Frédéric Blanc ReinAve : Inati (Rage)
'He, sudah dengar?'
'Apa?'
'Kamu tahu tentang Pangeran yang sakit keras?'
'Ya, Raja mengadakan sayembara. Kenapa?'
'Katanya Tuan Inati akan ikut.'
'Inati―Inati yang itu?'
'Tidak biasanya, ya?'
'Kenapa Raja tidak mengutusnya saja? Tidak repot-repot pakai sayembara.'
'Kamu tahulah apa kata orang tentang dia.'
'Ha. Tetap saja, aneh juga makhluk satu itu mau ikut beginian.'
'Ah, siapa yang tahu dia itu seperti apa?'
.
"Ha?"
Pertanyaan bernada panjang itu ditanggapi biasa saja oleh sang penjaga kunci.
"Aku rela meninggalkan kediaman mewahku jauh-jauh dengan segala kenikmatannya demi mengunjungi tempat suram ini menemui naga itu. Jalan ke gunung ini sangat tidak bersahabat dan banyak orang berbondong-bondong ke sini. Senjataku sempat dimaling dan aku harus mengejarnya capek-capek berhubung aku dilarang menggunakan kekuatanku. Lalu aku tidak bisa membunuhnya atau Raja akan mengambek dan aku tak dapat hadiahnya. Sekarang, setelah semua kesusahanku untuk menginjak lantai gua sesak ini, kau berani berkata padaku kalau naga sialan itu dikurung dalam jeruji besi?!"
"Yang Mulia Naga tidak dikurung dalam jeruji besi," sahut si juru kunci tenang, "dia hanya menjaga dirinya di ruangan―tanpa jeruji besi―di gua ini―"
"Memangnya naga butuh proteksi diri macam itu? Aku bersumpah baru kali ini dengar ada naga mengurung diri di gua gunung terpencil. Yang kutahu semua naga gila harta dan suka melihat apa saja dilalap api. Katakan, juru kunci atau siapalah dirimu; naga macam apa yang kaulindungi ini?"
"Tentu saja Yang Mulia Feliks berbeda. Dia merupakan naga yang mulia. Dia menghindari konflik dan memilih untuk menjaga kristal magis yang berpotensi membuahkan perang di antara kalian para manusia." Wajahnya berubah jijik, nada suara sarkastis. "Kalian yang datang ke sini mencari keuntungan, manusia, jauh lebih rendah darinya."
"Nah, kuberitahukan padamu, aku bukan manusia. Sekarang, perbaikilah sikapmu terhadapku dan biarkan aku masuk! Aku muak terhadap kefanatikanmu, (italic)manusia(italic)."
Juru kunci menghalangi jalan individu berkepala batu di depannya tanpa menggubris sindirannya, menggeleng tegas. "Maaf, aku tak mengenalmu, kau tak bisa masuk. Kau tak berhak memerintahku, dan kusarankan kaudinginkanlah kepalamu dan pergi dari sini. Kau tak akan dapat apa-apa dengan mengkomplain sampai besok pagi."
"Astaga." Pria berjubah cokelat itu menggeleng-geleng, memukul keningnya dramatis. "Astaga, astaga. Kau tak mengenalku. Anak siapa kau, Nak?" Suaranya mendingin, ekspresi serius, matanya membesar. "Kau lebih tak berhak menyuruhku mendinginkan kepala."
Mendadak serbuan tekanan tak kasatmata menyerang. Semua insan di gua itu mulai terjatuh, diserang sakit kepala dan sesak napas dikarenakan tekanan energi yang menguar dari satu entitas.
"Ingatlah." Suara kelam intens dari sang biang keladi tekanan. "Kau tidak menyuruh seseorang bernama 'Inati' untuk mendinginkan kepala."
Tekanan mereda.
"Kalian pergilah," kata Inati pada pria-pria pemburu permata di belakangnya, "bawa yang pingsan bersama kalian turun gunung. Kalian tidak ingin mati konyol karena pertarungan orang."
"Yang benar saja!" Salah seorang memprotes. "Sama sepertimu, kami datang jauh-jauh ke sini. Kaupikir kami akan pulang dengan tangan kosong?"
Inati meliriknya, lalu membalikkan badan. Menatapnya dengan pandangan yang jauh dari kata terkesan.
"Bodoh," celetuknya, tertawa sekilas, lalu menyeringai khas. "pemenangnya hanya satu. Dan bukan kau yang berhak menentukan siapa itu." Mengangkat tangan ke depan. "Siapa yang lebih mampulah yang mendapatkannya."
Seisi gua gunung itu bergetar. Tanah di sekeliling kumpulan pria yang dilanda kepanikan meretak, naik ke udara kosong seiringan dengan tangan Inati yang naik ke atas.
"Pegangan yang erat, Kawan," pesannya, "dan jangan lupa menunduk. Kalian tidak ingin tersantuk."
Inati menjentikkan tangannya, dan segepok tanah beserta orang-orang di atasnya bergerak keluar gua perlahan-lahan. Beberapa orang meneriakinya kesal, "Turunkan kami!" Tak menghiraukannya, Inati mengorek telinga dengan jari kelingking.
"Nah, sekarang kurasa tidak masalah kalau―"
Berbalik ke belakang, Inati menemukan juru kunci berbaring di lantai, tampaknya terbang arwah.
Ia terdiam.
"Hoi. Pingsan kau?"
Tak mendapat respons, Inati menghela napas. Melangkahi lengan terbaring juru kunci, ia mendekati bagian dalam gua yang gelap. Mengendus-endus dan menatap kekelaman gua dengan intensitas penuh.
Berbalik lagi menghampiri juru kunci, Inati mengamatinya, mencari-cari di manakah gerangan kunci itu. Setelah membolak-balikkan dengan kasar badan juru kunci yang malang tanpa hasil, ia mendengus.
Inati memutuskan untuk duduk di lantai gua dan berkontemplasi. Menutup mata beberapa saat dan mengkonsentrasikan indera bukan ide buruk di situasi ini. Hidungnya membuat bunyi kecil mengendus selama merenung.
Ketika membuka mata, ia sudah mencapai konklusi.
Ia berdiri lambat-lambat dan menghampiri si juru kunci. Kakinya yang dilapisi sepatu bot sepergelangan kaki menendang tubuh pria yang pingsan.
Tendangannya membuat si juru kunci terlempar ke dinding yang meretak ditabraknya. Lelaki malang itu bangun setelah terbatuk-batuk. Lalu ia disapa logam dingin di dagunya.
Inati, memasang seringai terbaiknya, mengangkat dagu sang juru kunci dengan pedangnya.
"Kau lemah. Bagaimana caramu melindungi nagamu kalau kau tetap begini?"
Juru kunci itu berdecih.
"Tugasku menjaga kunci. Dan memastikan tidak ada yang mendatangi Yang Mulia Feliks."
"Untuk apa kaulindungi dia?"
"Melindunginya lebih baik daripada melindungi manusia yang hanya bisa berperang."
Seringai Inati lenyap, ia berdecih. "Dan kau berminat melindunginya dalam keadaan menyedihkan macam ini. Apa yang dia perbuat untukmu sampai kau seperti ini?"
"Itu bukan urusanmu."
Inati mendekatkan ujung pedangnya ke leher juru kunci sebagai indikasi mengancam. Pria persisten itu tetap bungkam.
"Tidak usah sok protagonis kau. Padahal kau buta. Kau tidak tahu naga itu seperti apa." Mata Inati meredup, ekspresi mendingin. "Aku telah menemui banyak naga seumur hidupku. Mereka tidak bisa dikontrol dan cuma pantas dibunuh dan dimanfaatkan jadi obat organ tubuhnya."
"Justru itu! Kauperlakukan mereka dengan buruk, kan? Bukankah karena itu mereka jadi pemberontak?"
"Aku memperlakukan mereka dengan buruk atas dasar sifat mereka sendiri yang rakus dan suka menyakiti." Inati menarik pedangnya, mengangkat bahu dengan kedua lengan terangkat. "Salahkan aku soal itu. Tapi bukan salahku mereka punya sifat macam itu." Ia menjulurkan badan tingginya ke arah juru kunci. "Bo~doh."
Diluapi emosi, si juru kunci menamparnya sekuat tubuh mengizinkan.
Inati diam dalam posisi. Ia kembali berdiri tegak dan mengelus pipinya.
"Dikuasai emosi." Ia tersenyum. "Patetis. Tapi aku paham." Jeda. "Karena aku makhluk yang menyedihkan."
Si juru kunci berdiri dengan susah payah. Menatap tajam dalam senyap pria di hadapan―jika dia memang benar pria.
"Aku tak peduli tentang afeksi dan konsensimu pada naga sialan itu," kata Inati, menegaskan, "yang kutahu, aku akan mengambil kristal itu darinya, memberikannya pada Pangeran kecil yang sekarat dan membawa pulang segerobak emas. Meski harus melangkahi mayatmu dan bangkai 'Yang Mulia'-mu."
Pemuda juru kunci menyeka darah di wajahnya. "Kau tak akan mampu membunuh Yang Mulia Feliks."
"Oh, aku mampu." Inati menggeram, "Asalkan naga itu menunjukkan diri." Ia mengendus, menangkap molekul odor karat logam yang memekat, tapi menutup mulut akan itu.
Pria berjaket bulu artifisial sepanjang mata kaki itu mengambil napas dalam-dalam.
"Oi! Naga penghuni gunung suram! Tunjukkan ekormu!" teriaknya, suara bervolume kolosal. "Bakar aku! Sudah lama kau berdiam diri menjaga kristal, kan? Nah, keluarlah dan bersenang-senang sedikit!"
Suaranya menggema beberapa detik dan menghadiahkan dinding gua beberapa retakan kecil. Si juru kunci bergidik melihat tindakan masokhisnya. Hening.
Urat-urat di kening Inati menebal, matanya menyipit.
"Hoi, naga sialan! Kau berani mengabaikan aku, ha? Mengabaikan seorang Inati? Atau kau sedang tidur di antah-berantah? Oi, naga pemalas! Naga bodoh! Naga pengecut! Naga―"
Kata-kata Inati diinterupsi oleh eksistensi dadakan cahaya di belakang si juru kunci. Juru kunci itu membeliak, melihat ke arah kunci di tangannya yang bercahaya.
"Y-Yang Mulia .... "
Inati menyeringai. Kunci dijatuhkan oleh penjaganya ke tengah lantai gua. Cahaya yang dipendarkannya menerang temara sampai titik di mana seseorang harus menutup matanya jika tak ingin sakit mata. Titik menyilaukannya lama.
"Siapa yang kaukatai pengecut, ha?!"
Suara cempreng. Nyaring. Soprano. Merajuk. Bocah cerewet.
Sosok yang muncul dari cahaya itu adalah naga. Naga kecil. Tidak lebih tinggi dari Inati, tapi lebih tinggi dari manusia pada umumnya.
Dan ia berdiri membelakangi Inati, malah menghadap asisten kuncinya.
Inati membeku sesaat.
"Hoi, Bocah! Lawanmu di sini!" semprotnya nyaring.
Si naga ukuran minimum―untuk ukuran seekor naga―mengerjap lucu dan menoleh. Segera ia balik badan dan memasang ekspresi mengamuk ala anak kecil dihina temannya. "Oh, kau! Kau kan yang mengejekku tadi? Ya, kau! Enak saja kaubilang aku pengecut! Aku bukan pengecut!"
"Ha?" Inati mengangkat sebelah alis. "Jujur saja, ya. Aku memang sengaja memprovokasimu untuk keluar, tapi aku tak mengira kau ini hanya bocah naga. Kau bahkan lebih pendek dariku! Aku jadi tidak tega membunuhmu."
"Apa katamu?!" Si 'Bocah Naga' kembali mengambek. "Tidak tega membunuhku? Bunuh! Bunuh aku kalau kau bisa! Dasar manusia!"
Inati menjitak si anak naga. Hewan bersayap itu meringis kesakitan.
"Satu jitakan dan kau sudah merintih," kata Inati, wajah bosan mengintimidasi. "apa serunya menarungi anak naga macam kau."
"Aku tidak merintih!" Anak naga itu membantah sia-sia.
Inati menepuk kepala naga itu sampai tertunduk.
"Nak, anak baik, bukan?" Nada membujuk. "Kamu ada simpan sebuah kristal, kan? Nah, itu barang penting, Nak. Kristal itu bahan penyembuhan mutlak Kerajaan. Pangeran kami lagi sakit dan obatnya tidak bisa ditemukan. Kristal di posesimu ini bisa menyembuhkannya. Kasih ke Om, ya?" Inati tersenyum―sekaligus berusaha menahan supaya senyumnya tidak terlihat seperti seringai.
"Oh, jadi kamu cowok, Om?" Ia mendesis.
"Bukan sih. Aku bukan lelaki bukan perempuan―lupakan. Nak, saya mohon dengan sangat, kristal itu―"
"Tidak mau." Anak naga itu―Feliks menilik kata-kata si juru kunci―berkata tegas, "Banyak orang menginginkan kristal ini. Kau cuma salah satunya. Kau bisa saja menipuku mengatakan ingin menyembuhkan Pangeran, padahal kau ingin menambah kekuatan dengan berlian itu. Dan berhentilah memanggilku 'Nak'! Aku bukan anak kecil."
Ah. Ternyata pemikirannya bukan sekadar bocah juga.
"Menambah kekuatan?" Inati terbahak. "Aku menguasai seluruh bumi ini. Aku tak butuh tambahan. Aku ini Inati, makhluk yang terlahir dari bumi dan bukan melalui leburan sperma dan ovarium manusia biasa." Ia menyandarkan pedang kolosalnya pada bahu, bibir membentuk seringai lebar, kelopak mata menurun setengah. "Omong-omong, aku baru dengar kalau kristal itu bisa menambah kekuatan orang." Memelankan suara dan menekankan intonasi, seringainya nyaris mencapai telinga. "Tertarik untuk membahasnya lebih lanjut?"
Feliks mulai memasang ekspresi serius. "Tidak. Aku tidak memunculkan diri untuk membahas ataupun memberikan kristal itu padamu."
Inati memendekkan seringai. Otaknya berputar-putar, mulut berbasa-basi. "Jadi untuk apa kaumunculkan dirimu?"
"Eh, itu ..., " Mata Feliks mengecil, setetes keringat melintasi wajah. "Tadinya ... untuk, eh, balas menghinamu?"
Inati melongo beberapa detik.
Geram, ia mengayunkan pedangnya kuat-kuat ke arah Feliks. Feliks menjerit panik, menghindar. Pedang Inati mengenai tanah, membuat suara dentuman. Retakan tercipta dari energi pedangnya. Asap keluar dari logam pedang dan destruksi tanah.
"Oi, bocah naga bandel," kata Inati, menahan diri untuk tidak berteriak seraya tersenyum miring, "karena kau sudah membantahku untuk tidak memberikan kristal itu, tidakkah kedengarannya menyenangkan jika aku menghukummu sedikit?"
Sebelum Feliks sempat menjawab, mendadak seisi gua bergetar hebat. Suaranya tak mengenakkan untuk didengar. Tak lama kemudian langit-langit gua pecah menjadi beberapa kepingan dan jatuh.
"Lari!" Inati memperingatkan.
Feliks malah makin ke dalam gua.
"Oi! Cih."
Keselamatan diri lebih penting. Inati segera melompat terbang ke luar gua, mengambil jarak yang cukup jauh dari gunung. Ditatapnya gua itu lekat-lekat. Panik mulai mendera.
"T-Tuan Inati! Apa yang terjadi?" Orang-orang di atas tanah melayang yang diusirnya tadi meneriakinya. Inati tidak mengacuhkan.
Mungkin memang ada baiknya menahan diri untuk seseorang seperti Inati.
Beberapa menit kemudian, tidak mendapat tanda-tanda akan ada kehidupan yang keluar dari gua gunung, Inati terbang melesat turun ke arah gua. Di saat itulah, dari celah yang masih ada, Feliks terbang keluar membawa juru kuncinya dan sebuah kristal. Ia tidak terlihat baik-baik saja; Inati mencium aroma darah yang pekat; tubuh Feliks dipenuhi luka.
Bola mata beriris cokelat kemerahan Inati bergetar melihat pemandangan itu. Dalam hati ia diam-diam lega.
Anak naga itu terbang menukik, sengaja, bukan karena sekarat. Inati mengikutinya terbang turun gunung.
Ketika mendarat, Feliks mengeluarkan sebuah kristal kasar berlian, mendekatkannya pada tubuh juru kuncinya. Energi dari berlian tersalurkan ke tubuh juru kunci, menyembuhkannya seketika. Inati menyaksikan dalam senyap.
Ketika Inati mendekatinya, Feliks menatapnya sengit penuh siaga.
"Feliks," panggil Inati, "tolong. Berikan berlian itu padaku."
"Untuk apa?"
"Pangeran kami sakit. Tak percaya? Lihat betapa banyaknya orang berbondong ke sini. Mereka ingin bernegosiasi denganmu. Mereka ingin meminta kristal itu demi Raja."
Feliks tersentak. Rautnya sedih seketika.
"Aku yakin kau makhluk yang baik.," sambung Inati. "Sekarang kami tak berdaya. Tolonglah kami."
Mata sendu Feliks menatap Inati, lalu kristalnya. Menatap Inati lagi, ia melangkah mendekatinya. Menyerahkan perlahan kristal itu dengan skeptis. Inati menatapnya intens, tangan terjulur.
"Tidak,"
Inati mengangkat alis.
"Tidak. Tidak bisa," gumam Feliks, mundur. Matanya dipenuhi sentimen. "Aku ... tidak bisa."
Inati menatapnya lekat, memegang pedang dengan kedua tangan.
"Aku tak boleh!"
Seberkas cahaya berpendar dari kristal kasar di tangan Feliks. Cahaya yang menyilaukan memaksa Inati menutup indera penglihatannya. Feliks mengerang. Lama-kelamaan suara erangannya berubah; suaranya yang pada dasarnya bernada tinggi merendah jauh. Serak dan rendah seperti naga dewasa pada umumnya. Ia meraung seperti makhluk antagonis yang menyedihkan.
Cahaya meredup, dan Inati mencium bau aneh. Bau Feliks berubah. Bau naga memekat.
Tidak ada lagi naga kecil nan imut di hadapan, yang ada seekor naga kolosal dengan berlian tertanam di dada. Sayapnya menyilaukan; sebagian besar dikover oleh beribu berlian. Napas beratnya memenuhi udara; Inati harus menutup hidung karena baunya yang tidak sedap. Kepalanya menengadah, mulut mengembuskan api putih, membuat awan mencair menjadi hujan. Cakar berliannya menggali tanah.
Inati menggumam, "Fusi kekuatan?"
Bagaimanapun, ia mencium aroma bahaya. Alarm berdering nyaring di kepalanya. Segera ia mengulurkan tangan. Tanah, batu, dan tanaman mengikat keempat kaki Feliks di bawah komandonya. Ditingkatkannya gravitasi untuk menariknya ke dalam tanah.
Feliks yang mengamuk―entah secara sadar atau tidak―menunduk ke arah Inati. Perutnya memerah menyiapkan api. Hanya beberapa detik bagi Inati untuk mempersiapkan pertahanan.
Ia mengangkat pedangnya dalam posisi defensif. Feliks melempar ofensif: menyemburkan api putih dan melempar serpihan-serpihan berlian tajam hasil kloning dari kedua sayapnya. Inati membuat banyak layer tebal tanah di sekelilingnya untuk menangani berlian, sedangkan ia mendefensikan diri dari api putih dengan pedang besarnya, Litéera. Litéera memiliki kemampuan memantulkan serangan, tetapi jujur saja, Inati tidak yakin melihat api putih itu. Warna putih menandakan betapa panasnya api itu.
Dan serangan-serangan Feliks sampai padanya.
Kekhawatiran Inati menjadi sungguhan.
Agresi khas naga Feliks masih bisa dilantunkan olehnya, tapi itu hanya di awal. Lama-kelamaan apinya terasa membakar. Keringat mulai membasahi kulit Inati, dan di detik berikutnya keringatnya menguap habis. Ia tahu api ini.
"Sial!" umpatnya. "Kenapa apinya bisa setara dengan api putih Jehan?"
Serangan Feliks berlangsung lama. Inati tidak tahu berapa lama lagi ia bisa bertahan. Panasnya api itu mulai merusak logam pedangnya. Tangan kirinya yang menahan logam pedang mulai terbakar api. Inati membelalak, mengayunkan pedangnya vertikal dan melompat mundur. Feliks, meskipun terbakar apinya sendiri, masih sanggup mengembuskan lebih banyak api. Api itu mengikuti Inati; Inati melindungi diri dengan dinding tanah.
"(Bold/italic)Fifth Element-Emerald Specialty(bold/italic)―," Menggenggam erat pedangnya. "(Bold/italic)Full Power-Releasing(bold/italic)!"
Terjadi ledakan energi bersumber dari Inati. Tanah dan pohon hancur. Serangan Feliks terlempar kembali ke dirinya. Energi itu sendiri telah menjadi ofensif untuk naga itu.
Ketika ledakan itu mereda dan hening mengisi udara, Inati mengambil kristal yang tergeletak di samping tubuh pingsan naga yang telah kembali seperti sediakala. Lalu angkat kaki tanpa meliriknya lagi.
.
Georges Cairbre adalah pribadi yang dingin dan hanya bicara ketika diperlukan, tetapi pandai bergurau dan sangat ramah di depan teman-temannya. Dialah orang yang hidup bersama Inati. Mereka tak jarang berkelahi dan memiliki perselisihan persepsi, namun syarat kehidupan mengikat mereka berdua. Hidup Georges bergantung pada Inati, dan hidup Inati pun bergantung padanya. Mereka adalah pemilik dan pelayan; tapi posisinya sering terbalik lantaran kepala Inati yang lebih keras dari batu.
Pria yang tampak tak berekspresi dari luar itu sebenarnya ingin memasang tampang sedatar panci panas di hadapan Inati, tapi selalu menahan diri. Setidaknya karena ia tahu seperti apa makhluk berjenis kelamin ambigu itu.
Di kaIa Inati mendorong gerbang istana kediamannya malam itu, Georges tak kuasa menahan senyum.
Di ruang santai, pria bersurai cokelat itu menunggu kedatangannya, duduk di sofa menatap lidah api dan mendengar percikannya dari perapian. Satu kaki bersepatu bot panjangnya bersandar pada paha, satu tangan bersandar pada lengan sofa. Jarinya bergerak-gerak, naik-turun mengetuk pelan permukaan sofa merah.
Pintu kayu ruangan dibanting kasar. Inati melangkah masuk dengan aura aristokratis―ditambah gestur kasar sewenang-wenang. Menggaruk kepala, ia mulai mengumpat sebal.
"Hoi, Georges, aku sudah turuti permintaanmu! Emas nanti diantar Raja. Kristal sudah di tangan pihak medis. Naga gunung sudah mati. Kau tak ada masalah lain yang kauinginkan aku lakukan, kan?"
Georges menoleh. "Oh, selamat datang kembali," katanya seraya tersenyum, "ya ... kapan aku menyuruhmu menyelesaikan masalah macam itu?"
"Akh, diamlah. Kau yang menyarankanku bersenang-senang sedikit dengan naga itu." Inati menghempaskan dirinya ke ujung lain sofa panjang yang diduduki Georges. "Kau tahu? Naga itu hanya anak naga. Dia lebih pendek dariku! Omong-omong, ada juru kunci yang menghalang-halangi jalan sebelum aku bertemu naga itu. Dia memuja-muja naganya, memanggilnya dengan sebutan 'Yang Mulia'." Wajahnya berkerut jijik. "Padahal bocah naga itu tidak ada bedanya dengan yang lain. Dia menjadikan berlian magis itu sumber kekuatan tambahannya." Mendengus. "Walau ya, dia tetap bukan lawan yang paling menantang meskipun dengan kekuatan berlian itu."
Georges meliriknya. "Kau benar-benar banyak komplain akhir-akhir ini," komentarnya.
Pemuda androgini dengan tinggi dua ratus senti itu menggaruk tengkuk. "Cih. Aku tak minta komentarmu."
Georges tersenyum misterius. Ia mengambil gelas anggur di meja, meneguknya, dan menatap lekat gelasnya tanpa tujuan. Inati ikut mengambil satu, menggelontornya dengan tidak anggun.
"Inati."
"Apa?"
Helaan napas. "Bisakah kau lebih jujur sedikit dengan dirimu sendiri?"
"Ha?" Inati bertanya, nada suara seolah-olah baru mendengar pertanyaan konyol. "Ada apa denganmu, menanyakan hal macam itu mendadak? Kau mabuk?"
Georges tersinggung, tapi menahan diri. "Aku serius."
Inati berdecih.
"Jarang aku melihatmu dengan seringai akhir-akhir ini, Inati. Bukan hanya akhir-akhir ini, sudah beberapa dekade terakhir."
Inati menatap gelas anggur sebelum menaruhnya kembali. Matanya yang setengah tertutup bergetar.
"Kau ingin menyelamatkan Pangeran," ucap Georges, mata melirik Inati dari sudut mata. "kau punya kemampuan untuk membuat obat penyakitnya. Tak kaugunakan. Kau ikut sayembara bilang ingin hadiahnya. Modus." Ia menurunkan gelasnya. "Aku bahkan tak yakin kau membunuh naga itu."
Gelas kaca berbunyi nyaring menyerang meja. Inati berdiri, berjalan menuju pintu tanpa suara.
"Inati, aku serius." Suara Georges membesar. Ditatapnya tajam punggung Inati. "Aku tidak ingin kau seperti ini. Berhentilah bersembunyi dan meratap. Berhenti membohongi dirimu."
Inati berhenti di depan pintu.
Ia menoleh sedikit. Georges melihat kilatan emosi dalam matanya.
"Kau menyebalkan, Bocah," desisnya pelan. "seperti biasanya."
Inati menutup pintu dengan perlahan ketika keluar ruangan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top