Safir hellokittyboy : Blood Moon
Sejauh mata memandang, di sini, kehidupan kami tak akan pernah terlihat. Sebesar apapun teleskop yang mereka gunakan, seteliti apapun mereka yang menggunakan, kami tetap tak akan terlihat. Ya, karena kami hidup dalam wujud yang berbeda.
Kami berasal dari Bulan.
-------
Namaku Dean. Usiaku baru menginjak 17 tahun, tapi keluarga kerajaan sudah memberikan kepercayaannya padaku. Saat ini, aku sudah menjadi salah seorang letnan muda di bawah komando Ratu. Hmm, tidak percaya? Terserah. Tapi itulah kenyataannya.
Aku direkrut saat menginjak usia 10 tahun, tepat pada hari penobatan Sang Ratu. Kala itu, semua anak yang sudah cukup umur sepertiku, digiring menuju kastil kerajaan utama. Digiring. Ya, kurasa itu adalah kata yang tepat untuk mendeskripsikannya. Karena saat itu kami buta. Kami tidak bisa melihat.
Di upacara penobatan itu, semuanya terdengar aneh, benar-benar tidak seperti yang diceritakan para petinggi. Di sana, Ratu Selene-ratu yang kononadalah ratu tercantik di dunia-tiba-tiba menyuruh kami untuk menyerahkan sedikit darah kami. Kemudian prajurit-prajurit senior menusuk nadi kami, dan menanam sesuatu di sana hingga darah kami membasahi benda tersebut. Aku ingin menangis saat itu. Ratu macam apa yang tega melakukan hal seperti itu? Tetapi, kami tidak punya pilihan. Kami tidak bisa menolak. Bagaimana bisa melawan perintah Sang Ratu? Sedangkan kami bahkan belum mengenali dunia kami sendiri..
Kemudian Ratu meminta kami untuk melepaskan kain yang melilit mata kami. Kami langsung meraba ke belakang kepala kami, dan menemukan sebuah ikatan yang sebelumnya tidak pernah kami rasakan. Kami melepaskan ikatan itu, dan untuk pertama kalinya kami melihat cahaya. Seketika itu, kami merasa girang. Sudah lama kami berangan-angan untuk melihat seluk beluk dunia yang harus ditaklukkan oleh seorang pemuda tangguh.
Aku mengangkat pergelangan tanganku, dan kulihat tetesan-tetesan darah memberi warna merah sempurna pada mawar putih yang tertanam di nadiku.
Aku memandang sekelilingku. Di sini aku tidak mengenal siapapun. Dunia ini masih sangat baru. Seolah aku baru saja lahir.
"Dean?"
Hawa dingin tiba-tiba menyelimutiku. Aku menatap canggung pada wanita itu. Di matanya aku menemukan kemistisan, kegelapan, dan sihir jauh di dalamnya. Mata itu seolah bisa menembus diriku. Aku merasa tidak berdaya. Aku sungguh lemah.Bagaimana Ratu bisa tahu namaku?
"Sekali lagi, kutegaskan, tidak ada yang mengaku?" Sang Ratu kembali mengedarkan pandangannya pada kami, namun fokusnya selalu tertuju padaku.
Aku menelan ludah, mengorek keberanian dari dalam diriku. "S...saya... Yang Mulia." Aku mencoba menyembunyikan ketakutanku, tapi suaraku yang bergetar mengkhianatiku.
"Lebih keras!"
"Saya, Yang Mulia," jawabku dengan seluruh keberanian yang mampu kukerahkan.
Sang Ratu tertawa. "Bagus, Nak. Generasi keenam dari Travis. Sebuah kehormatan dari kesucian. Sangat berpotensi. Ini sungguh bagus. Bagus sekali." Ia mengangguk-angguk seolah menemukan sebuah harta karun.
Keheningan kembali menyelimuti. Travis? Berpotensi? Apa yang ia coba katakan? Yang kutahu, namaku Dean. Dan hanya Dean.
"Bisa kalian tinggalkan kami di sini?" Suara Ratu memecah hening. Para prajurit langsung dengan sigap menuntun anak-anak lain keluar dari ruangan. Ornamen-ornamen di dalam ruangan bergerak, menyilakan mereka untuk segera keluar ruangan.
Lalu hanya ada aku. Dengan. Ratu itu.
Dan semua memori-memori itu seolah terulang kembali saat ini. Detik ini.
"Generasi ketujuh dari Rahes, oh kehormatan dari kesucian. Dan darah suci Travis juga mengalir dalam nadimu, benar-benar luar biasa. Kemarilah, Alleya, kemarilah," kata Ratu dengan lembut. Namun gadis pucat itu tetap bergeming. "Tidak perlu ragu, Sayang. Kemarilah."
Gadis yang dipanggil Alleya itu terguncang. Matanya tak kuasa menahan tangis. Tubuhnya bergetar ketakutan. Ingin aku menolongnya, memapahnya menuju Ratu.
Kemudian kaki gadis itu mulai bergerak, mendekat pada Sang Ratu.
Wajah cantik Ratu sama sekali tidak berubah sejak tujuh tahun lalu. Gaun peraknyaberkilau indah bergelimang cahaya matahari. Di bawah singgasananya, bertebaran kelopak-kelopak mawar merah yang telah dicat oleh darah. Aku melirik tanganku, mengingat batang mawar itu telah mengakar dalam nadiku.
Selama ini aku tidak banyak bicara padanya, karena ia lebih banyak mengurung diri di ruangannya. Aku hanya sering mendengarnya bertanya, "Berapa lama lagi, Nyx?" Lalu sebuah suara menjawabnya, "Bersabarlah, Ibu. Anak dari Travis sudah cukup kuat. Anak yang lain ada di luar sana, keturunan Rahes. Ia dibesarkan dengan sangat baik. Yang terpenting, jagalah Eressa. Erano mengira Eressa sudah mati, dan itu membuatnya melemah. Hanya menunggu waktu yang tepat, Ibu, agar anak itu benar-benar matang. Menyelamatkan kita, dan membunuh Erano. Tujuh tahun lagi, Ibu. Tujuh tahun."
Tujuh. Enam. Lima. Empat. Tiga. Dua. Satu. Sekarang.
Apa gadis yang dipanggil Alleya itu yang dimaksud Nyx sebagai 'anak yang lain'? Apa ini semua ada sangkut pautnya denganku?
"Sekarang, waktu kalianuntuk menunjukkan loyalitas kalian kepadakusudah tiba, Anak-anakku. Aku ingin kalian menyelamatkan keturunanku, Nyx.
"Nyx sudah kehabisan darah. Kondisinya parah. Darahnya tak mampu lagi menghidupi Bulan dan seisinya. Jika hal ini diteruskan, ia akan mati. Setelah sekian lama aku mencari, rupanya semua ini bersumber pada pencurian kristal milik Nyx, Bloodstone, oleh Erano dari klan naga."
Erano?
"Travis dan Rahes, kehormatan dari kesucian. Aku sangat berharap kalian bisa merebut kembali kristal itudari Erano, entitas yang mengerikan itu. Kalian tidak boleh gagal seperti generasi sebelumnya. Terkutuklah mereka. Nyx sudah cukup lama menunggu. Waktu kalian hanya dua hari, sebelum Bulan mengalami gerhana. Lakukan dengan baik, Anak-anakku. Aku mengharapkan kalian." Sang Ratu mengulas senyum yang tidak bisa kuartikan.Sama dengan kata-katanya, yang masih belum jelas kucerna.
##
Alleya itu bisu.
Selama koordinasi, ia sama sekali tidak mengatakan apa-apa. Tapi aku heran, ia bisa menulis dan membaca. Mungkin Ratu memberinya satu abilitas spesial, dengan membuatnya mengenal huruf dengan cepat? Tapi, tetap saja, bagaimana pencarian ini bisa berjalan lancar, jika komunikasi saja masih seperti ini?
Akhirnya aku memilih untuk bertanya, "Kenapa kau tidak mau berbicara?"
Ia tersenyum singkat dan menulis sesuatu di bukunya. "Aku hanya ingin loyal kepada Ratu, sebagaimana yang harus kulakukan," katanya dalam tulisan.
Hash, jawaban yang tidak memuaskan. Apa hubungan loyal dengan tidak berbicara?
Tidak banyak informasi yang bisa kami dapatkan dari buku-buku di perpustakaan. Pengetahuan dasar yang kuketahui tentang Erano juga tidak banyak. Erano hidup di Montes Apenninus, lebih tepatnya di puncak Mons Huygens, gunung tertinggi di Bulan. Ia tinggal di kisaran koordinat 18.9ºN 3.7ºW. Montes Apenninus adalah daerah perbatasan antara Mare Imbrium dengan Terra Nivium-dataran tinggi di Bulan-tepatnya di arah tenggara. Sedikit jauh dari pusat Mare Imbrium-letak kerajaan Ratu Selene, yang berada di sekitar koordinat 32.8ºN 15.6ºW. Terlebih, Mare Imbrium adalah daerah kawah cekung, sehingga kami harus sedikit ekstra dalam mendaki gunung setinggi 5,5 kilometer itu. Jadi kira-kira kami harus menempuh jarak sekitar 2.181,6 km.
Waktu kami hanya dua hari, dan target agenda sudah kuurus. Bagaimanapun, akulah seniornya. Aku yang lebih banyak tahu mengenai dunia ini, mengingat Alleya masih 'baru'.
Hari sudah berganti pagi. Perbekalan sudah kami siapkan. Kami hanya membawa kantung tidur dan sedikit pare, makanan impor dari Bumi.
Penghuni kastil tidak memberi kami semangat atau semacamnya untuk membantu meningkatkan mental kami. Bahkan anggota kesatuanku juga tidak banyak berkata. Seolah kami hanya mendapat misi biasa yang tidak terlalu dipedulikan Ratu.
Tapi aku paham, kali ini, Sang Ratu sangat peduli.
Jiwa Nyx terluka. Aku paham bagaimana Sang Ratu memikirkan keabadian garis keturunannya itu. Meskipun aku belum pernah melihat Nyx secara langsung, aku tahu Nyx ada di kastil ini. Hanya saja, Sang Ratu menyembunyikannya, menutup segala kemungkinan kami untuk memberontak.
Tidak banyak halangan dengan warga sekitar. Dan dengan kuda kerajaan, perjalanan kami ke perbatasan Mare Imbrium dapat dipersingkat. Kuda ini dirawat sendiri oleh Sang Ratu. Dalam satu jam, kuda ini bisa menempuh jarak sekitar 200 km. Sehingga estimasi waktu yang kami butuhkan untuk mencapai kaki gunung adalah sekitar 10-12 jam.
##
Di depan kami, kaki Mons Huygens terlihat sangat mencekam, ditambah karena hari sudah menjelang malam.
Aku menuruni kudaku, dan menghadap Alleya. "Yah... inilah kaki Huygens. Sekarang, aku ingin memberimu penjelasan singkat, Alleya, dengarkan baik-baik. Aku tidak akan memaksamu untuk bekerja keras dalam pendakian ini. Karena kau adalah pendaki pemula, maka strategi kita adalah berjalan 1 jam, kemudian istirahat selama 10 menit, tidak lebih, untuk menghindari pengenduran otot. Usahakan tetap berada di dekatku, dan jangan memotong jalur lintasan yang sudah sesuai dengan kontur alam, kau bisa tergelincir.
"Tujuan kita ada di Tebing Arves. Letaknya tepat di antara dua jurang, maka jangan sekali-sekali melempar batu atau mengayunkan tangan keras-keras, itu akan menghilangkan keseimbangan. Selama perjalanan, konsentrasimu harus penuh, berjalanlah dengan irama yang teratur dan tidak kaku. Mengerti?"
Alleya mengangguk singkat. Ia terlihat menyedihkan. Perjalanan selama kurang lebih 12 jam membuat rambutnya acak-acakan dan matanya memerah. Ia terlihat pucat, tapi kelihatannya ia masih mampu mendaki.
Kuda kerajaan akan kembali menuju Mare Imbrium. Di samping kemampuan mereka untuk bergerak cepat, mereka adalah penderita hipoksia. Mereka akan kekurangan oksigen jika berada di tempat yang tinggi. Sehingga tidak ada jalan lain, kami harus berjalan menuju tebing itu.
Di tanganku, peta topografi sudah kusiapkan. Alleya kuminta untuk memegang kompas dan altimeter-alat pendeteksi ketinggian. Menurut ketiga alat tersebut, kami harus terus bergerak ke arah selatan, menuju perbatasan Huygens dengan Terra Nivium. Di sanalah Tebing Arves berada. Kami harus mencari si juru kunci, dan menemukan Erano.
Mons Huygens benar-benar sunyi. Sekelompok bandit yang dulu pernah menempati tempat ini tidak pernah muncul kembali. Habis oleh geraman Sang Ratu.
Di kilometer pertama, medan yang kami lewati berupa tanah berpasir. Jalur pendakian juga tidak begitu jelas.Walau begitu, kilometer pertama kami lewati tanpa kendala yang berarti.
Kilometer kedua dan ketiga adalah zona hutan lebat. Tempat ini seolah tidak pernah dijamah oleh siapapun. Dari cerita yang beredar, tidak ada yang berani menjajaki tempat ini, karena inilah rumah Erano, dimana ia bisa merubah dirinya menjadi entitas apapun.
Zona hutan lebat justru merupakan mimpi buruk. Yang benar saja, jalur pendakian sama sekali tak terlihat di sini. Aku mengeluarkan parangku, sesekali menebas onak yang menghalangi. Jalur yang kami lalui semakin terjal.Orang normal tidak akan senekat dan segila ini.
Aku menoleh ke belakang untuk melihat keadaan Alleya. Bagaimanapun, ini alam. Aku tidak bisa mengabaikan seorang gadis sepertinya tanpa pengawasan sama sekali."Alleya, kau masih kuat?"
Alleya menghentikan langkahnya. Ia menarik napas panjang, dan menatapku. Ia menunduk, ujung-ujung jarinya bergetar.
"Kau harus istirahat," kataku.
Ketika aku mendekat, tubuh Alleya hampir roboh. Tegaknya sudah doyong, dan matanya terpejam. Aku tidak yakin ia masih bisa mendengar suaraku. Secepat kilat aku menahannya jatuh, walau pendaratanku juga sebenarnya tidak baik. Kami tetap saja menghantam pohon.
Menghantam pohon di rumah Erano bukanlah ide yang baik. Aku menopangnya, sehingga kami bisa menghindar dari sentuhan pohon itu, entah pohon apa. Aku mengeluarkan sepotong pare lainnya, dan dengan segera kumasukkan ke mulut Alleya.
Krakkk...
Aku tidak tahu darimana suara itu berasal. Aku tidak tahu ranting mana yang jatuh. Tiba-tiba saja, pandanganku mengabur. Hanya ada kilatan biru yang asing. Hanya ada dedaunan. Hanya ada ruang putih.
##
"Ah, kau sudah sadar?" tanya seorang pemuda berambut putih di depanku.
Aku sedang berada di dalam gubuk kecil di tengah hutan. Dari jendela kecil di sebelahku, aku bisa melihat bahwa hutan ini adalah hutan yang berbeda dari hutan tadi.
Di seberang ruangan, Alleya masih terbaring lemah.
Pemuda tadi mengambil segelas cairan dan menyodorkannya padaku. "Minumlah, ini ramuan untuk menyembuhkan luka di tengkukmu."Pemuda ini, sepertinya adalah seorang pendaki juga. Ia mengenakan baju medan lengkap.
Aku menerima gelas itu, dan sedikit menenggak cairan berwarna biru gelap yang ada di dalamnya. Sedikit, aku meraba tengkukku. Memar.
"Kalian ini... sebenarnya siapa?" Matanya memicing, menatapku dan Alleya bergantian. "Jika kuamati tanda di lengan kiri baju kalian, kalian berasal dari Mare Imbrium?"
"Ya, benar, di sini kami sedang mencari Erano," ujarku singkat.
Mata merahnya seketika berkilat-kilat. Kemudian ia mengangguk seolah menemukan informasi berharga. "Apa kau salah satu dari mereka yang terbodohi oleh Selene?" Ia menyebut nama Selene, seolah ia adalah hal terburuk, terhina, dan tidak seharusnya berada di dunia ini.
Aku naik pitam. Tanganku mengepal.Ia menyadari perubahan raut wajahku, dan tertawa.
Seketika itu, aku mendapati Alleya sudah siuman.
Pemuda itu menyeringai. "Aku tidak perlu bertanya siapa dia. Dari baunya dan auranya, ialah orangnya," gumamnya di dekatku.
"Siapa kau?" Aku berusaha untuk bangkit dari ranjang dan menghadap si pemuda.
Ia malah tertawa mengerikan. Mirip dengan tertawa Sang Ratu. "Aku adalah orang yang selama ini kalian cari. Aku bisa membuka kunci gua Erano. Tapi kurasa, akan sangat sia-sia jika aku membukanya untuk kalian."
Kunci gua? Ia pasti berbohong. Dan apa benar ia si juru kunci? "Siapa kau sebenarnya?!" Nadaku meninggi.
"Terkutuklah Selene."
"BERANI-BERANINYA KAU MENYEBUT RATU SEPERTI ITU!" Sebuah pukulan mendarat di pipinya. Seketika, darah menetes dari sudut bibirnya.
"Kau..." Pemuda itu mulai berkata, dengan nada penuh dendam.
Aku menendangnya, membuatnya menumbuk dinding di belakangnya. Gubuk ini seketika doyong. Aku menunggunya melakukan serangan. Namun ia hanya berkata, "Matilah kau sekarang... Bersama dengan gadis itu." Matanya terus berkilat-kilat, semakin sering, dan semakin mengerikan.
Seketika itu aku merasa, aku benar-benar mati.
##
Ruang putih. Aku mati. Aneh, hanya karena perkataannya.
Aku terbangun dalam sebuah gua. Alleya yang berada di sebelahku. Di depanku, aku menemukan pemuda itu berdiri memunggungiku. Ia menatap sebuah kolam yang berwarna merah. Kolam Kemarahan...tanda dari Erano.
Pemuda itu membalikkan badannya. Dan aku bisa melihat wajahnya.
Wajah penuh sisik putih, seputih rambutnya. Matanya yang semerah apiberkilat-kilat, memancarkan kemarahan.Ialah Erano.
Kenapa aku tidak menyadarinya dari awal?
Sejak awal, ia telah mengintai kami.
Dan ini mimpi buruk.
"Garis keturunan ke enam dari Travis, dan garis keturunan ke tujuh dari Rahes! Benar-benar kombinasi yang memuakkan. Terkutuklah Selene! Eressa telah kau renggut! Sekarang apa lagi?!" Ia terus menyeru. "Apa yang kau inginkan?! Merenggut nyawaku?! Membuat Rahes dan Travis berkuasa penuh di dunia ini?! Memusnahkan klan naga?! Kalian memuakkan!" Erano terus mengumpat.
Aku membantu Alleya bangkit. Kami sudah menyiapkan senjata masing-masing, pedang dan tameng.
Aku memilih untuk maju lebih dulu. Erano telah merubah wujudnya menjadi seekor naga yang mengerikan. Sisiknya terlihat kokoh, seolah tak tertembus.
"Dimana lagu itu?! Lagu Eressa! Yang pernah ia nyanyikan pada Rahes! Lagu yang sebenarnya merupakan hadiah untukku!" Erano menangkis pedang yang kuluncurkan untuk menebas ekornya.
Aku berteriak, "Lagu apa?! Kami tidak mengerti maksudmu! Kami hanya ingin kau mengembalikan Bloodstone milik Nyx! Aku hanya ingin mengembalikan hubungan keturunan Rahes, Travis, dan kau! Tapi kau merusak segalanya!"
Tapi Erano tetap membabi buta. Ia menghentakkan ekornya dan melemparku ke dinding gua. Aku terpojok. Dari kepulan asap Kolam Kemarahan, aku bisa melihat bayangan Alleya maju, berusaha mendapatkan sisik Erano. Ia mengangkat pedangnya, sebelum Erano bergerak mengendalikan kolamnya dan mennyemburkan airnya ke berbagai penjuru gua.
"TIARAP, ALLEYA!" Aku memperingatkannya. Dan ia mendengarnya.
Erano mengumpat dan menanyakan pertanyaan-pertanyaan itu kembali. "AKU HANYA INGIN LAGU ITU! KALIAN TELAH MENGHANCURKAN HIDUPKU! MEMBUATKU SEMENYEDIHKAN INI! TERKUTUKLAH RATU KALIAN!" Ia melemparku ke dekat mulut gua.
Aku secepat mungkin bangkit, dan berlari kembali ke arahnya. Di sisi lain, Alleya terkapar, bertahan dari cipratan air panas dari kawah Huygens.
Erano mengangkat keseluruhan air panasnya. Oh tidak, inilah ujung hidupku. "KAU, MAKHLUK TIDAK BERGUNA! PERCUMA SAJA SELENE MENGIRIM KALIAN KE SINI! KALIAN SAMA SEKALI TIDAK SEBANDING DENGANKU!"
Mungkin hanya sepersekian detik, sebelum Erano benar-benar menghabisiku, aku mendengar suara.
"Jangan!"
Untuk pertama kalinya, Alleya bicara. Rupanya ia tidak bisu. Selama ini, Ratu-lah yang menyuruhnya untuk menjadi seorang bisu.
Erano menghentikan gerakannya. Air Kolam Kemarahan jatuh dari kendalinya, dan kembali ke tempat asal mereka. Tapi Erano seolah tertarik. Ia menatap gadis kecil yang setengah badannya telah ia bakar.
"Bagaimana mungkin... kau... aku bisa mendengar suaramu..."Suara Erano melunak. Ia menunggu jawaban Alleya.
Tapi, Alleya justru mengangkat bahunya dan seolah bertanya padaku.
"Jawablah, Alleya," aku berteriak di balik tubuh besar Erano.
"Apa yang ia tanyakan, Dean?" ia justru balik bertanya. Apa ini? Aku jelas-jelas bisa mendengar suaranya, tapi...
Oh.
OHHH.
Aku bisa mendengarnya. Dan Alleya bisa mengucapkannya. Bahasa Naga. Dan kemampuan kami terpisah! Ohhh...
"Ia berkata, ia bisa mendengar suaramu. Dan ia menanyakan tentang sebuah lagu yang seharusnya menjadi hadiah untuknya, tetapi ia belum pernah mendengarkannya. Dari... Eressa." Aku berjalan mendekat pada Alleya, agar kami bisa berkomunikasi dengan baik.
Ia tersenyum, seolah mengerti apa yang aku maksudkan. "Wahai Erano, aku hanya tahu satu lagu. Dan ini adalah lagu yang telah memberiku harapan. Meskipun aku tidak tahu lagu Eressa seperti apa, kuharap aku bisa menyanyikan lagu ini untukmu..."
Erano tampak tidak sabar.
Alleya memejamkan matanya dan mengambil napas panjang, kemudian ia mulai melantunkan lagu tersebut.
"Ketika sungai Elaine menggenang, biarkanlah aku mengenang
Biarkanlah heningnya mengundang sepiku
Biarkanlah bunyinya menyayat batinku
Di sini, aku pasrah
Biarkan malamku terbunuh
Biarkan pagiku merindu
Di sini, aku menyerah
Meski duniaku akan menghitam
Kuharap lilin-lilin itu mengharapkanku
Kuharap akan ada sepucuk daun yang mengharapkanku
Biarkan rinduku berlari, tanpa tujuan yang pasti
Menemui lilin itu, dan berlari
Melepaskanku."
Erano terdiam. Aku terkesima. Ia benar-benar mengisahkan hidupnya, dari semua yang hitam, pada semua yang diam. Lagu dimana ia akan menghadapi takdirnya. Di sini, ia melanggar perintah Sang Ratu. Ia mengatakan kesengsaraannya, kesedihannya, dan juga, harapannya. Ia bukanlah orang yang mengutamakan loyalitas. Hanya ada loyalitas yang berbatas.
Erano perlahan terisak. Ia teringat akan Eressa. Namun sesuatu yang menakjubkan muncul dari dalam Kolam Kemarahan, melayang di udara.Bloodstone.Aku segera menangkap kristalnya.
"Kukembalikan kristal ini pada kalian. Tapi kumohon, katakan pada Selene untuk memperbaiki hubungan keturunan Travis, Rahes, dan keturunanku. Biarkan mereka hidup. Aku berjanji akan menjaga mereka untuk tidak mengusik kerajaanmu." Suara Erano terdengar memilukan.
"Dan maaf telah membunuh kalian. Akan kuberi kalian nyawa sebagai gantinya..." Erano menjentikkan jarinya, dan perlahan luka-luka di tubuhku dan Alleya menutup, kembali seperti sedia kala.
Erano menjentikkan jarinya kembali, mengirimku dan Alleya menuju kastil.
##
Dentuman keras terdengar hingga penjuru kastil. Di sanalah aku dan Alleya berada. Kami tepat dijatuhkan di ruangan Sang Ratu. Dan untuk pertama kalinya, aku melihat wujud Nyx. Rupanya, ia hanyalah gadis kecil, dengan suara yang berat, karena telah menderita berpuluh tahun sakitnya.
"Anak-anakku..." Sang Ratu memanggil.
Aku menunjukkan batu kristal yang diinginkannya. Ia berjalan ke arahku, dan mengambil batu itu.
Ia menggosok batu itu, dan seketika batu itu meruncing, membentuk dua limas yang ditangkupkan. Perlahan, sulur-sulur mawar bergerak mengitarinya, berbunga cepat di hadapan kami.
"Tangan kalian, anak-anakku... Kalian datang di saat yang tepat. Sebentar lagi, bulan akan mengalami gerhana. Aku harus cepat menolong Nyx."
Tak ada pilihan, aku dan Alleya menyodorkan tangan kami.
Dengan tragis...
...ia menusuk pergelangan tangan kami, menariknya, dan mengikatnya dengan batang mawarnya. Ia membiarkan darah kami menetes, mewarnai mawar itu.
Entah sampai kapan kami bisa bertahan hidup. Rupanya sebuah pengkhianatan telah memanggil kematian kami.
Kematian yang sebenarnya.
Di kejauhan, beberapa manusia Bumi melihatnya, menembus kamuflase yang menutupinya. Mereka melihat, Bulan berwarna merah, semerah darah. Mereka melihatnya. Karena di sana, sebuah kesalahan besar telah terjadi, bahkan Bulan bersedia menyatakan kesedihannya. Keadaan semakin memburuk. Sama dengan ilmu mereka, yang menyatakan keadaan udara di Bumi. Jauh lebih buruk.
Mereka memanggilnya... Blood Moon.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top