❝satu❞


"Mau kemana, El?"

Fael berhenti berjalan ketika suara sang Papa menginstrupsi dirinya.

Alih-alih menjawab pertanyaan sang Papa, Fael malah kembali berjalan setelah memilih untuk berhenti sebentar.

"Papa tanya itu dijawab!"

Fael kembali berhenti dan memutar badannya hingga kini bisa melihat wajah sang Papa yang sudah memerah karena emosi.

"Fael keluar sebentar, Pa. Mau beli kebutuhan buat besok." Katanya.

Papanya kembali membaca bukunya dan terlihat tidak peduli dengan jawabannya. Lantas kenapa ia bertanya seperti itu padanya jika pada akhirnya begini?

Merasa tidak ada respon, Fael kembali melanjutkan jalannya yang sempat tertunda dua kali karena sang Papa. Ia keluar dari rumahnya untuk membeli beberapa peralatan yang akan ia gunakan untuk pembelajaran di sekolah besok.

— • j o u r n e y • —


Acara sarapan pagi ini bukan seperti sebuah film ataupun drama yang Fael tonton di layar laptopnya. Bercanda bersama sang Mama, tertawa bersama sang Papa dan menjahili seorang adik. Bukan seperti itu yang ia rasakan saat ini.

Fael hanya diam sembari memakan makanannya dan memperhatikan interaksi sang Papa dan juga adiknya. Begitupun sang Mama yang sesekali ikut andil dalam obrolan mereka.

Ingin sekali rasanya Fael ikut andil dalam percakapan saat ini. Namun, ia takut itu akan merusak suasana dan berakhir menjadi canggung satu sama lain.

srakk

Fael berdiri dari kursi meja makannya setelah ia menghabiskan sarapannya.

"Fael berangkat." Katanya yang kemudian memilih untuk berjalan meninggalkan mereka.

Namun langkahnya terhenti saat suara sang Papa yang menyuruhnya untuk menunggu sang adik dan berangkat bersama.

"Fael ada piket pagi hari ini, Pa." Tolaknya yang berusaha untuk sopan.

"Tunggu Reza sebentar apa susahnya? Toh ya ndak butuh waktu satu jam." Ucap Papanya dengan kembali menyuapkan nasi kedalam mulutnya.

Fael hanya bisa menghembuskan nafasnya pasrah lalu mengangguk dan menunggu sang adik di teras rumahnya sambil duduk.

Tak lama kemudian sang adik muncul bersama kedua orang tuanya. Membuat Fael mau tak mau harus berdiri dari duduknya.

"Reza belajar yang rajin ya disekolah? Jangan nakal!" Ucap sang Mama sembari mengusap pelan rambut Reza.

Papanya juga ikut mengusap kepala Reza yang notabenya adalah adik Fael yang umurnya berjarak 4 tahun dari Fael.

Fael merasa iri dengan adegan di depannya saat ini. Sedari dulu dia juga ingin seperti Reza. Di cium keningnya, di usap kepalanya dan juga di peluk saat hendak berangkat sekolah. Tapi Fael tidak berani mengatakannya, ia hanya bisa memendamnya sendiri.

"Kenapa ngelamun? Sana masuk mobil! Kasian Reza nanti telat." Kata Papanya yang membuat Fael tersadar dari lamunannya dan dengan segera ia memasuki mobilnya.

Fael duduk di sebelah Reza di kursi belakang. Tidak berniat untuk menyapa atau sekedar mengobrol kecil hingga sang supir kini sudah melajukan mobilnya keluar dari area pekarangan rumahnya.

Reza yang melihat sang kakak terus diam memandangi jalanan hanya bisa tersenyum kecut. Rasanya ia ingin sekali bercanda dengan kakaknya saat ini. Namun, ia urungkan karena mengingat hari ini mungkin kakaknya itu sedang tidak baik-baik saja.

"Kak?"

Mencoba berani untuk memanggil Fael. Reza kini menatap Fael dengan wajah berharapnya.

Fael menoleh dan menatap bingung Reza, "kenapa?" Tanyanya.

Reza menggelengkan kepalanya, "maaf."

"Buat?"

"Udah buat kak Fael nunggu Reza tadi." Katanya.

Fael tertawa miris dan kembali menatap jalanan, "kamu tau sendiri Za, udah makananku tiap hari." Katanya yang membuat Reza bungkam.

Sang supir yang mendengar interaksi itu juga sedikit tersenyum miris dan merasa kasihan.

— • j o u r n e y • —


"Pak, nanti ndak usah jemput Fael ya? Fael jalan kaki aja."

Sang supir yang mendengarnya menjadi tak enak, "jangan den, nanti Papa aden marah gimana?"

Fael tersenyum, "ndak apa-apa pak, kayak ndak pernah lihat papa marah aja." Ucapnya sembari terkekeh pelan.

Supirnya hanya bisa diam dan tidak tahu harus menjawab apa, "kalau gitu Fael pamit ya pak? Bapak hati-hati nyetirnya." Kata Fael lalu keluar dari mobilnya.

Jika dilihat, Fael memang lebih dekat dengan supirnya yang sudah bekerja bersama keluarganya dari umurnya 2 tahun itu. Hampir 14 tahun sang supir mengantarnya kesana kemari hingga kini Fael menginjak kelas 11.

"Fael kenapa baru dateng? Piketnya wis selesai." Kata teman Fael yang melihat Fael baru memasuki kelasnya.

Fael tersenyum canggung, "maaf ya? Tadi nganterin adikku dulu ke sekolahnya." Katanya.

"Nanti pulang sekolah biar aku aja yang bersihin kelasnya, kalian pulang aja." Kata Fael yang pastinya langsung diangguki dengan semangat oleh teman kelasnya.

Fael berjalan duduk dibangkunya bertepatan dengan bel sekolah yang berbunyi. Dan wali kelasnya yang masuk dengan membawa satu murid yang dipastikan adalah anak baru.

Suasana kelas yang awalnya ricuh kini menjadi sunyi karena kedatangan wali kelasnya dan juga murid asing disampingnya.

"Sebelum memulai pelajaran, Ibu bawa satu murid baru buat jadi temen kalian."

Suara sorak dari beberapa murid kelas disana mulai terdengar. Tidak banyak dari mereka mulai berbisik-bisik membicarakan murid di depan sana.

"Kenalkan namamu, nak." Kata wali kelasnya ke murid di sebelahnya.

Murid disebelahnya mengangguk lalu tersenyum sambil menatap satu persatu murid di kelasnya.

"Halo? Namaku Brian Angkasa Artawijaya, biasa dipanggil Brian. Aku pindahan dari Malang." Katanya.

Bukan seperti yang ada di dalam film maupun drama lagi. Kini Brian sudah langsung di suruh duduk oleh gurunya di samping meja milik Fael. Bukan, tidak sebangku. Hanya saja meja mereka bersebelahan.

Brian menatap Fael lalu tersenyum mengangguk sebagai sapaan. Fael yang melihat itu hanya bisa tersenyum canggung lalu menatap bukunya kembali. Dia sama sekali tidak tertarik untuk sekedar bercakap atau berkenalan dengan teman kelas barunya itu.

Brian yang menatapnya hanya bisa tersenyum lalu mengalihkan pandangannya ke teman sebangkunya.

"Halo? Brian." Kata Brian sedikit kaku ke teman bangkunya.

"Yoi, aku Dito, santai aja." Kata Dito sambil nepuk bahunya Brian.

Mereka cuma saling lempar senyum dan kembali ke aktifitasnya masing-masing. Belajar.

— • j o u r n e y • —

"Cie Fael yang rapotnya diambil sama supirnya ciee~"

Sudah hampir setiap hari Fael mendengar candaan dari teman-teman angkatannya atau bahkan kakak kelasnya hanya karena pada saat pengambilan rapot bukan sang Papa yang mengambil, melainkan sang supir pribadi keluarganya.

Malu.

Bukan malu karena sang supir yang mengambil. Fael malu pada mereka semua karena saat dimana harusnya orangtua yang mengambil rapot anaknya, rapot miliknya malah diambil oleh orang lain.

Tapi dia bisa apa? Saat bertanya pada sang Papa pun hanya dibalas– 'udah enak ada yang ambilin, masih aja protes.'

Kenapa tidak meminta pada Mamanya? Jangan ditanyakan, saat itu sang Mama juga sedang mengambil rapot milik adiknya, Reza.

Lagi dan lagi Fael hanya bisa menghela nafasnya pasrah karena mau bagaimanapun juga ia masih memikirkan kesibukan sang Papa. Lelaki tua itu bekerja di bidang pertambangan dan memiliki sebuah usaha restoran yang cukup besar dan bercabang. Sudah tentu pasti sibuk.

Fael kembali kedalam kelasnya saat setelah ia membeli sebungkus roti dan juga susu kotak.

Sebenarnya Fael juga ingin seperti anak yang lainnya. Bercanda bersama teman-temannya dan duduk bersama di salah satu meja kantin dengan memakan makanan yang dipesan masing-masing. Namun, ia hanya bisa berkhayal dalam pikirannya mengingat ia bahkan tidak memiliki teman dekat. Teman pun hanya sebatas teman sekelas dan teman sebangku.

— • j o u r n e y • —

"Dit, punya penghapus ndak?" Tanya Brian ke Dito.

Dito menggeleng, "ndak lihat kamu gambaranku udah kumel kayak gini?" Katanya sambil menunjukkan gambarannya yang sudah tidak bisa dikatakan sebagai gambaran lagi.

Brian sedikit tertawa dan mengangguk, lalu melihat ke bangku sebelahnya. Lebih tepatnya bangku milik Fael. Dia melihat penghapus disana. Ingin hati Brian meminjam, tapi dia tidak mengetahui namanya.

Brian menepuk lengan Dito, "anak sebelah namanya siapa, Dit?" Tanyanya.

"Oh itu Rafael, biasanya dipanggil Fael." Katanya terus Brian ngangguk-angguk.

Brian sedikit mencondongkan badannya kearah Fael, "em– permisi?"

Fael yang melihat hanya ngangkat kedua alisnya bingung, "Rafael?" Tanya Brian yang membuat Fael mengangguk.

"Boleh pinjam penghapus? Aku ndak bawa soalnya." Kata Brian sambil tersenyum canggung.

Fael mengangguk, "pinjam aja ndak apa-apa." Katanya.

Brian langsung mengucap terima kasih dan berdiri untuk mengambil penghapus milik Fael. Tapi sebelum ia kembali pada posisinya, sempat ia melihat gambaran milik Fael. Bagus.

"Kamu pinter gambar, El?" Tanyanya.

Fael mendongak untuk menatap Brian, "ndak juga, kenapa?" Tanyanya.

Brian tersenyum lalu menggeleng, "gambaranmu bagus." Pujinya.

Fael tersenyum mendengarnya, "beneran? Makasih...?"

Ingin menyebut nama murid baru di hadapannya saat ini, namun Fael terdiam ketika dirinya lupa siapa nama murid barunya.

"Brian." Kata Brian yang melihat Fael seperti bingung sendiri.

Fael hanya menganggukkan kepalanya, "makasih, Brian." Katanya.

Brian mengangguk juga dan kembali ke bangkunya untuk melanjutkan gambarannya yang sempat tertunda tadi karena tercoret dan harus meminjam penghapus.

"Manis."


















——— • j o u r n e y • ———


kenalan dulu

Ardito Cahyo Pramana
[Dito]
—Mike Chinnarat—
17 Tahun
Surabaya, Jawa Timur
[Hah? Hahahahaha]

Varreza Ragil Tamtama
[Reza]
—Nanon Korapat—
12 Tahun
Surabaya, Jawa Timur
[Keluargaku, kesayanganku]

———— J O U R N E Y ————







apdet chapter pertama dulu
kalo rame baru lanjut hehe
sekalian buat selingan book sebelah biar ga sepi-sepi amat yekan

jadi menurut kalian cerita ini gimana para baiwiners?😃

klo ak sadar diri ak masi jauh dari kata bagus
ceritaku ga sebagus cerita author lainnya but...
ini kemampuanku cuma segini
😔🔫😔🔫😔🔫😔🔫

ak bikin cerita ini juga sebagian ak ambil dari real life seseorang yang kurang lebih kya gini kalo hidupnya  dibuat cerita🥴🔫

jadi,
jangan lupa krisarnya
atau voment🥴🔫
yang banyak! maksa .g

MAKASIH🧡🧡🧡

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top