6. Little Problem
Enjoy the story and happy reading
**
Malamnya, aku mendapat panggilan dari London dan Quinsha terdengar kesal dari suaranya. Ia bahkan mematikan sambungan sebelum aku ngomong apa-apa.
Coba pikir, kalo ada masalah kaya gitu gimana mau beres coba? Bukannya komunikasi itu jalan paling baik ya? Mangkanya aku nelfon balik, dan sialnya di reject. Kalo lagi gini mau kesel ke siapa coba? Ya betul! Adam! Kan anak pinyik satu itu yang bikin laporan ke London.
Ribet emang punya adek macem Adam.
Sebenernya aku males nanggepin Quinsha yang marah-marah kaya gini. Cuma, aku menghargainya, aku juga ga mau semuanya berantakan karena salah paham dan ga dapet kesempatan buat jelasin apa-apa.
Ponselku tiba-tiba berbunyi ketika aku hendak ke kamar Adam, minta pertanggung jawaban. Ada pesan, aku membukanya dan itu dari Quinsha.
Quinsha C B:
Dasar aneh!
Kemaren upload gambar aku
Hari ini cewe lain!
Besok siapa?!
Aku hanya membaca pesan tersebut, biarin dulu aja. Kalo aku bales sekarang malah tambah ribut, bukannya baikan. Jadi biarin aja dulu Quinsha marah-marah gajelas, entar juga kalo udah tenang mau dengerin penjelasan aku.
Aku keluar kamar, mengetuk pintu kamar Adam dua kali sebelum membukanya. Terlihat Adam sedang tekun di meja belajarnya.
"Ngapain Dam?" Tanyaku.
"Bikin PR, kak. Banyak." Jawabnya.
Aku masuk ke kamarnya, duduk di kasur menghadapnya yang lagi sibuk.
"Dam, jail kamu sekarang udah kelewatan. Sumpah." Kataku.
"Maksudnya?"
"Quinsha marah sama Kakak."
"Yeee orang pas aku laporan Kak Quinsha biasa aja kok." Sahut Adam, enggan disalahkan.
"Ya ke kamu biasa aja, ke Kakak ngamuk-ngamuk Dam." Kataku.
"Ya gatau, itu mah resiko orang pacaran."
Pacaran? Serius, aku aja gatau hubungan aku sama Quinsha itu apa. Kita gapernah resmi pacaran, kalo kita berdua emang pacaran, dari kapan?
"Kakak malem ini tidur sini ya?" Kataku.
"Di pojok ya! Aku kalo malem suka pipis jadi gaenak kalo di pojok." Sahut Adam.
Aku mengangguk dan naik ke kasurnya. Segera berbaring di pojokan menghadap langit-langit kamar Adam yang di hiasi sticker cars.
Aku merogoh ponsel di dalam sakuku. Membuka aplikasi chat, mengetik sesuatu untuk Quinsha.
Me:
She just my junior
I told you, she wants me to draw
her portrait, and you said
I should to help her, right?
I post her pict in my account
cause it's my art, just art.
Sent, udah lah. Semua balik ke Quinsha. Kalo dia ngerti ya Alhamdulillah, kalo engga yaa... sepertinya hari-hari ke depan gabakal santai.
**
Pagi harinya, ketika terbangun aku mengecek ponselku. Ga ada balesan apa-apa dari Quinsha. Entah kenapa jantungku mendadak perih, mendadak berdetak lebih cepat. Ini kenapa?
Aku bangkit dari kasur, menuju kamar mandi untuk cuci muka lalu keluar. Saat keluar Mama sudah ada di ruang santai bersama Tata dan Nana.
"Kak, temenin adeknya bentar ya? Mama mau bikinin sarapan buat kita."
"Iya, okey ma." Sahutku.
Aku langsung duduk di sofabed, bersama Tata dan Nana yang sekarang udah belajar tengkurep sama angkat kepala. Ya, anak kecil mah proses apa aja lucu yaa. Aku mengecup pipi keduanya bergantian, wangi bayi tuh enak banget. Khas gitu. Ga ngerti lah kenapa bisa gitu.
Tak lama Adam bergabung dengan aku dan anak kembar ini. Dia langsung dengan lihai memangku Nana.
"Dedek emeshnya Abang! Jalan-jalan yuuk dek, kita lari pagi!" Seru Adam sambil menggoyang-goyang Nana, membuat anak kecil itu tertawa.
"Dam, jangan digoyang-goyang itu anak. Nanti gumoh." Kataku.
"Santai Kak, aku mah udah ahli masalah pergumohan. Lagian gumohnya wangi kok."
Yaudah, suka-suka dia aja.
"Kakak gimana sama My Queen, udah baekan belom?" Tanyanya.
"Baekan apaan, WA aja ga dibales." Kataku.
"Yaudah santai, kalo lagi berantem tuh dinikmatin aja. Santai." Ujarnya.
Sejak kapan Adam jadi dokter cinta? Ini anak emang sok gede banget deh ah!
"Kakak! Ayo makan! Ajak Adam." Terdengar suara Mama dari bawah.
"Tata sama Nana gimana?" Tanyaku.
"Bawa sini."
"Kamu bisa Dam bawa ke bawah?" Tanyaku.
"Bisa, gini-gini aku jago Kak ngurus dede gemez." Sahutnya.
"Yaudah bawa gih, hati-hati." Kataku.
Pelan-pelan aku mengangkat Tata dari sofabed, merengkuhnya ke dalam lenganku lalu membawanya turun ke bawah. Di dapur, aku sudah melihat Adam meletakan Nana di stroller khusus mereka, langsung saja aku meletakan Tata di sampingnya.
"Ayah mana Ma?" Tanya Adam.
"Belum pulang dari kemaren, kan ada operasi yang apa gitulah mama ga ngerti. Udah dua minggu disiapin, nah operasinya mulai dari kemaren." Jelas Mama.
Aku dan Adam hanya mengangguk-ngangguk kaya pajangan mobil. Ga ngerti juga.
"Kamu balik ke Jakarta kapan kak? Malem yaa!" Seru Mama sambil menyajikan makanan di meja.
"Siang deh Ma. Aku ngehindar macet." Kataku.
"Siangnya jam berapa? Gamau temenin Tata sama Nana berenang kamu?"
"Eh? Mereka mau berenang?" Tanyaku langsung melirik anak bayi kembar yang cuma bisa nangis, buang aer sama nyusu. Gile, bayi umur 3 bulan coy.
"Iyaaa ada tempat les renang buat bayi gitu Kak. Ikut ga?" Ajak Mama.
"Yaudah deh, aku nyupirin Tata Nana dulu baru balik." Kataku.
"Goodboy!" Seru Adam sambil menepuk-nepuk punggungku.
Ya ampun Dam! Anti klimaks banget sih ini anak satu!
**
Senin pagi, dengan membawa kanvas berisi gambaran Anida, aku udah lari-lari menuju ruang Bu Meli. Dosen Waliku ini mendadak majuin jam ketemuan, harusnya jam 9 jadi jam 8. Beliau lupa ada ngajar jadi aku korbannya.
Begitu sampai di ruangan dosen, aku tak melihat Bu Meli di manapun. Kuambil ponselku dan kuhubungi beliau.
"Hallo, Bhagas kamu di mana?" Tanya Bu Meli menjawab panggilanku.
"Saya di ruang dosen Bu." Kataku.
"Saya ada di ruang 1.3.1 kamu masuk sini aja yaa!" Serunya.
"Oke Bu!" Sahutku.
Lalu sambungan telepon terputus dan aku pun langsung naik ke lantai tiga, ruang satu.
Aku mengetuk pintu beberapa kali sebelum membukanya, duh lah, malu! Bu Meli lagi ngajar senior.
"Sini Ga, masuk!" Seru Bu Meli.
Aku masuk ke ruang kelas dengan menunduk, Bu Meli lagi ngajar ilustrasi lanjutan.
"Ini Bu." Kataku, menyerahkan kanvas yang tertutup kain.
"Anak teaternya siapa namanya?" Tanya Bu Meli.
"Anida." Kataku.
Bu Meli membuka kain penutup, mengamati gambarku sekilas.
"Anaknya mana? Ga ngikut kesini?" Tanya Bu Meli.
"Eh? Engga Bu." Kataku.
"Telfon anaknya, suruh kesini. Saya mau liat semirip apa gambar ini sama dia." Kata Bu Meli.
Ya ampun, kenapa Bu Meli pagi ini jadi ngeribetin dah? Biasanya santai. Aku merogoh ponselku lalu menghubungi Anida. Untungnya, dia langsung menjawab panggilanku.
"Kenapa Kak?"
"Di mana? Bisa ke gedung seni rupa ga? Ruang 1.3.1 Bu Meli mau ketemu." Kataku.
"Ohh bisaa, bentar ya Kak!" Lalu aku menutup telfonnya.
"Bentar lagi dia kesini Bu." Kataku.
"Yaudah kamu duduk aja," Kata Bu Meli, menunjuk kursi kosong di deretan depan.
Aku mengangguk dan berjalan ke kursi yang kosong.
"Bu, mau liat dong lukisannya!" Seru seseorang dari deret belakang.
"Ya, dong mau liat!" Beberapa orang menimpali.
Aku merasa wajahku memerah, sial sial sial. Kenapa harus gini sih?? Lalu, tanpa aba-aba Bu Meli membalik lukisan yang sedang ia pegang, menghadap para mahasiswa/i.
"Waaaww!"
"Cantikk!"
"Pinter si Bhagas milih objek."
Terdengar cuitan-cuitan dari mereka, yaudah lah seengganya komennya bagus.
"Kalo menurut kalian, selain objeknya. Apa makna lukisan Bhagas ini?" Tanya Bu Meli.
Makna? Ya ampun, itu di gambar atas dasar tuntunan dan niat bantuin orang. Ga ada makna apa-apa. Sumpah deh!
"LGBT, Bu. Pelangi abisnya." Aku menoleh begitu ada seseorang yang komentar seperti itu?
Seriously? LGBT? Aku aja ga kepikiran kesana pas gambar, for God's sake!
"Ga semua pelangi itu LGBT, Reza!" Seru Bu Meli.
Kemudian yang lain diam, ada suara-suara mengobrol tapi di belakang.
"Ayok apa?" Tanya Bu Meli, bersamaan dengan pertanyaan itu, terdengar pintu di ketuk dan detik berikutnya Anida menyembulkan kepalanya dari balik pintu.
"Ini objeknya Ga?" Tanya Bu Meli, menunjuk Anida.
Aku mengangguk.
"Masuk sini!" Seru Bu Meli.
Lalu Anida masuk dengan malu-malu, berjalan menghampiriku.
"Yeee kenapa ke Bhagas? Sini lah!" Seru Bu Meli, dan yang lain pun tertawa melihat tingkah kikuk Anida.
Aku bangkit dari kursiku, berjalan menghampiri Bu Meli juga.
"Bu saya mau jawab boleh?" Tanya seorang mahasiswa, ah aku kenal dia. Dia, Mahendra. Senior yang jago banget bikin karikatur.
"Ya boleh!" Seru Bu Meli.
"Gambar ini potrait cewe, tapi pake warna-warni. Bukan gambar biasa yang pake warna kulit, warna lainnya sesuai kenyataan. Mungkin di sini Bhagas mau ngungkapin kalau objek ini ngasih warna di hidupnya. Mangkanya dibikin warna-warni." Jelas Mahendra.
Hah? Apaan, ketemu ini anak aja belom ada seminggu. Warna-warni dari London!
"Ya, bagus Mahe!" Sahut Bu Meli setuju.
Lalu Bu Meli duduk, fokus pada kami berdua.
"Ini bener Bhagas yang buat?" Tanya Bu Meli pada Anida.
"Bener Bu, sabtu kemaren di rumahnya Ka Bhagas di Bogor." Jawab Nida.
"Kamu liat pas dia bikin?"
"Liat Bu, kan saya ikutan."
"Kamu ke rumah Bhagas?"
"Iya Bu, abis Ka Bhagas dimarahin Mamanya suruh pulang."
Yee sejak kapan Mama marah-marah sama aku? Ini anak ngarang banget! Aku melihat Bu Meli, dan beliau seperti menahan tawanya. Kan, kampret emang ini Anida!
"Yaudah, mau saya tanda tangan di mana ini?" Tanya Bu Meli.
"Di pojok bawah aja bu, deket nama saya." Kataku.
Lalu Bu Meli pun langsung menandatanganinya dengan pulpen khusus miliknya.
"Makasih Bu, permisi yaa!" Kataku setelah Bu Meli menyerahkan lukisan ini.
Aku langsung berbalik, berjalan keluar meninggalkan ruangan.
"Ka Bhagas tunggu!" Terdengar suara Anida di belakangku. Aku berhenti dan menengok ke arahnya.
"Nih, lukisannya! Selesai ya!" Seruku.
"Yee belum Kak, Ka Bhagas ikut aku ke teater."
"Gue ada kelas jam 9." Kataku.
"Bentaran doang Kak."
"Yaudah, cepet!" Seruku, sambil mengambil alih kanvas darinya.
Kami berjalan berbarengan ke gedung teater, menuju aula tempat biasa ada pementasan.
"Ngantri Kak." Ujar Anida saat kami sampai.
"Telat nih gue!"
"Maaf yaa kak!"
Aku hanya diam, ya mau gimana lagi. Kan kalo nolongin orang gaboleh setengah-setengah. Harus ikhlas juga, nanti pahalanya di cancel lagi, kan sedih kalo gitu.
Hampir 20 menit mengantri, akhirnya giliran kami yang mengumpulkan lukisan ini.
"Bhagas Aldimas Setiawan! Waw saya ga nyangka kamu mau bantuin siswa saya!" Serunya, aku kurang tau dosen cowok ini siapa.
"Emang kenapa Pak?" Tanyaku.
"Kamukan bukannya anaknya perfectionis ya? Gamau diribetin juga?" Tanyanya.
"Ah, ga dosen ga mahasiswa, sama aja kemakan gosip!" Sahutku.
Si dosen ini malah tertawa mendengar ucapanku tadi.
"Mana Nida, buktinya?" Tanya dosen tersebut.
"Ini Pak!" Seru Nida, memberikan kamera pada dosen tadi.
"Okeee!" Katanya sambil mengambil kanvas lalu di tumpuk dengan lukisan lain.
"Pak, itu jangan di tumpuk! Itu saya bikinnya pake cat minyak, belum terlalu kering, senderin ke tembok kek! Lukisan yang lain juga sama kayanya." Kataku.
"I know what I'm doing, kid!" Serunya.
"Oh, you must be the maestro, right? So that painting wont be broke! Good luck for you, sir!" Kataku sambil meninggalkan ruangan ini.
Duh gila, kenapa hari ini mood aku ancur banget yaa? Dan parahnya, banyak banget orang yang bikin aku kesel. Mulai dari Bu Meli, Anida dan dosen kampret tadi.
Aku melirik jam di tangab kiriku, sudah pukul 9.20, aku telat. Toleransi telat 15 menit, ini sih judulnya aku bakal ngabisin waktu dua jam ke depan di kantin.
Langsung saja aku berjalan ke kantin, memesan makanan dan minuman lalu duduk di tempat kosong. Aku merogoh kantongku, membuka ponselku. Masih belum ada balesan dari Quinsha.
Jujur! Aku bingung sama semua ini. Sebenernya Quinsha nganggep aku sama dia itu apa? Kalo dia nganggep pacaran, kenapa gamau diselesaiin? Kalo ga nganggep pacar, kenapa marah?
Banyak tanda tanya di kepalaku, soal Quinsha dan soal diriku sendiri. Kalo ada yang nanya aku sayang ga sama Quinsha, ya aku suka sama dia, sayang juga. Dia baik, dia manis, dia periang. Dia bisa bikin aku cerita berjam-jam tanpa off topic, dia juga selalu punya cerita untuk dibagikan padaku.
Dia bikin aku nyaman, dan ga dapet kabar dari dia tuh bikin sedikit snewen juga. Aku tahu kita komunikasi ga intens, cuma pasti ada komunikasi dalam sehari. Nah sekarang? Entah lah.
Pesanan makananku datang dan aku makan dalam diam. Setelah makan, aku ke kelas selanjutnya, belum mulai emang cuma yaa dari pada telat, mending duduk sila di koridor.
Aku berjalan ke gedung, terburu-buru padahal ga telat.
"Bhagas!" Aku menoleh saat ada seseorang memanggilku.
Kemudian seorang lelaki, keliatannya dia mahasiswa senior berjalan ke arahku. Wajahnya terlihat marah karena sedikit merah. Ini orang siapa? Kenapa?
Begitu ia sampai di depanku, tangannya langsung terayun.
Bug
Aku jatuh ke lantai.
"What the hell!" Makiku, berusaha bangun.
"Brengsek lo!" Serunya.
"Apaan sih? Lo siapa?" Tanyaku.
"Lo ngapain make cewe gue buat jadi objek gambar lo? Segala bilang dia warna di hidup lo lagi."
"Lo salah paham, dude! Be smart, okay!" Aku langsung mengerti arah permasalahan ini.
"Your girl ask me to draw her for her task. I do my job, and that painting doesn't have any meaning. It's meaningless. Okay! I never say that she's the color of my life. She's nothing, I dont even know her since she contact me. Okay? Now, fuck off!" Kataku sambil pergi meninggalkan orang gila itu.
"Eh tunggu bangsat!" Seru orang tadi. Aku berbalik ke arahnya.
"Sebelum lo mukul gue lagi dan kali ini bakal gue bales, lo mending tanya sana cewe lo!" Lalu aku benar-benar meninggalkannya, melewatinya dan mengganti tujuanku menjadi parkiran.
Cukup, please I dont need any drama today. Jadi, daripada masuk kelas selanjutnya, aku memilih pulang ke paviliun.
***
TBC
Thanks for reading, dont forget to leave a comment and vote this chapter xoxo
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top