Terjungkit 3

Hallo! Aku kembali dengan keluarga harmonis, isinya suami super bucin dan istri manja luar biasa. Selamat membaca, oh iya jangan lupa klik bintangnya dan tinggalkan love di kolom komentar~
💛🧡💜❤️🖤💙🤍💚🤎

"Diizinin dong!" seruku pada Mami Seven. Sudah jelas Mas Aga tidak dapat menolak kalau sudah masalah ranjang.

"Oke. Nanti aku ada bawa keponakan. Udah gede dia SMA, bisa buat bantu ngawasin Seven dan Lingga," ujar Mami Seven yang semakin membuatku senang.

Semua hal-hal untuk keberangkatan akan diurus oleh teman Mami Seven. Kami akan berangkat dua minggu lagi. Tentu saja aku harus mempersiapkan keperluan Mas Aga sebelum meninggalkannya sendirian.

Mami Seven mengangkat cangkir berisi kopi susu hangat miliknya. Dia melirikku sambil menyesap kopinya. "Pak Aga jadi beneran nyalon, Cha? Penasaran banget aku," ujar beliau setelah dua kali menyesap kopi.

"Belum tau Kak. Yang jelas terakhir bahas masalah ini Mas Aga belum ada ambil keputusan apa-apa. Aku juga agak kepikiran nih kalau Mas Aga beneran nyalon," ucapku sambil sekalian mencurahkan isi hatiku. Mami Seven yang memang lebih dewasa dariku menjadi teman berbicara yang asik.

"Kenapa? Aku pikir kamu mampu kok buat jadi first lady." Mami Seven berkata sambil memberikan selembar tisu kepada Seven yang datang menghampiri.

Aku melihat Lingga yang juga melakukan hal yang sama. Aku mengusap sekitar pipi Lingga dengan tisu, keduanya sudah menghabiskan ice cream cokelat masing-masing sambil bermain di meja sebelah. Keduanya sengaja meminta pisah meja, katanya tidak mau diganggu dengan aku dan Mami Seven yang suka cerita-cerita.

"Mas ... nanti mainannya diberesin lagi. Jangan berantakan ya," peringatku saat melihat Lingga mengeluarkan beberapa lego yang sudah dibentuknya. Lego tersebut hasil menyusun dengan perjuangan keras Lingga dan Mas Aga.

"Siap Bu!" teriak Lingga yang langsung bermain kembali dengan Seven.

"Nggak segampang itu Kak. Gimana ya ... aku takut lingkungannya nanti mempengaruhi pertumbuhan Lingga dan Kay," tuturku sambil melihat ke arah Lingga.

Mami Seven juga mengikutiku, dia memperhatikan Seven dan Lingga. "Iya bener sih Cha. Bagi kita yang prirotas itu anak-anak," setuju Mami Seven.

Kay memang tidak ikut, dia tinggal bersama Jeje di rumah. Hari ini aku dan Mami Seven habis dari sekolah, memenuhi panggilan untuk mendengarkan laporan belajar anak-anak. Lingga dan Seven merengek ingin makan ice cream, itulah kenapa kami ada di sini sekarang.

"Didiskusikan baik-baik dengan Pak Aga, Cha. Apapun keputusan kalian yang jelas aku selalu menjadi pendukung Pak Aga," kata Mami Seven yang diakhiri dengan kekehan pelan.

Setelahnya, kami membahas kemana saja yang akan kami kunjungi di Jepang. Jelas saja menyusun beberapa rencana seru. Aku sangat-sangat excited karena sudah lama tidak liburan tanpa Mas Aga. Kalaupun liburan dengan Mas Aga, paling jauh juga ke Bandung. Tahu sendiri bagaimana sibuknya Mas Aga.

Aku sendiri juga heran, anggota DPR yang lain bisa-bisa saja pergi liburan dengan keluarga sampai ke luar negeri. Tapi, kenapa Mas Aga sibuk banget sampai punya waktu buat keluarga saja kurang. Dinas ke luar negeri juga, periode kali ini Mas Aga nggak ada dinas ke luar negeri sama sekali. Katanya masih bisa diwakilkan dengan anggota yang lain, sementara Mas Aga akan lebih fokus dengan hal-hal di dalam negeri.

⭐️⭐️⭐️

"Mas Lingga!"

Aku memanggil Lingga yang entah ada di mana. Karena besok hari libur, jadinya Lingga bebas bermain, dia libur belajar. Aku membawa setoples cokelat yang di depannya berlebelkan namaku. Kami sudah sepakat untuk tidak menyentuh cokelat masing-masing.

"Iya Bu," sahut Lingga yang keluar dari ruang kerja Mas Aga.

"Kamu makan cokelat Ibu ya? Kitakan udah sepakat buat punya toples masing-masing, Mas." Aku menatap Lingga dengan cemberut, menunjukkan toples yang kosong, tadinya masih ada setengah cokelat almond di dalamnya.

Lingga menatapku dengan cengiran. "Kemarin mas udah izin ayah kok. Kata ayah nanti ayah ganti," jelas Lingga yang membuatku tetap cemberut. Cokelatnya belum diganti sama sekali.

"Ada apa ini ribut-ribut?" Biang keladi dari hilangnya cokelatku muncul. Wajahnya kusut, rambutnya berantakan, khas Mas Aga baru bangun tidur. Sepertinya Mas Aga tertidur di ruang kerjanya.

Aku maju mendekat pada Mas Aga. Mengangsurkan toples kosong dengan wajah menekuk. Sementara Lingga, bocah satu itu sudah kabur kembali ke ruang kerja. Takut kena omelanku sepertinya.

"Kata Lingga ... ayah yang izinin dia makan cokelat Ibu. Tapi ini kok belum diisi lagi," protesku.

Kedua bola mataku sudah berkaca-kaca. Aku tidak bohong bahwa aku sedih kehilangan setengah toples cokelatku. Memang Mas Aga sudah memberikan pabrik cokelat, tapi pabriknya kan bukan di rumah, tetap saja harus pesan dulu!

Akhirnya, aku menangis. Sedih karena aku ingin sekali makan cokelat. Padahal seminggu ini aku nggak makan cokelat dulu karena Kay yang mengalami gangguan pencernaan. Kay masih meminum ASI-ku.

"Maaf ya, Bu." Mas Aga mendekat padaku yang menangis. Aku mengambil alih toples kosong di tangan Mas Aga, memeluk toples tersebut dengan sayang.

Mas Aga memelukku yang menangis seperti anak kecil. Ibu dua anak sepertiku masih menangis karena cokelatnya dimakan anak sendiri. Lucu sekali bukan jika ibu seperti itu menjadi istri dari orang nomor satu di Indonesia kelak.

"Sudah ya nangisnya Bu. Ayah telponin pabrik buat minta anterin beberapa stok ke rumah," hibur Mas Aga yang mengusap-usap punggungku. Mungkin bagi Mas Aga dia punya tiga anak, bukan satu istri dua anak.

Aku menganggukkan kepalaku pertanda setuju. Mas Aga melepaskan tangannya dari punggungku, dia merogoh kantong celananya dan mengeluarkan ponselnya. Aku masih betah bersandar di dada bidang Mas Aga.

"Mar ... tolong ke pabrik ambil beberapa stok cokelat buat Ocha. Langsung antar ke rumah ya!" perintah Mas Aga yang aku Yakini lagi-lagi dia memperbudak Mario.

"Maafin Ayah ya Bu. Ayah lupa banget mau isi ulang cokelat Ibu," kata Mas Aga yang kini mengurai pelukannya. "Jelek banget deh kalau nangis," tutur Mas Aga yang kini mengusap sisa air mataku dengan jempol tangannya.

"Peluk lagi," pintaku yang langsung mendapatkan apa yang aku mau. Kini aku kembali dipeluk oleh Mas Aga. Tempat paling nyaman yang tidak pernah membuatku bosan.

Aku melihat Lingga yang keluar dari ruang kerja Mas Aga. Dia sedang menyeret kantong besar berisi mainannya, sepertinya dia ingin pindah ke ruang keluarga. Lingga menggelengkan kepalanya seperti orang dewasa saat melihatku.

"Udah tua nangis, Bu," komentar Lingga.

Aku membalas komentar tersebut dengan memeletkan lidahku. "Biarin! Yang penting ibu dipeluk ayah," kataku memanas-manasi Lingga.

"Lingga mau peluk juga, Yah!" teriak Lingga yang langsung meninggalkan kantong besarnya, membuat isinya keluar beberapa dan bertebaran di lantai.

Mas Aga tertawa saat Lingga memeluk kakinya. Mas Aga mengurai pelukan kami, langsung aku meletakkan toples di atas sofa dekatku. Aku kembali memeluk Mas Aga dari samping.

"Gendong, Yah!" pinta Lingga yang tidak mau kalah. Kini Mas Aga sedikit membungkuk dan membawa Lingga ke dalam gendongannya.

"Berat hey kamu bocah," ejekku pada Lingga yang justru mencium pipiku.

"Ibu jelek kalau nangis," ledeknya yang membuatku kini memeluk erat Mas Aga dari samping.

"Ini ayah bisa mati sesek nafas ini," ujar Mas Aga karena aku dan Lingga sama-sama nempok dengannya. Kebahagian kecil seperti ini yang ingin selalu aku rasakan, dan semoga saja terus berlangsung selamanya.

⭐️⭐️⭐️

Tobat deh ngelihat kelakuan si Oca. Udah tua masih aja nangis karena cokelat. Pak Aga juga nih, kok bucin kaleeeee

Ps: Cek Bio aku ya untuk info jadwal update cerita-ceritaku

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top