Sori, sori. Abis lo keliatan ganteng banget, sih. Gue kan silau liatnya.” Dan Rinai tidak mau repot-repot menutupi keterpesonaannya.

“Jangan muji gue, plis. Gue berasa homo.”

Menyebalkan sekali kan, jawaban Angkasa? Sejak dulu, sedari kecil, Angkasa memang selalu menganggap mereka satu jenis kelamin. Jangan salahkan Rinai bila ia tidak kenal gincu dan maskara, karena perempuan berkaus hitam kebesaran yang kini mengekori Angkasa untuk masuk ke dalam rumahnya itu tumbuh besar dengan dua sahabat lelaki yang lebih suka bermain kelereng timbang gonta-ganti baju boneka berbi.

Dan hal tersebut jelas merugikan Rinai. Dia jadi diragukan kegadisannya. Pun perasaannya tak pernah dianggap oleh Angkasa. Iya, Angkasa. Laki-laki setinggi tiang listrik yang selalu tersenyum itu. Senyum menawan yang sungguh Rinai rindukan.

Sejak Rinai mengenal rasa, laki-laki inilah yang ia inginkan sebagai pendamping hidupnya kelak. Angkasa yang ramah. Angkasa yang tengil. Angkasa yang selalu bikin onar. Dan Angkasa yang selalu berhasil membuat jantungnya berdegup liar.

Namun, kini Rinai sadar diri. Dia dan Angkasa bagai langit dan ulekan. Terlalu jauh perbedaan di antara mereka yang tak bisa ia tembus. Meraih Angkasa, sama saja dengan meraih bintang. Sejuta tahun cahaya pun tak akan sampai. Yang ada sebelum menyentuhnya, hati Rinai sudah hangus terbakar.

Percayalah, terjebak friendzone itu tak semanis cerita dalam novel roman. Jika menurut Dylan rindu itu berat, maka dia harus tahu bahwa cinta bertepuk sebelah tangan itu bisa membuat hatinya berkarat.

“Eh, Rinai sudah sampai?” Suara lembut Damai, ibu Angkasa, kembali berhasil membawa Rinai pada realita.  Dia mengerjap sekali lagi demi memutuskan lamunan. Senyum lebar Rinai suguhkan pada wanita 45 tahun yang masih tampak jelita di usianya yang hampir menyentuh setengah abad.

“Hehe ... iya, Tante. Maaf telat, ya. Macet.” Rinai buru-buru menjauh dari Angkasa kendati dengan perasaan setengah tak rela. Dihampirinya Damai yang tengah membuatkan sarapan untuk Meda di meja makan, lalu menyalami punggung tangan beliau seperti dulu. Satu perbedaan lain Rinai rasakan, tangan Damai sekarang bahkan lebih mulus dan lebih lembut daripada tangannya.

“Klasik banget sih, alasan lo. Jakarta macetnya udah dari dulu kali. Bilang aja kalau bangun kesiangan,” celetuk Angkasa, sukses membuat perempuan setengah jadi itu meliriknya dengan tatapan jengkel. Padahal baru saja Rinai memujinya dalam hati, tapi sekarang ia memaksa Rinai mengumpatinya lagi.

“Nggak apa-apa. Rin mau bantu Tante jagain Meda aja udah seneng banget, kok.” Damai membalas senyum Rinai dengan wajah ramah. “Ayo, duduk dulu.”

Dan Rinai tak bisa menolak. Ia memang lelah dan butuh duduk. “Ang, haus. Minum, dong!” pintanya tanpa malu setelah berhasil mendaratkan bokong di atas kursi kayu meja makan keluarga Wiratmaja yang luar biasa mewah.

“Heh, cunguk, yang kerja di sini itu lo. Tapi kok, malah lo yang nyuruh-nyuruh gue?” Angkasa yang sudah menyeret kursi tepat di samping Rinai, menghentikan gerakannya demi memberi tatapan tak terima pada sang kawan.

“Elah, baru hari pertama.”

Mendengus, Angkasa menurut juga. Dengan masih menggerutu panjang-pendek, ia melangkah menuju kulkas di dekat kabinet yang menempel pada dinding bagian selatan. Membuka lemari es berpintu tiga, kemudian mengambil satu botol besar air dingin untuk Rinai. “Ini yang pertama dan terakhir lo nyuruh gue, ya!” sungutnya.

“Enggak janji, deh.” Rinai menjulurkan lidah mengejek sebelum menuangkan air dalam gelas dan meneguknya hingga tandas, lalu sendawa keras-keras untuk mengejek Angkasa. Damai yang menyaksikan interaksi mereka hanya bisa geleng-geleng kepala. Putranya memang akan kembali bersikap bocah bila sudah bersama Rinai atau Rendi. Tiga serangkai yang dulu ke mana-mana selalu bersama.

“Ang, ambilin Meda di kamarnya, gih. Waktunya sarapan dia,” pinta Damai pada Angkasa yang sudah hendak menjitak kepala Rinai.

“Siap, Bunda!” Sebelum berbalik, Angkasa masih sempat menarik rambut cepak Rinai, membuat perempuan itu mengaduh, yang dibalas Angkasa dengan tertawa keras-keras sambil menaiki anak-anak tangga menuju kamar sang adik.

“Kamu sudah makan, Rin?” tanya Damai sambil lalu. Dia bergerak gesit menuju kabinet, membuka salah satu pintunya demi mengambil dua toples camilan untuk Rinai. “Mau Tante bikinin sarapan?”

“Nggak usah, Tante. Rinai udah makan kok, di rumah. Lagian kan, Rin kemari buat kerja.”

“Tapi kalau camilan mau, kan?” tawar Damai sembari membuka tutup toples, yang dengan senang hati Rinai angguki. Bahkan tanpa canggung, ia meraih isi toples kaca yang Damai sodorkan. Mengambil beberapa keping keripik kentang dalam genggaman untuk kemudian dilahap satu-satu.

“Ya elah, Bun, dia bukan tamu.” Angkasa mengeluh, pura-pura keberatan. Begitu mendengar suara sahabatnya kembali, Rinai menoleh ke belakang dan mendapati laki-laki itu menuruni tangga perlahan. Dan demi Tuhan, Rinai makin terpukau. Ketampanan Angkasa serasa naik 50% hanya gara-gara dia menggendong bocah perempuan. Gerakannya luwes saat menepuk-nepuk pelan bokong montok Meda. Ia bahkan tak risih ketika harus membersihkan liur sang adik menggunakan tangannya. Rinai yang semula ingin kembali mengumpat gara-gara celetukannya barusan, mendadak bungkam.

“Aang udah cocok jadi ayah, ya, Rin?” Damai mendekati Angkasa dan meraih Meda yang baru bangun ke dalam rengkuhan. Sedang Rinai mengangguk tanpa mengalihkan perhatian dari objek tampan bermata beda warna yang sejak bayi ia klaim sebagai sahabat semati.

“Tuh, Rinai aja setuju kalau kamu udah cocok jadi ayah, Ang. Terus kapan kamu mau ajak calon istri ke sini? Bunda udah pengin nimang cucu.” Damai membawa Meda ke meja makan. Mendudukkan si batita lucu di kursi bayi agar lebih mudah disuapi. Meda yang sedang tidak mood sarapan, menggeleng-gelengkan kepala ke kanan kiri saat sang bunda menyodorkan satu sendok bubur.

Memutar bola mata, Angkasa menyahut, “Gimana mau gendong cucu, anak aja masih kecil gitu, Bun.” Ia ikut duduk di samping Rinai dan merebut toples kaca yang mulai dikuasi wanita setengah jadi itu. Membuat Rinai merenggut, tapi tak berani protes. “Lagian si Rinai didengerin. Dia aja yang udah mau manupause belum nikah juga, kok.” Tangannya mengambil keripik kentang lantas dimasukkan ke dalam mulut. Sambil mengunyah, ia menoleh pada Rinai yang masih mengerucut sebal seraya bertanya usil, “Eh ... tapi, Rin, lo nanti mau nikah sama cowok apa cewek?”

“Anjir, lo!”

“Rin!” Secepat Rinai mengumpat, secepat itu pula Damai menegur. “Jangan biasakan berkata kasar di depan Meda, oke? Nanti kalau dia niru gimana?”

Rinai meringis, mendadak tak enak hati. Tengkuk yang tak gatal, ia garuk sebagai pelampiasan. “Gara-gara Angkasa nih, Tante.”

Menggeleng maklum, Damai kembali membujuk Meda agar mau makan.

“Lagian si Bunda, keburu banget pengen punya cucu. Minta aja sama Mesta sana. Kan, dia yang udah mau nikah,” sungut Angkasa sambil meraih kembali keripik kentang dari toples di atas pangkuan.

“Semesta?” ulang Rinai tanpa sadar. Ingatannya otomatis berkelana pada sosok laki-laki berwajah triplek yang selalu menatapnya dengan tatapan penuh arti. Si anak Surya Wiratmadja dari mendiang istri keduanya. Saudara seayah Angkasa. Rinai mengenalnya, ah ralat ... hanya sekadar tahu. Itu pun karena insiden sepuluh tahun lalu, semasa SMA. Keadaan memperkenalkan mereka di arena tawuran. Perseteruan remaja yang kemudian berlanjut pada romansa Damai dan Surya.

Kalau tidak salah ingat, terakhir kali Rinai bertemu Semesta adalah di hari pernikahan kedua Damai. Yang itu berarti sudah lima tahun silam. Lagian, persetan dengan Semesta. Rinai terlanjur tidak suka pada pria sombong dan berwajah es batu itu.

“Iya, Mesta. Jangan bilang lo lupa sama dia?”

“Enggak. Emang di mana dia sekarang? Udah kelar belum studinya?” Melihat Angkasa yang tampak begitu menikmati camilan paginya, Rinai juga jadi ingin. Dia meraih toples satunya di atas meja. Kendati bukan kripik kentang, tak apa. Nastar juga termasuk jajanan kesukaannya. Ah, sebenarnya Rinai penyuka segala jenis makanan, jadi apa saja dia lahap selama masih bisa dikunyah dan enak ditelan.

“Dia udah balik dari tahun lalu, kok. Tapi, masih ngurus apalah itu namanya biar bisa praktik di sini, makanya jarang ada di rumah. Lima bulan lalu baru kelar adaptasi di Bandung, terus ujian ini itu, dan ngurus ini itu. Nggak paham deh gue. Cuma bisa heran aja sama tuh anak, ngapain coba kuliah kedokteran ke luar negeri, kalau ujung-ujungnya susah ngabdi di negeri sendiri. Untung jadi anak holang kayah dia. Ck ck ck ....”

Rinai memutar bola mata. Tak terlalu tertarik pada cerita Angkasa tentang saudara seayahnya. Apa pun kesusahan yang Semesta alami, bukan urusan Rinai juga. Jadi, ia lebih memilih untuk mengalihkan topik pembicaraan. Namun belum sempat Rinai membuka mulut untuk bicara, Damai lebih dulu menyela.

“Udah hampir siang ini, Ang. Sana berangkat. Nanti keburu dapet teguran dari Papa.” Damai mengangkat Meda dari kursi khususnya. Bocah itu menangis keras karena dipaksa makan. Membuat Damai kuwalahan dan kini sibuk menenangkan si putri semata wayang.

Dengan wajah enggan, Angkasa berdiri. Meletakkan toples keripik yang isinya tinggal seperempat ke atas meja makan tanpa menutup kembali. Ia merapikan kemeja yang mulai kusut sebelum mendekati sang Bunda, lalu mendaratkan satu kecupan di pipi Damai dan Meda. “Berangkat ya, Bun!” pamitnya yang dijawab Damai dengan gumaman.

“Berangkat, Rin. Sabar-sabar aja ngadepin kesayangan gue, ya. Dah ....”

Rinai hanya membalas dengan kibasan tangan, mengusir Angkasa agar lekas menghilang. Setelah sosok laki-laki itu tak lagi kelihatan, ia pun berhenti nyemil dan mengembalikan toplesnya ke tempat semula. “Meda masih belum mau makan, Tan?”

“Belum, nih. Dia emang suka gini. Rewel. Baru bisa diem kalo sama papanya. Makanya Tante sering kerepotan kalau urus Meda sendiri. Dia bener-bener nggak bisa diem, Rin.”

Rinai menelan ludah kelu. Mendadak ragu untuk menjadi baby sitter Meda. Pasalnya kalau Damai saja kerepotan, apalagi dia nanti? Rinai jadi ingat reaksi Lilah saat minggu lalu dia bertanya. Apakah dirinya cocok jadi pengasuh anak? Entah Lilah yang memang lebay atau bagaimana, ibunya itu sampai nyaris menelan mata nenek yang tengah digigit selama mencari jarum jahit begitu mendengar pertanyaan Rinai. Beruntung benda besi tipis itu tersangkut di tenggorokan atas berkat amandel Lilah yang belum juga musnah.

“Lu jadi bebisiter? Mending jangan dah, Rin!” serunya setelah mata nenek berhasil  dikeluarkan dari mulutnya. “Mending lu belajar jahit aja. Terusin kerjaan Emak. Ya  biar pun nggak bisa bikin kaya, seenggaknya masih bisa bikin lu nggak kelaperan.” Dan entah kenapa, saat ini saran Lilah terasa paling benar. Rinai memang tidak suka menjahit, tapi sebenarnya dia lebih tidak suka anak kecil.

“Bagaimana, kamu udah siap kan,  bantu Tante awasin Meda?”

Kalau sudah basah begini, apa yang bisa Rinai lakukan selain menyebur sekalian?

🍃🍃🍃

Hayo, udah keliatan belum, Rinai sama siapa?
Buat yang kangen Mesta, sabar yes. Kesayanganku itu lagi ngurus ijin praktik, Cah. aku jadi nyesel bikin dia kuliah ke luar negeri. Harusnya kan cukup di luar kota aja.
Emang harusnya riset dulu sebelum nulis. Pas tahu lulusan kedokteran luar negeri ternyata susah kerja di Indo, jadi pusing sendiri kan😭😭😭

Esto bhule dhin dhika, Cah😘

Pamekasan, 05 Februari 2018
Repost, 20 Maret 2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top